Kelasku memang tidak pernah lepas dari kata ricuh. Kelas 12 M Ipa 3.
Ada yang sibuk berdandan, ada yang sibuk menggosip, ada yang sibuk main taruh-taruhan, ada yang sibuk baru mengerjakan PR. Padahal PR sudah diberikan dua hari lalu.
Semuanya berbicara dengan suara yang kencang agar tidak terkubur oleh suara lainnya. Ketibang di sekolah, aku merasa bahwa diriku sedang berada di pasar. Semuanya ricuh.
"Pak Budi ,pak Budi."
Kericuhan mulai tenang dan terhenti saat salah satu guru datang. Dia adalah pak Budi. Beliau merupakan kepala sekolah kami.
Seperti namanya, pak Budi adalah orang yang baik dan berbudi. Tapia beliau cukup disegani.
Aku melirik Abay, dia dari tadi tidak berhenti memainkan handphonenya. Bahkan saat pak Budi sudah datang.
Aku bersyukur karena aku bisa sekelas dan bahkan duduk sebangku dengan Abay. Padahal Abay merupakan murid anak orang kaya.
Disekolahku, kelas kami dibagi menjadi tiga bagian yang didasarkan oleh kekayaan yang dimiliki oleh orang tua.
Yang paling kaya harus masuk ke kelas M Ipa 1, orang kaya kedua harus masuk ke kelas M Ipa 2. Dan sisanya, orang buangan atau yang paling miskin harus berteduh dikelas M Ipa 3. Kelas yang paling kumuh dan terpojok.
Peraturan tersebut sebenarnya dibuat oleh murid-murid tanpa persetujuan satu guru manapun. Anehnya, semua murid menyetujui hal tersebut. Kata mereka ada baiknya. Padahal aku sendiri tidak mengerti dimana letak baiknya.
Abay seharusnya memasuki kelas M Ipa 1 karena kedua orang tuanya kaya. Tapi karena diriku dia jadi masuk kelas M Ipa 3. Tahu sendiri kan bagaimana keadaan keluargaku? Itu membuatku harus memasuki kelas kumuh ini. Dan Abay rela melakukan ini hanya untuk ku.
Padahal banyak yang mengatakan hal-hal buruk pada Abay yang rela belajar di kelas kumuh ini. Tapi Abay tak memperdulikan hal itu. Terimakasih Abay.
"Woy Abay, diliatin pak Budi tuh!"
Aku membuyarkan konsentrasi Abay yang sedang sibuk memainkan handphonenya karena kulihat pak Budi melirik ke arah Abay. Aku tahu pak Budi tidak akan marah, tapi aku takut nilai kedisiplinan Abay akan berkurang.
Abay langsung memasukan handphonenya kedalam bawah meja. Dan memperhatikan pak Budi.
"Selamat pagi semuanya."
"Pagi pak." Aku menjawab dengan nada malas.
"Jadi, bapak kesini atas maksud dan tujuan teetentu.
Semua murid terdiam, fokus memperhatikan. Kelas kami memang jarang dikunjungi oleh kepala sekolah seperti ini.
"Bapak hanya ingin mengumumkan bahwa kalian kedatangan murid baru."
Aku langsung membelalakan mata dan menegak kan posisiku. Murid baru siapa? Yang mana?
Aku tiba-tiba teringat pada Tasya yang katanya akan satu sekolahan denganku dan Abay.
"Tapi kan Tasya kaya. Mana mungkin masuk ke kelasku." Ujarku sambil mengerutkan kening.
"Gue aja yang kaya bisa tuh masuk ke kelas ini." Abay langsung menyahutiku. Ia berkata seolah-olah meledek ku. Aku hanya memutar bola mataku malas.
"Shailene, masuk nak."
Nah kan benar. Aku masih ingat betul bahwa nama depan Tasya adalah Shailine. Apa itu memang Tasya? Apa Tasya masuk ke kelasku karena ada Abay?
