Share

Tasya Nama-Nya

Selain segala kelebihan yang Tasya punya, Tasya juga pandai dalam bergaul dengan sesama.

Hanya dalam hitungan beberapa menit setelah pelajaran usai, Tasya sudah menarik banyak perhatian anak-anak. 

Ia sudah seperti magnet yang menarik banyak besi untuk mendekatinya. Kini, semua murid berkumpul mengerumuni Tasya dan juga Abay. Ingat bukan bahwa Abay duduk satu bangku dengan Tasya.

Dan yang paling parah, bukan hanya anak-anak dari kelas kami, tapi juga dari kelas lain. Ada banyak juga adik kelas yang datang ke kelasku ini. Seperti sedang ada acara bazar murah meriah saja.

Hanya aku dan Ina yang tidak menghampiri Tasya. Aku sudah cukup mengenal Tasya. Dan aku juga tidak mau berdesak-desakan dengan yang lainnya. Mereka mengantri seperti hendak menerima sembako dari presiden saja.

"Memangnya seberapa cantik sih si Tasya itu?" Tukas Ina padaku.

Aku sadar betul kalau Ina sangat cemburu dan kurang suka pada Tasya. Bahkan saat ini Daffa ada diantara segerombolan orang-orang yang sedang mengerumuni Tasya. Pasti Ina tambah sebal.

"Cantik sekali sih." Ujarku.

Ina beralih menatap ku tajam, ia pasti semakin kesal. Tapi bukan maksudku memanas-manasi Ina atau berpihak pada Tasya. Tapi itu memang kenyataannya. Kuakui bagaimanapun juga paras Tasya memang cantik. Sudah pernah ku katakan bahwa ia seperti tetesan peri.

Aku juga lumayan tidak suka padanya. Karena ia terlalu mesra memperlakukan Abay. Tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa Abay menyukai perlakuan lembut Tasya. Perlakuan lembut dari gadis cantik nan baik.

Itulah dia. Tasya namanya, cantik parasnya.

"Ke kantin yuk." Ajak Ina.

Akupun mengangguk. Perutku rasanya sudah lapar sekali. Terlebih tadi aku tidak sarapan banyak karena terburu-buru harus ke rumah Abay, aku takut Tasya juga ada dirumah Abay. Tapi syukur nya Tasya tidak ada disana tadi pagi.

Aku berangkat kesekolah bersama Abay setiap hari. Selain karena tidak mempunyai kendaraan, karena Abay juga sering membawa mobil dan tante Juwita serta suaminya selalu menyuruhku untuk berangkat bersama Abay.

Tante Juwita dan keluarganya memang kaya dan juga baik padaku. Tapi itu tidak berarti mereka akan memenuhi segala keperluanku dan juga membelikan barang untukku, termasuk kendaraan.

Maka dari itu aku selalu menumpang kepada Abay. Dan sejauh ini, Abay tidak pernah mempermasalahkan itu.

"Gue ngajak si Abay dulu ya."

Sudah pernah kukatakan bukan. "Dimana ada Abay disitu ada Debi."

Hanya ke toilet saja aku tidak bersama Abay. Aku ke kantin selalu bersama Abay meskipun Abay dikerumuni para wanita, tapi kami selalu bersama.

Aku menerobos kerumunan orang-orang yang sedang mengintrogasi Tasya hingga akhirnya aku menemukan Abay disana.

"Bay? Ke kantin yuk!" Ujarku sambil setengah berteriak karena jika tidak berteriak suaraku akan terkubur oleh banyaknya suara anak-anak yang tengah sibuk meneriaki Tasya dan memuji-muji kecantikannya.

"Gak ah lo aja!"

Aku terperanjat saat Abay berkata begitu. Aku mencoba berpikir positif, mungkin Abay salah dengar.

"Ke kantin yuk Abay!"

"Nggak Deb, lo aja!"

Aku masih tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Aku memastikannya untuk yang terakhir kalinya dengan suara yang lebih kencang.

"Esa Juniansyah ke kantin yuk!!"

Meski aku sudah berteriak, meski sudah kupanggil nama lengkapnya, meski sudah ku ajak beberapa kali, Abay masih mengatakan hal yang sama.

