Se connecterPermintaan apa lagi yang tidak bisa kau penuhi, Anshel?
Fleur naik pitam mendengarnya. Ia berteriak kecil sebelum pria itu sempat melangkah.
“Ini hanya perjanjian pernikahan! Apa sulitnya bagimu untuk menandatangani?”
Anshel menghela napas pelan. “Jangan keras kepala, Fleur. Ayahmu sudah menyerahkanmu padaku… dan Philippe juga menitipkanmu.”
Air mata menggenang di sudut mata Fleur. “Dan kau hanya menjadikanku pajangan di rumah ini?” suaranya pecah.
Anshel berdiri tegak. “Aku mau mandi. Tidurlah dulu. Aku tidur di sini malam ini.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berlalu meninggalkan Fleur di ruang tengah, membuat wanita itu terdiam dalam ketidakberdayaan.
Air matanya jatuh satu per satu. Ia bangkit, menuju dapur, membuka lemari wine. Dengan tangan gemetar, ia menarik satu botol. Saat hendak menuangkannya ke gelas, tangannya tergelincir. Gelas itu jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping.
Ketika ia akan Memungutnya, sebuah potongan besar melukai telapak tangannya, darah segar yang menetes perlahan, membuatnya tertegun sejenak. Namun ia terlalu lelah dan kacau untuk peduli. Ia meninggalkan pecahan itu begitu saja, membawa botol wine ke kamar.
Fleur duduk sambil menunduk di kursi, menahan napasnya saat botol wine dingin menggenggam tangannya. Detak jantungnya bergemuruh, seakan setiap tetes rasa pahit yang ditenggaknya menembus hatinya.
Jari-jarinya menggenggam kain di pangkuan, gemetar saat ia mengusap air mata yang mulai mengalir, menimbulkan rasa pedih yang nyaris tak tertahankan. Napasnya tersengal, dadanya sesak, seolah setiap helaan udara membawa luka yang semakin dalam.
Fleur menatap butir-butir hujan merayap menuruni kaca jendela kamar. Suara rintiknya seperti cermin perasaannya, diam tapi menyakitkan.
Saat Anshel kembali, Fleur masih menenggak minuman itu.
“Hentikan, Fleur.” Nada suaranya melembut, meski kesal. “Aku hanya tidak ingin kau merusak tubuhmu,” ucapnya, sambil berusaha meraih botol Fleur.
Fleur mendengus pahit. “Lalu mengurungku di rumah besar ini, meninggalkanku sendirian setiap hari… itu membuatku bahagia?”
Ia menatap suaminya tajam, lalu merebutnya kembali dengan kasar.
Anshel terkejut saat melihat tangan Istrinya berdarah.
“Fleur, tanganmu berdarah, apa kau tidak merasakan sakitnya?” sambil mencoba menahan darahnya.
Anshel langsung berlari kecil mengambil kotak P3K. Ia berlutut di depannya.
Anshel tetap diam, meraih tangannya lagi. Saat Fleur hendak menolak, suara Anshel berubah tegas. “Diam, Fleur. Biar aku obati.”
“Ceraikan aku.” Air mata menetes. “Aku tidak ingin hidup denganmu.”
Anshel mendengus pendek. “Benarkah?”
“Ya.” Fleur meneguk minuman panas itu. Matanya merah, suaranya pecah. Ia mendekatinya perlahan.
“Tuan Anshel…” Bibirnya bergetar. “Kalau aku tidur denganmu… dan memberimu anak… apa hubungan kita akan selesai?”
Anshel terdiam. Kata apa pun akan menyakiti.
Fleur menangkup wajahnya. Tanpa peringatan, ia menciumnya—penuh luka, penuh putus asa.
Anshel menarik wajahnya sedikit. “Aku tidak akan menyentuhmu saat kau seperti ini.”
Namun Fleur menggeleng, mendesak lebih dekat.
“Ayahku dan Philippe sudah menyerahkanku padamu… Bukankah itu yang kau inginkan? Jangan munafik!”
Air matanya jatuh di pipi yang memerah, entah karena wine atau amarah.
“Bicaralah… katakan sesuatu… jangan diam.”
