Danang bangkit dari duduknya, dadanya terasa sesak saat mendengar suara isakan lirih dari kamar tamu. Isakan yang begitu halus, tetapi terasa menyayat, seolah setiap tangis yang ditahan oleh Dina menghantam kesadarannya dengan pukulan yang tidak terlihat.
Langkahnya berat saat ia mendekati pintu kamar tamu, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk melangkah lebih dekat. Hatinya bergetar, penuh penyesalan, penuh ketidakpastian.
Dengan ragu, ia mengetuk pintu kamar dengan lembut.
"Tok… tok… Din… Dina…" panggilnya, suaranya bergetar, tidak seperti biasanya.
Namun, tidak ada sahutan dari dalam. Hanya keheningan yang terasa semakin tebal, semakin menghimpit.
Danang menelan ludah, lalu mengetuk pintu sekali lagi, kali ini sedikit lebih kuat. "Tok… tok… D
Deni menelan ludah, seolah kata-kata yang ingin ia sampaikan tersangkut di tenggorokan. Ia menggeser posisi duduknya sedikit, pandangannya menghindari mata bundanya. "Itu, Bun..." ucapnya pelan, suaranya terdengar penuh keraguan, nyaris bergetar.Aini semakin memperhatikan perubahan raut wajah Deni, sorot matanya mulai dipenuhi kecemasan. Ia tidak suka ketika anaknya bersikap seperti ini—seperti ada sesuatu yang berat yang ingin disampaikan tetapi masih ditahan."Apa, Deni? Dina sakit?" tanyanya, nada suaranya kini berubah menjadi sedikit khawatir.Deni menggeleng cepat, tetapi tetap tidak langsung berbicara. Ia menarik napas panjang, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan apa yang sebenarnya ingin ia ungkapkan.Aini semakin tidak tenang melihatnya. Ia menggeser duduknya lebih dekat, lalu meraih tangan Deni dan men
Dina menyambut Danang dengan senyuman hangat saat dia pulang dari kantor. Namun, senyuman itu tak dibalas oleh suaminya. Danang berjalan melewati Dina dengan wajah yang terlihat tak senang."Kemana uang yang aku berikan untukmu?" tanya Danang tajam, tanpa menatap wajah istrinya."Aku gunakan untuk berbelanja, Mas," jawab Dina dengan lembut.Mendengar jawaban Dina, ekspresi Danang berubah. Dia melirik pakaian daster yang dikenakan oleh Dina, lalu menyentuhnya dengan nada mengejek. "Belanja? Belanja apa? Pakaian murahan seperti ini?"Dina tertegun. Tatapan dan nada suara Danang yang penuh kemarahan membuat hatinya bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Danang bersikap demikian?"Mas, ada apa? Apa yang salah?" tanya Dina dengan lembut, berusaha mencari tahu alasan di balik perubahan sikap suaminya belakangan hari ini.Namun, bukannya menjawab, Danang hanya mendengus pelan dan berjalan meninggalkan Dina menuju kamar. Dina bingung dengan perubahan sang suami yang tidak seperti
Dina teringat akan perubahan sikap Danang yang tiba-tiba. Kemarahan dan ejekan suaminya terhadap pakaiannya membuat Dina merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri.Dengan hati-hati, Dina melepas pakaiannya dan mulai membasuh tubuhnya. Air hangat yang mengalir membuatnya sedikit lebih tenang, namun pertanyaan-pertanyaan masih terus berputar di benaknya."Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Apa yang membuatmu berubah seperti ini?" bisik Dina, berharap suaminya akan segera kembali menjadi sosok yang dicintainya.Setelah membersihkan diri, Dina mengenakan pakaian tidur yang nyaman. Dengan langkah pelan, ia kembali ke kamar dan memperhatikan Danang yang masih terlelap. Dina berharap, esok hari akan membawa perubahan yang lebih baik.°°°°Pagi itu, Dina terbangun lebih awal seperti biasanya. Ia bergegas menyiapkan sarapan, berharap Danang akan sarapan pagi. Namun, saat Dina memanggilnya, Danang hanya menjawab singkat bahwa ia harus cepat berangkat ke kantor."Aku ada pertemuan pagi ini," ucap
