“Callista.”
Seorang perempuan dengan rambut sebahu, berlari mendekati Star yang sedang bejalan menuju ke gerbang sekolahnya. Gadis itu segera merangkul Star dengan erat. “Hari ini busnya penuh gak?” tanya gadis berambut pendek itu dengan ceria. Bukan tanpa alasan, sahabat dari Star ini bertanya. Pasalnya untuk menutupi dirinya yang berasal dari keluarga Arwen, Star benar-benar berusaha hidup seperti orang biasa. Termasuk dengan naik bus untuk ke sekolah. Biasanya Irina akan menurunkan Star di dekat halte bus dan dari situ Star akan berangkat sendiri. Sementara Irina akan mengikuti dari kejauhan dan juga menggunakan GPS untuk memantau Star. “Memangnya apa yang kau harapkan dari bus Hillary Wilson? Pasti penuh lah. Apalagi di jam seperti ini.” Star menoyor Hillary lumayan keras, membuat gadis itu mengaduh. “Untuk apa juga sih kita disuruh tetap ke sekolah? Padahal kita tidak melakukan apa-apa. Kita kan termasuk dalam kelompok bawah yang tidak akan disibukkan dengan prom.” Hillary mengatakan itu dengan bibir maju beberapa senti. Sekolah Star dan Hillary, adalah sekolah unggulan yang sebagian besar diisi oleh murid-murid pintar atau punya prestasi dibidang tertentu. Tapi walau dikatakan sekolah unggulan, sistem kasta masih saja ada di sekolah ini maupun sekolah lain. Kelompok bawah yang dimaksud Hillary adalah orang-orang yang sama sekali tidak populer di sekolah. Ini merupakan kelompok anak-anak pecundang, kutu buku, sangat miskin, bermasalah atau cacat. Ada juga anak-anak yang dikatakan kelas atas. Kelompok ini terdiri dari anak-anak populer, berprestasi, berwajah rupawan dan kaya raya. Ini adalah kelompok yang biasanya akan membully kelompok bawah, terutama mereka yang populer dan berwajah rupawan. Ada juga kelompok menengah. Mereka adalah sekumpulan anak yang biasa-biasa saja. Tidak memiliki kelebihan atau kekurangan apapun dan hidupnya datar-datar saja. Kadang juga ada beberapa penjilat dikalangan ini yang bersedia melakukan apa saja untuk naik kelas. Hillary Wilson, anak ceria yang pintar dan bisa sekelas dengan Star. Dirinya yang miskin dan mengandalkan beasiswa, juga harus bekerja paruh waktu membuatnya berada dikelompok bawah. Belum lagi fakta bahwa paman dan bibinya yang sedikit kaya, juga merendahkan dirinya dan keluarganya. Sementara Star adalah siswi berprestasi yang masuk lewat jalur undangan dan mendapat beasiswa tiap tahunnya. Yang membuat dirinya masuk ke kelompok bawah adalah lingkaran hitam di bawah bibir, yang diakui Star sebagai tanda lahir. Belum lagi mata panda samar membuat Star dijuluki panda. Selain itu Star juga penyendiri dan hampir tak punya teman, selain Hillary. Dan tentu saja Irina dan Irish. “Hei, Panda. Kau dapat juara satu lagi ya? Padahal kupikir isi kepalamu hanya penuh berisi bambu.” Valery Queency, si ratu kelompok atas yang kebetulan lewat menghina Star. Dia dan teman-temannya tertawa dengan keras mendengar hinaan itu. Seperti biasanya, Star tidak pernah mempedulikan hal-hal seperti ini. Hidupnya yang tidak pernah diakui, membuat pribadi Star tahan dengan segala bentuk penghinaan. Justru Hillary yang kadang marah, tapi tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Jika dia terlibat masalah, beasiswanya bisa dicabut. “Cih, jangan sok pintar ya. Baru dapat juara satu umum saja bangga.” Valerie mendorong bahu Star sekali, hendak memojokkan Star ke dinding. Valerie berniat melakukannya sekali lagi, tapi Hillary berusaha melerai. “Tunggu, memangnya Star salah apa? Kenapa kalian terus mengganggunya?” “Diamlah gadis miskin. Jangan terlalu banyaj lagak ketika kau Cuma pembantu.” Valerie mendororng Hillary sampai terjembap di lantai. Teman-teman wanita pembully itu hanya tertawa dan kini Valerie beralih ke Star. “Kulit wajahmu bagus sih, tapi benda hitam menjijikkan ini sangat mengganggu. Kalau kutambah luka lain diwajahmu, pastinya tidak akan terlalu membuatmu jelek kan?” Valerie sangat tidak