Tap tap
Langkah sepatu terdengar berbunyi diiringi dengan bunyi kerincing yang disebabkan oleh gantungan tas.
Benar, itu adalah Tasya. Shailine Tasya. Gadis pindahan dari Singapore yang kemarin siang sudah bertemu denganku.
Aku menatapnya tajam. Berbeda dengan anak-anak lainnya yang justru terlihat kagum dan bahagia akan kedatangan Tasya.
Tasya masuk kedalam kelas dengan senyuman yang begitu merekah. Membuatnya semakin cantik.
"Ini adalah Shailine. Beliau ini merupakan murid baru yang ingsyallah akan mulai belajar disekolah kita hari ini." Ujar pak Budi.
"Shailine, silahkan perkenalkan dirimu."
"Baik pak, terimakasih. Hello everyone. Nama saya Sh-" belum juga Tasya menyelesaikan perkataannya, Ina sudah memotong.
"Kayak nya dia gadis kaya. Keliatan dari penampilannya. Selain itu dia juga cantik, wajahnya juga mulus. Bukannya harusnya dia berada ditingkatan satu? Di kelas VVIP."
Ina komplain mengenai Tasya yang akan menetap di kelasku. Dari tata cara bicara Ina ia terlihat seperti julid. Ina seperti tidak menyukai kedatangan Tasya.
Ya, memang itulah kami. Kebiasaan kami para gadis jelek dan miskin hanyalah julid dan iri pada mereka yang cantik dan kaya. Tapi itu tidak apa-apa kan?
"Yee. Ina syirik aja lo! Makannya kalau mau cantik ya skin carean."
Itu Daffa yang berbicara. Daffa adalah rival Ina sekaligus orang yang Ina suka. Sama seperti hal nya aku dan Abay. Aku menyukainya tapi tidak berani mengatakannya dan malah kami seperti Tom and Jerry yang setiap hari bertengkar. Ina pun begitu dengan Daffa.
Aku tahu betul pasti Ina saat ini sedang cemburu. Dia pasti takut Daffa nya direbut oleh Tasya yang memang cantik jelita.
Ina dan aku terbilang cukup dekat atau akrab. Hal tersebut disebabkan karena kondisi keluarga kami yang tidak jauh berbeda.
Ina juga ditinggalkan ayahnya saat ia masih kelas 2 SMP. Tapi lain halnya denganku. Ayah Ina menceraikan ibunya karena ingin menikahi perempuan lain.
Kalau aku jadi Ina pasti aku sudah marah besar dan akan menonjok ayah ku saat itu juga. Lebih baik ditinggal mati daripada ditinggal selingkuh, hehe.
"Bagi saya, tidak ada tingkatan seperti itu. Kita semua ini sama. Sama-sama belajar dan sama-sama mengejar cita-cita. Dan posisi kita disini semua itu sama, yakni sebagai pelajar. Jadi tidak ada tingkatan pelajar kaya ataupun miskin. Dan kita semua sama-sama manusia."
Tasya mencoba membela diri dan mengklaim bahwa perkataan Ina salah. Apa yang dikatakan Tasya barusan sangatlah menakjubkan dan membuat ia terkesan semakin baik hingga Daffa berkata.
"Wah, selain cantik juga ternyata baik yah." Ujar Daffa
Aku melihat ekspresi yang ditunjukan Ina. Ia tampak seperti cemburu, mata nya mulai memerah, alisnya mengkerut dan bibirnya terlihat agak manyun. Aku tahu betul bahwa ia sedang cemburu karena akupun begitu kalau sedang cemburu.
Kehadiran Tasya ini merupakan situasi genting bagi kami-kami. Dia mampu menarik perhatian banyak pria dan mungkin termasuk Abay.
Aku melirik Abay diam-diam. Ternyata Abay juga sedang memperhatikan Tasya dengan senyuman yang merekah. Aku mulai berasumsi bahwa Abay juga menyukai Tasya.
