Share

6. Bingung Penolakan Rendi

“Belagu dia, Ma,”

“Maksud kamu?” tanya Mama di antara suapan sarapannya.

“Pria itu belagu. Tidak mau damai. Tidak mau uang damai yang aku tawarkan,” jelas Shelia bersungut-sungut. “Banyak gaya betul dia. Huh! Macam orang kaya pula!”

Mama menghentikan suapannya. Memandang lurus ke depan. “Kamu datangi dia ke rumah sakit? Jumpai dia?’

“Iya, Ma. Aku datang baik-baik ke rumah sakit. Ngajak berdamai. Eh, dia sama sekali tidak merespos. Malah nyuruh aku pulang.” Shelia menghentakkan siku pada  kaca meja makan.

“Salah omong kamu mungkin,” duga Mama.

“Salah omong apa pula. Itulah yang aku bilang ke dia. Tidak salah!"

“Cara masuk kamu, cara ngomong kamu, maksud Mama.”

“Aduh, Mama ini gimana?. Masuk ya ketuk pintu. Omong ya sampaikan apa hendak dikatakan. Jelaskan terus terang. Begiitu kan?”

Mama mengangguk. “Cara omongan kamu kurang sopan mungkin?”

Shelia menyelesaikan tegukan minumannya. “Sopan bagaimana lagi, Ma? Dia itu yang sok. Banyak lagunya!”

“Berapa kamu siapkan uang?”

“Sepuluh juta.”

Mama tertawa tipis. “Mungkin kurang jumlah uangnya.”

“Mama,” cetus Shelia cepat. “Kurang apa lagi? Aku kasih uang damai Rp10 juta. Lalu aku juga bilang ke dia akan menanggung semua biaya di rumah sakit. Total semua nanti bisa-bisa lebih Rp40 juta. Apa itu kurang?”

Papa datang ke meja makan. Duduk di samping Mama. Ia menjangkau gelas minuman yang sudah terisi. Mama menawarkan nasi goreng yang langsung disetujui Papa. Mama mengambilkannya.

“Ada apa?” tanyanya pada Shelia yang masih bermuka sewot.

“Si korban tabrakan itu tidak mau damai. Tidak mau menerima amplop uang yang aku bawa,” jelasnya.

“Kenapa begitu?”

“Itulah banyak betul gayanya. Sama sekali menolak semua yang aku tawarkan. Dia malah nyuruh aku pergi dan tidak boleh datang lagi,” tambah Sheila secara menceritakan isi percakapannya dengan pria yang ditabraknya.

“Begitu katanya?” Papa masih belum percaya.

“Iya, Pa!”

“Kamu dah tahu siapa dia? Di mana tinggalnya. Siapa bapaknya?”

Shelia menggeleng tanpa suara. "Tapi informasi dari pihak rumah sakit dia itu mahasiswa. Tidak ada keluarganya di sini. Dia kost," jelasnya.

"O, mudah itu. Kalau dia sendirian di kota ini. Tambah uang damainya. Sebutkan angkanya sama dia. Pasti mau dia," kata Mama dengan keyakinan yang besar.

Usai meneguk kopi susunya, Papa berkata, “Sekarang biar Papa yang tangani. Papa suruh nanti anggota di kantor yang menyelesaikan. Sekalian mencari tahu siapa dia. Udah kamu diam saja.”

***

Shelia duduk dengan pikiran suntuk. Beberapa hari belakangan bolak-balik ke kantor polisi membuat harinya kocar-kacir juga. Belum lagi sikap Rendi yang dinilainya sangat egois. Menolak semua tawaran yang disampaikannya.

"Kacau betul tampaknya. Ada masalah apa?" tanya Verin.

Shelia melepaskan nafasnya. "Si Kampet itu banyak betul gaya. Muak aku!" rutuknya.

"Si Kampret mana?"

"Itu yang kena tabrak. Kampret betul dia."

Verin menyelesaikan tegukan jusnya. "Kenapa dia?"

Shelia memperbaiki posisi duduknya. "Aku kan tawarkan damai sama dia. Tanggung juga biaya rumah sakitnya. Kasih uang juga. Eh, dia malah belagu pula. Tidak mau," sebutnya tanpa bisa menahan sewot.

Yunia yang asyik main HP menegakan kepala. "Apa alasanya?"

"Tidak tahu juga. Tidak ngomong."

"Berapa kamu siapkan uang damainya?"

"Sepuluh."

"Sepuluh juta?"

Shelia menganggukan kepala.

Verin tertawa. "Pasti karena uang damai itu. Terlalu kecil."

Shelia melotot. "Terlalu kecil? Sepuluh juta dibilang kecil?"

"Coba kamu siapkan Rp50 juta pasti diterimanya," kata Yunia seraya tertawa. "Betul tidak, Rin?" tanya pada Verin.

Verin ikut tertawa. "Bodoh kali dia kalau segitu tidak mau," ulasnya.

"Ya, mau. Tapi akunya yang tidak mau. Bodoh ngasih segitu!" sergah Shelia cepat.

"Betul juga."

