Share

7. Terpaksa Teken Juga

Rendi membenarkan. “Iya. Masih muda. Mungkin di bawah aku umurnya.”

“Kalau itu sikap kamu ya mau bagaimana lagi,” ucap Tante Rieka pula.

Ia merogoh tas mengeluarkan amplop berwarna coklat. “Ini uang sumbangan dari para orang tua. Bertambah lagi. Total jumlahnya Rp19,5 juta,” jelasnya seraya menyodorkan amplop.

“Tante ja yang pegang dulu. Aku sama sekali belum bisa bergerak. Ntar kalau sudah mau pulang, Tante bawakan lagi,” ujar Rendi. Ia merasa lebih aman uang itu berada di tangan Tante Rieka dari pada di tangannya.

“Oke,” kata Tante Rieka maklum. “Tidak aman juga kamu pegang.” Ia mengembalikan amplop ke dalam tas.

Tante Rieka kemudian pamit. Ia mengaku akan membawa Meylin berbelanja ke supermarket.

“Besok jangan lupa belajarnya di rumah Monika ya,” sebutnya pada Meylin.

Meylin memandang heran.

“Sementara saja. Selama Om di rumah sakit. Setelah Om sembuh nanti belajarnya di rumah lagi. Oke!”

Meylin mengangguk paham. “Oke, Om!” jawabnya.

Begitu Tante Rieka dan Meylin akan keluar kamar, tiga orang masuk. Mereka berpapasan di depan pintu. Tidak orang pria. Ketiganya berbadan kekar. Tidak seorang pun Rendi tidak kenal dengan mereka.

Tiga orang pria itu berdiri berpencar. Seorang berada di depan meja, di samping tempat tidur Rendi. Sementara dua orang lagi berdiri di ujung tempat tidur, dekat kakinya. Rendi memandang ketiganya bergantian. Benar. Ia tidak kenal mereka.

“Kami dari keluarga Shelia. Kami mau mengajukan perdamaian soal tabrakan itu,” ujar pria yang berdiri di samping Rendi. Bertampang keras dengan kumis yang cukup lebat. Ia mengulurkan tangan pada pria di ujung tempat tidur yang membawa tas. Pria bertopi hitam itu mengeluarkan selembar kertas dan sebuah amplop.

“Ini surat perdamaian itu. Tolong tanda tangani!” tegasnya dengan mata tajam.

Rendi tidak berekasi. Ia diam saja.

"Kamu tandatangani!"

"Surat perdamaian apa?"

"Surat perdamaian mengenai kecelakaan kemarin itu!" tegasnya.

Rendi memandangi mereka seakan-akan menilai kekuatan tinju mereka atau kecepatan kakinya.

“Kenapa? Tidak mau?” tanya pria yang memakai tas.

“Bukan tidak mau, tapi..”

“Tidak ada tapi-tapi. Segera tanda tangani saja!” tegas pria lainnya yang berdiri di sebelah yang membawa tas.

Mereka datang dengan tampang tidak bersahabat. Rendi tidak akan meladeni mereka. Tapi ia juga sadar tidak akan mampu melawan ketiganya. Apalagi dengan kondisinya sekarang. Jangan untuk melawan, untuk bergerak saja ia tidak bisa.

“Apalagi yang kau pikirakan?”

“Atau perlu akan patahkan lagi kaki kau yang sebelahnya!” ancam pria yang berdiri persis di ujung kaki Rendi.

Rendi masih diam. Pria di ujung kakinya bergerak mendekati. Matanya memandang tajam dengan menyipit.

“Jangan bikin masalah baru lagi. Ini uang damainya. Dan kau teken surat ini,” desak pria berkumis tebal di samping tempat tidurnya.

Rendi bukannya tidak ingin melawan. Namun posisi dan situasi sama sekali tidak memungkin ia untuk menolaknya. Ia benar-benar tidak punya pilhan.

“Aku tunggu tiga menit. Bila kau masih diam aku patahkan kaki kau. Jangan main-main dengan kami!” ancam pria berbadan kekar di ujung kakinya.

Pria yang berada di samping menyorongkan kertas dan pena. Sementara pria yang dibawah pun mengulurkan kedua tangannya di atas kaki Rendi. Rendi menarik nafas. Ia melirik dengan menyipitkan mata. Sepertinya tidak main-main ancaman terhadap kakinya. Ujung tangan si pria bertopi itu kini berjarak beberapa sentimeter di atas kaki yang tidak tertutup selimut.

Rendi tidak mau berbuat konyol. Tidak ada pilihan lagi. Apa boleh buat. Digerakkannya tangan kanan mendekati kertas yang sudah terulur. Diambilnya kertas itu. Juga pena. Pria di sebelahnya mengancam dengan anggukan.

