Share

5. Shelia Diperiksa Polisi

Shelia masih telentang di spring bed saat didengarnya suara panggilan Bik Mur di balik pintu. “Ada tamu, Non. Mau jumpa, Non!” teriaknya.

Shelia tidak beraksi. Ia diam saja. “Ada tamu, Non. Penting sepertinya!” teriak Bik Mur lagi.

Gadis itu turun dari tempat tidur dengan bersungut-sungut. Siapa pula yang datang pagi-pagi begini? Menganggu saja. Ia membuka pintu dengan tarikan kemarahan. “Siapa, Bik?”

“Ada tamu. Katanya mencari Non Shelia,” jelas Bik Mur pula.

“Laki perempuan?’

“Laki, Non. Dua orang.”

Aduh. Menganggu saja. Laki-laki siapa? Shelia bingung. Ia merasa tidak pula ada janji mau jumpa siapa. Meski begitu, ia tetap turun ke lantai satu. Lalu membukakan pintu ingin tahu siapa yang datang.

Ternyata dua pria dewasa berpenampilan necis. Berbadan tegap dengan potongan rambut pendek. Sepatunya hitam mengkilap seakan bisa berkaca di sana.

“Maaf,  menganggu. Kami dari Kepolisian mau memeriksa Nona terkait dengan tabrakan di Jalan Pulau Sumatera, Rabu malam lalu. Saksi mata yang kami mintai keterangan menyebutkan ciri-ciri dan nomor polisi mobil penabrak. Dan hasil pemeriksaan kami itu mobil Anda,” ujar salah seorang petugas.

Shelia tersentak. Ia kaget sekali. Kasus kecelakaan sampai ke polisi. Hanya senggolan sedikit. Siapa yang lapor ke polisi. Siapa korban? “Malam itu cuma nyenggol sikit. Malam itu aku buru-buru,” ujar Shelia tergagap.

“Ya, nanti bisa dijelaskan di kantor. Sekarang sebaiknya kita ke kantor saja,” kata pria berkumis.

Shelia bingung. Di rumah hanya ia sendirian. Papa ke luar negeri. Dan Mama pagi tadi ke Jakarta. Aduh, bagaimana ini?

“Maaf, Pak. Apa bisa tunggu orang tua. Aku sendirian di rumah.”

“Tidak apa. Nona saja. Hanya untuk pemeriksaan saja dan ambil keterangan. Tidak akan lama,” kata petugas itu lagi.

Meski tidak mendesaknya, namun Shelia juga tidak punya alasan lagi untuk menolak. Ia kemudian terpaksa mengikuti. Dan petugas itu minta ia membawa mobil yang dipakainya malam tabrakan itu. Dalam perjalanan ke kantor polisi ia menghubungi Papa. HP Papa tidak aktif. Ia hanya bisa mengontak Mama. Dan Mama minta ia datang saja ke kantor polisi. Mama berjanji akan menyuruh orang bagian hukum di perusahaan Papa untuk segera menyusul ke kantor polisi membantunya.

Kemudian datang Bang Siahaan, staf perusahaan Papa yang menangani semua permasalahan yang berkaitan dengan hukum. Shelia merasa lega. Bang Siahaan juga minta padanya untuk menyampaikan terus terang apa yang terjadi. “Sampaikan saja semuanya. Jangan takut,” ujarnya.

Makanya kemudian, Shelia tidak membantah. Polisi sudah punya fakta-fakta yang tidak mungkin dibantah. Sangat lengkap. Tidak mungkin ia mengelak. Kembali ditekankannya, malam itu ia buru-buru. Tidak sempat menolong korban. Juga tidak bermaksud melarikan diri. Ia sendiri lupa ada rencana melarikan diri atau bersembunyi.

Di kantor polisi baru Shelia tahu kalau tabrakan malam itu menyebabkan korban mengalami luka-luka. Dan tidak hanya luka-luka. Tapi si korban juga mengalami patah kaki.

Petugas percaya dengan alibi Shelia. Namun petugas menyampaikan pihaknya akan melakukan tes urine untuk memastikan kondisinya saat tabrakan itu. Itu sudah standar pemeriksaan terhadap pelaku tabrakan.

Shelia langsung pucat. Aduh, bagaimana ini? Ia menunduk. Menurunkan tangan kanan. Pura-pura mengaruk kaki yang gatal. Namun dicoleknya kaki Bang Siahaan. Pria itu melirik dan Shelia mengedipkan matanya.

“Bang, sepertinya tidak perlu juga tes urine itu. Shelia sendiri sudah mengakui terjadinya kecelakaan itu. Dan ia juga diperiksa,” ujar Bang Siahaan yang segera paham dengan kedipan mata Shelia.

“Ini untuk memperkuat saja,” jawab petugas.

“Toh sudah kuat data-datanya. Dan intinya pelaku juga sudah mengakuinya,” dalih Siahaan lagi.

“Prosedurnya sudah begitu. Untuk melengkapi pemeriksaan.”

“Apa tidak bisa dituda?”