Sementara Danang sibuk dengan pikirannya di kantor, Dina di rumah kedatangan tamu tak terduga yaitu mertuanya, Ibu Endang.Dina menyambut kedatangan Ibu Endang dengan senyum ramah, namun ekspresi sang mertua terlihat kaku dan tidak senang."Selamat pagi, Bu. Silakan masuk," ucap Dina, mempersilakan Ibu Endang untuk masuk.Namun, alih-alih membalas senyuman Dina, Ibu Endang justru memandang pakaian Dina dengan tatapan menilai."Pakaian apa ini? Kenapa kau selalu berpakaian seperti ini di rumah?" tanya Ibu Endang dengan nada ketus.Dina terkejut mendengar pertanyaan itu. "Eh? Ini hanya pakaian rumah biasa, Bu. Memangnya kenapa?" tanya Dina dengan suara tetap lembut, walaupun suara sang mertua menghinanya."Biasa? Kau istri seorang manajer, tapi penampilanmu seperti ini?" Ibu Endang menggeleng-gelengkan kepala. "Kemana uang yang Danang berikan padamu? Kenapa kau tidak bisa berpakaian yang layak? Kau pasti beli pakaian di pasar, kan ?"Dina merasa tersinggung mendengar kritikan Ibu Endang
Mereka berdua melanjutkan sarapan mereka dengan obrolan ringan dan tawa kecil. Tiba-tiba, Yoga mengucapkan sesuatu yang membuat Danang terdiam dan meletakkan cangkir kopinya ke meja. Pandangan Danang beralih dari kopinya, menatap Yoga.Yoga mencoba mencari kejelasan dari reaksi Danang, "Dan, kau mendengar apa yang kukatakan?" tanya Yoga dengan nada penasaran.Namun, Danang masih terdiam tanpa memberikan respon yang jelas, sepertinya teralih oleh pikirannya sendiri.Karena Danang tidak merespon perkataannya, Yoga kembali berkata, "Ditanya kok bengong, Dan.""Sinta?" ucap Danang dengan sedikit kebingungan."Iya, Sinta. Anak magang di sini dulu. Kau pernah dekat dengannya," ungkap Yoga, mencoba menghadirkan kenangan masa lalu yang semoga bisa membangkitkan rasa nostalgia Danang."Di mana kau bertemu?" tanya Danang, semakin tertarik dengan cerita yang Yoga bagikan."Dia bekerja di PT Anugrah sebagai sekretaris. Kau tahu, Dan. Sekarang dia semakin cetar membahana," kata Yoga dengan antusi
"Din, aku serius ingin kau menjahit baju untukku," kata Alma, menyinggung kembali mengenai permintaannya."Kalau hasil jahitanku tidak sesuai dengan ekspektasimu, jangan marah," kata Dina dengan penuh kehati-hatian, ingin memastikan bahwa Alma tidak akan kecewa."Aku percaya dengan tanganmu, Din. Tunggu," ucap Alma. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan mode pakaian yang diinginkannya."Nih, lihat," ujarnya sambil memberikan ponselnya pada Dina.Dina melihatnya dengan serius, "Bahannya sama seperti ini?" tanya Dina, ingin memastikan detail tentang desain yang diinginkan oleh Alma."Sedikit mirip. Aku punya bahan yang sudah lama diberikan kakakku. Bagaimana? Kau pasti bisa," kata Alma dengan antusias.Dina masih dengan tatapan serius melihat mode pakaian yang diinginkan oleh Alma."Baiklah, akan aku coba," ucap Dina dengan tekad, menerima tantangan dengan senang hati."Terimakasih, Din! Kau pasti bisa," kata Alma dengan gembira, percaya sepenuhnya pada kemampuan Dina.Ked
Dina merasa asyik dengan menggambar desain baju hingga lupa akan waktu. Ketika akhirnya menyadari, punggungnya terasa letih, Dina memperbaiki posisi tubuhnya dan menggerakkan leher serta pundaknya. Ketika pandangannya menatap keluar jendela, ia menyadari bahwa hari telah mulai gelap."Sudah malam," gumamnya, merenungkan keadaan sekitar. Kecemasan perlahan merayap saat ia menyadari bahwa Mas Danang belum juga pulang. Dina bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu, namun tidak melihat kendaraan roda dua milik Danang berada di teras."Sudah setengah delapan, ke mana Mas Danang? Apa lembur? Kenapa Mas Danang tidak kasih kabar, kalau lembur? Biasanya Mas Danang selalu memberitahukan," pikir Dina dengan khawatir. Perasaan gelisah mulai merayap di dalam hatinya, memunculkan pertanyaan besar tentang keberadaan dan keadaan sang suami, Danang.Dina, dengan perasaan cemas dan gelisah, menyadari keterlambatan sang suami, Danang dan mulai bertanya-tanya tentang alasan di balik keterlam
