Share

3. Datang Menyerahkan Uang

Sudah lima hari Rendi terbaring di rumah sakit. Luka-luka yang berada di kepala, tangan dan kaki sudah mengering. Hampir sembuh. Menunggu waktu penyembuhannya saja. Soal penanganan kaki kanannya yang patah, Rendi memutuskan untuk pemasangan pen. Ia menolak saran Hernan yang mengaku kenal dengan tukang urut.

Dari hasil browsing di internet, disimpulkannya pemasangan implan yang terbuat dari logam lebih aman dari resiko kesehatannya dibandingkan dengan pengobatan alternatif. Terlebih pula, kondisi kepatahan di kakinya sangat memungkinkan untuk di pasang pen tersebut.

Pertimbangan lainnya adalah waktu penyembuhan. Bila dipasang pen, diketahuinya, dua pekan setelah pemasangan ia sudah bisa menggunakan tongkat untuk bantu berjalanan. Sementara, diperlukan waktu yang jauh lebih lama untuk bisa beraktivitas bila ia berobat pada tukang urut patah.

Persoalan biaya teratasi dengan ide dari Tante Rieka. Setelah tidak mendapat kemungkinan mendapatkan biaya, Rendi kemudian berterus terang pada Tante Rieka. Ujung-ujungnya ia mengajukan pinjaman.

Tante Rieka tidak keberatan meminjamkan uang. Namun ia memprediksi Rendi yang akan kesulitan membayarnya. Menurut, melakukan pinjaman bukan solusi yang terbaik.

"Tante bantu saja. Juga minta bantu pada orang tua yang anak-anak mereka les sama kamu. Biar Tante yang menghubungi mereka. Bagaimana?"

Menurut Rendi itu ide yang bagus juga. Namun ia kurang sreg minta bantu begitu. "Merasa tidak enak dengan minta bantu begitu, Tan," ujarnya.

"Hidup ini harus tolong menolong. Saling bantu. Sekarang kamu yang perlu dibantu. Biar Tante yang ngomong sama mereka," tutur Tante Rieka dengan maksud menghilangkan rasa tidak enak yang menjadi beban Rendi.

Rendi pun bingung juga. "Aduh, bagaimana ya?"

"Tante yakin pasti mereka mau bantu. Sebagian besar teman-teman Tante juga."

Maka begitulah. Rendi tidak punya alasan kuat untuk menolak ide itu. Dan Tante Rieka segera menjalankan misinya. Rendi menyerahkan nama dan nomor kontak para orang tua yang anak mereka menjadi murid lesnya. Belasan orang.

Hanya semalam Tante Rieka bekerja. Menghubungi orang tua murid les Bahasa Inggris itu. Esok paginya wanita itu menelpon. "Sudah terkumpul Rp15 juta. Benar kan dugaan Tante. Banyak yang bantu. Itu belum semua dihubungi. Beberapa orang nomor HP-nya tidak aktif."

Tentu Rendi menanggapi dengan senang. Sama sekali di luar dugaannya. "Sudah cukup itu, Tan. Untuk biaya perawatan dan pemasangan pen," ujarnya gembira.

Pihak rumah sakit sudah mengkonfirmasi operasi pemasangan pen akan dilakukan lusa. Rendi diingatkan untuk tidak makan dan minum selama 6 jam sebelum operasi dilakukan untuk menghindari efek dari anestesi atau obat bius, terutama anestesi total. Juga diminta menghentikan minum obat-obatan yang sedang dikonsumsi.

Menunggu operasi pemasangan pen, Rendi menghabiskan dengan browsing. Dibacanya semua informasi yang berkaitan dengan cedera patah, pemasangan pen dan perawatan lanjutannya.

Ia pun mengetahui kalau proses pemulihan pascaoperasi patah tulang bisa berbeda pada setiap orang. Untuk kasus patah tulang yang ringan, mungkin perlu 3-6 minggu untuk pulih. Namun pada kasus patah tulang yang parah dan di area tulang yang panjang, umumnya dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk dapat kembali beraktivitas normal.

Pemasangan pen yang semula menjadi ganjalannya, diketahui pula besi sambungan tersebut bisa terpasang sangat lama dan bahkan selamanya. Berapa lama pen dipasang pada tulang yang patah tergantung pada kondisi pasien dan implan itu sendiri.

Dengan kata lain, pen tulang yang telah terpasang cukup lama tidak harus selalu dilepas, meski tulang yang patah tersebut telah tersambung dengan baik. Sebab, implan logam ini memang sudah dirancang sedemikian rupa agar dapat bertahan dalam waktu lama di dalam tulang.

Mendapatkan informasi demikian, Rendi makin mantap dengan pilihan pemasangan pen di kakinya.

***

Terdengar ketukan pintu di ruang perawatan. Rendi sendirian dalam kamar. Ia menunggu tamu masuk. Pintu tidak terkunci. Dalam pikirannya adalah kawan sekostan atau teman kuliah yang datang.

