Share

AFTER PARTY.

Author: NUR EVA LAILY
last update Last Updated: 2021-02-05 10:43:09

AFTER PARTY.

Dentingan gelas kaca serta suara alunan musik di ruangan besar itu menjadi penanda bahwa pesta telah dimulai. Usai acara fashion show yang dihadiri model-model ternama serta perancang busana dan tamu undangan yang berasal dari kalangan atas, ratusan orang mulai asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang berdiri di tengah kegelapan bersama pasangannya, melakukan hal-hal menyenangkan seraya menikmati wine. Ada yang berjingkak-jingkrak menikmati alunan music. Ada pula yang hanya menjadi penonton, memandangi orang-orang itu dengan lesu seolah dunia hampir kiamat. Eva contohnya.

“Eva!” seorang pria meneriakkan namanya. Eva menoleh, mendapati Sean dan kekasihnya di tengah kerumunan orang. Sesekali Stella-kekasih Sean menciumi bibir Sean tanpa  malu. Wanita itu setengah mabuk sehingga tidak memperhatikan orang-orang di sekitarnya. “Kemarilah! Apa yang kau lakukan di sana?” seru Sean penuh empati.

Eva mendengus. Ia sudah mulai bosan dengan acara semacam ini. Satu-satunya yang membuatnya bertahan di sini adalah nama baiknya sebagai model ternama. Jika ia meninggalkan pesta ini, orang-orang akan berpikir ia tidak mau bergaul dengan yang lain. “Nikmati malammu!” Eva mengacungkan jempolnya. Sean balik mengacungkan salah satu jempolnya. Pria itu sedikit kesulitan karena Stella lebih dulu menariknya dan membawa Sean menjauh dari keramaian. Eva tahu betul apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Apalagi memangnya kalau bukan berdansa di atas ranjang?

Tiba-tiba seorang pria duduk di sisinya. Eva sedikit terperanjat karena hal itu. Wanita itu menoleh sekilas pada sang pria lalu kembali memusatkan pandangannya pada ponselnya.

“Selamat malam, Nona.” Sapa pria misterius itu.

“Selamat malam, Tuan.” Sahut Eva ramah. Sebelumnya, ia memang belum pernah bertemu dengan pria ini. Namun Eva yakin betul kalau pria itu adalah salah satu pemilik brand fashion ternama di Paris. Eva pernah melihat wajahnya di salah satu majalah fashion.

“Sendirian?” tanya pria itu lagi. Pria misterius itu memakai setelah hitam yang tampak cocok dengan rambutnya yang juga berwarna hitam. Jas hitam serta celana yang melekat pas di tubuh pria itu menambah kesan maskulin yang tentu saja akan membuat wanita seperti Eva jatuh cinta.

“Temanku baru saja pergi.” Dusta Eva. Ia tidak mungkin membohongi pria itu, pura-pura memiliki teman kencan padahal ia memang sendirian di sana.

“Namaku Gale,” pria misterius itu mengulurkan tangannya. “Dan kau? Kau pasti Eva.”

Eva menerima uluran tangan itu dan menjabatnya untuk beberapa saat. Ia sempat menarik tangannya tetapi Gale justru menggengamnya semakin erat. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanya Eva berusaha untuk mengabaikan rasa gugupnya.

“Tidak. Siapa pun yang di sini pasti mengenalimu.”

“Kau berlebihan, Mr-“

“Panggil aku Gale.”

“Gale.” Ulang Eva. Pria seusianya seharusnya lebih pantas dipanggil Pak atau Paman. Namun, Gale justru menolaknya. Eva ingin sekali pergi dari hadapan Gale. Ia sangat muak melihat pria itu terus-menerus memandangi dirinya seperti singa kelaparan. Jika sebagian besar wanita seusianya mengincar pria seperti Gale, Eva justru sebaliknya. Ia menghindari pria hidung belang seperti Gale. Eva sadar betul perilaku Gale pasti tidak jauh berbeda dengan pria-pria yang ia temui setiap harinya.

