MasukAku segera keluar rumah. Bersiap memberi pelajaran pada dua orang itu. Terutama Nashwa. Begini rupanya sifat aslinya. Dibalik sifat lugu dan sok nurut itu, ternyata dia diam-diam pergi dengan laki-laki lain.
"Maaf, Bapak suaminya mbak ini?" Laki-laki yang tadi membukakan pintu untuk Nashwa, tiba-tiba sudah berada di depan ku. "Ini obat Mbaknya!" Dia menyodorkan plastik putih berlogo rumah sakit. "Obat?" Aku mengerutkan kening. "Tadi mbaknya pingsan di jalan, terus kita bawa ke rumah sakit." Pingsan? Aku menoleh ke arah Nashwa yang keluar mobil. Dia dipapah seorang wanita. Rupanya dia tidak hanya berdua dengan laki-laki ini. "Pelan-pelan aja, Mbak masih lemes." Wanita itu dengan lembut memapah Nashwa, meskipun Nashwa berusaha menolak. Bingung mau melakukan apa, aku mengambil alih Nashwa untuk kugandeng dan kubawa masuk, tapi dia menolak. "Nggak, apa-apa, Mas, saya bisa kok, oh iya silahkan masuk dulu, Pak, Bu. Saya ambil uang dulu." Dia berbalik ke arah dua orang yang sepertinya suami istri, lalu hendak masuk ke dalam rumah, tapi segera kutahan langkahnya. "Uang apa?" tanyaku menginterogasi. "Buat bayar taksinya si bapak, dan ganti biaya rumah sakit, tadi saya lupa bawa dompet." Dia menjawab dengan lemas. Astaga! Apa-apaan ini. Memalukan sekali. Dan tadi apa katanya? Saya? Oh dari aku jadi saya, sejak kapan? Menggelikan sekali. "Berapa?" Aku merogoh dompet dalam saku. Lalu menanyakan nominal pada dua orang yang mengatar Nashwa. Ternyata dalam plastik obat itu ada struk--nya. Aku lalu segera mengganti dan sekalian biaya taksinya. "Terimakasih banyak, Pak, Bu," ucap Nashwa pada dua orang itu. Sebelum mereka pamitan, wanita yang memperkenalkan namanya Khotijah itu menyalami Nashwa kemudian menangkupkan telapak tangannya kepadaku. Aku lalu mengajak Nashwa masuk rumah, dia masih lemas, tapi tidak mau kubantu, akhirnya dengan perasaan dongkol, kugendong saja dia sampai kamar. "Kenapa sampai pingsan?" tanyaku sedikit kesal. Dia hanya menggeleng lemah lalu merebahkan tubuh. Sepertinya dia sangat lelah. "Terus kenapa nggak nelepon aku? Malah ngerepotin orang yang nggak dikenal." Aku semakin geram. "Kan saya nggak bawa HP." Dengan nada lirih, dia menjawab pertanyaanku. Bibirnya sedikit bergetar saat berbicara. "Lagian, kita kan sebentar lagi cerai, jadi saya harus membiasakan diri tanpa Mas Husain," lanjutnya setelah diam sejenak. Entah kenapa, ucapannya membuat jantungku berdenyut. Aku memang mau berpisah dengannya, tapi kenapa mendengar dia yang mengatakan itu, hatiku rasanya seperti ada yang menyentil. "Nggak usah bahas itu, mending obatnya diminum!" Aku mengalihkan pembicaraan, membuka plastik berisi obat pil lalu membaca aturan minumnya. Semuanya 3X1 hari sesudah makan. "Kamu udah makan, kan?" tanyaku sambil menyiapkan obat dan air minum. Dia hanya menggeleng. "Astaga, memangnya kamu dari tadi ngapain aja sampe nggak sempet makan!" Aku menggerutu sambil melangkah menuju meja makan.Rupanya di sana tidak ada apa-apa, jadi seharian dia ngapain saja. Ah, ya aku baru ingat, dia tadi meminta ijin keluar, tapi tidak tahu tujuannya