Dina tetap terdiam dalam kamar, memilih untuk tidak menjawab panggilan Danang yang dilakukan dengan lembut di luar pintu. Meskipun ia bisa mendengar suara-suara dari sisi lain pintu, hati dan pikirannya terasa terkunci dalam kesedihan dan rasa kekecewaan yang mendalam.Dalam keheningan kamar yang sunyi, Dina menutup mulutnya dengan rapat, menahan kata-kata yang ingin diucapkannya. "Maaf, Mas, aku kecewa denganmu," bisiknya dalam hati, tanpa mendengar alasan dari Danang mengapa ia ditinggalkan tidur di luar ruangan.Tanpa memahami sepenuhnya alasan di balik tindakan Danang, Dina merasakan kekecewaan dan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Dia merasa terluka dan ditinggalkan tanpa penjelasan yang memadai, dan biarkan perasaan tersebut menjadi bayangan yang mengganggu atau memberi tekanan pada hubungan mereka.Dina kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, air matanya mengalir tanpa henti. Dengan tangan yang gemetar, ia mengusap air mata tersebut dengan kasar, mencoba menahan emo
Deni menelan ludah, seolah kata-kata yang ingin ia sampaikan tersangkut di tenggorokan. Ia menggeser posisi duduknya sedikit, pandangannya menghindari mata bundanya. "Itu, Bun..." ucapnya pelan, suaranya terdengar penuh keraguan, nyaris bergetar.Aini semakin memperhatikan perubahan raut wajah Deni, sorot matanya mulai dipenuhi kecemasan. Ia tidak suka ketika anaknya bersikap seperti ini—seperti ada sesuatu yang berat yang ingin disampaikan tetapi masih ditahan."Apa, Deni? Dina sakit?" tanyanya, nada suaranya kini berubah menjadi sedikit khawatir.Deni menggeleng cepat, tetapi tetap tidak langsung berbicara. Ia menarik napas panjang, mencoba mencari keberanian untuk mengatakan apa yang sebenarnya ingin ia ungkapkan.Aini semakin tidak tenang melihatnya. Ia menggeser duduknya lebih dekat, lalu meraih tangan Deni dan men
Danang bangkit dari duduknya, dadanya terasa sesak saat mendengar suara isakan lirih dari kamar tamu. Isakan yang begitu halus, tetapi terasa menyayat, seolah setiap tangis yang ditahan oleh Dina menghantam kesadarannya dengan pukulan yang tidak terlihat.Langkahnya berat saat ia mendekati pintu kamar tamu, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk melangkah lebih dekat. Hatinya bergetar, penuh penyesalan, penuh ketidakpastian.Dengan ragu, ia mengetuk pintu kamar dengan lembut."Tok… tok… Din… Dina…" panggilnya, suaranya bergetar, tidak seperti biasanya.Namun, tidak ada sahutan dari dalam. Hanya keheningan yang terasa semakin tebal, semakin menghimpit.Danang menelan ludah, lalu mengetuk pintu sekali lagi, kali ini sedikit lebih kuat. "Tok… tok… D
Aini duduk termenung di teras rumahnya, menatap langit yang mulai berubah warna menjelang senja. Udara terasa lembab, seolah ikut membebani pikirannya yang sudah penuh dengan kegelisahan.Tangannya perlahan mengelus dadanya, mencoba meredakan ketidaknyamanan yang tiba-tiba muncul. Ada rasa sesak, rasa yang sulit dijelaskan. Bukan hanya fisik, tetapi juga batin yang terasa berat."Ada apa ini? Perasaanku tidak nyaman... Apa jantungku bermasalah?" batinnya, mulai diliputi kecemasan.Aini menutup matanya, berusaha mengatur napas yang tiba-tiba terasa lebih pendek dari biasanya. Pikirannya melayang ke berbagai arah, tetapi yang paling kuat adalah ketakutannya terhadap sesuatu yang mungkin akan terjadi."Allah, jangan buat hamba sakit sekarang ini. Suami hamba sudah Engkau ambil, jangan sampai hamba juga dipanggil sekarang ini..."
Danang duduk termenung di teras depan rumah, matanya menatap lurus ke jalanan yang sepi.Ia teringat kata-kata Deni sebelum masuk mobil menuju terminal bus. Kata-kata yang begitu sederhana, tetapi menghantamnya tanpa ampun."Kembalikan Kak Dina, jika Mas sudah tidak mencintainya lagi. Sebab, tak ada kerajaan yang bisa bertahan dengan dua ratu berada didalamnya."Danang tertegun, dadanya terasa sesak. Ia tidak menyangka Deni akan mengatakan hal itu—seolah mengetahui semuanya, seolah melihat sesuatu yang selama ini ia tutupi dengan berbagai alasan dan kebohongan."Deni tahu? Sejak kapan? Apa selama ini dia diam sambil memperhatikan? Atau, Dina mengatakannya?""Tidak mungkin Dina yang mengatakan. Dina menutupinya."Ia menggenggam jemarinya di atas lutut, perasaan tidak nyaman mulai menjalar dalam dirinya.