“Begitu lebih baik.” Gale mengulas senyum malaikatnya. Ia menggeser duduknya hingga nyaris mengikis jarak di antara dirinya dan model cantik bernama Eva itu. “Aku tertarik menjadikanmu salah satu modelku. Aku sangat yakin rancangan busana musim panas akan cocok dan menarik jika kau yang memakainya.”

“Untuk yang satu itu,” Eva meneguk wine di gelasnya. “Kau bisa menghubungi managerku langsung.”

“Pasti,” Gale mengambil wine dari tangan Eva. Ia lalu meneguknya hingga tandas. “Tapi, kurasa tidak ada salahnya jika aku memintamu juga untuk bergabung dengan perusahaanku.”

Eva meneguk salivanya kasar. Ia tahu arah pembiacaraan pria itu. Gale berusia sekitar tiga puluh lima atau mungkin empat puluh tahun. Seroang pengusaha sukses di kalangannnya. Dari tampangnya, pria itu memang tidak terlihat seperti pria berusia lanjut. Wajah yang justru tampak lebih mempesona di usianya. Matang dan berpengalaman. Dan yang terpenting, Gale memiliki banyak uang. Wanita mana pun pasti akan dengan senang hari membuka selangkangannya untuk Gale. “Aku tidak tahu apakah aku bisa atau tidak. Hanya managerku yang tahu semua jadwal yang harus kuselesaikan. Jadi maaf aku tidak bisa memastikannya.” Ucap Eva dengan nada dibuat selembut mungkin.

Gale mendekatkan wajahnya ke wajah Eva. Pria itu berniat mencium Eva, itulah yang selalu ia lakukan pada semua model atau aktris yang menurutnya menarik. Dan mereka selalu memberikan kehangatan kepada Gale. Saat ini, yang ia inginkan adalah Eva. Meski usia Eva tidak muda lagi, Gale yakin wanita itu pasti sangat ahli dalam permainan ranjang. “Aku tidak keberatan jika harus menunggu sampai jadwalmu kosong.”

Eva mengangguk takzim. Udara di sekitarnya mulai memanas. Ia tidak suka situasi seperti ini. Jika sudah seperti ini, ia butuh salah satu teman prianya untuk menyelamatkannya. Namun, Eva sama sekali tidak melihat ada pria yang bisa diajak bekerjasama dengannya. Eva menegakkan punggung, “Kau bisa menghubungi manajerku untuk bertanya mengenai semua jadwalku.”

“Akan segera kuurus. Kau mau minum lagi?” tanya Gale seraya menuang segelas wine lagi.

“Tidak,” tolak Eva halus. Minum dengan gelas bekas Gale? Yang benar saja? “Aku tidak terlalu suka minuman beralkohol.”

“Aku justru berpikir sebaliknya. Kupikir kau menghabiskan sisa malam setelah acara seperti ini dengan minum,”

“Tidak juga.” Eva mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Dua pria berbadan mengawasinya dengan tatapan elang. Eva yakin kedua pria itu adalah bodyguard. Entah siapa yang mengajak bodyguard ke acara semacam ini. Di mana kalian? Keluh Eva dalam hati. Ia tidak menemukan satu pun pria yang dikenalintya

“Mencari seseorang?” suara Gale menyadarkan Eva dari fokusnya mencari penyelamat hidup.

“Ya. Aku menunggu temanku. Aku takut dia mencariku,”

“Aku akan menemanimu di sini sampai temanmu itu datang,” Gale merangkul pundak Eva. Sekarang, benar-benar tidak ada jarak di antara keduanya.

“Aku suka aromamu,”

Sungguh bualan yang teramat biasa. Eva bersumpah akan menendang Gale jika ia berani macam-macam. “Parfum yang kupakai bisa dibeli siapa saja.”

“Tidak masalah,” Gale menarik pinggang Eva sehingga dadanya dan dada Eva bertabrakan. Eva geram. Namun ia tidak bisa melakukan apa-apa.

Hanya bisa mendesah pelan dan berdoa semoga seseorang membawanya pergi dari sini.