"Hati-hati. Yang cantik biasanya banyak bisa nya (bisa ular)". Ujar Ina sambil mendelikan mata.
Ina memang tidak bisa menjaga kata-katanya, ia selalu berkata seadanya tanpa disaring terlebih dahulu. Apalagi kalau soal perempuan yang ingin merebut hati Daffa.
"Si Ina nyinyir juga ternyata." Ujar Abay padaku.
Padahal sedari tadi ia diam saja. Dan yang paling parah adalah Abay ternyata membela Tasya.
Aku tidak mengerti pada Tasya kenapa ia berkata begitu kepada Ina. Lagipula Ina memang benar. Itu kan memang sudah prinsip sekolah kita. Jika ingin sekolah disini bukankah sudah seharusnya mengikuti peraturannya? Tapi Tasya malah menyangkal itu dan malah dibela oleh Abay dan Daffa.
"Ina? Tutup mulut kamu!" Tak hanya Daffa dan Abay. Pak Budi juga selaku kepala sekolah ikut membentak Ina dan membela Tasya.
Sementara Tasya ia hanya menunduk seolah-olah dirinya sedang ditindak adili.
"Sudahlah Tasya. Kamu pilih tempat duduk mu sendiri." Akhirnya pak Budi menyudahinya dengan menyuruh Tasya untuk duduk.
Dan disinilah kita mulai lagi. Tempat duduk mana yang akan Tasya pilih? Jangan sampai ia dekat dengan Abay. Tapi untunglah, aku sudah duduk dengan Abay jadi Tasya tidak akan bisa duduk disini. Dan ada satu kursi kosong didekat Ina sana.
"Minggir lo Deb." Ujar Abay sambil mendorongku.
"Apaan sih?!" Tanyaku dengan ketus. Aku terkejut karena Abay tiba-tiba mendorongku keluar.
"Itu Tasya mau duduk." Ujarnya lagi.
"Lha? Terus? Emangnya kenapa kalau dia mau duduk? Kan dia bisa duduk dikursi deket Ina sana." Kataku sambil menunjuk kursi yang kukatakan tadi.
"Udah lah. Tasya kan murid baru dan dia juga asal Singapore. Dia belum tahu banyak soal Indonesia dan sekolahnya ini, jadi gue harus bantu dia. Jadi dia harus duduk disini." Ujar Abay.
"Nggak ah! Biarin aja dia duduk disana. Kan nanti juga dikasih buku panduan murid baru. Lagian kan yang bisa bantu bukan lo doang, mereka juga bisa!" Ujarku sambil menunjuk anak-anak yang duduk didekat Ina.
"Udah ah bawel! Buruan sana. Kan Tasya anak temen mamah."
"Kan gue juga temen lo dari kecil."
"Nah makannya itu. Karena lo udah temanan sama gue dari kecil, makannya gue bosen. Sana, sana!"
Abay kembali mendorongku untuk keluar dari kursiku. Kali ini aku tidak melawan dan malah menatap Abay dalam-dalam.
Bisa tega begitu ya ia padaku? Tak hanya mengusirku, Abay juga mengatakan bosan berteman denganku.
Persahabatan bertahun-tahun luntur karena adanya sahabat baru yang bahkan belum dikenal dengan akrab.
Padahal Abay juga sebelumnya tidak perduli apapun yang menyangkut dengan mamah nya. Tapi kali ini, ia ingin duduk dengan Tasya karena Tasya merupakan anak teman tante Juwita. Sebuah hal yang cukup tak masuk akal.
Padahal katakan saja kalau dia memang ingin duduk dengan wanita cantik, agar aku langsung sadar dan langsung enyah tanpa melakukan perlawanan karena aku sadar aku tidak cantik.
"Duduk disini Tasya!" Teriak Abay pada Tasya.
