Se connecterPayung hitam di tangan Fleur bergetar.Hujan gerimis merambat turun, membasahi teras mansion Robinson yang megah namun terasa seperti makam bagi hidupnya sendiri.Di belakangnya, koper besar yang sudah ia siapkan sejak semalam tergeletak. Tak ada satu pun jejak Anshel—suami yang tak pernah benar-benar menjadi suami—bahkan setelah ia menunggu sampai menjelang pagi.Salah satu pelayan mendekat, wajahnya cemas.“Nyonya Fleur… tolong pikirkan lagi,” suara Kepala Pelayan hampir berbisik, seperti takut dinding mansion itu akan mengadu pada tuannya. “Kalau Tuan Anshel tahu Anda pergi tanpa izin—”“Aku tidak peduli lagi.” Fleur merapikan sarung tangannya, matanya menatap lurus ke pintu gerbang seakan seluruh masa lalunya tersembunyi di balik hujan.Di belakangnya, beberapa pelayan mulai panik.“Setidaknya tunggu Tuan Anshel pulang… Nyonya, dia pasti akan—”Fleur berhenti. Tatapannya dingin dan letih.“Selama tiga tahun pernikahan ini, kapan dia pernah menanyakan keinginanku?”Tak ada yang be
Permintaan apa lagi yang tidak bisa kau penuhi, Anshel?Fleur naik pitam mendengarnya. Ia berteriak kecil sebelum pria itu sempat melangkah.“Ini hanya perjanjian pernikahan! Apa sulitnya bagimu untuk menandatangani?”Anshel menghela napas pelan. “Jangan keras kepala, Fleur. Ayahmu sudah menyerahkanmu padaku… dan Philippe juga menitipkanmu.”Air mata menggenang di sudut mata Fleur. “Dan kau hanya menjadikanku pajangan di rumah ini?” suaranya pecah.Anshel berdiri tegak. “Aku mau mandi. Tidurlah dulu. Aku tidur di sini malam ini.” Tanpa menunggu jawaban, ia berlalu meninggalkan Fleur di ruang tengah, membuat wanita itu terdiam dalam ketidakberdayaan.Air matanya jatuh satu per satu. Ia bangkit, menuju dapur, membuka lemari wine. Dengan tangan gemetar, ia menarik satu botol. Saat hendak menuangkannya ke gelas, tangannya tergelincir. Gelas itu jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Ketika ia akan Memungutnya, sebuah potongan besar melukai telapak tangannya, darah segar yang menetes
“Hari ini aku banyak waktu. Ada yang mau kamu bicarakan?”Fleur tersenyum getir, menatap suaminya.“Banyak waktu untukku atau kekasihmu?” tanyanya getir. Suaranya yang gemetar kalut dengan keteguhan. “Jangan mulai.”Fleur memutar mata malas. Jangan mulai. Jangan mulai. Sejak kapan mereka memulai hubungan ini?Sejak kapan mereka pernah memulai?“Ada yang ingin aku bicarakan.” cecarnya seraya keluar dari ruangan kecil itu, melangkah menuju ruang tengah. Anshel mengikutinya dari belakang, langkahnya tenang.Keduanya duduk di ruang tengah dengan cahaya lampu temaram yang menyorot meja kayu. Fleur menatap map di tangannya, dadanya berdebar.“Aku ingin kita membicarakan soal kontrak.” katanya, mencoba menahan amarah.“Kau masih membicarakan kontrak itu?” jawab Anshel seraya menatap Fleur tanpa berkedip.“Ya, tentu saja,” tegas Fleur. “Kau tidak pernah memberitahuku, tapi mengubah pasal-pasal seolah aku tidak punya suara. Apa maksudnya?”Anshel menunduk sebentar, menatap map itu. “Ini untu
Fleur berdiri di depan cermin, melepas jepit rambut hitam yang masih ia gunakan sejak pemakaman ayahnya. Jemarinya kaku, dingin, dan wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.Pintu kamar terbuka.“Kau sudah makan?” tanya Anshel.Pertanyaan itu terasa telat—terlalu telat.“Aku tidak lapar,” jawab Fleur tanpa menatapnya.Keheningan menggantung beberapa detik. Anshel seperti ingin bicara, tapi suaranya tidak keluar. “Aku sudah selesai rapat,” katanya akhirnya.“Ya.” Suara Fleur datar. “Tapi ayahku sudah selesai dimakamkan.”Kata itu mengenai Anshel seperti pukulan yang tidak ia hindari. Bahunya yang tegap turun sedikit, tapi ia tetap berdiri di tempat.“Aku minta maaf.”“Untuk apa?” Fleur tertawa kecil, hambar. “Untuk tidak datang? Untuk tidak memelukku? Untuk tidak ada saat aku butuh seseorang?”Anshel menelan ludah. “Ada hal yang tidak bisa kutinggalkan.”“Dan aku bukan salah satunya?” Fleur menatap Anshel melalui cermin, tatapannya tenang tapi menusuk. “Aku ini apa sebenarnya, An
Sudah tiga hari Anshel pulang lewat tengah malam.Dan itu pun bukan benar-benar “pulang”—lebih seperti mampir untuk berganti jas, mandi air hangat, lalu pergi lagi sebelum Fleur sempat mengeluarkan satu kalimat pun.Fleur menatap jam dinding di ruang makan. Pukul dua pagi. Meja panjang itu terhampar sempurna dengan piring porselen dan lilin yang kini tinggal batang pendek. Ia menunggu sejak magrib, dengan gaun rapi yang kini kusut karena sering ia remas tanpa sadar.Pintu depan terdengar dibuka.Anshel masuk dengan langkah santai, seolah rumah ini hanya ruang transit. Aroma parfum mahal yang Fleur kenal begitu baik—aroma yang sekarang membuat dadanya perih—terbayang menempel pada wanita lain sebelum ia sampai di sini.“Ada yang kau perlukan?” tanyanya tanpa melihat Fleur. Jaket dilepas. Jam tangan diletakkan. Tidak ada satu pun gerakan yang mengarah padanya.Fleur berdiri pelan. “Kau tidak makan dari tadi.”“Aku sudah makan,” jawabnya datar.Bersamanya? Pertanyaan itu menggantung di
Payung hitam di tangan Fleur bergetar pelan ketika gerbang mansion Robinson terbuka. Hujan gerimis membasahi anak tangga marmer, tapi langkahnya tidak goyah. Dua koper besar mengikuti di belakang, ditarik oleh pelayan yang wajahnya penuh cemas.“Nyonya Fleur… tolong pikirkan lagi,” suara Kepala Pelayan hampir berbisik, seperti takut dinding mansion itu akan mengadu pada tuannya. “Kalau Tuan Anshel tahu Anda pergi tanpa izin—”“Aku tidak peduli lagi.” Fleur merapikan sarung tangannya, matanya menatap lurus ke pintu gerbang seakan seluruh masa lalunya tersembunyi di balik hujan.Di belakangnya, beberapa pelayan mulai panik.“Setidaknya tunggu Tuan Anshel pulang… Nyonya, dia pasti akan—”Fleur berhenti. Tatapannya dingin dan letih.“Selama tiga tahun pernikahan ini, kapan dia pernah menanyakan keinginanku?”Tak ada yang berani menjawab.Jubah biru gelap yang ia kenakan berkibar tertiup angin. Wajah Fleur tetap tenang, tapi jemarinya yang mengepal di samping tubuh menunjukkan betapa kera