kemana-mana. Jangan-jangan sejak siang tadi dia tidak makan, makanya dia sampai pingsan. Aku segera memesan makanan lewat aplikasi. Sambil menunggu makanan datang, aku membuatkan teh hangat untuk Nashwa. Setelah selesai, kuberikan padanya. "Mas nggak usah repot--" "Udah diminum dulu!" Aku membantunya duduk lalu menyodorkan teh yang masih mengepulkan asap. Karena tidak sabar melihat dia lemas dan tidak segera minum, kuambil alih gelas lalu menyuapinya minum. Suara bel berbunyi saat baru tiga sendok teh yang kusuapkan. Sepertinya itu kurir yang mengantar makanan. Syukurlah, makanan datang tepat waktu. "Makan, terus minum obat ya, Nash!" perintahku tanpa mau dibantah. Aku tahu dia akan menolak dengan alibi masih kenyang atau apalah. Makanya langsung saja kusiapkan dan kusuapi dia. Dia terlihat pasrah. Dengan wajah memelas karena mungkin rasanya tidak enak di lidahnya, dia tetap menerima suapan demi suapan dariku. Hampir separuh makanan masuk ke mulutnya, dia memegang perut seperti menahan mual. Wanita berwajah pucat itu melangkah gontai ke kamar mandi. Sepertinya makanan yang baru masuk langsung keluar lagi. Rasanya jadi seperti sia-sia aku menyuapinya. "Asam lambung kamu kambuh?" tanyaku setelah dia keluar kamar mandi dengan wajah semakin pucat. "Mungkin." Dia menjawab lirih. Aku berniat memaksanya lagi makan, tapi sayangnya ponselku berdering. Nama Anggita terpampang di layar. Segera kuusap layar ke atas dan menjawab panggilan darinya. "Sen, tolong aku." Suara Anggita terdengar panik. "Kenapa?" Akupun ikutan panik. "Lilly panas banget sampe kejang, tolong anterin aku ke rumah sakit, Sen," ucapnya diiringi isakan. "Oke aku kesana sekarang." Setelah mematikan sambungan telepon, aku mengambil kunci mobil dan memakai jaket. Siap menjemput Anggita tapi, tunggu. Aku menoleh ke arah Nashwa. Dia masih sangat lemah, apa tidak apa-apa jika aku tinggal. Aku sempat bimbang, tapi mengingat wajah Lilly dan isakan Anggita, mereka lebih butuh pertolongan. Nashwa sudah aman di rumah. "Kamu, habisin dulu makanya, ya, obatnya jangan lupa diminum, aku pergi dulu!" Nashwa hanya mengangguk saja tanpa menjawab. Aku berjanji akan segera pulang setelah Lilly dapat perawatan. . . Badanku sangat lelah, sampai aku tertidur di rumah sakit. Jam enam pagi aku baru bangun karena mendengar visit dokter anak. Untungnya hari ini libur, jadi aku tidak gelagapan karena kesiangan. "Papa ...." Lilly merintih, memanggil ayahnya. "Kamu telepon Bastian, gih." Aku memberi saran pada Anggita. "Aku nggak, mau, Sen, aku takut." Anggita menggelen. "Takut kenapa? Dia ayahnya, nggak mungkin akan nyakiti anaknya." "Aku takut Lilly diambil Bastian." Anggita menunduk. Air matanya kembali menggenang. Sementara di atas brankar, Lilly terbaring dengan infus menancap di tangan. Panasnya sudah turun, tapi masih butuh perawatan. Aku mendekati gadis malang itu, mengelus kepalanya lembut. "Om pulang dulu, ya." Kukecup keningnya sebelum pergi, lalu berpamitan pada Anggita. Wanita itu terlihat keberatan. Dia mencoba menahanku, tapi badanku sudah sangat lengket ingin segera bebersih. Akupun