menyukai Star. Dia benci Star yang pintar, tinggi, putih, kulitnya bagus dan walaupun ada tanda lahir hitam besar, sebenarnya Star masih terlihat cukup cantik. Dan Valerie tidak suka itu. Dia tidak suka ada gadis cacat yang dikatakan cantik. Valerie menatap jijik ke arah lingkaran hitam buatan Irish itu dan dengan penuh amarah, Valerie mengangkat tangannya hendak menampar Star. Sayangnya, hal itu tidak kesampaian. Irina datang dan menyelamatkan Star. “Berhenti di sana Valerie Queency atau kau akan dapat hukuman.” Irina berjalan mendekat dengan tatapan dingin yang menusuk tajam pada Valerie. Irina yang bekerja sebagai guru, tentu punya hak untuk menghukum anak nakal. Bahkan disaat mendekati hari kelulusan seperti sekarang ini Dengan sangat kesal, Valerie menurunkan tangannya. Dia tidak cukup bodoh untuk melawab guru, bisa-bisa kelulusannya dibatalkan. Apalagi kalau guru yang dihadapi adalah Irina Regen, hukumannya selalu membuat semua orang kewalahan dan menderita. “Sekarang, semuanya bubar.” Irina memberi perintah mutlak pada semua siswa yang berkerumun di sana. Setelahnya Irina juga langsung pergi. Kedatangan Irina tadi hanyalah untuk menyelamatkan majikannya yang sebenarnya, yaitu Star. Pekerjaannya sebagai guru pun dilakoni hanya untuk mengawasi tuannya. “Menyebalkan sekali sih dia. Mentang-mentang model cantik,” Hillary bergumam lirih ketika semua orang mulai menjauh. “Lary, gak usah mempedulikan mereka. Hidup kita sudah cukup susah, gak usah dibikin tambah susah dengan memikirkan orang-orang seperti mereka.” “Kalau aku memukul ratu sombong itu, kelulusanku tidak akan dibatalkan kan?” Hillary berbisik di telinga Star. “Berhentilah memikirkan hal aneh, Lary.” Bertepatan dengan kata-kata yang diucapkan Star, gadis itu merasakan ponselnya bergetar. Star menatap layar ponselnya dan mengerutkan kening ketika nomor yang tak dikenalinya muncul di situ. Apa mungkin customer? “Aku angkat telepon dulu ya.” Star memberi isyarat pada Lary bahwa dia akan pergi mengangkat telepon. Star melangkah sedikit lebih cepat untuk mencari tempat yang agak sepi sebelum mengangkat teleponnya. Kalau itu memang customer, Star tidak ingin sampai ada orang lain yang mendengar percakapannya. “Halo?” “Apa benar ini nomor telepon Nona Star?” suara seorang pria terdengar dari seberang telepon. Ternyata memang seorang pelanggan. Star menghela napas. “Maaf. Jika anda ingin memesan jasaku, silahkan masuk lewat aplikasi dan baca syarat dan ketentuan berlakunya.” Star berbisik pelan sambil menoleh kiri dan kanan untuk melihat apakah ada orang disekitarnya. Sungguh melelahkan harus terus-menerus mengingatkan para pria tua itu untuk membuat janji lewat aplikasi, bukan lewat telepon. Kartu nama itu Star buat hanya sebagai tanda pengenal. Dan nomor telepon yang tertera di sana hanya digunakan untuk berkomunikasi saat hari janjian. Bukan untuk menerima telepon untuk membuat janji, atau menerima chat yang berisi curhatan dan ajakan ‘tidur’ maupun gambar dan video tak senonoh. “Ah, maaf Nona. Tapi kami tidak sedang ingin memesan jasa anda,” pria itu membalas dengan tegas. “Lalu kalian mau apa?” Star bertanya dengan nada datar dan kening sedikit berkerut. Apalagi pria itu menggunakan kata ‘kami’, bukan ‘aku’. “Nona meninggalkan kartu nama pada atasan saya, katanya untuk meminta ganti rugi hanya perlu menghubungi nomor ini.” “Ganti rugi?” Star sudah benar-benar lupa dengan kejadian kemarin dan bertanya dengan nada bingung. Terdengar suara bisik-bisik kemudian hening sebentar, lalu terdengar suara gemersik pelan sebelum pria lain berbicara. “Kau sudah menumpahkan teh ke kemejaku dan sekarang kau pura-pura lupa? Atau mungkin kau hanya mengelak saja?” “Ah, aku baru ingat sekarang,” Star menjawab dengan tenang.Bersambung…***** Happy reading.