Share

Cahaya yang Tertunda
Cahaya yang Tertunda
Author: Penulis No. 7

Bab 1

Author: Penulis No. 7
Baru saja masa nifasnya usai, Winda Baskoro menggendong bayinya ke Dinas Kependudukan untuk mengurus kartu keluarga.

"Pak, nama anakku Alex Harto."

Petugas itu mengetik beberapa kali pada keyboard, tetapi dahinya makin berkerut. "Di kartu keluarga Tama Harto, sudah tercatat seorang anak bernama Alex Harto."

Winda tertegun, mengira dirinya salah dengar. "Nggak mungkin, anak kami baru genap sebulan!"

Belum selesai bicara, ponsel di sakunya bergetar.

Saat dia membuka layar, terlihat foto dari asisten Tama, Sania Marsudi.

Dalam foto itu, Tama merangkul pinggang Sania dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggendong bocah laki-laki sekitar lima atau enam tahun. Ketiganya berdiri di depan gerbang TK, tersenyum begitu cerah hingga menyilaukan mata.

Di papan nama yang tergantung di dada bocah itu, tertera jelas namanya, Alex Harto.

Tak lama kemudian, muncul sebuah pesan masuk.

[Nona Winda, bagaimana rasanya jadi selingkuhan? Selamanya kamu akan hidup dalam bayang-bayangku sebagai istri sahnya.]

Jantung Winda terasa seperti dicengkeram tang besi, ujung jarinya gemetar saat berkata pada petugas, "Tolong… periksa lagi status pernikahan Tama."

Lembaran kertas yang keluar dari printer tampak ringan, namun ketika mendarat di telapak tangannya, terasa bagai menahan beban seribu kilogram.

Di kolom pendaftaran pernikahan Tama, nama pasangan tertulis nama Sania dengan jelas dan tanggal menikahnya adalah tujuh tahun lalu.

"Nona, mau tetap mengurus akta anak ini?" tanya petugas, suaranya terdengar samar dan jauh.

Winda menatap wajah putrinya yang sedang terlelap dalam gendongan, senyum getir muncul di bibirnya.

"Masukkan saja ke kartu keluarga-ku, sekalian ganti nama anaknya."

Saat melangkah keluar dari Dinas Kependudukan, langkah Winda terasa limbung bagai menginjak kapas.

Ponselnya kembali bergetar, sebuah pesan dari Tama.

[Sayang, aku sedang rapat di kantor. Pulangnya agak sore untuk menemanimu dan bayi.]

Melihat kata 'Sayang', Winda hanya bisa merasa ironis.

Selama tahun-tahun pernikahan mereka, Tama selalu memanggil Winda seperti itu, dia akan melapor kalau keluar, pelukan kalau pulang. Semua perhatian lembut itu sekarang terasa penuh sindiran.

Saat membuka pintu mobil dan duduk, jari-jari Winda gemetar hingga kunci pun tak bisa dimasukkan.

Dia paham aturan di kalangan mereka, kebanyakan pasangan kaya punya pikiran sendiri, tetapi Tama dulu berbeda.

Pernah di sebuah pesta, seorang sosialita menghina Winda di depan banyak orang. Keesokan harinya, Tama membuat keluarga itu bangkrut dan mereka meninggalkan kota dengan wajah tertunduk malu.

Saat Winda berkata bahwa dirinya menyukai edisi terbatas dari toko tertentu, Tama bisa terbang melintasi samudra untuk membelikannya, hanya demi melihat Winda tersenyum.

Yang paling membekas dalam ingatannya adalah insiden salah laporan hasil cek kesehatan.

Seorang perawat salah memberikan laporan yang mengatakan bahwa Winda menderita gagal ginjal. Mata Tama langsung merah.

Dia memegang erat jas putih dokter itu sambil berteriak, "Ambil ginjalku buat dia! Dua-duanya juga boleh! Kalau dia nggak ada, aku juga nggak mau hidup!"

Setelah tahu semuanya salah, pria yang biasanya tegas dan tanpa ampun di dunia bisnis itu, malah berjongkok di lorong rumah sakit, menangis seperti anak kecil.

"Syukurlah, Winda… yang penting kamu baik-baik saja."

Orang-orang di sekitar Winda selalu mengingatkannya, bisnis Tama makin sukses, pasti tidak lepas dari godaan wanita-wanita di sekelilingnya.