Anshel menahan napas, namun sebelum ia sempat berbicara, Fleur mendorongnya pelan hingga pria itu terjatuh ke kasur.
“Fleur!”
Fleur naik ke pangkuannya, mata mereka bertemu. Kesedihan di mata Fleur begitu telanjang, menusuk jauh ke dalam Anshel.
“Biarkan semuanya berakhir,” bisiknya. “Aku menyerahkan diriku padamu.”
Ia kembali mencium Anshel—saat laki laki itu masih menahan, namun ketika Fleur terisak sambil memegang kerah kemejanya, tubuhnya gemetar hebat, akhirnya Anshel meraih pinggangnya dan menariknya erat ke dadanya.
Dihembuskan nafasnya ke tengkuk membuat deru nafas berjarak sejengkal.
Imbuhan peluhan dan decikan ciuman itu turun ke dada.
“Kau yang memintanya…” suaranya rendah di telinga Fleur. “Jangan sesali apa pun.”
Namun ketika suasana memanas dan tubuh mereka saling mendekat… ponsel Anshel bergetar di meja. Cahaya layarnya menembus gelap. Ia melihat nama penelepon itu, lalu seluruh ekspresinya berubah.
Anshel menatap layar dengan tatapan berat, bahunya menegang, rahangnya menegap. Napasnya tersengal sebentar, menahan dorongan untuk kembali menyentuh Fleur. Sekejap, matanya menatap istrinya sekali lagi, ada campuran rasa bersalah dan cemas yang membuatnya sulit melepaskan pandangan.
‘Maaf, Fleur, aku harus pergi.”
Ia menarik napas panjang, menekan pelipisnya, menahan perasaan yang ingin kembali menyentuhnya. Dengan terburu-buru, ia mengambil jas dan melangkah keluar, meninggalkan Fleur di ruangan yang kini terasa sunyi.
Fleur duduk terpaku, bahu gemetar, tangan masih menggenggam tepi selimut. Mata merahnya menatap kosong ke arah jendela, mendengar rintik hujan yang lembut di luar, lebih seperti latar yang menekankan kesendirian dan jarak antara dirinya dan Anshel.
Tubuhnya lelah, napasnya tersengal, dada terasa sesak setiap kali ia mencoba menenangkan diri. Detik demi detik berlalu, seolah menegaskan rasa sakit yang terus menekan hatinya. Ia menelan ludah, menahan gemetar, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum bangkit menghadapi kenyataan.
“Aku menepati kontrakmu… tapi kau memperlakukanku seperti simpanan,… dan Ava Grace selalu menjadi pemenang,” bisiknya sambil menangis tersedu.
Fleur mengusap wajahnya, menahan air mata yang masih menetes. Ia menatap pintu yang baru dilewati Anshel, merasakan kekosongan yang menusuk harga dirinya. Napasnya berat, tapi di balik itu mulai muncul tekad yang perlahan membimbing langkahnya ke depan.
Fleur bergumam pelan, “Aku… harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa terus-terusan berada di sini dan membiarkan semua ini menghancurkanku.”
Setelah habis tangisnya, dengan tubuh yang masih lelah Fleur bangkit. Ia mencuci wajah, mengenakan mantel, dan mengambil koper yang sudah ia siapkan sejak malam sebelumnya.
Sebelum melangkah keluar, Fleur menoleh sejenak pada kamar yang kini terasa asing, seolah setiap sudut mengingatkan padanya bahwa cinta dan rasa sakit bisa hidup berdampingan. Dengan napas tertahan, ia menuruni tangga, siap menghadapi dunia di luar rumah besar ini, dengan luka di hati, namun tekad yang perlahan terbentuk, kini ia harus menemukan jalannya sendiri.
Namun setelah di ujung tangga, pelayannya melihat Fleur, dan mencoba menghentikannya.
“Nyonya, Anda mau ke mana?” suaranya terdengar cemas, setengah tergagap.
Fleur menoleh sekejap, matanya yang memerah menatap pelayan itu dengan campuran kesedihan dan tekad. “Aku… harus pergi,” jawabnya pelan, suaranya gemetar tapi tegas. “Aku tidak bisa tinggal di sini dan membiarkan semuanya menghancurkanku.”
