"Kamu tunggu di sini aja, Bang," pinta Gendhis pada Axel yang mengantarnya ke sebuah bar. Tadi malam, datang pesan dari Doni, asisten Mario. Gendhis sudah menebak, saat-saat seperti ini pasti akan tiba. Saat di mana Mario meminta balas atas bantuan yang diberinya pada Gendhis demi menekan pihak keluarga Wildan Suharjo. Maka, saat hampir tengah malam undangan untuk datang ke bar eksklusif itu masuk ke dalam ponselnya, Gendhis tidak bisa mengelak. Lalu, di sinilah kini ia, diantar oleh Axel yang tahu segala seluk-beluk bar dan bagaimana Mario sengaja membantu Gendhis mengekspos tindakan money laundry yang Wildan lakukan. "Bos udah di dalam?" tanya Gendhis saat Doni menjemputnya di pintu masuk. "Udah," sahut Doni singkat. Tanpa sepengetahuan Rai dan keluarga besar Takahashi yang lainnya, Gendhis datang tak berbekal apa-apa. Ia hanya yakin bahwa Mario tak mungkin meminta langsung imbalannya saat itu juga. Menguak sebuah pintu besar di bagian ujung bar yang sepi, Doni mempersilakan Gen
"Terakhir kali aku ke sini adalah pas pemakaman Papa, itu pun aku nggak ngedeket," desis Gendhis menyusut air matanya. "Percaya atau nggak, kematian Papa jadi hal yang cukup membahagiakan buatku waktu itu, aku serasa lepas dari beban hidup meski aku sadar aku udah terlanjur terjerumus dan berkubang di dunia pelacuran," lirihnya mengenang. Langit mendung seperti sore biasanya, membuat suasana di sekitar pemakaman makin syahdu dan pilu oleh air mata Gendhis. Tak ada yang bisa menolong hati seorang anak perempuan tunggal, ia tersiksa lahir dan batinnya sejak muda, hidup sebagai jaminan hutang orang tuanya dan berakhir menderita sebagai pelacur. Kini, di saat semua tabir itu terungkap, rasa sakit Gendhis kembali membayang. "Papa kamu pasti udah senyum lega sekarang, kamu tau kenyataan soal sikap abussive-nya beliau dulu," ucap Rai meremas kedua pundak Gendhis, menguatkannya. "Tapi aku tetep nggak bisa maafin sikap Papa yang ngejual aku ke rumah bordil. Itu jahanam banget Rai," desis Ge
Gendhis menoleh penolongnya dan Rai sudah berdiri sangat angker di sebelahnya. Tangan Rai yang masih menggenggam pergelangan tangan Wildan itu bergetar hebat, ia meremas pergelangan tangan itu sekuat tenaga, menyakiti lawannya. "Brengsek!" umpat Wildan baru sadar dari rasa terkejutnya. "Jadi kalian bawa gengster ke sini," desisnya melirik, meremehkan Rai. "Dia perlu perlindungan dari pengkhianat sampah kayak Om," balas Rai sengit. "Hampir 10 tahun perusahaan ini dipimpin oleh orang korup dan bangsat kayak Wildan Suharjo, saya bawa laporan korupnya beserta semua aset yang dia gelapkan termasuk semua perbuatan jahatnya pada keluarga Robby Januar!" serunya lantang. Terdengar gumaman riuh seisi ruangan. Kini, Wildan yang menjadi pusat perhatian, beberapa pemilik saham lainnya membenarkan ucapan Rai, sifat Wildan memang tak sebaik pamor yang terbangun. "Ini hanya sebagian yang diselundupkan melalui bank luar negeri, lainnya banyak dilakukan money laundry pada tanah dan properti atas n
Gendhis menyesap teh hangatnya beberapa kali. Tatapannya lurus ke arah pohon tabebuya yang tegar berdiri di atas kolam ikan koi nan tenang di kejauhan. Sudah dua hari sejak kematian Taka-Sama, Gendhis bertahan di rumah besar, hanya menjadi teman mengobrol Rai dan tidak melakukan apa-apa. Hari ini, di saat Rai sudah mulai berangkat bekerja lagi, Gendhis ditinggal sendirian di rumah besar, hanya bersama beberapa orang anak buah yang memang ditugaskan untuk berjaga di sana. "Ngalamun?" tegur sebuah suara, Axel sengaja datang karena diminta oleh Gendhis. "Mau ngapain lagi coba kalau di sini, Bang? Nggak ada kerjaan juga," balas Gendhis tertawa. "Gimana? Udah siap ke kantor hari ini? Ketua udah tau?" "Aku belom ngomong sih, tapi beberapa hari sebelumnya aku udah pernah bilang kalau bakalan dateng ke rapat direksi. Nanti biar ku-WA di perjalanan," terang Gendhis. "Langsung aja? Mbak Mala-nya?" "Mala dan tim langsung ke kantor, kita ketemu di sana," kata Axel. "Ah, nggak minum dulu, Ba