Padahal saat itu aku juga belum beranjak dari sana. Kuambil tasku dan buku-buku yang tadi sudah kukeluarkan. Aku berjalan ke arah kursi kosong dengan muka lesu. Aku mendadak lemas. Kenapa nasib orang jelek begini, selalu tersingkirkan dan tidak bisa diprioritaskan.
"Terimakasih." Aku mendengar Tasya mengucapkan terimakasih pada Abay dengan lembut. Saat ini Tasya pasti sudah duduk berdua dengan Abay.
Setelah aku sampai di kursiku, aku melihat ke arah Abay yang sedang asyik berbicara dengan Tasya. Tatapannya pada Tasya sungguh jauh berbeda dengan tatapannya padaku. Ia tampak seperti tertarik dan senang dengan keberadaan Tasya.
Sementara saat kami duduk berdua, dia tidak pernah sesenang itu. Apalah arti gadis jelek dimata pria kaya. Kehadiran Tasya ternyata membawa mala petaka untuk ku.
Aku menghela nafas berat. Sesak sekali dadaku rasanya.
Ina menatapku dan ia berkata.
"Sabar. Nasib orang jelek emang gini." Ujarnya.
Ina benar. Untuk apa orang-orang memprioristaskan dan menghargai orang jelek sepertiku. Aku dan Ina memang senasib. Kita bisa merasakan perasaan satu sama lain.
Aku kembali pulang ke rumah dengan diantar Max. Ia benar-benar baik. Baik di depan Ibu nya maupun di belakanh Ibu nya, ia selalu murah senyum dan seseoali mengajak ku berbicara, tidak ada kecanggungan diantara kami berdua."Gak usah repot-reoit nganterin, gue bisa pulang naik ojek." Aku menghentikan langkahku sesaat untuk sekedar menolak tawaran Max, aku hanya takut merepotkan dirinya."Gakpapa. Gue yang bawa lo kesini maka gue juga yang harus bawa lo pulang.""Gakpapa kok. Mungkin lo mau nemenin tante Puji aja?" Tanyaku padanya."Gakpapa, Mamah lagi istirahat. Gue mau nganterin lo aja."Sebuah keputusan yang tidak bagus untuk dibantah. Karena itu akhirnya aku menyetujui usulnya untuk mengantarkanku pulang karena ia sendiri yang mau dan merasa tidak direpotkan.Kami tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, hanya sesekali saja Max mengajak ku berbicara."Leyka?" Tanyanya dengan setengah berteriak."Ya?' Jawabku."K
"Bay?""Hmm?""Cuek gitu.""Masalah?""Ya nggak sih."Dari tadi aku terus memperhatikan Abay makan tapi ia sama sekali tidak memperhatikanku hingga aku jera sendiri."Gue cuman mau ngomong nanti siang jangan ke rumah."Setelah berkata begitu, barulah ia menghadapku dan menghentikan aktivitasnya memakan gehu."Kenapa?" Tanyanya dengan alis yang mulai meruncing."Gue mau pergi sama Max.""Kemana?""Rumah sakit.""Oh."Tidak hanya kata saja yang dingin, ia juga ternyata enyah dari hadapanku beserta mangkok bakso yang menjadi menu makan siangnya.Sejauh ini aku masih belum nengerti pada tingkah aneh mereka berdua. Maksudku Predi dan Abay.Disaat aku sedang fokus memikirkan apa yang menimpa Abay dan Predi, orang yang menurut Ina penyebab kebakaran ini terjadi datang. Ya, dia adalah Max.Tanpa izin lagi, dia duduk disampingku dengan membawa dua mangkok mie.Kini sem