Namun, Tama memperlakukannya begitu baik, begitu baik sampai Winda sama sekali tidak pernah menaruh rasa curiga.

Namun, mengapa justru Sania?

Padahal dulu Tama jelas paling meremehkan Sania.

Sania dulunya adalah pengasuh rumah tangga Keluarga Bagaskoro. Suatu kali dengan sengaja mengenakan gaun berpotongan rendah untuk mengantarkan kopi pada Tama.

Tama langsung membanting cangkir dan membentaknya dengan keras, "Jangan pakai trik-trik murahan ini di depanku! Besok kamu jangan datang lagi!"

Setelah itu, dia langsung merengkuh Winda ke dalam pelukannya, tatapannya penuh hasrat.

"Sayang, di hatiku cuma ada kamu seorang. Perempuan-perempuan murahan seperti itu, aku usir satu per satu!"

Sania menangis tersedu sampai berlutut dan mengetukkan kepala memohon ampun. Namun, Tama bahkan tak melirik sedikit pun.

"Aku hanya mencintai Winda. Mataku nggak bisa menoleransi setitik pun noda. Perempuan kotor sepertimu, jangan pernah muncul di depanku lagi."

Sania bangkit dengan wajah pucat, lalu hari itu juga dia mengemasi barang-barangnya dan berjalan pergi.

Beberapa waktu kemudian, ketika Tama mempekerjakannya sebagai asisten pribadi di perusahaannya, dia menjelaskan hal ini pada Winda.

"Winda, setelah dia dipecat, keluarganya ingin menikahkannya dengan duda tua. Dia tampak putus asa dan ingin bunuh diri terus-terusan. Aku takut kalau dia nanti akan menyebarkan gosip soal kita di luar, jadi lebih aman kalau dia tetap di dekatku."

Waktu itu Winda percaya.

Siapa sangka, dua orang itu justru berselingkuh tepat di depan matanya selama lebih dari enam tahun, bahkan sudah punya anak berusia enam tahun.

Winda menggertakkan gigi, menahan rasa perih di matanya, lalu menghubungi detektif swasta.

Setengah jam kemudian, sebuah video beserta titik lokasi terkirim padanya.

Winda langsung menyetir menuju lokasi yang ditunjukkan.

Tama ternyata sama sekali tidak berada di kantor, melainkan baru saja selesai menghadiri rapat orang tua di TK Alex.

Dia menggenggam tangan Sania, memeluk anak laki-laki bernama Alex di pelukannya, ketiganya berjalan berdampingan menyeberang jalan. Senyum hangat yang mengembang di wajah Tama terasa lebih tulus dibandingkan foto keluarga mana pun yang pernah mereka ambil bersama, membuat mata Winda terasa pedih.

Dia menginjak gas dan membuntuti mereka sampai ke kawasan vila di pinggiran kota.

Tampak olehnya Tama turun dari mobil lebih dulu, mengeluarkan sekotak besar mainan dari bagasi.

Anak lelaki bernama Alex itu bersorak gembira lalu berlari membawa mainannya. Sania bersandar lebih dekat ke pelukan Tama dan berkata sambil memarahi, "Kamu terlalu memanjakannya."

"Dia anakku. Kalau bukan aku yang manjain dia, siapa lagi?"

Tama menunduk, mencium bibirnya sekilas. "Lagi pula, hari ini dia dapat penghargaan terbanyak. Ini membuatku bangga."

Sania mendongak menatapnya, matanya merah. "Tama, terima kasih sudah menyekolahkan Alex di sekolah dasar elite terbaik."

"Sebenarnya… kelahirannya saat itu adalah sebuah kecelakaan. Aku awalnya nggak ingin mengganggumu. Bisa melihatmu dari jauh saja sudah cukup. Aku janji nggak akan mengusik hubunganmu dengan Nona Winda."

"Kamu mikir apa sih?" Tama mencubit pipinya, suaranya tidak keras, tetapi jelas.

"Dia nggak akan tahu. Lagi pula, kamulah istri sah yang tercatat di akta nikahku. Aku baik pada kalian berdua itu memang sudah seharusnya."

Sania tersenyum lega. Tiba-tiba Tama membungkuk dan berbisik di telinganya, "Sudah jadi suami-istri, bukannya kita harus menjalankan kewajiban sebagai pasangan?"

Wajah Sania seketika merona. Dia langsung digendong masuk ke vila.