Terbangun dalam pelukan Rai yang hangat, Gendhis menggeliat kecil. Masih pagi buta, suasana di luar kamar juga belum terdengar ada aktivitas. Perlahan, Gendhis turun dari ranjang, melebarkan pandangan matanya. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, ia sempatkan menoleh Rai yang masih terlelap. Mereka berciuman mesra semalam, tapi tidak sampai berhubungan badan. Lelah dan duka yang masih mendalam dirasakan Rai membuat ciuman rindu itu benar-benar terasa sebagai pelampiasan perasaan mereka yang sebenarnya. Mereka dua dewasa yang sudah paham konsekuensi dari setiap tindakan yang diambil, dan berciuman adalah satu hal wajar. "Sama-sama butuh, wajar lo begitu Ndhis," desis Gendhis bermonolog sambil bercermin. "Dia lagi butuh dukungan banget sekarang," tandasnya menghibur diri sendiri. Saat Gendhis keluar dari kamar mandi, Rai sudah bangun. Dokter tampan ini sedang melepas kemeja hitam yang dikenakannya. Ia bertelanjang dada, menampilkan tubuh seksi berhias tatonya, bersiap untuk membersihk
"Kuambilin makan ya Rai?" tawar Gendhis sabar, tengah malam, saat ia melongok ke pintu kamar utama, Rai masih duduk tercenung di sisi ranjangnya, tak melakukan apa-apa. "Hem?" Rai menoleh, ia lantas menggeleng. "Nanti aja, masih belum laper," tolaknya. "Kamu nggak capek? Nggak istirahat? Orang-orang udah pada istirahat, siap-siap buat acara pemakaman besok," ungkap Gendhis. "Kalau nggak makan, tidur aja ya," bujuknya. "Kamu duluan aja. Atau kamu mau tidur di sini? Aku keluar," ujar Rai buru-buru berdiri. "Hei," sigap, Gendhis menahan lengan Rai. "Kutemenin ngalamun deh di sini," katanya. Rai tak menolak kali ini. Berdampingan, keduanya duduk diam di ranjang, tak ada yang dikerjakan. Gendhis juga tidak mengintervensi lamunan Rai, ia sesekali memainkan ponselnya, menguap sesaat, tapi bertahan untuk tidak berbaring tidur. Lama-lama, tak kuasa menahan kantuk, Gendhis berbaring di ranjang, tapi tangannya masih sibuk memainkan ponsel. "Kamu kan yang capek," tebak Rai berdiri sigap, ia
Tiba di rumah besar, Rai langsung disambut oleh Ardi. Ia diberi baju ganti, begitu pula dengan Gendhis. Bersama-sama, keduanya masuk ke kamar utama di mana dulunya kamar itu juga sempat dihuni oleh Rai beberapa bulan. "Yang kuat ya," kata Gendhis sengaja meremas kedua sisi lengan Rai, memberinya dukungan. "Sini, kamu nggak fokus sampe pake dasi aja compang-camping gini," katanya dengan telaten membantu memperbaiki ikatan dasi yang Rai kenakan. "Aku harus mimpin upacara penghormatan, dan ini upacara penghormatan terakhir buat Kakek," desis Rai lirih. "Apa aku bisa?""Bisa!" sambar Gendhis, "kamu bisa," ucapnya yakin. Tak ada waktu untuk bersantai dan mengobrol lebih lama, Ardi sudah mengetuk pintu kamar, meminta Rai segera bersiap menerima tamu yang datang untuk memberi penghormatan terakhir. Saat itulah Gendhis baru menyadari betapa luasnya jaringan keluarga Takahashi. Semua orang yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir kompak mengenakan jas hitam, mereka tampak sangat e
Gendhis meronta, berusaha melepaskan diri tapi Rai lebih kuat darinya. Ia dorong dada Rai sekuat tenaga, semampu yang ia bisa hingga pagutan itu terlepas secara paksa. "Please, Rai! Jangan kayak gini!" pinta Gendhis dengan mata berkaca-kaca. Rai tampak mengatur napasnya yang sedikit memburu, tatapannya tak lepas dari Gendhis yang juga balas melihatnya dalam sorot takut yang tak beralasan. Mereka sama-sama terengah, sama-sama menahan diri. "Apa aku semurahan itu di mata kamu, Rai?" tanya Gendhis lirih. "Apa karena aku bekas pelacur jadi meski kita udah nggak suami-istri, aku nggak bisa mempertahankan kehormatanku?" cecarnya. "Bukan gitu Ndhis," elak Rai. "Maaf karena aku nggak bisa nahan diri, jujur, sekangen ini aku sama kamu," ungkapnya. Gendhis menghela napas panjang, ia tenangkan hati dan pikirannya sebentar. Tidak bisa dipungkiri, ia pun merindukan Rai dan sentuhannya, tapi bukan begini yang ia mau. Mereka perlu dekat lagi lebih hati-hati, tidak melulu saling berinteraksi fis
"Kok kamu hafal ulang tahunku sih, Rai?" tanya Gendhis penasaran, ia amati gerak tubuh Rai yang terampil memasak di dapur. "Hafal, dulu di buku nikah ada, pas daftarin cerai kan juga pasti disebut," gumam Rai, masih sibuk dengan masakannya. "Oh," Gendhis senyum dikulum. Ia perhatikan lagi gerak-gerik Rai yang cekatan itu.Entah sudah berapa menu yang dihidangkan oleh Rai, setidaknya ada sekitar 8 piring yang sudah disajikan di meja makan. Macam lauk dan sayur terlihat didominasi menu khas Jepang, sedangkan nasinya masih di tanak secara manual. "Padahal aku punya rice cooker," ucap Gendhis melirik Rai yang tengah mengaduk nasi. "Seninya masak nasi ada di sini," ucap Rai. "Apa yang kamu nggak bisa Rai?" tanya Gendhis nyeletuk, matanya tampak kagum. "Mempertahankan kamu sebagai istriku," jawab Rai cepat. "Ahh," Gendhis tertawa. "Nggak suka yang begini, jangan dibawa ke yang sedih-sedih, kan ini hari ulang tahunku," tandasnya protes. "Oke, my bad," sahut Rai. "Aku nggak bisa nyetr