"Wihh pake parfum banyak banget gitu." Ibu datang dan langsung mengkritik ku yang memang menggunakan parfum hampir setengah botol."Iya hehe." Aku tidak ada kata lain selain cengengsan."Yang pria kemarin itu siapa Ley?"Aku menghentikan aktivitas menata diriku dan mencoba mengingat siapa pria yang Ibu maksud."Ohh yang itu, Leyka ingat. Namanya Max bu, temen baru Leyka."Aku dan Max sudah berjanji tidak akan memberitahukan pasal hubungan palsu kami pada Ibu. Bukan apa-apa, aku takut Ibu tidak setuju kalau kami berbohong mengenai hubungan kami, sementara kalau aku mengatakan bahwa aku pacar nyata Max aku takut Ibu malah menyuruh Abay untuk menyelidiki Max lebih jauh karena kami belum saling mengenal dalam jangka waktu lama.Maka dari itu ada baiknya jika aku hanya diam saja dan mengatakan bahwa Max hanya sekedar berteman denganku. Tidak lebih dan mungkin tidak akan pernah lebih."Ohh. Anak nya sopan yah, Ibu suka."Prasangka ku
Pagi-pagi sekali Ibu sudah membangunkanku lebih pagi dari biasanya. Kulirik jam dinding dimana waktu masih menunjukan jam 7 pagi hari. Ini asalah hari sabtu atau tepatnya hari libur. Setelah selewai shalat shubuh tadi, aku kembali merebahkan diri diatas kasur dengan tubuh dirungkupi selimut tebal yang membantuku memberikan kehangatan."Ada apa sih, Bu?" Tanyaku dengan mata yang masih tertutup dan nyawa setengah sadar."Bangun dulu tuh ada temen nya."Bukannya bangun, aku semakin merapatkan tubuhku dan mempererat pelukanku pada guling kala mendengar nama 'teman' disebut. Teman mana pula yang datang sepagi ini di hari libur."Paling Abay kan? Suruh pulang aja bu, semalam Leyka gadang masih mau tidur.""Oh yaudah."Ibu pergi setelah gagal membangunkanku, selimut yang tadi sempat tersibak kembali kutarik untuk melingdungi diriku dari dinginnya udara pagi.Baru juga aku kembali terlelap dalam mimpi, suara Ibu sudah terdengar ny
"Lo kenapa sih Deb?"Abay menghentikan langkahku ketika kami hendak pergi ke kantin."Apanya yang kenapa?" Tanyaku dengan kening yang mulai mengerut."Kayak orang lagi banyak masalah tapi berusaha disembunyiin gitu."Aku menatap Abay tidak percaya, mataku bulat sempurna. Aku tidak menyangka bahwa Abay ternyata mengetahui wajah asli dibalik topeng yang sedang ku pakai ini.Aku salah, aku salah ketika aku berpikir bahwa berpura-pura bahagia itu ternyata mudah. Ternyata salah, salah besar dan itu sangat susah.Tidak perduli seberapa kencang aku tertawa, selebar apa aku tersenyum, sesibuk apa pekerjaan yang kulakukan masalah tetaplah masalah yang senantiasa muncul kapan saja dan dimana saja lalu sulit untuk disembunyikan begitu saja."Whoa ya enggak dong! Gak bisa bedain orang yang lagi bahagia sama orang yang lagi sedih?" Meski sudah ketahuan, aku masih berusaha untuk terus beralibi."Bisa. Bisa banget bedain orang yang senyumnya
"Hallo guys."Impianku mendapatkan pria dan cinta yang kuinginkan tidak terwujud setidaknya aku tetap bahagia.Aku menghampiri Ina, Daffa, Abay yang saat ini sedang duduk di satu kursi di kantin sana."Heboh banget lu, pake guys guy segalanya." Tukas Ina, ia memang sewot kalau aku sewot."Woiya dong. Kalau orang lagi happy kan heboh."ujarku.Tanpa dipersilahkan, aku langsung duduk dengan begitu anggun dan mengibaskan rambut ku sehingga terbang ke belakang."Tuh rambut lu terbang, awas gak balik lagi." Ujar Daffa, sama nyinyirnya dengan Ina."Iya dong. Rambut gue terbang gara-gara hati gue terbang." Ujar ku sambil cengengesan dan tersenyum sangat lebar.Bagaimana? Langkah awal ku berpura-pura hebat kan? Orang mana yang saat ini tahu bahwa aku sedang sedih? Tidak ada kan?"Bu Susum, gehu 10, nasi goreng satu piring pake acar 3 kantong terus risol 10 sambal nya jangan lupa sesendok ya terus bakso 3!"Aku memesa
