LOGIN"Canda." Bastian terkekeh. Tangannya menepuk pundak Husain yang wajahnya sempat menegang. Kini laki-laki itu menggaruk tengkuknya. "Jangan dianggap serius!" lanjutnya. Husain meringis. "Istrimu wanita hebat." Bastian melanjutkan ucapannya."Memangnya kamu tahu istriku?" Bibir Husain mencebik. "Kebetulan keponakan sekolah di PAUD Guna Bangsa, dia suka sekali dengan Bu Nashwa." "Dari mana tahu kalau dia istriku?" "Pernah lihat kamu jemput dia waktu aku jemput ponakan," jawab Bastian apa adanya. Karena memang dia tahu istri Husain saat menjemput Nayla--keponakannya. Lalu sejak tahu Nashwa istrinya Husain, laki-laki itu berusaha menemuinya. Husain menganggukkan kepala. Mereka lalu saling diam. Hingga terdengar suara petugas bagian apotek memanggil nama Nashwa. Husain segera beranjak menuju loket untuk mengambil obat. Setelah itu, nama ayah mertua Bastian pun dipanggil. Setelah sama-sama selesai urusannya, mereka lalu saling berpamitan. "Maaf ya, kalo ganggu waktu kamu," ucap Basti
“Aku nggak akan bingung kalo Cuma Anggita yang pergi, tapi dia bawa anak kita, aku khawatir sama Lilly.” “Lilly sama ibunya sendiri, apa yang perlu dikhawatirkan?” “Kamu nggak tau Anggita.” Bastian berkata lirih. “Dia bukan ibu yang baik, Anggita sering bentak-bentak Lilly hanya karena masalah sepele. Dia seperti nganggep kalo Lilly itu membuat pergerakannya terbatas. Anggita sering marah-marah sejak ada Lilly.” Bastian menghembuskan napas panjang, seperti mengeluarkan beban yang berat. “Aku tahu ini salahku, mungkin aku yang terlalu mengekangnya, menuntut dia jadi ibu yang sempurna, tanpa memikirkan mentalnya setelah melahirkan. Aku membatasi kartu ATM dan lainnya supaya dia tidak sibuk dengan dunianya yang suka belanja. Aku ingin dia lebih memperhatikan Lilly, sayangnya di menangkapnya berbeda.Yah ... salahku juga dalam menyampaikannya dengan cara yang kurang tepat, sehingga dia merasa dikekang. Aku juga tidak memberinya ruang untuknya membela diri, sehingga saat emosinya me
Dokter muda itu tersenyum, seolah memberikan pesan tersirat pada sepasang suami-istri itu bahwa semua baik-baik saja. Padahal Nashwa dan Husain sudah sangat khawatir. “Perdarahannya banyak?” tanya dokter. “Dikti, Cuma kaya setetes gitu.” Nashwa berpikir sejenak, mengingat yang tadi dilihat hanya berupa bercak darah, tapi dia terlalu kaget sehingga panik. Sang dokter kembali tersenyum, lalu memeriksa Nashwa. Setelah melakukan USG, dokter bernama Teddy itu menjelaskan bahwa flek yang dialami Nashwa masih dalam kondisi normal. Tidak perlu dikhawatirkan. Dia lalu memberi resep obat dan tidak lupa memberi nasehat pada pasangan suami-isteri itu.“Istirahat yang cukup dan pola makan dijaga. Jangan sampai kelelahan dan hindari stres.” Kalimat dokter didengar dengan baik oleh Husain. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan lebih perhatian pada Nashwa. .“Husain?” Saat antri di apotek, tidak sengaja dia bertemu dengan Bastian. Laki-laki itu menghampiri Husain terlebih dahulu. Husain merasa
Tanpa terasa air mata Nashwa menetes. Sebenarnya dia lelah. Dia ingin istirahat. Tapi dia sendiri yang memaksa kuat. Lebih tepatnya pura-pura kuat. “Maafin aku, Nash.” Husain menarik lengan Nashwa. Membawa tubuhnya ke dalam dekapan. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Laki-laki itu menyesal, sudah mengatakan tentang rencana pernikahan dengan Anggita padanya. Tanpa dia pikirkan perasaan istrinya. “Kamu mau berkarya seperti apapun, aku akan selalu dukung kamu, tapi tolong jangan sampai nyakiti diri sendiri.” Husain mengelus kepala istrinya.“Dan soal perpisahan ... Aku udah pernah bilang kan, kalo aku gak akan menceraikan kamu,” lanjutnya, membuat Nashwa mendongak. Wanita itu mengusap sisa air matanya lalu duduk dengan tegak. “Nggak akan menceraikan sampai anak ini lahir kan?” Nashwa menyimpulkan sendiri. “Nash—““Makanya sebelum anak ini lahir, aku harus sudah bisa hidup mandiri.” “Nashwa—““Karena kalo Mas mau nikahin Anggita dan tetap sama aku, aku keberatan, lebih baik pisah aja
"Makasih atas informasinya, Mas, saya mau lanjut ke kelas ya, masih ada kerjaan.” Nashwa membereskan jajanan yang dia beli. Seleranya mendadak menghilang, padahal tadi sedang ingin sekali makan jajanan pasar. Bastian merasa tidak enak melihat perubahan wajah Nashwa. Maksud dia menemui bukan untuk sekedar memberi informasi tentang suaminya. Tapi dia ingin meminta kerja sama demi keutuhan rumah tangga masing-masing. “Saya belum jelaskan tujuan saya ketemu Mbak Nashwa.” Bastian menahan langkahnya. Dia melirik jam. Jarum panjang baru berada di angka lima. Baru lima menit mereka bertemu. “Memangnya tujuan Masnya apa, ya?” “Mbak, pasangan kita sama-sama sedang salah jalan, kita tidak bisa diem aja dong, Mbak. Saya masih mencintai istri saya, saya ingin rumah tangga kami bisa diselamatkan.”“Terus?” tanya Nashwa ketus.Mood-nya sudah rusak akibat melihat foto suaminya bersama Anggita. Seharusnya Bastian tidak perlu memperlihatkan foto itu. Sayangnya laki-laki itu tidak banyak berpikir se
Setelah beberapa saat saling diam, Bastian memulai lagi percakapan. Laki-laki itu kini lebih tenang. Bersikap sedikit lebih bijak. Dia ingin mempertahankan pernikahannya. Tidak mau mengecewakan orang tua dan anaknya. Selain itu, dia juga begitu mencintai Anggita. Dulu, apapun dia lakukan untuk mendapatkan Anggita. Meski harus melibatkan kekuasaan orang tua agar bisa menjodohkannya dengan Anggita. Kini dia juga harus melakukan apapun agar pernikahannya tidak berakhir begitu saja. .Jam sebelas siang, kelas sudah selesai. Nashwa beristirahat sejenak sebelum memulai aktivitas lagi. Hari ini dia jadwal piket kelas fullday. Masih ada beberapa jam untuk istirahat. Dia gunakan untuk mencari jajanan di warung dekat sekolah. Kandungannya memasuki usia enam bulan. Kini dia sudah tidak mual-mual lagi, tapi nafsu makannya bertambah. Dia harus sedia cemilan setiap saat. "Maaf, ini mbak Nashwa?" Seseorang menemuinya saat dia sedang di warung. Dia Bastian. Laki-laki itu diam-diam mencari tahu t







