Share

4. Menolak Damai

Gadis berambut sebahu itu tidak bergerak. Ia berdiri di depan kursi. Memandangi Rendi dengan mata menyipit. Rendi tidak mengubris. Melepaskan pandangan ke atas plafon.

“Maaf, maksud aku itu...”

Rendi memotong dengan suara tajam. “Pergilah. Sudah selesai!”

Gadis itu menjulurkan kepala dengan mata membulat. “Jadi. Jadi, kamu menolak damai?” Suara gadis itu terdengar penuh keraguan, tidak percaya diri lagi. Namun pandangan matanya tetap tajam menusuk.

Rendi memutar kepalanya menghadap dinding. Ia diam seribu bahasa. Lima atau mungkin sampai sepuluh menit. Diam saja. Rendi tidak tahu apa yang diperbuat gadis itu. Beberapa saat lamanya terdengar keheningan yang mencekam dalam kamar. Setelahnya, beberapa jenak kemudian, ia mendengar bunyi sepatu berdetak-detak. Suara langkah kaki. Mungkin gadis pergi. Baguslah itu. Rendi memejamkan matanya.

Beberapa jenak kemudian terdengar lagi suara detak sepatu. Rendi diam tidak bergerak. Ia tidak ingin melihat gadis itu lagi. Ia menahan diri, menahan emosi. Rendi mengatupkan rahangnya.

“Tidur Bro?” terdengar suara seraya menyentuh kakinya.

Rendi membalikkan kepala. “Hehe, Bro yang datang. Kirain masih dia?”

“Dia siapa?” tanya Fadely.

“Barusan si penabrak itu datang,” sebutnya.

Fadely mendekat. Ia duduk di kursi seperti bersiap memberikan penjelasan. “Petugas Polres sudah mendapatkan si penabrak itu. Kemarin dia dipanggil dan dilakukan pemeriksaan. Sudah datang dia ke sini?"

Rendi membenarkan gadis itu sudah datang menemui.

"Trus apa katanya?”

“Dia datang minta damai. Sodorkan uang damai Rp10 juta,” jelas Rendi.

“Bro terima. Jadi, sudah damai gitu?” tanya Fadely terlongo.

Rendi menggeleng. “Aku usir dia. Datang-datang dengan gaya sombong sekali. Bukannya minta maaf atau menyesal, tapi malah menekan aku untuk berdamai,” gerutunya.

“Gadis itu kan yang datang? Shelia namanya.”

“Tak tau aku namanya. Tapi dia ngaku yang menabrak aku malam itu.”

“Cantik orangnya. Berambut pendek di atas bahu?”

“Mungkin,” ujar Rendi tak bersemangat. Ia malas mengingat apa betul gadis itu cantik. Ia juga tidak apa gadis itu punya rambut atau tidak. Yang teringat olehnya hanya keangkuhannya. Seakan orang bisa dibelinya.

“Laporan polisi itu terus berlanjut?” tanya Fadely.

“Sepertinya begitu. Kan belum dicabut.”

Rafdi menyampaikan dukungannya. “Orang-orang seperti itu memang harus diberi pelajaran. Dipikirnya dunia ini bisa diaturnya.” Fadely tersenyum. “Bisa kita mainkan dengan petugas nanti. Jangan cabut laporannya.”

Sebetulnya Rendi tidak ingin pula memperpanjang kasus tabrakan dirinya. Apalagi membawanya ke ranah hukum. Tentu bukan sebuah kesengajaan tabrakan itu. Namun, kedatangan gadis itu dengan angkuh dan sok percaya diri yang sangat tinggi menyebabkan emosinya terpancing juga.

“Coba Bro cari tahu siapa gadis itu,” minta Rendi pada Fadely.

“Siap!”

Rendi minta diambilkan air minum. “Panas juga hati melihat gadis tadi.”

Fadely menyodorkan gelas air mineral. “Panas apa panasaran?” tanyanya terkekeh.

Rendi tersenyum seraya meneguk minuman. “Mungkin keduanya.”

Fadely menerima kembali gelas yang sudah kosong. “Untuk kaki yang patah itu sudah ada putusan?”

“Dipasang pen.” Rendi mengangguk. Hanya ia sendiri yang memutuskan. Toh tidak ada juga yang mesti dimintainya pertimbangan.

“Pasang pen atau obat alternatif, keduanya ada plus minusnya. Tergantung ketetapan hati saja. Soal biaya bagaimana?”

Rendi menceritakan ide yang sudah dijalankan Tante Rieka. Fadely tertawa. “Sudah oke itu. Kapan operasi pasang pen itu?”

“Mungkin lusa.”

Kemudian datang Siska dan Yenita, kawan kuliah Rendi. Kedua gadis itu teman seangkatan yang cukup dekat dengan Rendi. Siska datang untuk yang kedua kali. Sebelumnya sudah datang beramai-ramai.

“Lalu bagaimana dengan lesnya? Tentu liburlah para muridnya,” tanya Yenita.

“Itu yang menjadi masalah. Apalagi mereka mau ujian.”

“Kami yang bantu ngajar, bagaimana?” Siska menyampaikan tawaran.