Pertanyaan Abay barusan seperti mesin waktu yang dapat menghentikan waktu untuk sesaat.Kami diam mematung. Ada yang melihat Abay, melihatku dan juga melihat Predi.Aku sendiri tidak habis pikir. Maksudku, jika memang benar ciri-ciri nya mirip denganku, haruskah Abay menanyakannya sekarang? Kita memiliki waktu yang banyak untuk bersama saat di luar sekolah nanti. Abay bisa mengatakan wakru twrsebut.Kecuali ada sesuatu yang ia maksud dari pertanyaannya itu."Kenapa diam? Pertanyaannya cukup sulit ya?" Tanya Abay lagi dengan bertambah lantang."Ekhem. Maksud Anda Debi yang mana? Siapa? Ada begitu banyak nama Debi di muka bumi ini." Tanya Predi."Nama lengkapnya adalah Leyka Mutiara Anatasya, nama panggilannya Debi. Gadis 17 tahun yang kini sedang duduk di samping saya."Mata Abay tertuju padaku, begitupun mataku. Aku masih menatapnya tidak percaya."Oh itu haha. Bagaimana Anda bisa mengira itu dia?" Tanya Predi sambil sala
"Debi?!" Tanpa sadar, ternyata Abay sudah memanggilku sedari tadi. Aku terlalu sibuk melamun hingga tidak sadar akan seruannya."Eh iya?" Ujarku gelagapan."Kenapa sih? Kok ngelamun mulu kayak nya?"Aku tersenyum, lalu dengan lantang aku nengatakan."Bay, kita udahan aja." Ujarku seperti sedang memutuskan seorang pacar."Udahan apa nya? Kan belum nyampe. Lo kebelet, terus mau berhenti di jalan?" Aku tahu bahwa Abay akan salah tangkap."Eh enggak deh."Tidak. Meski aku akan menyudahi oengorbanan dan perjuangan ku sebagai seseorang yang akan membahagiakan Abay, aku tidak boleh memberitahu nya.Sebagaimana keadaan yang memberitahu ku, aku juga akan membiarkan keadaan yang memberitahu perubahan ku.Perlahan tapi pasti, Abay pasti akan menyadari perubahan yang terjadi pada diriku. Perubahan diriku yang mulai menjauhinya.Meski aku akan berhenti mencintainya, bukan berarti aku bisa menyakitinya. Dengan menga
Aku menata diriku, mengenakan baju seragam sekolah dan memasukan buku-buku yang akan digunakan untuk hari ini. Sebelum beranjak pergi, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa hari ini aku harus bahagia. Tidak boleh ada kesedihan apapun, tidak boleh menangis. Tidak boleh terluka karena Abay. Aku bisa mendapatkan kebahagiaan yang tidak hanya bisa diberikan oleh pria. Lewat teman, aku juga bisa bahagia. *** "Pagi Deb." Pagi-pagi sekali Abay sudah datang menjemputku. Aku tidak menyangka bahwa dirinya yang akan datang, kupikir akan Predi yang datang. Tapi tidak masalah. Siapa yang datang lebih awal, maka ia yang pergi denganku. Yang terpenting aku bisa sampai disekolah. "Bareng gue yuk." Ajaknya padaku. Aku mengangguk, tidak ingin ada penolakan pagi ini. Abay rupanya belum selesai dengan sepeda motornya, ia masih menggunakan itu. Mungkin dirinya nyaman. "Deb?" "Hmm?" "Maaf." Gumamny