Share

bab 8

Author: Mariahlia
last update Last Updated: 2024-09-22 21:45:27

Hujan sudah berhenti mengguyur, tapi Nisa masih betah meringkuk di dalam selimut tebal yang membalut tubuhnya. Entah mungkin karena efek kelelahan, Nisa sampai terlelap lama. Beruntung ibu mertuanya masih belum pulang, jadi Nisa tidak akan terkena masalah apapun .

Doni yang melihatnya hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar, pria itu sedikit terenyuh dengan pemandangan yang ada di depan matanya saat ini, namun lagi dan lagi dirinya teringat dengan ucapan ibunya.

Tidak di pungkiri, Doni mencintai wanita yang berstatus istrinya itu. Bahkan rasa cintanya tidak pernah hilang sedikit pun. Namun perkataan sang ibu yang selalu terngiang-ngiang di dalam benaknya langsung membuat Doni mengubah ekspresi wajahnya kembali.

Pria itu menghembuskan nafasnya kasar, lalu berlalu keluar dari rumah, tujuannya ingin menenangkan pikirannya terlebih dahulu.

"Doni"

Doni menghentikan langkah kakinya, pria itu menoleh dan langsung menatap ke arah wanita paruh baya yang tidak lain adalah buden
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 54

    Senja turun perlahan, membawa aroma khas desa—paduan wangi jerami basah dan asap dapur kayu bakar. Burung-burung kecil mulai pulang ke sarang, dan suara jangkrik sudah terdengar di sela-sela rumput. Dari teras rumah nenek, Ayudia menatap ke arah sawah yang mulai sepi. Siluet Arthayasa masih ada di sana, berdiri sendirian di pematang, menatap langit jingga dengan raut yang sulit ditebak. Ia menggigit bibir. Ada dorongan aneh dalam dirinya—ingin tahu apa yang dipikirkan pria itu. Ingin tahu mengapa wajahnya selalu terlihat begitu… berat. “Kenapa kamu kayak bawa beban dunia, sih, Thaya?” gumamnya lirih. “Ayu.” Suara nenek mengejutkannya. Ayudia menoleh cepat, mendapati nenek berdiri di ambang pintu sambil membawa secangkir teh. “Jangan sering-sering ke sawah kalau cuma buat liatin anak itu.” “Aduh, Nek… aku nggak liatin dia kok,” Ayudia buru-buru menepis, meski pipinya memanas. Nenek menghela napas, duduk di sebelahnya. “Desa ini kecil, Nak. Kalau kamu sama Arthayasa sering keliha

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 53

    Pagi di desa itu kembali menyapa dengan cahayanya yang keemasan. Embun masih menggantung di ujung daun padi, menambah keindahan hamparan hijau yang kini mulai menguning. Ayudia berdiri di teras rumah nenek, menggigit bibir sambil menatap ke arah sawah yang kemarin sempat membuatnya jatuh. Celana panjang putihnya yang masih bernoda lumpur sudah dicuci bersih, tapi rasa malu kemarin masih terasa menempel di pipinya."Gosip bodoh… orang-orang itu memang nggak ada kerjaan selain ngomongin orang," gerutunya dalam hati.Namun sebenarnya, ada sesuatu yang membuatnya tidak tenang—wajah Arthayasa. Dingin, datar, tapi diam-diam selalu ada di kepalanya. Ia ingat betapa hangatnya tangan pria itu saat menolongnya kemarin, meski hanya sebentar."Ah, Ayu… kenapa sih mikirin orang kayak dia?!" Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri, mencoba mengusir bayangan itu.Tapi seperti biasa, rasa penasarannya menang. Ia ingin ke sawah lagi. Ingin belajar lebih banyak. Dan—meski tidak mau mengakuinya—ingin bertemu A

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 52

    Pagi berikutnya, ayam jago nenek berkokok lebih keras dari biasanya, seolah sengaja mengganggu tidur Ayudia. Gadis itu menggeliat malas di ranjang, menarik selimut sampai ke kepala. “Aduh… ini kenapa jam segini udah ribut banget…” gumamnya sambil menutup telinga.Namun nenek tak memberi kesempatan ia bermalas-malasan. “Ayu! Bangun! Kalau mau ikut ke sawah, sekarang waktunya. Nanti kesiangan.”Ayudia mendesah. “Ke sawah? Nek, panas lho…”“Belajar itu jangan setengah-setengah. Kamu kan kemarin sudah mulai belajar metik daun singkong, sekarang coba ikut nenek ke sawah. Lihat padi yang mau dipanen.”"Sudahlah nek, biarkan saja dia. Dia itu memang pemalas! Jangan suruh-suruh dia. Biar saja dia tidur. Atau tidak nenek suruh pulang saja dia ke kota!" Teriak Arthayasa, suaranya menggelegar di penjuru rumah itu. Nenek geleng-geleng kepala, ia tau cucunya tidak benar-benar ingin mengatakannya. Ayudia mengerucutkan bibir. Ia tidak terbiasa dengan pekerjaan desa, tapi rasa penasaran membuatnya