**

Bruce baru saja ingin melangkahkan kakinya dari gedung megah itu. Namun urung karena ia melihat seseorang yang sangat dikenalinya. Salah satu model yang sejak beberapa saat lalu menarik perhatiannya. Pandangan Bruce terhenti tatkala ia melihat sang model duduk tenang di salah satu kursi di sudut ruangan. Bruce menyuruh dua bodyguardnya untuk menyediakan kursi di meja bartender. Ia duduk di kursi itu, membelakangi sang model yang tampak tengah menunggu seseorang.

“Ada yang datang,” ucap salah satu bodyguardnya.

“Gale Hamilton. Pemilik Gale’s Style.” Bodyguard lain meninmpali.

“Apa yang dia lakukan di sana?” Bruce mengambil sloki dan menuang wine.

“Anda harus melihatnya sendiri.” sahut salah satu bodyguardnya.

“Merayu Nona Eva sepertinya,”

“Terus awasi mereka. Katakan apa saja yang mereka lakukan.”

Lama Bruce mangamati gawainya. Sejak sepuluh tahun terakhir, Eva adalah satu-satunya wanita yang  ia hindari. Bruce masih ingat bagaimana dulu mereka menghabiskan sebagian besar waktu yang mereka miliki untuk sekedar berkeliling kota dan makan es krim di taman. Semua itu terjadi jauh sebelum kenyataan pahit menghantamnya. Dan terpaksa ia harus meninggalkan semua masa-masa indah yang ia dan Eva miliki.

Bruce menahan sesak di dadanya. Sendaianya saja ia punya kesempatan untuk memiliki Eva lagi.

“Sepertinya Gale berniat mencium Nona Eva.” Suara itu berasal dari salah satu bodyguardnya. Punggung Brue menegang seketika. Ia ingin sekali berdiri dan meninju wajah si tua Gale itu.

“Tuan,” Sim, bodyguard yang berdiri di sisi kanannya angkat bicara. “Mungkin anda ingin melihat ini.”

Dan tanpa pikir panjang, Bruce pun berbalik. Ia mendapati Gale memeluk Eva. Saat itu juga emosinya meluap. Bruce berdiri dan berjalan mendekati mereka. sepertinya Eva tidak melihat kehadirannya. Bisa ia lihat jika sebenarnya Eva sama sekali tidak nyaman dengan posisi mereka. Kedua tangan Bruce mengepal di sisi tubuhnya. Langkahnya semakin cepat dan napasnya juga semakin memburu.

Saat tiba di sofa empuk itu, Bruce segera mendaratkan pantatnya di sisi Eva. Baik Eva maupun Gale terkejut dengan kehadirannya. “Masih menungguku?” Tanya Bruce pada Eva. Wanita itu menatapnya heran, Bruce menarik pinggangnya sebelum Eva berhasil melontarkan protes. “Aku menunggumu di luar. Kupikir kau menyusulku.”

Eva mencoba memahami situasi mereka. Mungkin inilah saat yang tepat untuk kabur dari si tua Gale. “Maaf, aku menunggu Stella dan Sean. Mereka mengatakan akan pulang dengan kita.”

“Mungkin sebaiknya kita menunggu di mobil saja.” Sahut Bruce.

“Ide bagus.” Eva tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang berjejer rapi.

Melihat itu, hati Bruce seketika menghangat. Ia lupa kapan terakhir kali ia melihat senyum indah itu. Senyuman yang berhasil mencuri perhatiannya bahkan sejak mereka masih sama-sama memakai popok.

Gale menatap keduanya dengan kesal. Untuk pertama kalinya, misinya mendapatkan gadis incarannya justru digagalkan oleh pria muda seperti Bruce.

“Maaf, Gale. Aku harus pergi. Aku dan kekasihku harus pulang sekarang.” Pamit Eva seraya beranjak dari duduknya.

Bruce memeluk pinggang Eva, mereka berjalan beriringan melewati kerumunan orang yang masih asyik dengan pesta itu. Sesekali Bruce melirik Eva yang tampak sangat menikmati pesta ini. Hingga beberapa saat kemudian, kerumunan paparazzi mulai mendekati mereka dan mengambil fotonya dan Eva.

“Sial!” umpat Eva pelan.

“Jaga bicaramu, Nona.”

“Aku tidak butuh nasihatmu, Tuan.”