“Sudah berada di kantor, kenapa mesti ditunda lagi. Tidak lama pemeriksaanya. Setengah jam sudah diketahui hasilnya,” tutur petugas yang akan memeriksa Shelia.

Bang Siahaan minta waktu. Ia mengaku akan memberitahu orang tua Shelia terlebih dahulu. Ia keluar ruang pemeriksaan. Dihubunginya Pak Gindo, Papanya Shelia. Masih belum aktif HP-nya. Ia kemudian memberitahu pada Buk Susiana meski ia tahu Mamanya Shelia itu tidak kenal dengan para komandan di kantor polisi.

Dan sayangnya, ia pun tidak kenal sepenuhnya anak gadisnya. “Tidak apa. Tes saja. Pasti negatif hasilnya,” katanya pada Siahaan dengan sangat yakin.

Atas nada keyakinan yang diterimanya dari istri presiden direktur itu, Siahaan pun yakin pula membiarkan petugas melakukan tes. Ia kemudian melihat dengan jelas perubahan wajah Shelia yang tiba-tiba sudah seperti kapas.

Tes urine terhadap Shelia pun dilakukan. Dan seperti yang ditakutkan Shelia, hasilnya positif.

***

Papa marah besar. Wajahnya tampak mengeras. Ia berjalan bolak-balik di belakang kursi ruang tengah dengan tangan terkepal.

Sampai di Bandara Soeta sepulang dari SIngapura, ia menerima berita yang mengagetkan itu dari Siahaan. Shelia positif narkotika. Namun Siahaan menenangkan hati bosnya kalau ia sudah menyampaikan permohonan untuk menyelesaikan kasus kecelakaan secara kekeluargaan dan menanggung semua biaya pengobatan korban.

Untuk perkara Shelia yang positif, ia juga berhasil menyakinkan kepolisian bahwa pihak keluarga akan melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap Shelia. Apa pun hasilnya, akan dilaporkan.

Mama dan Shelia duduk di kursi panjang. Kepala Shelia berada di atas pundak Mama. Masih tersisa suara tangisannya. Terdengar sesenggukan. Mama mengusap-usap kepala anak gadisnya.

"Tidak mungkin kamu tidak memakainya kalau hasilnya positif begitu," ujar Papa. Ia merentangkan kedua tangan di atas sandaran kursi. Memandang tepat ke arah depan. "Ngaku saja!"

Shelia mengangkat kepalanya. "Betul, Pa. Tidak ada makai," dalihnya.

"Lalu kenapa hasilnya positif?"

Mama memindahkan tangannya dari bahu Shelia. "Bisa saja salah, Pa. Keliru. Mungkin saja tertukar atau salah catatan sampelnya," ujar Mama membela anak gadisnya.

"Oke," suara Papa melunak. "Untuk memastikannya, kamu harus melakukan tes lagi. Di tempat lain. Bagaimana?" tantang Papa.

Shelia yang memastikan dirinya tidak ada menyentuh narkotika, setidaknya dalam sebulan terakhir, berani menjawab tantangan Papa. "Baik, Pa," ujarnya.

Mama menyampaikan dukungannya meski sesungguhnya ia was-was juga. Malah sangat takut. Bagaimana nanti bila hasilnya tetap positif? Anak gadisnya itu tersangkut dengan masalah hukum. Namun ia yakin Shelia tidak tersangkut dengan narkotika.

Setahunya Shelia hanya suka minum minuman beralkohol berkadar rendah. Sekelas bir.

Papa sangat serius guna mendapatkan kepastian. Besok paginya, ia mengantar Shelia ke klinik untuk melakukan pemeriksaan urine lagi. Papa sengaja menunda waktunya pergi ke kantor perusahaan.

Hasilnya keluar 30 menit kemudian. Shelia menunggu dengan berdebar juga. Jangan-jangan hasilnya kembali tidak sesuai dengan keyakinannya. Namun Shelia mampu meyakinkan dirinya sendiri.

Papa lebih berdebar lagi. Menjadi sebuah pukulan hebat terhadap dirinya bila hasil tes kedua ini tetap positif. Apalagi bila hal itu kemudian diekspos pula di media massa. Bisa kacau semuanya. Nama baik bisa menjadi tercemar. 

Dan keduanya sama-sama menyemburkan nafas lega ketika didapatkan mereka hasilnya negatif. Ketakutan mereka ikut tersembur ke luar.

Wajah Shelia berubah cerah seketika. Ia tersenyum lega. "Negatif kan!" serunya dengan riang melirik Papa.

Papa pun sangat senang. Kekhawatirannya tidak terbukti. Papa menanggapi dengan mengucek-ecek kepala Shelia. 'Bagus, bagus," katanya bersemangat.

Meski begitu, masih ada yang dipermasalahkan Papa. "Minuman harus kamu kurangi. Papa bukannya tidak tahu kamu suka minum. Minuman beralkohol itu dekat sekali dengan narkotika," ujarnya mengingatkan.

Shelia memandang tanpa suara. Papa tahu aku minuman? Tahu dari mana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status