"Eh, hoy! Pak Can?"
Teriakan Guntur membuat Candra yang hendak berbalik arah untuk kembali kerumah terpaksa harus kembali berputar, lalu tersenyum sekilas, menghampiri mereka.
"Ada apa, Gun? Teriak-teriak panggil saya, mau ngapain?" tanya Candra datar, berdiri dihadapan mereka dengan wajah setenang riak air.
"Ngapain disini, pak? Bukannya kalian ini musuhan ya? Kok bisa bapak ada dirumah ini?" tanya Guntur beruntun. Tanpa disadari Ayana dan Candra saling melempar pandang, mencari beribu alasan untuk jawaban atas pertanyaan dari Guntur tersebut.
"Ekhem... Saya kesini disuruh ayah saya buat temuin pak Herlan, kata siapa saya musuhan sama perempuan disebelah saya ini? Saya gak ada bilang begitu ya selama ini"
Bravo, ucapan Candra membuat Ayana hampir saja tersedak. Alasan yang Candra buat benar-benar membuat Ayana tak menyangka, ternyata laki-laki dingin ini mampu juga jadi seorang pembohong.
"Oh gitu, emang sih bapak ga
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki- laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S. an-Nisaa‟ [4]: 34).***Byur!Sepagi ini, Ayana telah dikagetkan dengan siraman air dingin ke wajahnya. Bahkan tak tanggung-tanggung air segayung itu disiramkan dengan satu kali siraman membuat Ayana terkaget dan sontak terbangun kedinginan."Can! Apaan sih lo, ganggu orang tidur aja!" kesal Ayana ketika melihat Candra dengan tampang tak berdosanya berdiri memegang gayung disebelah Ayana."Cepat bangun, solat subuh" ujarnya dingin tanpa memperdulikan kekesalan Ayana."Lo tuh ya," geram Ayana. Candra hanya mengedikkan bahu tak peduli dengan melenggang pergi meninggalkan Ayana.Dengan sangat terpaksa Ayana beranjak pergi ke kamar mandi, membersihkan badannya serta segera solat subuh
Sedari pagi tadi Atik nampak terlihat begitu bahagia. Bibirnya tak henti-henti menyunggingkan senyuman, membuat semua sahabat menatap aneh kearahnya. Ada apa dengan Atik? Sudah enam jam ia tak berhenti menyunggingkan senyuman, bahkan ia kurang fokus dengan percakapan mereka siang ini."Tik, lo kenapa? Gak lagi kesambetkan ya?" tanya Leo dengan punggung tangannya ia letakan di dahinya Atik."Enggak kok," jawab Atik dengan gelengan."Syukurlah," seru mereka dengan napas lega, sementara Atik kini tengah melamun sambil senyum-senyum kearah depan."Lah baru aja di tanya, nih bocah kenapa?" tanya Ayana heran dengan mengikuti arah pandang Atik."Oh gue tau penyebabnya ini," ujar Ayana dengan memukul pundak Guntur disebelahnya."Apaan?" tanya Guntur yang diangguki kedua temannya."Coba noh lihat," ujar Ayana dengan menggerakan dagunya kedepan. So
Petang ini langit sudah tidak lagi bersahabat, hujan lebat kembali mengguyur kota Jogyakarta. Seharusnya Candra, petang ini sudah pulang namun hujan yang mengguyur bumi begitu derasnya membuatnya terjebak di kampus yang sama dengan sang istri rahasianya. Siapalagi kalau bukan Ayana sang preman kampus penakluk semua orang di kampus ini.Kampus pun nampak tak seramai biasanya, sepertinya hampir semua orang sudah pergi yang tersisa hanya sebagian dosen dan para mahasiswa dan mahasiswi tingkat akhir yang sedang mengerjakan tugas akhirnya.“Belum pulang pak?” tanya Sandy, mahasiswa yang baru saja keluar dari perpustakaan dan kebetulan berpapasan dengan Candra.“Belum San, masih hujan ini” jawab Candra.“Mau bareng saya aja pak?” tawar Sandy dengan sopan. Candra tersenyum, ia menolak dengan h
Pagi-pagi sekali, Ayana telah bersiap dengan kaos hitam kebesarannya serta celana jeans hitam setengah robek-robek dilututnya. Tak lupa rambut sebahunya ia kuncir, ponsel yang menjadi penemannya selama ini ia masukan kedalam saku celananya.Mengingat Candra yang hampir semalaman menggigil kesakitan membuat Ayana dengan terpaksa memasak bubur terlebih dahulu sebelum pergi. Mau bagaimana pun Candra yang ia benci itu telah membuat hidupnya sedikit berubah, tidak lagi menjadikannya sebagai seorang pemalas seperti dulu.Usai membuatkan bubur, Ayana bergegas memasuki kamar Candra dan meletakkan semangkuk bubur yang ia buat di mejikom itu ia letakan di atas nakas. Suara dengkuran halus terdengar menjadikan Ayana berjalan dengan mengendap-endap. Tubuhnya kembali berputar sembilan puluh derajat ketika melihat ponsel Candra tergeletak di atas nakas tersebut dengan bebasnya.Tiba-tiba saja ide cemerlangnya muncul, membuat Ayana dengan tak peduli membuka ponsel Candra
