Share

Bab 4

last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-14 04:55:09

"Aku mau cerai, Sen." Anggita berkata sambil menyusut air matanya. Ada lebam kebiruan di sekitar pipinya. Wanita yang dulu sangat kucintai itu terlihat rapuh. Demi tuhan, rasanya sakit sekali melihatnya seperti ini. Lebih menyakitkan daripada ditinggalkannya saat itu.

"Apa sudah nggak ada jalan lain?" Aku menggenggam tangannya, menyalurkan kekuatan. Dia menggeleng lemah. Entah aku harus sedih atau bahagia dengan rencana perceraiannya.

Terus terang, aku masih sangat menginginkannya. Dan mungkin ini bisa jadi jalan untuk kami bisa bersatu lagi, tapi bagaimana dengan Nashwa. Mungkin dia akan setuju saja kami berpisah, karena memang tidak ada cinta di antara kami. Tapi bagaimana dengan orang tua kami, terutama mama yang sangat menyayangi Nashwa.

"Aku tertekan, Sen." Ucapan Anggita membuyarkan lamunan. Dia terlihat begitu terluka. Membuatku turut merasakan perih. Aku benci melihat Anggita begini. Aku ingin Anggita--ku ceria seperti dulu. Menjadi wanita elegan yang selalu dikagumi banyak laki-laki, termasuk, aku.

Dia adalah wanita anggun, dengan penampilan yang selalu perfect setiap kali keluar rumah. Aku selalu bangga saat memperkenalkan dia di depan teman dan rekan-rekan kerjaku. Karena kecantikannya, dia dipilih untuk menjadi pemeran di sinetron terbaru kami, sayangnya perjodohan dengan Bastian--suaminya menggagalkan semuanya.

Dia menikah, sebelum casting dimulai. Dan aku gagal, menjadikannya seorang artis, juga menjadikannya istri. Sayangnya, setelah menikah, bukan kebahagiaan yang dia dapat, tapi malah kesengsaraan. Lihat saja, wanita yang dulu selalu berpenampilan sempurna, kini terlihat kusut. Bisa dibayangkan betapa suaminya zalim padanya. Kalau tahu akan seperti itu, dulu kubawa kabur saja dia, supaya bisa menikah denganku dan aku juga tidak akan terjebak dalam pernikahan hambar dengan Nashwa.

"Makasih banyak ya, Sen, kamu meluangkan waktu buat ketemu, aku bersyukur banget masih punya kamu." Dia membalas genggaman tanganku. Menatapku penuh rasa terimakasih. Membuat desiran halus merambat ke dada. Rupanya tatapan manja itu masih begitu kupuja.

"Oh iya, istri kamu nggak apa-apa, kamu ketemu aku?" Pertanyaan itu seketika mengingatkanku padanya.

Perempuan sederhana yang selama satu tahun ini menjadi istriku. Aku sendiri kadang tidak percaya, seorang Husain Abraham, video editor di dunia pertelevisian yang namanya sering tercantum di beberapa film dan sinetron, menikah dengan wanita biasa sepertinya.

Seharusnya orang sepertiku pasangannya artis, atau presenter, atau minimal wanita seperti Anggita yang cantik jelita.

Bahkan sampai saat ini aku belum pernah memperkenalkan Nashwa dengan teman-teman kerjaku. Malu saja membawa dia ke acara kantor. Lain dengan Anggita yang pantas digandeng kemana-mana. Membuat orang-orang terpana dengan kecantikannya.

"Dia nggak akan marah, Nggit. Dia sudah tahu tentang kamu."

"Maksudnya?" Dia mengerutkan kening. Akhirnya kuceritakan semua padanya. Tentang alasanku menikah dengan Nashwa, juga tentang bagaimana kami menjalani rumah tangga selama satu tahun ini. Dan yang pasti, tentang perasaanku padanya yang masih menggelora.

"Maafin aku, Sen." Dia kembali menitikkan air mata, antara merasa bersalah karena meninggalkanku, juga terharu, karena perasaanku padanya masih sama.

.