Bruce tahu betul apa yang membuat Eva mengumpat. Public figure seperti Eva pasti menjadi incaran empuk para paparazzi. “Memang. Tapi aku yakin kau membutuhkanku untuk kabur dari sini.”

Eva tersenyum miring. “Huh, percaya diri sekali.”

Kerumunan paparazzi itu semakin gencar mengambil gambar mereka. Bukan hanya Eva, Bruce pun mulai risih dengan kehadiran mereka. “Kalau begitu, akan pergi dengan orang-orangku. Kau bisa tinggal di sini kalau kau mau.” Bruce nyaris melepaskan pinggang Eva. Namun dengan  cepat, Eva menahannya seraya tersenyum manis, senyum palsu.

“Jangan tinggalkan aku!” ucap Eva penuh penekanan.

Dalam hati, Bruce bersorak gembira mendengar permintaan Eva. Tidak sia-sia ia menghadiri acara membosankan ini kalau akhirnya ia bisa bertemu dengan manusia yang paling ia inginkan itu. “Mana mungkin aku meninggalkanmu, Peri cantik.”

Eva memutar bola matanya. Astaga! Tidak tahukah Bruce kalau sekarang mereka sudah beranjak dewasa? Bukan  lagi anak-anak yang gemar mempermainkan permainan peri dan pangeran yang dulu menjadi kegemaran  mereka?

Dulu sekali…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CURSED BY THE DEMON PRINCESS    A PRANK.

    A PRANK.BRUCE masih menggenggam erat tangan Eva saat mereka hampir sampai di townhouse. Yang akan mereka hadapi setelah ini bukanlah sesuatu yang mudah. Saat ini hubungan keduanya bukan hanya tentang Peri Hutan dan Pangeran Pongky. Lebih dari itu, ada keluarga yang setia memisahkan mereka Bruce dan Eva dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah perjodohan. Tenggorokan Bruce tercekat mengingat fakta itu. Ia masih tidak percaya di era seperti sekarang masih saja ada orangtua kolot seperti ayah dan ibunya. Benar-benar menyebalkan!Eva beringsut dari duduknya. “Kau melamun.” Gumam wanita itu.Antara iya dan tidak. Bruce tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari sosok yang amat sangat ia puja di sisinya. Namun di sisi lain, ia juga memikirkan perjodohan sialan itu. Haruskah ia mengatakan kepada Eva apa yang sebenarnya direncakan oleh keluarganya?“Pongky…” Eva memaksa

  • CURSED BY THE DEMON PRINCESS    OUR PARENTS.

    OUR PARENTS.BRUCE menatap gadis anggun berambut pirang yang saat ini duduk di atas punggung Romeo. Dia, Eva dan Romeo sama-sama tidak percaya kalau kemenangan mereka ternyata hanya akan bertahan beberapa menit saja. Semula Bruce yakin bisa membawa Andrew kembali ke rumahnya di New York dan mempermalukan pria itu. Atau bahkan menyiksa Andrew sebelum mengembalikan pria itu kepada keluarganya. Sayang, sepertinya kali ini Dewi Fortuna tidak memihak kelompoknya. Terlebih saat gadis itu berkata, “Aku telah membunuh Christoper. Kurasa melenyapkannya tidak akan butuh waktu lama. Aku hanya perlu menarik pelatuk ini dan… kalian semua tahu apa yang akan terjadi.”Pernyataan yang terlalu terang-terangan itu menimbulkan kepanikan yang cukup besar di dalam kepala Bruce. Jika memang itu yang terjadi, dan sepertinya ucapan gadis itu bukanlah sebuah kebohongan. Gadis tanpa itu berkata jujur, terlihat dari keyakin

  • CURSED BY THE DEMON PRINCESS   LADY OF THE WOODS.