“Pelayannya menelan ludah, terlihat ragu. “Tapi, Nyonya… malam sudah larut, hujan deras di luar… dan Tuan Anshel—”
Para pelayan hanya menunduk saat Fleur melengang melewatinya tapi mereka tidak punya pilihan lain.
Fleur menepis salah satu tangan mereka, matanya masih merah dan napasnya berat. Ia melangkah ke tepi tangga, menoleh sebentar ke rak dekat pintu masuk, di sana payung hitam tergantung rapi.
Dengan cepat, ia meraih payung itu, membuka lipatannya, dan menatap hujan yang membasahi halaman…
Payung hitam di tangan Fleur bergetar.Hujan gerimis merambat turun, membasahi teras mansion Robinson yang megah namun terasa seperti makam bagi hidupnya sendiri.Di belakangnya, koper besar yang sudah ia siapkan sejak semalam tergeletak. Tak ada satu pun jejak Anshel—suami yang tak pernah benar-benar menjadi suami—bahkan setelah ia menunggu sampai menjelang pagi.Salah satu pelayan mendekat, wajahnya cemas.“Nyonya Fleur… tolong pikirkan lagi,” suara Kepala Pelayan hampir berbisik, seperti takut dinding mansion itu akan mengadu pada tuannya. “Kalau Tuan Anshel tahu Anda pergi tanpa izin—”“Aku tidak peduli lagi.” Fleur merapikan sarung tangannya, matanya menatap lurus ke pintu gerbang seakan seluruh masa lalunya tersembunyi di balik hujan.Di belakangnya, beberapa pelayan mulai panik.“Setidaknya tunggu Tuan Anshel pulang… Nyonya, dia pasti akan—”Fleur berhenti. Tatapannya dingin dan letih.“Selama tiga tahun pernikahan ini, kapan dia pernah menanyakan keinginanku?”Tak ada yang be
Permintaan apa lagi yang tidak bisa kau penuhi, Anshel?Fleur naik pitam mendengarnya. Ia berteriak kecil sebelum pria itu sempat melangkah.“Ini hanya perjanjian pernikahan! Apa sulitnya bagimu untuk menandatangani?”Anshel menghela napas pelan. “Jangan keras kepala, Fleur. Ayahmu sudah menyerahkanmu padaku… dan Philippe juga menitipkanmu.”Air mata menggenang di sudut mata Fleur. “Dan kau hanya menjadikanku pajangan di rumah ini?” suaranya pecah.Anshel berdiri tegak. “Aku mau mandi. Tidurlah dulu. Aku tidur di sini malam ini.” Tanpa menunggu jawaban, ia berlalu meninggalkan Fleur di ruang tengah, membuat wanita itu terdiam dalam ketidakberdayaan.Air matanya jatuh satu per satu. Ia bangkit, menuju dapur, membuka lemari wine. Dengan tangan gemetar, ia menarik satu botol. Saat hendak menuangkannya ke gelas, tangannya tergelincir. Gelas itu jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Ketika ia akan Memungutnya, sebuah potongan besar melukai telapak tangannya, darah segar yang menetes
“Hari ini aku banyak waktu. Ada yang mau kamu bicarakan?”Fleur tersenyum getir, menatap suaminya.“Banyak waktu untukku atau kekasihmu?” tanyanya getir. Suaranya yang gemetar kalut dengan keteguhan. “Jangan mulai.”Fleur memutar mata malas. Jangan mulai. Jangan mulai. Sejak kapan mereka memulai hubungan ini?Sejak kapan mereka pernah memulai?“Ada yang ingin aku bicarakan.” cecarnya seraya keluar dari ruangan kecil itu, melangkah menuju ruang tengah. Anshel mengikutinya dari belakang, langkahnya tenang.Keduanya duduk di ruang tengah dengan cahaya lampu temaram yang menyorot meja kayu. Fleur menatap map di tangannya, dadanya berdebar.“Aku ingin kita membicarakan soal kontrak.” katanya, mencoba menahan amarah.“Kau masih membicarakan kontrak itu?” jawab Anshel seraya menatap Fleur tanpa berkedip.“Ya, tentu saja,” tegas Fleur. “Kau tidak pernah memberitahuku, tapi mengubah pasal-pasal seolah aku tidak punya suara. Apa maksudnya?”Anshel menunduk sebentar, menatap map itu. “Ini untu