Hari ini, dengan hati-hati kuutarakan keinganku pada Nashwa. Bagaimanapun dia sudah jadi istri yang baik. Bahkan terlalu baik karena mau mendengar setiap keluh kesahku. Tidak pernah menuntut apapun dariku.

Dia sangat penurut, bahkan terlalu penurut menurutku sehingga terasa membosankan. Tidak pernah ada cek Cok antara aku dan dia. Jika ada sedikit saja perselisihan, dia yang mengalah dan terlebih dulu meminta maaf. Membosankan bukan?

"Aku akan menikahi Anggita." Ucapanku membuatnya mendongak, seperti kaget, tapi setelahnya bisa menguasai keadaan.

"Jadi kita akan cerai?" tanyanya lirih, sampai hampir tak terdengar.

"Nashwa, kamu wanita baik, sangat baik, kamu wanita shalihah, sudah sepantasnya bersanding dengan laki-laki shalih, bukan laki-laki sepertiku. Aku yakin setelah ini, kamu akan mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dariku."

Nashwa mengangguk, bersamaan dengan setetes air mata yang jatuh. Apa dia terluka? Tapi selama ini, saat aku menceritakan tentang Anggita, dia biasa saja. Malah mendoakan yang baik-baik untukku.

Setelah mengucapkan kalimat itu, entah kenapa perasaanku tidak jelas. Sebelumnya aku sudah sangat yakin dengan keputusanku. Tapi mendadak aku jadi gamang. Apa ini keputusan yang benar. Apalagi melihatnya mengeluarkan air mata, ada sedikit rasa bersalah di hatiku.

"Bagaimana dengan Mama?" Dia bertanya lagi. Aku juga sebenarnya masih bingung bagaimana akan menceritakan pada Mama, tapi ....

"Nanti biar aku pikirkan."

Nashwa mengangguk patuh, tanpa berkata apa-apa lagi. Sudah kuduga, dia pasti akan menurut. Seharusnya, aku merasa lega, tapi entah kenapa, ada perasaan yang mengganjal di dada.

.

Sepulang kerja, aku pergi bersama Anggita dan Lilly--putrinya. Usianya baru menginjak tiga tahun, masih sangat imut. Dia cepat akrab, aku jadi betah berlama-lama bersamanya.

Kami menghabiskan waktu di mall terdekat. Bermain di play ground setelah itu ke food court untuk makan bersama. Sekilas kami terlihat seperti keluarga kecil bahagia.

"Om aa'." Gadis kecil itu mengarahkan sendok eskrim ke arahku. Memberi kode agar aku membuka mulut. Aku segera mendekatkan wajah, tapi saking semangatnya eskrim itu menempel ke hidung. Kami tertawa bersama.

"Papa mana?" Terhitung lebih dari tiga kali gadis itu menanyakan ayahnya.

"Kan Papa masih kerja." Anggita berusaha memberi penjelasan. Gadis itu terlihat murung, tapi aku berusaha menghiburnya agar ceria lagi. Betapa malangnya, di usia yang masih balita, orang tuanya harus berpisah. Aku berjanji, jika jadi ayah sambungnya, akan selalu menyayangi seperti anak kandung. Perceraian memang akan menimbulkan anak sebagai korban. Beruntung aku dan Nashwa belum mempunyai anak, jadi tidak ada drama perebutan hak asuh.

Jam sembilan malam, aku kembali rumah setelah mengantar Anggita dan Lilly ke apartemen. Sampai rumah, aku disambut keadaan yang gelap dan sunyi. Kemana Nashwa? Jangan-jangan ....

Aku segera masuk. Setelah menyalakan lampu, aku mengecek lemari. Pakaiannya masih penuh di sana. Koper juga masih rapi di tempatnya. Jadi dia tidak kabur dari rumah. Tapi kemana dia? Kurogoh ponsel dan segera menghubungi nomornya. Sialnya, ponselnya ditinggal di rumah.

Aku berjalan mondar-mandir. Bagaimana kalau dia pulang ke rumahnya. Padahal aku belum siap mengatakan pada orang tua kami tentang rencana perceraian kami. Aku masih memikirkan alasan yang masuk akal agar mereka mau menerima keputusan ini.