"Nggak Leyka Mutiara!"

Kini aku sadar bahwa Abay memang tidak salah dengar. Ia berkata seperti itu dengan kesadaran yang penuh. Aku mulai menunduk dan kembali keluar daei kerumunan tersebut. Dan sudah ada Ina didepanku.

"Abay nolak yah?" Tanya nya. Ina pasti sudah bisa membaca dan mengetahui hal tersebut dari raut mukaku.

Aku mengangguk dengan lesu.

"Yaudah gakpapa. Kita aja." Ujar Ina.

Ina menggandeng tanganku.

Sama seperti halnya aku tahu perasaan Ina, Ina juga tahu perasaanku. Perasaan suka ku pada Abay. Tak hanya perasaan ku, Ina juga mengetahui keadaanku. Keadaan miskin ku yang membuatku tidak mungkin bisa bersatu dengan Abay.

"Pengen deh cantik biar dihargai." Ujar Ina tiba-tiba.

Aku dan Ina sangatlah akrab. Kami akrab karena nasib yang sama. Kami bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.

"Sama Na."

"Tuh liat anak-anak. Sampai gak ke kantin karena Tasya." Ujar Ina lagi. Dia memang suka ketus kalau berbicara soal Tasya.

"Iya. Emangnya ngeliatin muka Tasya bisa bikin perut kenyang." Karena Ina selalu mengatakan kejelekan soal Tasya akhirnya akupun terbawa-bawa.

Entah ada berapa anak yang saat ini berada dikelas kami sampai-sampai kantin bisa kosong melompong begini.

"Kayak nya kamu bener Ley. Anak-anak kenyang hanya karena ngeliatin muka Tasya."ujar Ina.

Aku mengangguk pelan dan menarik nafas berat. Betapa indahnya ciptaan Allah itu sampai-sampai membuat banyak orang terbuai.

"Pada libur ya? Kok gak ada yang ke kantin gini." Tanya bi Susum. Pemilik kantin sekolahan kami.

Wajar jika bi Susum berkata begitu. Kantin yang biasanya ramai oleh anak-anak kini mendadak sepi. Hanya beberapa orang saja yang jajan disana. Itupun para perempuan yang masih waras yang tidak tertarik dengan kecantikan Tasya.

"Hebat yah pelet nya." Ujar Ina sambil menarik tanganku lantas memakan bakso kesukaan aku dan Abay.

Saat dikantin, saat tengah asyik melahap bakso, aku tiba-tiba teringat Abay. Abay tidak biasanya sarapan dirumah dan ia akan makan siang dengan sangat lahap disekolah. Tapi hari ini, Abay belum makan apa-apa sama sekali. 

"Abay lapar tidak ya?" Ujarku disela-sela suapan bakso.

"Abay udah besar Ley. Dia bakalan ke kantin sendiri kalau udah lapar."

Aku tahu apa yang dikatakan Ina itu benar. Hanya saja, saat ini Abay akan susah keluar dari kelas karena banyaknya siswa siswi yang mengerumuninya didalam.

Tanpa berpikir panjang lagi, tanpa meminta persetujuan Ina, aku berinisiatif sendiri untuk membawakan Abay makanan. Aku khawatir sekali kalau dia kelaparan.

"Bi Sum. Gehu nya 3 , risol nya 3, cabai nya 5."

Abay suka sekali gehu hangat, risol krispy dan pedas sekali. Jadi aku memesankannya begitu. Ini adalah makanan sekaligus cemilan kesukaan Abay. Aku akan senang jika Abay memakannya dengan sangat lahap.

***

Padahal bel pelajaran kedua sudah berbunyi. Tapi masih banyak murid kelas lain dikelasku. Akhirnya, Ina memulai sebuah aksi untuk membubarkan murid-murid itu.

"Bubar semuanya. Kalau tidak saya kunci kalian dari luar!" Ujar Ina. Ia mencoba membubarkan murid-murid tersebut dengan mengancamnya. Tapi rupanya upaya tersebut gagal.

"Gakpapa asalkan dikuncinya bareng Tasya." Ujar salah satu siswa gendut yang aku tidak tahu dari kelas mana dan kelas berapa.