“Dasar perempuan kurang ajar.” Harvie membanting ponselnya ke atas meja. Dia baru saja menelepon perempuan yang menumpahkan teh ke kemeja dan jas miliknya yang berharga ribuan dollar itu. Menurut pihak laundry, nodanya mungkin tidak akan hilang dengan sempurna. Karena itulah, dia menelepon perempuan dengan nama Star untuk meminta ganti rugi. Asisten pribadinya, untuk menyelidiki tentang Star berdasar kartu nama sana. Sayang, yang bisa dia dapatkan hanyalah data-data yang terdapat di aplikasi sugar dady terkenal, tempat Star terdaftar. Dia adalah sugar baby termahal dengan segudang syarat dan ketentuan berlaku. Termasuk tidak menerima ajakan ‘tidur’ bersama. “Omong kosong. Tidak mungkin dia tidak pernah tidur dengan seorang pria pun,” gumam Harvie dengan sangat kesal. Yang membuat Harvie makin kesal, Star meminta dirinya yang menentukan waktu janjian karena dia sedang sekolah. “Masih sekolah saja sudah jual diri. Dengan generasi muda bobrok, bagaimana masa depan bumi ini ke
“Ini siapa Vie?” tanya wanita yang ada di depan pintu pada Harvie. “Maaf saya… “ Star menghentikan kata-katanya ketika sebuah tangan mendarat di bahunya. Star perlu mendonggak untuk melihat siapa pemilik tangan itu. Sesuai dugaan itu adalah tangan Harvie. “Karena Mama udah tahu, sekalian kenalan saja deh. Ini pacar aku. Mama bisa panggil dia Star,” Harvie menjelaskan dengan santai. Penjelasan singkat dari Harvie membuat Star cukup terkejut. Wanita yang dipanggil Harvie sebagai Mama lebih terkejut lagi. Dia bahkan menatap gadis mungil di sebelah Harvie dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan dilihat berkali-kali sekalipun gadis itu terlihat seperti anak junior high school. Wanita paruh baya itu menganga sambil menatap anaknya dan anak kecil di sebelah Harvie secara bergantian. Apakah anaknya ini pedofil? “Biar saya jelas…” “Karena Mama sudah kenalan. Biar Harvie antar Star ke lobi dulu ya, Ma. Jemputannya sudah datang.” “Tapi saya…” “Ayo sayang.” Harvie sama sekali tid
"Nona, ponsel anda berdering." Irina memberitahu Star. Yang empunya ponsel, hanya melirik sekilas benda yang diletakkannya di kursi sebelahnya. Star tidak menyimpan nomor yang tertera, tapi dia tahu siapa yang menelepon. Itu adalah nomor yang tadi pagi meneleponnya. Nomor milik pria pemarah yang baru saja dia temui. "Blokirkan nomor ini." Star menyerahkan ponselnya pada Irina dengan malas. Star tidak ingin lagi berurusan dengan pria seperti itu, bikin sakit kepala. Baru baju yang dibeli di luar negeri saja ributnya minta ampun. Bukan tidak mampu, tapi menyebalkan. "Apa Nona akan langsung pulang ke rumah?" Irina bertanya sambil melakukan tugas yang baru saja diberikan Star. "Ya, kalau bisa aku ingin dipijat dan spa juga. Irish hari ini free kan?" "Akan saya tanyakan," Irina menjawab sambil menyerahkan ponsel nonanya. Kemudian Irina mengambil ponselnya sendiri dan menelepon saudariya. Sementara Irina sibuk dengan ponselnya, Star memilih untuk menatap keluar jendela mobil. Memi
"Pacar? Bukan teman tidur kan? Saya tidak ...." "Pacar saja." Harvie memotong kalimat perempuan di depannya. Star menaikkan sebelah alisnya mendengar permintaan yang menurutnya absurd itu. Kenapa pula harus pura-pura jadi pacar? Pria ini kan bisa menarik siapa saja, kenapa harus dirinya? Tidak mungkin tidak ada perempuan di sekitar Harvie. "Kenapa harus seperti itu?" tanya Star tidak mengerti. Bukan karena Star bodoh, tapi dia tidak bisa mengerti sikap Harvie. "Apa omonganku tadi kurang jelas? Aku tidak mau dijodohkan," balas Harvie sedikit kesal. "Anda kan tinggal menolak saja." Star makin bingung saja mendengar pernyataan pria di depannya itu. Apa susahnya menolak? "Ini tidak segampang yang kau pikirkan bodoh." Harvie menggeram kesal. "Mamaku itu orangnya pantang menyerah sudah berkali-kali kutolak, tapi tetap saja dia ngotot. Lagipula. aku tidak bisa terus-terusan menolaknya. Jadi hal yang harus kulakukan adalah membawa seorang wanita ke hadapannyai." "Maaf, saya masih