Sementara Winda duduk di mobil, hatinya seperti tertikam pisau tumpul. Dia mengemudi pulang dalam keadaan linglung.

Malam itu, ketika Tama masuk, seperti biasa, begitu melangkah ke dalam rumah Tama langsung merentangkan kedua tangannya ingin memeluk Winda.

"Sayang, sudah lama menunggu, ya? Capek nggak seharian urus bayi?"

Winda tetap tenang, menggeser sedikit ke samping. "Soal kartu keluarga anak kita…"

"Masalah itu nanti biar aku yang urus. Jangan khawatir!"

Nada Tama tiba-tiba menjadi tegas, tetapi melihat wajah Winda pucat, Tama segera menurunkan suaranya dan membujuk.

"Sekarang mengurus kartu keluarga itu sangat merepotkan. Kamu baru saja selesai masa nifas, mending istirahat saja di rumah. Urusan ini serahkan padaku."

Winda menunduk dan mengangguk pelan, tanpa memberitahunya bahwa anak mereka sudah tercatat di kartu keluarga Keluarga Baskoro.

Winda bahkan tidak bilang bahwa dalam perjalanan pulang, dia sudah menelepon musuh bebuyutan yang paling dibenci Tama.

Di telepon, dia menggenggam ponsel erat, suaranya tenang, tetapi tegas.

"Aku masih lajang. Kalau kamu masih mau, tujuh hari lagi, aku akan menikah denganmu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 25

    Winda terdiam sesaat, tetapi tetap menolak."Kalau dia mau berdiri di luar, biarkan saja. Kita sudah dewasa, harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri."Farel mengetuk pintu dan masuk sambil membawa secangkir susu hangat. Suaranya tetap lembut seperti biasa."Sayang, kamu pasti lelah. Minum susu ini dan tidurlah lebih awal."Winda menerima susunya. Percakapan hangat mereka sebelum tidur seakan menutup suara hujan di luar.Keesokan paginya, pelayan datang dengan tergesa-gesa."Nyonya Winda, ada masalah! Pria itu pingsan!"Winda segera mengenakan pakaian dan keluar, lalu mendapati Tama benar-benar menunggu di luar sepanjang malam.Tama demam tinggi, seluruh tubuhnya panas sekali, dan jatuh pingsan di tanah.Winda meminta seseorang membawa Tama ke rumah sakit.Saat Tama sadar, dia langsung menggenggam tangan Winda, suaranya serak tak karuan."Winda, kamu mengantarku ke rumah sakit, berarti kamu masih punya perasaan padaku."Winda menarik tangannya dan menggeleng pelan."Aku hanya

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 24

    Setelah mengetahui anaknya mengalami disabilitas, Sania mulai mencari prostetik yang sesuai untuknya.Namun, prostetik bukan barang sembarangan, tidak seperti membeli sayur. Pemakaian prostektik bersifat jangka panjang. Di pasaran ada banyak jenis prostetik, sehingga harus dipilih dengan cermat.Satu-satunya pilihan terbaik adalah produk terbaru dari Lina Technology.Sayangnya, prostetik bionik pintar ini harus dibuat khusus dan karena perusahaan sudah memasukkan Sania dan anaknya ke daftar hitam, mereka sama sekali tidak bisa mendapatkannya.Sementara itu, prostetik murah memerlukan waktu adaptasi yang lama.Anak manja seperti Alex setiap hari menangis dengan keras dan sama sekali tidak mau bekerja sama.Sania pun merutuki Winda berulang kali.Akhirnya, dia mengambil langkah ekstrem dengan mencuri prostetik yang sebelumnya diproduksi dari gudang Grup Harto. Namun, dia sendiri tampaknya lupa bahwa itu adalah produksi yang dia sendiri ikut awasi, produk cacat yang belum dimusnahkan.Sa