"Dih! Gendut-gendut jelalatan!" Tukas Ina lagi. Ia tampak tidak ingin kalah.

"Gakpapa. Gendut kan sehat. Lah situ? Kurus kering, kayak orang penyakitan."

Bukannya bubar, murid-murid justru menertawakan Ina yang sudah dihina karena kurus. Akupun begitu, aku juga menertawainya. Tapi tertawa ku bukan karena Ina kurus. Melainkan karena nyali Ina yang tinggi untuk membubarkan masa tapi malah gagal.

Aku kemudian beralih menatap Tasya. Wanita seperti apa dia ini? Kenapa dia terlihat begitu menikmati para siswa yang menggoda dan menatapnya?

Sebagian siswi harus nya kabur atau melapor pada guru jika mereka digoda. Tapi Tasya tidak. Tidak melihat siapa yang menggoda, Tasya membiarkan hal tersebut terjadi seolah-olah memberi peluang kepada si penggoda untuk terus menggodanya.

"Eh bukannya belajar, malah ngumpul disini!" 

Akhirnya pak Rahman datang. Beliau adalah guru Ipa sekaligus wali kelas kelas ku. Datangnya beliau berhasil membubarkan kerumunan anak-anak dan membuat mereka kembali ke habitat masing-masing.

"Kamu lagi Ina! Bukannya duduk dikursi malah berdiri didepan papan tulis gitu. Mau jadi spidol kamu?!"

Lagi dan lagi gelak tawa anak-anak kembali terdengar. Mereka menertawakan Ina yang berdiri didepan. Ina memang sengaja berdiri didepan kelas agar suaranya dapat menerobos terdengar oleh anak-anak yang tengah bergerombol tadi.

"I-iya pak, saya duduk." Ujar Ina dengan gugup.

Aku kembali ke tempat duduk ku yang baru dan melewati tempat duduk Abay. Aku melihat Abay tengah asyik mengobrol dengan Tasya tanpa memperdulikanku.

Aku tidak tahu apakah Abay sengaja tidak memperdulikanku atau ia tidak melihatku. Yang jelas, hatiku panas.

Kugenggam gehu yang bersemedi di dalam saku rok ku. Aku akan tetap memberikannya pada saat istirahat kedua nanti meski reaksi Abay terhadap kehadiranku menyakitkan.

Aku tahu kamu lapar Abay. Dan wajah cantik Tasya tidak dapat memenuhi gizi kebutuhan perutmu itu.

"Bay?" Aku kembali menghampiri Abay saat istirahat kedua sudah datang.

Ada peluang besar untuk ku agar bisa berbicara dengan Abay karena Tasya sedang tidak ada. Tasya katanya sedang ke kamar mandi. Maka dari itu Abay tidak mengikutinya.

"Paan?" Katanya dingin. 

"Nih." Aku menyodorkan gehu yang mulai lepek karena kelamaan berada didalam kantong plastik.

"Wihh gehu." 

Alhamdulilah. Reaksi Abay saat ini masih sama dengan reaksinya sebelumnya. Yaitu senang dengan gehu. Ya, walaupun gehunya sudah lepek.

"Iya nih sekalian sama risol sama cabenya." Aku menyerahkan berbagai makanan yang tadi sengaja kubeli di warung bi Susum.

Kalau kataku Abay ini cukup aneh. Orang kaya tapi doyan nya gehu, gorengan dan semacamnya. Tapi kalau kata Abay kaya itu tidak menentukan selera makanan seseorang. Perpaduan antara gehu dan terigu itu enak sekali rasanya. Itulah kata Abay.

Aku semakin senang saat satu suapan gehu telah sampai diperut Abay. 

"Makan yang banyak, biar makin sehat." Ujarku sambil tersenyum.

Hati panasku sudah mulai reda saat Abay asyik melahap makanan bawaanku. Aku benar-benar merasa dihargai.

"Oh? Udah ada makanan yah. Hehe."

Kebahagiaan ku kembali pudar saat Tasya datang.

Tasya datang tidak dengan tangan kosong. Ia membawa sebuah nasi bungkus. Aku tidak tahu jelas apa isinya itu. Setahuku itu hanyalah nasi.