Suara deru mesin terdengar masuk ke pekarangan rumah. Aku baru ingat tadi belum sempat menutup pagar. Sebelum keluar untuk melihat siapa yang datang, aku mengintip lewat jendela. Dari ruang tamu, kulihat Nashwa keluar dari mobil, dibantu seorang laki-laki yang membukakan pintu.

Bagus. Rupanya dia pergi bersama laki-laki.

Next?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Calon Janda   Bab 6

    "Nashwa!"Aku benar-benar terkejut melihatnya tergeletak di tengah-tengah pintu kamar mandi. Tubuhnya dingin sekali, sepertinya dia sudah lama tak sadarkan diri. Segera aku mengecek nadinya, takut terjadi apa-apa. Alhamdulillah masih ada detakan di pergelangan tangannya. Ku baringkan tubuhnya di atas kasur. Rupanya makanan yang tadi malam kupesan masih dengan kondisi sama seperti saat aku pergi. Obat yang kusiapkan juga tidak diminum. "Astaga, Nashwa."Sedikit geram, tapi juga khawatir. Aku segera membawanya ke rumah sakit. Jangan sampai terjadi apa-apa dengannya. Bisa-bisa aku dikeluarkan dari garis keturunan Papa kalau sampai menantu kesayangan Mama ini kenapa-kenapa. "Jaga mantu Mama baik-baik, jangan sampai ada lecet sedikitpun!" Mama memberi peringatan setelah aku dan dia sah. Kata Mama dia itu lebih berharga dari berlian. Menantu idaman yang bisa jadi investasi di akhirat nanti. Aku nggak ngerti sama Mama."Mama ini udah tua, Sen. Udah saatnya mempersiapkan--""Mamaa ...." A

  • Calon Janda   Bab 5

    Aku segera keluar rumah. Bersiap memberi pelajaran pada dua orang itu. Terutama Nashwa. Begini rupanya sifat aslinya. Dibalik sifat lugu dan sok nurut itu, ternyata dia diam-diam pergi dengan laki-laki lain. "Maaf, Bapak suaminya mbak ini?" Laki-laki yang tadi membukakan pintu untuk Nashwa, tiba-tiba sudah berada di depan ku. "Ini obat Mbaknya!" Dia menyodorkan plastik putih berlogo rumah sakit."Obat?" Aku mengerutkan kening."Tadi mbaknya pingsan di jalan, terus kita bawa ke rumah sakit." Pingsan?Aku menoleh ke arah Nashwa yang keluar mobil. Dia dipapah seorang wanita. Rupanya dia tidak hanya berdua dengan laki-laki ini. "Pelan-pelan aja, Mbak masih lemes." Wanita itu dengan lembut memapah Nashwa, meskipun Nashwa berusaha menolak.Bingung mau melakukan apa, aku mengambil alih Nashwa untuk kugandeng dan kubawa masuk, tapi dia menolak."Nggak, apa-apa, Mas, saya bisa kok, oh iya silahkan masuk dulu, Pak, Bu. Saya ambil uang dulu." Dia berbalik ke arah dua orang yang sepertinya su

  • Calon Janda   Bab 4

    "Aku mau cerai, Sen." Anggita berkata sambil menyusut air matanya. Ada lebam kebiruan di sekitar pipinya. Wanita yang dulu sangat kucintai itu terlihat rapuh. Demi tuhan, rasanya sakit sekali melihatnya seperti ini. Lebih menyakitkan daripada ditinggalkannya saat itu. "Apa sudah nggak ada jalan lain?" Aku menggenggam tangannya, menyalurkan kekuatan. Dia menggeleng lemah. Entah aku harus sedih atau bahagia dengan rencana perceraiannya.Terus terang, aku masih sangat menginginkannya. Dan mungkin ini bisa jadi jalan untuk kami bisa bersatu lagi, tapi bagaimana dengan Nashwa. Mungkin dia akan setuju saja kami berpisah, karena memang tidak ada cinta di antara kami. Tapi bagaimana dengan orang tua kami, terutama mama yang sangat menyayangi Nashwa."Aku tertekan, Sen." Ucapan Anggita membuyarkan lamunan. Dia terlihat begitu terluka. Membuatku turut merasakan perih. Aku benci melihat Anggita begini. Aku ingin Anggita--ku ceria seperti dulu. Menjadi wanita elegan yang selalu dikagumi banyak l