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 51

    "Nek, saya mau jalan-jalan sebentar ya nek." Ayudia pamit pada nenek yang sedang duduk di depan dipan.Nenek tersenyum, menganggukkan kepalanya. "Iya nak, silahkan, tapi jangan lama-lama pulangnya ya?""Iya nek."Ia lalu berjalan menuju ke rumah tetangga, walaupun matahari masih terik, tapi ia entah mengapa ingin pergi ke rumah Bu Rini. Dan setelah sampai di sana, ia di sambut oleh wanita itu, dan di ajarkan memetik daun singkong.Sampai beberapa jam kemudian. Langit sore itu berwarna keemasan, menumpahkan cahaya hangat ke permukaan sawah yang sudah mulai mengering. Angin mengibaskan ujung rambut panjang Ayudia ketika ia berjalan menyusuri jalan setapak berdebu, membawa keranjang kecil berisi daun singkong hasil dari belajar tadi siang di warung Bu Rini. Ia merasa sedikit lega, setidaknya kini ia tidak hanya menjadi bahan gosip, tapi juga mulai diterima—walau sedikit. Namun, langkahnya terhenti ketika dari kejauhan ia melihat tiga pemuda desa nongkrong di bawah pohon jati dekat ti

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 50

    Ayudia sedang duduk di teras belakang rumah nenek ketika suara-suara khas ibu-ibu desa mulai terdengar dari arah jalan kecil yang membelah sawah. Suara ketawa cekikikan, diselingi bisik-bisik tajam seperti jarum menusuk hati. Ia tidak perlu mengintip pun tahu, pembicaraan itu pasti tentang dirinya. “Udah kayak sinetron itu lho, Mbak kota datang nyari jodoh desa, tapi cowoknya kayak batu es,” bisik Bu Samirah pada Bu Murni, sambil melirik tajam ke arah rumah nenek Ayudia. “Ya Allah, padahal anak-anak kita aja kalau disuruh cuci piring masih mending, lha itu, boro-boro,” sahut Bu Murni yang memang hobi ‘menyelidiki’ orang baru. Ayudia menarik napas panjang. “Astaga... baru juga beberapa hari di sini, gosipnya udah kayak wartawan infotainment,” gumamnya kesal. Namun suara-suara itu makin jelas ketika para ibu-ibu itu berhenti tepat di depan pagar rumah nenek. “Pagi, mbak! Wah, cantik banget bajunya hari ini. Pasti buat ketemu mas Arthayasa, ya?” seru Bu Marni, pura-pura ramah tapi

  • Cacian Keluarga Suami Ku    S2 bab 49

    Ayudia duduk di dapur kecil dengan cangkir teh yang hampir dingin di tangannya. Pagi itu begitu sepi, meski burung-burung mulai bercicit dan embun masih menempel di rerumputan. Suara ayam berkokok bersahut-sahutan dari kejauhan, tapi Ayudia merasa dirinya seperti berada dalam ruang kosong. Ia belum mandi. Matanya sembab karena semalaman nyaris tidak tidur. Bayangan anak kecil di bawah pohon mangga itu terus berputar di kepalanya. Bukan hanya karena sosoknya yang menyeramkan, tapi karena ekspresi wajahnya. Wajah yang begitu tenang... namun menyimpan kesedihan mendalam. Sementara itu, Arthayasa duduk di bale bambu depan rumah seperti biasa, memandangi sawah yang mulai menguning. Boneka Laira kini terbungkus dalam kain putih dan diletakkan di kotak kecil di ruang tengah. Tak ada satu pun yang menyentuhnya, kecuali Arthayasa. Nenek keluar dari dapur, membawa sekeranjang pisang mentah. Ia tersenyum hangat pada Ayudia. "Tidurmu nggak nyenyak, ya, Nak?" tanyanya pelan. Ayudia me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status