Dina menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya yang mulai memuncak. Ia menatap Danang dengan mata yang penuh ketegasan, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Apa maumu, Mas?" tanyanya lirih, tetapi nadanya tetap tegas.Danang mendekat sedikit, tatapannya penuh harap. "Kita seperti dulu, Din. Saling cinta, jangan ada pertengkaran," ucapnya dengan suara pelan, seolah mencoba meraih kembali sesuatu yang telah lama hilang.Dina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak menghadirkan kehangatan—melainkan kepahitan. Ia menghela napas sebelum menjawab, suaranya tenang, tapi dingin. "Itu tidak mungkin, Mas. Ketika sudah terjadi pengkhianatan pada janji suci pernikahan, tidak mungkin kita baik-baik saja."Ia menatap lurus ke mata Danang, memastikan lelaki itu memahami sepenuhnya. "Mas, kita pisah, ya," katanya deng
Matahari belum menampakkan sinarnya, dan suara azan subuh berkumandang dari masjid, menembus keheningan pagi. Di dalam kamar, suasana terasa menegang. Dina baru saja menyelesaikan sholat Subuh, tubuhnya bergerak tenang saat ia melipat sajadah dan membuka mukenanya.Namun, ketenangan itu bertolak belakang dengan tatapan tajam yang mengarah kepadanya. Danang duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan bersedekap di dada, wajahnya penuh ketegangan yang sulit disembunyikan. Sorot matanya tak lepas dari Dina, tetapi Dina memilih untuk mengabaikannya, pura-pura tak terganggu oleh keberadaan lelaki itu."Kemana semalam?" Suara Danang akhirnya memecah keheningan, nadanya tajam, penuh tuntutan."Mall," sahut Dina singkat, tanpa sedikit pun berniat menjelaskan lebih jauh.Danang mengembuskan napas kasar. "Kenapa tidak pamit? Apa tanganmu
Langkah kaki terdengar pelan saat tiga orang masuk ke dalam rumah. Mata mereka langsung tertuju pada Danang, yang tertidur dalam posisi duduk di sofa ruang tamu. Televisi masih menyala, menampilkan tayangan yang sudah tidak lagi ia perhatikan. Kepalanya sedikit tertunduk ke samping, napasnya teratur, seolah telah menunggu terlalu lama hingga akhirnya tertidur dalam kelelahan.Deni melangkah lebih dekat, ragu sejenak sebelum akhirnya."Kak," panggil Deni dengan nada pelan, ragu apakah harus membangunkan Danang atau tidak. Dina, yang berdiri di sampingnya, hanya menghela napas pendek, matanya menatap Danang tanpa ekspresi yang jelas. Wajahnya tetap tenang, tapi dalam hatinya ada sesuatu yang mengendap—perasaan yang sulit dijelaskan. "Masuk saja, biar kakak yang membangunkannya," katanya tegas pada Deni dan Johnny, suaranya dingin dan tak terbantahkan.&n
Dinda menggigit bibir bawahnya dengan gelisah, tatapannya tidak lepas dari Rizal. "Mas, apa sebaiknya aku bilang saja pada Kak Dina?" tanyanya ragu, suaranya terdengar bimbang. Ada harapan dalam matanya, berharap Rizal dapat memberinya kepastian.Ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, suaranya hampir berbisik. "Aku sudah kirim foto Mas Danang dengan wanita itu pada Kak Dina... Tapi sekarang aku takut. Takut kalau itu malah membuat Kak Dina bingung dan terluka."Rizal terdiam. Ia mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa panas, merasa berat untuk memberikan jawaban. Ia tahu betapa pentingnya hal ini bagi Dinda, tapi ia juga tidak ingin membuatnya semakin terbebani. Matanya menghindari tatapan Dinda, mencari kata-kata yang tepat."Kok diam, Mas?" Dinda kembali bertanya, nadanya semakin terdengar cemas. Ia mengerutkan alis, mencoba membaca apa yang ada di pikiran Rizal. "Mas bingung, ya?" la
Danang memacu motornya dengan kecepatan yang semakin meningkat. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tetapi ia tidak peduli. Semangatnya untuk segera memberikan hadiah itu kepada Dina mendorongnya untuk terus melaju. Sesekali, ia merogoh saku jaketnya, memastikan kotak kecil berisi kalung liontin tetap aman di tempatnya."Dina, tunggu kedatanganku!" serunya, suaranya nyaris tenggelam oleh deru mesin motor. Pikirannya dipenuhi bayangan wajah Dina yang tersenyum saat menerima hadiah tersebut.Saat ia tiba di depan rumah, kegembiraannya perlahan berubah menjadi kebingungan. Rumah itu tampak gelap gulita, tidak ada satu pun lampu yang menyala. Danang mematikan mesin motornya dan turun dengan tergesa-gesa, mengerutkan kening saat menatap rumah yang sepi. "Kenapa rumah gelap begini?" gumamnya, rasa khawatir mulai menjalar di hatinya.Ia merogoh saku celananya, mengambil ku