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 23

    Satu kalimat itu seperti bom waktu yang membuat semua orang terkejut.Polisi segera memanggil Tama untuk mengonfirmasi keadaan.Tama buru-buru tiba di kantor polisi. "Itu mustahil. Bagaimana bisa kamu hamil? Padahal aku selalu menggunakan pengaman."Dia terkejut dan menyadari pasti Sania yang melakukan sesuatu.Wanita licik itu, tak pernah melupakan cara untuk memanfaatkan situasi melawannya!Sania menutupi perutnya yang sudah mulai terlihat, menatapnya dengan tatapan dingin."Tama, ini anakmu. Kalau kamu nggak percaya, kita bisa melakukan tes DNA. Sekarang usia kehamilannya empat bulan, bisa juga amniosentesis.""Toh, Winda sudah membawa putrimu pergi. Kalau bayi ini laki-laki, biarkan aku melahirkannya."Tama menatap Sania dengan ketakutan, seluruh tenaganya seakan tersedot habis.Kalau Sania benar-benar hamil anaknya, dia tidak tahu bagaimana menghadapi Winda.Sesampainya di rumah sakit, mereka melakukan tes DNA dan hasilnya segera keluar.Ternyata, anak itu memang miliknya.Tama me

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 22

    Rizka, ibunya Tama seketika merasa canggung. "Aku nggak tahu. Tama nggak pernah bilang. Aku malah mengira…"Winda mendengus sinis."Sania menggunakan bahan berkualitas rendah sehingga banyak orang dirugikan dan hal itu merusak reputasi teknologi ini.""Tapi, ayahku sebenarnya sudah menyiapkan langkah cadangan, karena inti teknologi paten ini terus dikembangkan oleh tim luar negeri ayahku. Prostetik bionik yang kalian produksi sebelumnya memang seharusnya sudah dihentikan."Rizka yang tadi masih penuh percaya diri, sekarang merasa malu sampai wajahnya pucat pasi."Kalau begitu, kamu harusnya menjaga harga diri Tama. Dia pasanganmu. Sekarang kamu terang-terangan merebut bisnisnya, apa pantas bagimu melakukan ini?"Winda tak bisa menahan tawa."Bibi, izinkan aku mengingatkanmu sekali lagi.""Anakmu yang baik itu nggak ada hubungannya denganku. Kami nggak pernah mendaftar di Kantor Catatan Sipil. Dia menikahi Sania, mantan pengasuh yang dulu dipecat."Seketika, seluruh ruangan langsung gad

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 21

    Tama tampak sangat terkejut."Winda, maksudmu apa? Kamu ingin anak perempuanku memakai nama Farel? Apa kamu nggak tahu kalau aku dan dia musuh bebuyutan?"Farel sudah memeluk bahu Winda dan berbalik pergi, meninggalkan Tama beserta teriakannya yang terhalang pintu.Sejak hari itu, Winda mulai fokus pada kariernya.Dengan bantuan Farel, Winda mendirikan sebuah perusahaan baru atas nama putrinya, bernama Lina Teknologi.Dia memulai kembali proyek prostetik bionik pintar.Teknologi paten ini sejatinya milik ayahnya Winda. Meski sebelumnya Sania sempat menangani proyek tersebut, itu hanya memanfaatkan yang sudah ada. Teknologi inti tetap ada di tangan Winda.Begitu perusahaan baru dibentuk, media segera bergerak meliputnya.Saat Winda keluar dari gedung, banyak wartawan langsung mengarahkan mikrofon ke hadapannya."Kabarnya, Bu Winda sebelumnya juga bekerja di Grup Harto. Baru-baru ini proyek prostetik bionik mereka bermasalah besar, apa ini ada hubungannya dengan Anda?""Bu Winda, Anda da

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 20

    Sebuah suara rendah terdengar, Farel keluar dari balik pintu.Dia berdiri di sisi Winda, keduanya saling bertukar senyum, terlihat sangat serasi."Farel!"Tama langsung mencengkeram kerahnya."Kenapa selalu kamu? Sejak kecil sampai sekarang, kamu selalu merebut segala sesuatunya dariku! Kapan kamu akan berhenti?"Farel melepaskan cengkeramannya dengan santai, lalu berbicara dengan nada mengejek."Winda adalah orang, bukan benda seperti yang kamu omongkan.""Selain itu, kamu sendiri tahu betapa kotor tindakanmu. Seharusnya orang yang Winda sukai adalah aku."Seketika, ekspresi Tama berubah.Melihat ekspresinya, Winda merasakan firasat buruk."Farel, maksudmu…"Farel mengangguk, menatap tajam ke arah Tama."Delapan tahun lalu, di pesta topeng yang diadakan oleh orang terkaya di Kota Persy, akulah yang menyelamatkan Winda, tapi kamu malah mengaku-ngaku sebagai penyelamatnya."Saat Farel menceritakan semuanya dengan terputus-putus, Winda pun teringat sesuatu.Salah satu alasan besar mengap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status