"What the ...." Harvie nyaris saja mengumpat, ketika melihat Star keluar dari ruang ganti.Ini sudah baju yang kelima, tapi Harvie masih kesulitan menentukan gaun yang tepat, semua terlihat bagus dipakai Star. Padahal Harvie sudah sengaja memilih butik yang biasa saja, tapi tetap saja Star terlalu sempurna. Niatnya menghemat uang, karena biaya kontrak sudah mahal. Eh, malah rasanya kini Harvie merasa tawaran yang dia berikan terlihat murah. "Pilihlah yang mana saja," Harvie berucap dengan helaan napas frustasi. "Kalau begitu, aku mau dress off shoulder selutut berwarna merah, dengan desain rok berbentuk huruf a itu." Pemilihan yang sangat bagus sebenarnya. Warna merah menyala membuat Star yang putih jadi makin bersinar. Star mengangguk melihat penampilannya dicermin. Dia menyukai pilihannya. Harganya tidak mahal. Hanya sekitar sejutaan, tapi bahan dan jahitannya cukup bagus. Dan terlihat cocok dengannya. Sebaliknya, Harvie malah mengumpat dalam hati begitu melihat pilihan S
"Tidak mungkin," gumam Helena dengan mata melotot melihat penampilan Star yang jelas-jelas terlihat mahal itu. Paling sedikit juga sepuluh juta. "Nih, kalau Mama mau lihat notanya." Harvie yang sudah menduga ini, telah menyiapkan nota pembelian tadi dan menyerahkannya pada sang ibu. Helena menyambar kertas-kertas itu dengan kasar dan melihat jumlah yang tertera di sana. Beberapa detik kemudian dia ternganga, tidak percaya dengan angka-angka yang dilihatnya itu. Benda-benda yang dipakai Star memang tidak semahal kelihatannya. "Pacarku ini memang masih muda, Ma. Tapi dia gak matre. Bahkan tadi kami sempat bertengkar mempermasalahkan siapa yang harus membayar." Helena mendelik ke arah anaknya itu. Jelas terlihat diamerasa marah dan juga malu, tapi yang namanya emak-emak tidak akan pernah mau disalahkan. "Pada akhirnya kan tetap kamu yang bayar. Lagi pula Yvonne belum tentu suka padanya," sergah Helena ketus. "Helena, bisa gak sih kamu lebih sopan pada tamu?" Isaac yang sedari
Star bergeming mendengarkan jawaban dari Hera. Jangankan diakui, wanita itu bahkan tidak mengenali dirinya sama sekali. Seorang ibu yang sangat luar biasa. "Apa yang kamu harapkan Star?" bisiknya pada diri sendiri. Star kembali menghadap ke arah cermin untuk memperbaiki ekspresi wajah nelangsanya. Star menepuk pelan kedua pipinya beberapa kali, sebelum beranjak keluar dari toilet. Baru saja beberapa langkah berjalan menjauhi toilet, Star sudah menabrak seseorang. Star bisa merasakan dress barunya basah. Bisa dipastikan, minuman orang itu tertumpah. "Astaga, maafkan saya! Apakah anda tidak apa-apa Nona?" suara bariton seseorang terdengar. "Ah, iya. Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit basah," jawab Star datar. "Anda boleh membersihkan dress anda dengan ini." Lelaki itu mengulurkan sapu tangan yang terlihat mahal. Star tidak langsung menerima saputangan itu. Dirinya memilih untuk melihat wajah orang yang menabraknya dan menunggu reaksi pria itu selanjutnya. Begitu Star menatap
Star bersandar di pintu dalam bilik toilet. Dia dengan terpaksa ikut dengan Harvie karena kata-kata pria itu tadi. Padahal sudah disembunyikan dengan baik, tapi kenapa pria itu bisa tahu. Bagaimanapun caranya, dirinya harus bisa meminta Harvie tutup mulut. Star tidak ingin mencari masalah dengan keluarga besar Arwen. Walau mereka tidak pernah peduli padanya, setidaknya keluarga itu memberikan penghidupan pada Star. Setidaknya Star tidak ingin menjadi orang yang tidak tahu balas budi. "Lama amat sih," Harvie mengeluh begitu melihat Star keluar dari toilet. Star tidak menjawab Harvie dan berjalan mendahului pria itu, menuju ke arah lift yang bisa dilihatnya dari jarak jauh. Kelakuan Star ini jelas membuat Harvie merasa geram. Baru kali ini ada perempuan yang berani-beraninya mencueki dirinya. "Hei, aku bicara padamu." Harvie mencekal lengan Star dengan kasar, sampai gadis itu sedikit oleng dan menubruk tubuh Harvie. "Tadi sok jual mahal, sekarang cari kesempatan. Mau main tari