berjanji akan menengoknya lagi. Sampai rumah, aku segera melesat ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tapi aku terkejut, saat mendapati istriku terbaring di sana. "Nashwa!""Nashwa!"Aku benar-benar terkejut melihatnya tergeletak di tengah-tengah pintu kamar mandi. Tubuhnya dingin sekali, sepertinya dia sudah lama tak sadarkan diri. Segera aku mengecek nadinya, takut terjadi apa-apa. Alhamdulillah masih ada detakan di pergelangan tangannya. Ku baringkan tubuhnya di atas kasur. Rupanya makanan yang tadi malam kupesan masih dengan kondisi sama seperti saat aku pergi. Obat yang kusiapkan juga tidak diminum. "Astaga, Nashwa."Sedikit geram, tapi juga khawatir. Aku segera membawanya ke rumah sakit. Jangan sampai terjadi apa-apa dengannya. Bisa-bisa aku dikeluarkan dari garis keturunan Papa kalau sampai menantu kesayangan Mama ini kenapa-kenapa. "Jaga mantu Mama baik-baik, jangan sampai ada lecet sedikitpun!" Mama memberi peringatan setelah aku dan dia sah. Kata Mama dia itu lebih berharga dari berlian. Menantu idaman yang bisa jadi investasi di akhirat nanti. Aku nggak ngerti sama Mama."Mama ini udah tua, Sen. Udah saatnya mempersiapkan--""Mamaa ...." A
Aku segera keluar rumah. Bersiap memberi pelajaran pada dua orang itu. Terutama Nashwa. Begini rupanya sifat aslinya. Dibalik sifat lugu dan sok nurut itu, ternyata dia diam-diam pergi dengan laki-laki lain. "Maaf, Bapak suaminya mbak ini?" Laki-laki yang tadi membukakan pintu untuk Nashwa, tiba-tiba sudah berada di depan ku. "Ini obat Mbaknya!" Dia menyodorkan plastik putih berlogo rumah sakit."Obat?" Aku mengerutkan kening."Tadi mbaknya pingsan di jalan, terus kita bawa ke rumah sakit." Pingsan?Aku menoleh ke arah Nashwa yang keluar mobil. Dia dipapah seorang wanita. Rupanya dia tidak hanya berdua dengan laki-laki ini. "Pelan-pelan aja, Mbak masih lemes." Wanita itu dengan lembut memapah Nashwa, meskipun Nashwa berusaha menolak.Bingung mau melakukan apa, aku mengambil alih Nashwa untuk kugandeng dan kubawa masuk, tapi dia menolak."Nggak, apa-apa, Mas, saya bisa kok, oh iya silahkan masuk dulu, Pak, Bu. Saya ambil uang dulu." Dia berbalik ke arah dua orang yang sepertinya su
"Aku mau cerai, Sen." Anggita berkata sambil menyusut air matanya. Ada lebam kebiruan di sekitar pipinya. Wanita yang dulu sangat kucintai itu terlihat rapuh. Demi tuhan, rasanya sakit sekali melihatnya seperti ini. Lebih menyakitkan daripada ditinggalkannya saat itu. "Apa sudah nggak ada jalan lain?" Aku menggenggam tangannya, menyalurkan kekuatan. Dia menggeleng lemah. Entah aku harus sedih atau bahagia dengan rencana perceraiannya.Terus terang, aku masih sangat menginginkannya. Dan mungkin ini bisa jadi jalan untuk kami bisa bersatu lagi, tapi bagaimana dengan Nashwa. Mungkin dia akan setuju saja kami berpisah, karena memang tidak ada cinta di antara kami. Tapi bagaimana dengan orang tua kami, terutama mama yang sangat menyayangi Nashwa."Aku tertekan, Sen." Ucapan Anggita membuyarkan lamunan. Dia terlihat begitu terluka. Membuatku turut merasakan perih. Aku benci melihat Anggita begini. Aku ingin Anggita--ku ceria seperti dulu. Menjadi wanita elegan yang selalu dikagumi banyak l