Jadi apa makna dari persahabatan yang sesungguhnya?Ruang dewan rakyat kini di penuhi para beberapa perwakilan anggota BEM dan para ketuanya masing-masing dari kampus yang berbeda. Sementara dari kampus Nusa Bangsa diwakili oleh Bisma sang presbem serta Asep dan Guntur, mereka bertiga kini diberi kesempatan oleh BEM dari perwakilan kampus lain untuk menyampaikan orasi mereka yang bertujuan sama. Yakni menyerukan keadilan.Satu jam berlalu, orasi setiap kampus yang berbeda kini diterima baik oleh ketua DPR di daerahnya. Mereka dengan cepat mengiyakan permintaan demonstran untuk membatalkan revisi undang-undang KUHP dan yang lainnya.Sejumlah awak media pun bahkan kini tengah mengerubungi gedung putih yang telah demonstran rusak."Gimana? Apa perasaan adek saat permintaannya di kabulkan para dewan?" tanya salah satu wartawan pada Asep yang tengah berjalan bersisian dengan Bisma, sementara Guntur berada di belakang mereka."Ya alhamdulillah, kami sang
Samar-samar kedua telinga Ayana kembali mendengar suara dua orang berbicara di sampingnya membuat ia kembali membuka mata setelah tadi para sahabatnya izin pulang dan membiarkan Ayana untuk beristirahat malam ini."Sayang, kok bangun? Kenapa, haus ya?" tanya Ayah ayana yang menyadari jika putrinya telah terbangun dari tidurnya.Ayana menggeleng, ia berusaha bangun dari pembaringan. "Ayah ngapain disini?" tanya Ayana."Ya ayah mau nemenin putri ayahlah, ngapain lagi coba" jawab ayah Ayana dengan senyum manisnya.Ayana terdiam, pandangannya terlihat kosong. "Mending ayah temanin Dinda aja, Aya gak papa kok. Sebentar lagi juga pulang," ucap Ayana dingin.Handoko menghembuskan napas kasar, mencoba mendekati putri bungsunya. "Kamu juga putri ayah, ayah berhak jagain kamu" ucapnya mengelus puncak kepala Ayana dengan penuh kasih sayang."Ayana sudah besar, bisa jaga diri sendiri. Lagi pula ayah yang ajarin Ay untuk mandiri bukan?" perkataan Ayana y
Awan mendung telah menyelimuti kota Jogyakarta sepagi ini, membuat siapa pun enggan untuk beraktivitas seperti biasa apalagi udara dingin kini begitu terasa. Mungkin sebentar lagi awan hitam itu akan menumpahkan airnya. Tunggu saja, tidak akan lama lagi.Ayana mendesah, ia berkali-kali menatap jendela ruang tamu dengan gusar. Bagaimana bisa, dirinya pergi ke kampus dengan keadaan kaki masih terasa nyeri, balutan perban pun bahkan belum di buka pagi ini."Ngapain sih lihatin luar mulu," tegur Candra dengan menaikan satu alisnya sembari berjalan menghampiri Ayana."Bukan urusan lo," juteknya."Ya emang bukan urusan saya, tapi saya risih dengan tingkah kamu" jujur Candra. Ia duduk di samping Ayana sembari memakai sepatu kerjanya."Ya ngapain lo risih juga, ini kehidupan gue. Terserah gue dong, mau ngapain aja"Candra mendesah. Menampakan raut wajah sebalnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Siniin kaki kamu," pinta Can
"Woy Tik, bae-baekan lo? Kemarin kemana? Buat kita khawatir aja," seru Leo dengan menjitak kepala Tika saat mereka baru saja saling bertemu di koridor kampus."Langsung pulang, sory" jawab Tika dengan cengiran tak berdosanya.Marteen menggeleng kesal, tatapan tak suka sengaja ia lontarkan pada Tika. "Lain kali lo harus paham, kita bela-belain nerobos gas air mata gara-gara lo. Harusnya lo tuh samperin kita dulu, pamit dulu kek. Untung kita gak kenapa-napa" kesal Marteen. Seketika cengiran polos Tika berganti dengan wajah muramnya, hatinya seakan terasa tercabik dengan apa yang di katakan Marteen barusan."Iya Tik, harusnya lo tuh kabarin kita. Punya ponselkan? Apa gunanya kalau gak di pake," tambah Guntur merangkul Tika.Kedua mata Tika terpejam, ia menghela napas gusar. "Ya maaf, kan gak kepikiran""Halah, emang otak lo tuh lemot Tik. Gue gak paham sama lo," seru Marteen dengan gelengan serta tawa renyahnya.Tika meringis, ia tersenyum miri