Fleur berdiri di depan cermin, melepas jepit rambut hitam yang masih ia gunakan sejak pemakaman ayahnya. Jemarinya kaku, dingin, dan wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.Pintu kamar terbuka.“Kau sudah makan?” tanya Anshel.Pertanyaan itu terasa telat—terlalu telat.“Aku tidak lapar,” jawab Fleur tanpa menatapnya.Keheningan menggantung beberapa detik. Anshel seperti ingin bicara, tapi suaranya tidak keluar. “Aku sudah selesai rapat,” katanya akhirnya.“Ya.” Suara Fleur datar. “Tapi ayahku sudah selesai dimakamkan.”Kata itu mengenai Anshel seperti pukulan yang tidak ia hindari. Bahunya yang tegap turun sedikit, tapi ia tetap berdiri di tempat.“Aku minta maaf.”“Untuk apa?” Fleur tertawa kecil, hambar. “Untuk tidak datang? Untuk tidak memelukku? Untuk tidak ada saat aku butuh seseorang?”Anshel menelan ludah. “Ada hal yang tidak bisa kutinggalkan.”“Dan aku bukan salah satunya?” Fleur menatap Anshel melalui cermin, tatapannya tenang tapi menusuk. “Aku ini apa sebenarnya, An
Sudah tiga hari Anshel pulang lewat tengah malam.Dan itu pun bukan benar-benar “pulang”—lebih seperti mampir untuk berganti jas, mandi air hangat, lalu pergi lagi sebelum Fleur sempat mengeluarkan satu kalimat pun.Fleur menatap jam dinding di ruang makan. Pukul dua pagi. Meja panjang itu terhampar sempurna dengan piring porselen dan lilin yang kini tinggal batang pendek. Ia menunggu sejak magrib, dengan gaun rapi yang kini kusut karena sering ia remas tanpa sadar.Pintu depan terdengar dibuka.Anshel masuk dengan langkah santai, seolah rumah ini hanya ruang transit. Aroma parfum mahal yang Fleur kenal begitu baik—aroma yang sekarang membuat dadanya perih—terbayang menempel pada wanita lain sebelum ia sampai di sini.“Ada yang kau perlukan?” tanyanya tanpa melihat Fleur. Jaket dilepas. Jam tangan diletakkan. Tidak ada satu pun gerakan yang mengarah padanya.Fleur berdiri pelan. “Kau tidak makan dari tadi.”“Aku sudah makan,” jawabnya datar.Bersamanya? Pertanyaan itu menggantung di
Payung hitam di tangan Fleur bergetar pelan ketika gerbang mansion Robinson terbuka. Hujan gerimis membasahi anak tangga marmer, tapi langkahnya tidak goyah. Dua koper besar mengikuti di belakang, ditarik oleh pelayan yang wajahnya penuh cemas.“Nyonya Fleur… tolong pikirkan lagi,” suara Kepala Pelayan hampir berbisik, seperti takut dinding mansion itu akan mengadu pada tuannya. “Kalau Tuan Anshel tahu Anda pergi tanpa izin—”“Aku tidak peduli lagi.” Fleur merapikan sarung tangannya, matanya menatap lurus ke pintu gerbang seakan seluruh masa lalunya tersembunyi di balik hujan.Di belakangnya, beberapa pelayan mulai panik.“Setidaknya tunggu Tuan Anshel pulang… Nyonya, dia pasti akan—”Fleur berhenti. Tatapannya dingin dan letih.“Selama tiga tahun pernikahan ini, kapan dia pernah menanyakan keinginanku?”Tak ada yang berani menjawab.Jubah biru gelap yang ia kenakan berkibar tertiup angin. Wajah Fleur tetap tenang, tapi jemarinya yang mengepal di samping tubuh menunjukkan betapa kera