Rendi tertawa tipis. “Memangnya kalian sanggup?”

“Berapa orang muridnya semua?”

“Sembilan belas orang.”

Yenita menutup mulutnya. Kaget. “Itu didatangi rumah mereka satu-satu?”

Rendi mengiyakan.

“Wuih, susah juga.”

“Kalau berdua mungkin tidak susah,” sebut Siska. “Kita yang tekel berdua, Yen?”

Yenita mengeleng-geleng. Tidak terbayangkan olehnya bagaimana mendatangi satu-satu belasan rumah murid yang tersebar di Kota Bandung lalu memberikan pelajaran. Yenita segera angkat tangan. “Aku mungkin tidak bisa. Rumah aku di luar kota,” jelasnya.

Fadely pamit. Ia akan mencari tahu siapa gadis penabrak yang bernama Shelia itu.

“Biar aku coba sendirian deh,” ucap Siska kemudian.

Rendi tersenyum menggeleng. “Tak usah. Mana sanggup kamu.”

“Bisa tidak kamu atur untuk rumahnya yang berdekatan dikumpulkan pada satu tempat saja. Tidak mesti mendatangi rumah mereka satu-satu,” ujar Siska memberikan jalan keluar.

Rendi berpikiran mungkin bisa. Kenapa hal itu tidak pernah terpikirkan olehnya selama ini. Tetapi tidakkah itu adalah satu kelebihan les yang dijalankannya.Memberikan kemudian, bisa datang ke rumah mereka.

“Kalau bisa digabungkan pada tiga atau empat tempat. Tidak susah betul mendatangi mereka,” tambah Siska.

Solusi yang mungkin bisa dicoba. “Coba nanti aku hubungi orang tua mereka. Mudah-mudahan bisa,” kata Rendi yang bisa menerima solusi yang disampaikan Siska.

“Ini untuk sementara waktu saja. Kalau kamu sudah sehat kembali belajar seperti biasa. Tentu orang tua mereka bisa menerima.”

Yenita memberikan dukungan. “Solusi yang bagus. Tidak terhenti sama sekali. Mereka tetap bisa belajar dengan ibu guru yang cantik ini.” Ia tersenyum melirik Siska dan Rendi bergantian.

Siska yang merasa digombali Yenita menahan senyum. Baginya menolong Rendi adalah sesuatu yang pekerjaan yang menyenangkan. Tidakkah tolong menolong adalah budaya kepedulian yang sesuai dengan ajaran agama manapun? Kalau bisa menolong kenapa tidak dilakukan? Siska membuang pikiran hal itu ditawarkannya untuk menumbuhkan imej positif Rendi terhadap dirinya.

“Tapi tentu uang lesnya dibagikan juga kan?” usik Yenita pula.

Siska memberengut. Ia melayang pukulan ke lengan Yenita. “Bukan begitu maksudnya.”

“Begitu pun tidak masalah juga. Iya kan Ren?”

Rendi tahu Yenita melayangkan pancingan. Ia menolak memakan umpan yang ditebarkan. “Maksud baik jangan diselewengkan. Bisa jadi perkara itu,” kata Rendi asal-asalan.

“Ya, perkara dua hati,” sambut Yenita cepat.

Rendi tersenyum melihat wajah Siska merona. Ah, Siska. Wajahnya manis keibuan. Namun hatinya jauh lebih manis. Siska gadis yang sangat peduli dan penuh perhatian. Gadis itu pernah hadir dalam angan-angannya pada bulan-bulan pertama kuliah.

Tetapi setelah mengenalinya lebih jauh, Rendi terpaksa membuang angan-angannya itu. Ia mesti menempatkan Siska sama dengan Yenita dan gadis-gadis kampus lainnya. Tidak mungkin menempatkannya di tempat yang istimewa. Ada tembok tinggi besar yang menghalangi. Tidak mungkin dilewati.

***

Rendi sudah selesai operasi pemasangan pen di tulang kering kaki kanannya. Tidak lama prosesnya. Hanya sekitar dua jam. Tulang yang patah harus diperbaiki dan dipertahankan posisinya sampai tulang tersebut menyatu kembali. Prosedur pemasangan pen untuk mengobati patah tulang ini dikerjakan oleh dokter bedah melalui operasi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan posisi tulang.

Rendi diberi bius umum agar tertidur selama operasi atau bius lokal untuk membuat area kaki kanan yang akan dioperasi menjadi mati rasa.

Rendi tentu tidak tahu bagaimana dokter bedah membuat sayatan di atas lokasi patah tulang kakinya. Posisi tulang yang patah dikembalikan seperti semula, lalu dokter bedah memasang pen untuk mempertahankan posisi tulang kakinya.

Rendi hanya tahu kaki kanannya dari bawah lutut hingga mata kaki dibaluti dengan kasa yang bersih. Sudah terpasang gips sepanjang tulang terbesar kedua yang terletak di tungkai kaki. Tulang ini menghubungkan lutut dengan pergelangan kaki.

Rendi segera menjalani pemulihan. Beberapa pekan ke depan mesti terpuruk dalam kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status