Dengan nafas tercekat ia memiringkan badan. Beralasan tangan kirinya Rendi membubuhkan tanda tangan. Dibiarkan saja kertas itu tergeletak di atas samping badannya. Pria di sebelah tempat tidur segera memungutnya. Melipat dan menyerahkannya pada rekannya yang berdiri di ujung tempat tidur.

Pria itu menarik bibir kemenangan. Lalu menyorongkan amplop. Rendi diam saja. Tidak menerimanya. Pria itu menjatuhkan amplop. Tergeletak di samping badan Rendi. “Itu uang damainya. Ambillah. Jangan bertindak bodoh!” tegasnya.

“Tidak perlu aku uang itu. Kalian bawa lagi!” ujar Rendi tidak kalah tegasnya.

“Kalau itu maunya bawa saja. Yang penting dia sudah tanda tangan,” kata pria bertopi . “Baguslah itu,” tambahnya tertawa senang.

Pria berkumis lebat tidak sependapat. “Bermasalah nanti,” katanya.

Pria bertopi bertahan dengan keinginannya untuk membawa amplop itu. Tak jelas maksudnya. Mau mengembalikan uang itu kepada orang tua Shelia atau mengantonginya sendiri. Ia bergerak mau mengambil amplop itu.

Pria berkumis melarangnya. “Biarkan saja!” tegasnya yang membuat pria bertopi menghentikan langkahnya seraya bersungut-sungut.

“Ambil lagi. Aku tidak mau uang itu,” dengus Rendi menahan amarah.

Ketiga pria berbadan kekar itu saling pandang.  Mereka seperti mendapat durian runtuh. Namun takut mengambil karena ada binatang buas dekat durian itu. Pria yang membawa tas menggerakkan dagunya pada pria berkumis memberi kode.

Dengan gerakan cepat pria berkumis meraup kembali amplop berwarna coklat yang bergeletak di dekat lengan Rendi. Disurukkan dalam jaket kulit hitam yang dipakainya. Ia melemparkan senyum kemenangan. Rendi melihat dengan helaan nafas. Ketiganya bergegas ke luar kamar.

"Makasih ya," teriak salah seorang sebelum menutup pintu dengan hempasan yang kuat.

Rahang Rendi mengeras. Giginya terlihat seakan bergerak. Ia menjangkau HP di bawah bantal.

"Kalau ada waktu bisa datang ke rumah sakit, Bro," ujarnya setelah nomor yang dihubungi tersambung.

Kuat dugaan Rendi ketiga pria tadi adalah orang suruhan gadis yang menabraknya. Atau perintah dari orang tua si gadis itu. Setelah ia menolak tawaran perdamaian yang disampaikan si gadis penabrak, mereka menempuh jalan ancaman. Baik, aku turuti permainan mereka, bathin Rendi.

Kepada Fadely yang sorenya datang, Rendi mencerita kedatangan tiga orang pria berbadan tegap itu. Juga ancaman yang dilakukan mereka untuk mendapatkan tanda tangan surat perdamaian.

Fadely menanggapi tenang dengan sekilas senyuman. "Tak apa. Dengan teken surat itu saja belum selesai persoalannya."

Fadely duduk di sebelah tempat tidur. Ia mengaku sudah mendapatkan data-data tentang gadis penabrak itu. "Aku pun sudah tahu siapa gadis itu. Bapaknya pengusaha. Banyak bisnisnya di Kota Bandung ini. Dan si gadis itu menjalankan beberapa bisnis bapaknya," jelasnya.

Dan Fadely memastikan ketiga pria yang datang Rendi itu adalah orang-orang suruhan bapak si gadis itu. Fadely berjanji akan segera mencari tahu siapa mereka.

"Lalu apa yang mesti kita lakukan? Apa rencana, Bro?" tanyanya.

Tentu melakukan perlawanan. Namun hal itu jelas tidak mungkin dilakukan sekarang. Perlu waktu menunggu penyembuhan kaki terlebih dahulu. Tentu gila melawan dengan kondisi sekarang.

"Selesai dulu perawatan aku di rumah sakit ini. Setelah itu kita atur apa rencana selanjutnya. Bagaimana menurut, Bro?" tanya Rendi.

"Begitu lebih baik," tanggap Fadely. "Kira-kira berapa lama lagi Bro keluar dari sini?"

"Sekitar dua pekan lagi."

"Pas itu. Lusa aku ke Jakarta. Ada pelatihan di Forki Pusat. Lima hari. Sepulang dari situ kita bicarakan lagi. Kita siapkan segala sesuatunya." Fadely memutar duduknya. Dijangkaunya dua apel. Satu diserahkannya pada Rendi. Sementara satu lagi dimakannya. Keduanya menikmati buah yang terasa segar itu.

"Mulai besok kusuruh anak Dojo Polres stand by di luar. Berjaga-jaga," sebut Fadely pula. "Kalau Bro tidak patah tentu tidak perlu mereka. Orang-orang yang tidak jelas dilarang masuk ke sini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status