  • Calon Janda   Bab3

    Aku menatap nanar alat tes kehamilan yang kupegang. Alat panjang bergaris dua itu basah karena air mata.“Apa salahmu, Nak?” Aku mengelus perutku yang masih rata. Malang sekali masibumu, Nak, akan terlahir sebagai anak Broken Home. Bahkan baru saja janinnya bersemayam di rahim, kamu sudah menjadi anak broken home.“Salahku apa ya, Allah ....” Aku merintih. Kutelungkupkan wajah ke ke atas lutut.Baru saja aku merasa bahagia saat tidak mendapat tamu bulanan. Aku cepat membeli tespek dan melakukan tes urin yang hasilnya akan kujadikan kejutan untuk Mas Husain. Sayangnya, sebelum memberikan kejutan, dia sudah terlebih dulu memberi kejutan yang menyakitkan.“Nashwa, kamu di dalam?” Suara panggilan Mas Husain diiringi ketukan pintu.Aku terperanjat. Segera bangun dan mencuci muka. Wajahku sangat berantakan. Aku tidak mau terlihat rapuh di depannya. Dan tespek ini, kulemparkan ke tong sampah. Mas Husain tidak perlu tahu kehamilan ini. Toh, nanti kita akan cerai. Jadi, biarkan anak ini menjad

  • Calon Janda   bab 2

    Flashback“Apa alasan kamu mau nerima perjodohan ini?” tanya Mas Husain saat kami diberi waktu untuk ngobrol waktu itu.Sebelum hari pernikahan ditentukan, keluarganya dan keluargaku bertemu dalam acara makan malam. Sebagai sarana untuk saling mengenal antara aku dan Mas Husain.Raut wajahnya tidak terlihat keberatan, tapi juga tidak antusias. Datar saja. Bahkan terlihat pasrah saja.“Aku cuma nurut sama orang tua, sebagai bentuk baktiku,” jawabku jujur.“Cuma itu? emang kamu nggak punya pacar, atau laki-laki yang sedang dicintai?” Dia terlihat heran. Aku hanya menggeleng.“Kamu nggak punya pilihan sendiri yang sesuai kriteriamu?”“Aku percaya, pilihan orang tua pasti yang terbaik untuk anaknya.”Memang aku tidak punya kriteria suami idaman. Tidak juga mencari-cari mana laki-laki yang baik untuk menjadi imam. Aku lebih suka memperbaiki diri agar kelak dapat jodoh tebaik. Bukankah laki-laki baik untuk wanita baik pula?“Masih ada, ya wanita seperti kamu di jaman sekarang.” Dia menggele

  • Calon Janda   Bab 1

    "Kamu ingat Anggita? Perempuan yang pernah kuceritakanpadamu waktu itu.” Laki-laki bergelar suamiku itu berkata dengan halus dan hati-hati. Kopi yang masih mengepulkan asap diseruputnya sedikit demi sedikit.“Ya?” Aku menjawab singkat. Aku pasti sangat ingat.Anggita—mantan kekasih Mas Husain yang membuatnya hampir gila karenameninggalkannya karena menikah dengan laki-laki lain pilihan orang tuanya. Dan sebab itu juga, Mas Husain menerima perjodohan denganku begitu saja.“Dia mengalami KDRT,” ucap Mas Husain prihatin.“Kasihan sekali.” Aku bergumam lirih. Turut merasakankeprihatinan pada sesama mahkluk bergelar istri itu.“Maka dari itu, aku sedang berupaya membantu prosesperceraiannya dan setelah itu, aku akan menikahinya.” Ucapan Mas Husain lolostanpa beban. Bersamaan dengan itu, sendok yang sedang kupegang turut lolos,benturan lapisan mellanium dan lantai keramik, menimbulkan suara gaduh.Aku segera berjongkok untuk mengambil kembali sendok itu.Sebelum berdiri, kuhapus dahulu air ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status