Pintu terkuak setelah beberapa ketukan tidak ada tanggapan. Seorang wanita nonggol dari balik daun pintu. Dipastikan Rendi bukan teman kuliahnya. Ia tidak mengenali wanita berambut sebahu dengan wajah tirus itu. 

Masih muda. Paling tinggi usianya 21 tahun. Gadis itu melangkah pasti dengan tas tergantung di bahu. Ia mendekati tempat tidur Rendi dengan sikap percaya diri yang tinggi.

"Ini Rendi kan?" tanyanya segera.

Rendi membenarkan. Sebelum ia bertanya, gadis itu kembali bersuara. "Sori. Aku Shelia. Aku yang nabrak kamu kemarin itu. Malam itu aku buru-buru. Jadi, tak bisa nolong kamu," ujarnya dengan ringan seperti berbicara pada teman sepermainan. Gadis itu mendudukkan badan di kursi dengan gerakan yang cepat. Ia bersandar dengan menegakkan kepala.

Mata Rendi terbelalak. Ia sama sekali tidak menyangka didatangi penabraknya. Ternyata seorang gadis muda. Ia juga heran dengan sikap si gadis itu. Menyebabkan kakinya patah dan sudah lima hari ia rebah di rumah sakit. Namun si pelaku penabrak itu datang dengan wajah tanpa bersalah.

Rendi menelan ludah. Diliriknya dengan ujung mata. Gadis berhidung mancung dengan bibir indah melengkung itu juga memandang padanya. Mata bulatnya bercahaya terang. Tidak ada penyesalan di matanya. Apalagi duka.

"Trus ada apa lagi?" Keinginan Rendi untuk berbicara dengan gadis itu tiba-tiba menguap ke luar kamar. Rahangnya terasa mengeras.

"Aku ingin kita damai ja. Cabut laporan di polisi. Biar aku yang tanggung semua biaya di rumah sakit. Oke!"

Rendi menarik nafas. Dadanya terasa sesak. Bila saja yang berbicara di sampingnya itu adalah pria, tentu sudah disembur dengan ludah. Hatinya benar-benar mengkal mendengar kicauan si gadis itu.

Anehnya si gadis itu seakan tidak melihat mukanya yang gondok marah. Ia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. "Ini uang damainya. Biaya rumah sakit aku yang tekel semua. Oke. Kamu tanda tangani ini, surat perdamaian." Ia mengeluarkan dua amplop dari tas. Satu amplop berisi cukup tebal. Tentu berisi uang.

Rendi menarik badannya. Ia berusaha duduk bersandar pada bantal. "Aku pikirkan dulu. Besok atau lusa kamu datang lagi," tegasnya.

Si gadis itu yang malah kaget. "Hei, aku ini datang menawarkan damai. Ini uang damainya Rp10 juta. Juga bayar semua tagihan rumah sakit ini," serunya sewot.

Rendi meredam amarahnya. "Aku pikirkan. Besok kamu datang." Rendi mendelik memandang tajam.

"Jelas-jelas ini perdamaian yang menguntungkan kamu. Mau pikir apalagi?"

Rendi menggelengkan kepala.Ia mengatupkan rahang.

“Kok, mesti dipikir lagi? Udah. Teken surat ini. Selesai semua.” Gadis itu berdiri. Ia menyodorkan amplop berwarna coklat yang menggembung.

Rendi membiarkan tangan gadis itu tergantung. Tidak ada keinginannya untuk menerima amplop itu. Tangan gadis itu masih tertahan sekitar sejangkauan di depannya. Ia tetap menunggu tangan Rendi, seperti yakin Rendi akan menerimanya.

Beberapa detik kemudian, Rendi mengulurkan tangannya. Terlihat si gadis menahan senyum. Ujung bibirnya bergerak. Begitu ujung tangan Rendi berada di dekat amplop, Rendi mengibaskan tangannya. Ia mendorong tangan si gadis yang memegang amplop.

“Sudah. Sudah selesai!” desis Rendi.

Gadis itu gelagapan menarik tangannya. “Maksudnya, kamu menerima perdamaian ini?”

“Kamu bawa semua. Surat dan uang kamu itu!”

“Itu belum selesai namanya,” ujarnya ragu.

“Sudah. Sudah selesai. Dan sekarang tinggalkan kamar ini!” tegas Rendi pula.

Gadis ini kian bingung dengan kening berkerut banyak. Kakinya tersurut selangkah.

“Apalagi?” bentak Rendi. “Mau sekuriti yang mengusir kamu dari kamar ini!”

Gadis itu menyimpan kedua amplop yang berada di tangannya. Ia memandang Rendi dengan mata mengerjap-ngerjap.

“Dan jangan datang lagi ke sini!” desisnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Veedrya
Mau dibawa ke sangkal Putung, Ren?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status