    LADY OF THE WOODS.ROMEO menepuk pundak Bruce dan meremasnya. Sebagai sahabat yang baik, ia ingin memberi sedikit kekuatan pada pria itu. Keduanya telah gagal menyelamatkan Eva. Bruce terduduk sambil menangis tersedu. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain meratapi kepergian Eva. Di tengah isak tangis Bruce, tiba-tiba terdengar suara jeritan. Keduanya langsung waspada. Bruce bangkit hanya untuk mendengar sekali lagi apakah dia salah dengar atau itu hanya imajinasinya semata.“Aku mendengarnya, Bruce. Kurasa orang itu membawa Eva ke dalam hutan.” Romeo berkata dengan amarah yang tersirat dalam suara pria itu. “Sebaiknya kita menyusu mereka.”“Kau yakin?” Bruce bangkit, pria itu menyeka air matanya.“Apakah menurutmu jeritan itu bukan pertanda kalau Eva sedang memberi kita kode agar kita bisa menemukannya?” tanya Rome

  • CURSED BY THE DEMON PRINCESS    HOPELESS.

    HOPELESS.BRUCE melihat mobil Christoper keluar dari pintu gerbang istana. Ia segera memberi kode kepada Romeo untuk mengikuti Christoper sebelum pria itu bersembunyi dan menunggu Eva. Setelah berhasil mengejar sang dokter muda, Romeo menghentikan mobilnya tepat di sisi Christoper. “Aku akan turun dan menemuinya.”Romeo mengangguk dan mengawasi Bruce dari kejauhan. Bagaimana pun, mereka berdua tidak tahu apakah Christoper layak di jadikan teman atau tidak.Perlahan, Bruce mengetuk jendela mobil Christoper. Ia menunggu beberapa saat hingga pria itu bersedia membuka jendelan untuknya. “Hai,” sapa Bruce.Sebelah alis Christoper terangkat, tak lama setelah itu ia membuka mulut. “Maaf, ada yang bisa kubantu?”“Tentu. Bisa kita bicara?” pinta Bruce. “Kau tidak perlu turun dari mobil dan perlu kujelaskan kalau aku tidak berniat buruk padamu.”

  • CURSED BY THE DEMON PRINCESS    CHRISTOPER.

    CHRISTOPER.ANDREW melangkah keluar dari mobil dengan menggendong Eva ala bridal style. Ia menatap wajah damai gadis itu, ujung bibirnya terangkat mendapati keberadaan mereka di Glamis Castle. Mereka hanya perlu melangkah lebih dalam ke kastil tersebut, mengeluarkan microchip dan semuanya selesai. Perang yang sudah ia mulai sejak berhari-hari yang lalu akhirnya dimenangkan oleh dirinya berkat Julliet dan ayah mereka. Tiba-tiba ia rasa sayang terhadap keluarganya meningkat dua kali lipat. Dalam hati Andrew berjanji tidak akan mengabaikan keluarganya lagi setelah ini.“Sebaiknya kita masuk sekarang.” Suara Julliet memaksa Andrew keluar dari lamunannya.Andrew mendongak, menatap adiknya penuh penghargaan. “Baiklah.” Ujarnya parau. Ia lalu membawa kedua kakinya menuju bangunan kastil tua itu. Sekilas Andrew melihat batapa indahnya Glamis Castle. Tamannya yang hijau dan luas mem

  • CURSED BY THE DEMON PRINCESS   THE GLAMIS CASTLE.

    THE GLAMIS CASTLE.BRUCE mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit. Kepalanya yang masih berdenyut membuat ia nyaris tersungkur. Untungnya seseorang membantunya bangkit sebelum ia tubuhnya benar-benar ambruk ke lantai. “Astaga, apa yang kau lakukan di sini!” gerutu sebuah suara yang sangat dikenali oleh Bruce.Ujung bibir Bruce terangkat hingga membentuk sebuah senyuman getir. “Apa yang kaulakukan di sini?” bisiknya pada Romeo.Romeo mendesah sembari membantu Bruce berdiri dengan baik. “Mencarimu, memmastikan kau baik-baik saja. Kau pikir apa? Aku tahu sesuatu padamu.”“Aku tertidur, Romeo. Tidak ada yang terjadi padaku.”“Kau pingsan.” Ralat Romeo. “Kita tidak perlu berbisik-bisik. Tidak aka nada yang mendengar kita di sini.”Bruce melihat sekeliling, mereka berada di tengah salah satu sudut kastil yang dibungkus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status