"Emangnya kenapa Tas?" Tanya Abay pada Tasya.

"Tadinya aku mau ngasih kamu ini. Kamu kan tadi gak sempat ke kantin karena sibuk nemenin aku disini."

Setelah mendengar perkataan Tasya begitu. Abay langsung menyimpan gehunya dan beralih pada nasi bungkus yang disodorkan Tasya.

Padahal hatiku baru adem sejenak. Kini sudah panas lagi. Aku tahu betul Abay akan memilih gehu dibanding nasi bungkus. Tapi kali ini tidak. Masalahnya bukan pada nasi bungkusnya melainkan pada siapa yang memberi nasi bungkus tersebut.

Sebelum Abay membuka nasi bungkus itu, aku merebutnya dan berkata

"Kan lo lagi diet nasi." Ujarku.

"Alah! Gakpapa sehari doang makan nasi." 

Dan Tasya lalu merasa bersalah hingga ia berkata

"Oh maaf aku gak tau. Aku kira kamu makan nasi, soalnya kamu keliatan bugar banget."

Oek

Aku tidak tahu menahu apa maksud dari perkataan yang dikatakan Tasya barusan. Yang jelas, aku jijik mendengarnya. Menurutku itu berlebihan, terlalu lebay.

"Gakpapa kok Tas. Si Debi nya aja yang berlebihan, dia nyiksa"

Aku tertegun. Bukan aku yang meminta Abay untuk ketagihan gehu! Aku juga sudah berulang kali memintanya makan nasi, tapi ia sendiri yang menolak dan mengatakan sedang diet. Maka dari itu aku menurutinya memberinya gehu daripada dia tidak makan sama sekali!

Dasar pembohong, batinku. Tasya hanya tersenyum saja mendengar hal tersebut. Tamatlah sudah nasib gehuku. Sudah tidak ada lagi yang akan memakannya selain lalat tong sampah.

"Sini Leyka. Jangan disitu lama-lama, nanti ketularan jadi genit." Ina tiba-tiba datang kepadaku dan berkata begitu dengan nada yang seolah-olah meledek. Ia juga menwrik tanganku agar aku bisa enyah dari sana.

Aku tahu apa dan untuk siapa kata itu diperuntukan. Untuk Tasya pastinya. Ina juga menatap Tasya dengan begitu tajam.

Sampai detik ini, aku belum terlalu benci pada Tasya, hanya kurang suka saja. Maka dari itu, aku belum sejulid Ina. Dan aku main pergi saja meninggalkan Tasya bersama dengan Abay begitu saja setelah selesai dengan urusan gehu ku.

"Udah lah Ley. Yang kayak gitu jangan ditemenin lagi." Ujarnya padaku.

Aku mengangkat alisku tanda tak mengerti. Memangnya siapa yang aku temani?

"Gue gak nemenin Tasya kok."

"Bukan si Tasya, tapi si Esa. Cowok kan masih banyak diluaran sana."

Kini aku tahu siapa yang dimaksud Ina. Tapi maaf, aku tidak bisa berhenti untuk tidak menyukai ataupun tidak berteman dengan Esa. Esa sudah menjadi bagian dari jiwaku.

Dan aku juga sudah tahu bahwa Esa tidak akan bisa bersamaku di kehidupan nantinya, dan aku sudah siap untuk itu. 

Tapi jika aku disuruh menjauhi Esa dimasa kini. Maaf beribu maaf, kukatakan aku tidak bisa. Lagipula Tasya bukan apa-apa bagi Esa. Aku masih bisa bersama Abay walaupun ada Tasya.

Aku masih bisa bersama Abay saat pulang dan pergi sekolah serta saat bermain disiang hari. Aku juga masih bisa menemani Abay melakukan konsernya. Aku bisa, aku bisa, aku bisa. Walaupun akan sedikit berbeda.

Dia adalah Esaku, dunia ku. Dia memang bukan lelaki ku, tapi dia adalah penyemangatku, hidupku.

Aku sudah mengenal Abay bertahun-tahun lamanya. Tidak akan kubiarkan Abay terlepas bersama gadis yang baru ia kenal begitu saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status