Aku menatap nanar alat tes kehamilan yang kupegang. Alat panjang bergaris dua itu basah karena air mata.“Apa salahmu, Nak?” Aku mengelus perutku yang masih rata. Malang sekali masibumu, Nak, akan terlahir sebagai anak Broken Home. Bahkan baru saja janinnya bersemayam di rahim, kamu sudah menjadi anak broken home.“Salahku apa ya, Allah ....” Aku merintih. Kutelungkupkan wajah ke ke atas lutut.Baru saja aku merasa bahagia saat tidak mendapat tamu bulanan. Aku cepat membeli tespek dan melakukan tes urin yang hasilnya akan kujadikan kejutan untuk Mas Husain. Sayangnya, sebelum memberikan kejutan, dia sudah terlebih dulu memberi kejutan yang menyakitkan.“Nashwa, kamu di dalam?” Suara panggilan Mas Husain diiringi ketukan pintu.Aku terperanjat. Segera bangun dan mencuci muka. Wajahku sangat berantakan. Aku tidak mau terlihat rapuh di depannya. Dan tespek ini, kulemparkan ke tong sampah. Mas Husain tidak perlu tahu kehamilan ini. Toh, nanti kita akan cerai. Jadi, biarkan anak ini menjad
Flashback“Apa alasan kamu mau nerima perjodohan ini?” tanya Mas Husain saat kami diberi waktu untuk ngobrol waktu itu.Sebelum hari pernikahan ditentukan, keluarganya dan keluargaku bertemu dalam acara makan malam. Sebagai sarana untuk saling mengenal antara aku dan Mas Husain.Raut wajahnya tidak terlihat keberatan, tapi juga tidak antusias. Datar saja. Bahkan terlihat pasrah saja.“Aku cuma nurut sama orang tua, sebagai bentuk baktiku,” jawabku jujur.“Cuma itu? emang kamu nggak punya pacar, atau laki-laki yang sedang dicintai?” Dia terlihat heran. Aku hanya menggeleng.“Kamu nggak punya pilihan sendiri yang sesuai kriteriamu?”“Aku percaya, pilihan orang tua pasti yang terbaik untuk anaknya.”Memang aku tidak punya kriteria suami idaman. Tidak juga mencari-cari mana laki-laki yang baik untuk menjadi imam. Aku lebih suka memperbaiki diri agar kelak dapat jodoh tebaik. Bukankah laki-laki baik untuk wanita baik pula?“Masih ada, ya wanita seperti kamu di jaman sekarang.” Dia menggele
"Kamu ingat Anggita? Perempuan yang pernah kuceritakanpadamu waktu itu.” Laki-laki bergelar suamiku itu berkata dengan halus dan hati-hati. Kopi yang masih mengepulkan asap diseruputnya sedikit demi sedikit.“Ya?” Aku menjawab singkat. Aku pasti sangat ingat.Anggita—mantan kekasih Mas Husain yang membuatnya hampir gila karenameninggalkannya karena menikah dengan laki-laki lain pilihan orang tuanya. Dan sebab itu juga, Mas Husain menerima perjodohan denganku begitu saja.“Dia mengalami KDRT,” ucap Mas Husain prihatin.“Kasihan sekali.” Aku bergumam lirih. Turut merasakankeprihatinan pada sesama mahkluk bergelar istri itu.“Maka dari itu, aku sedang berupaya membantu prosesperceraiannya dan setelah itu, aku akan menikahinya.” Ucapan Mas Husain lolostanpa beban. Bersamaan dengan itu, sendok yang sedang kupegang turut lolos,benturan lapisan mellanium dan lantai keramik, menimbulkan suara gaduh.Aku segera berjongkok untuk mengambil kembali sendok itu.Sebelum berdiri, kuhapus dahulu air ma