"Kalau tak usah dikasih gimana? Tidak mau damai dia?

"Surat perdamaian sudah ditekennya. Uangnya ja yang dia tidak mau," jelas Shelia pula.

"Wah, baguslah itu. Tidak keluar uang. Yang perlu itu surat damainya kan? Tidak perlu lagi kasi uang itu."

Betul juga pemikiran begitu. Hanya saja, kedudukan perdamaian tidak sekuat bila tidak ada yang memberi dan menerima. Seakan tidak ada ikatan secara emosional. Hal ini juga yang menyebabkan Papa bersikeras agar uang tersebut diterima Rendi. Papa malah memandangnya sebagai jerat yang membuat Rendi tidak bisa berkelit lagi bila terjadi sesuatu. Tentu hal ini tidak perlu diketahui Verin dan Yunia.

"Perlu aku turun tangan?"

"Maksud kamu?"

"Merayu dia agar mau menerima uang perdamaian itu," ujar Verin berkata serius. "Perlu bantuan begitu?"

Shelia menggeleng lesu. "Tak perlu."

"Lalu apa yang solusinya?"

"Itulah aku bingung," ujar Shelia mengakui,

"Bagaimana kalau minta tolong pada pihak ketiga?"

Shelia dan Verin sama-sama berkerut keningnya. "Jasa pihak ketiga. Preman gitu?"

"Tidak mesti preman. Tapi orang-orang yang memang bersedia untuk membantu begitu," jelas Yunia.

"Kamu ada kenal dengan orang-orang itu?"

Yunia mengerling. "Ada. Mau ku datangkan mereka ke sini sekarang?"

Shelia menggeleng. "Jangan. Aku pikir dulu," elaknya.

***

Sore Tante Rieka bersama Meylin datang ke rumah sakit. Rendi tengah asyik browsing ketika tiba-tiba dilihatnya ibu dan anak itu sudah berada di sisi tempat tidurnya. "Apa kabar Meylin?" sapa Rendi pada muridnya.

Meylin tersenyum dengan lesung pipit di kedua pipinya. "Baik, Om," ujarnya.

Tante Rieka mendekat ke samping tempat tidur Rendi. “Bagaimana operasi pemasangan pen? Lancar kan?”

“Alhamdulillah, Tan. Berjalan dengan baik dan lancar,” jelas Rendi. “Eh, tidak sekolah nih?” tanyanya pada Meylin.

“Sekolah dong, pagi tadi. Ini kan sudah sore, Om,” jawabnya.

“Oh, iya sudah sore ya. Kirain masih pagi.”

Tante Rieka meletakkan buah apel dan jeruk di atas meja. Rendi menyampaikan terima kasihnya. Tidak saja Tante Rieka, ia mendapatkan perlakuan yang sangat baik dari orang tua murid-muridnya.

“Kalau sudah dipasang pen tentu tinggal pemulihannya. Tak lama itu,” sebut Tante Rieka.

“Kata dokter paling tidak dua atau tiga pekan lagi sudah bisa menjalani perawatan di rumah,” sebut Rendi menjelaskan keterangan dokter. Dari sejumlah tulisan yang dibacanya di internet, dua hingga tiga pekan ke depan sudah bisa menggunakan kruk, tongkat alat bantu untuk berjalan.

“Kalau Om sakit, gimana dengan lesnya?” tanya Meylin pula.

“Ada yang gantikan Om. Tante Siska namanya,” Rendi menoleh pada Tante Rieka. Ia menjelaskan selama menjalani perawatan ada teman yang akan menggantikan mengajar. Temannya, Siska. Namun tidak bisa mendatangi rumah para muridnya. Kegiatan les dilaksanakan di rumah Monika dan Ricardo. Masing-masing bergabung pada rumah yang terdekat dengan kedua rumah itu.

“Para orang tua yang lain sudah aku kasih tahu. Mereka setuju. Tante yang belum aku kasih tahu,” ujar Rendi pula. Tante Rieka tidak keberatan. Apalagi rumah Monika masih satu kompleks dengan kediamannya.

Rendi menjelaskan pada Tante Rieka kalau penabraknya sudah datang menjumpainya. Diceritakannya juga kedatangan gadis penabrak itu yang menawarkan damai dan memintanya mencabut laporan di Kepolisian. Namun tawaran itu ditolaknya.

“Kenapa?”

“Gayanya sombong betul. Muak aku melihatnya,” ujar Rendi dengan nada tinggi.

“Jadi laporan di polisi itu berlanjut?”

Rendi tertawa tipis. “Perlu diberi pelajaran orang-orang sombong macam itu.”

Tante Rieka menanggapi dengan senyuman. “Tidak akan bermasalah menolak perdamaian yang mereka ajukan itu?”

“Kalau disampaikan dengan baik-baik akan kita terima. Tapi, angkuh sekali caranya,” sebut Rendi yang kembali terbayang olehnya bagaimana tutur kata dan sikap yang diperlihatkan gadis penabraknya itu. Sama sekali tidak bersahabat.

“Penabrak itu gadis kan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status