Pukul setengah enam pagi, suhu tubuh Naga sudah turun menjadi 38,1°C. Dokter Adnan menyarankan untuk memindahkan Naga ke ruang rawat anak.
Tidak bisa kujelaskan betapa leganya. Gun bahkan mengembuskan napas panjang setelah semalaman menahan diri. Dokter Adnan menjabat tangannya lalu pergi mengobrol sebentar, tapi aku bisa mendengar sayup-sayup suara mereka. "Saya sering sekali menonton King Chef selama masa pendidikan, jadi hiburan kalau lagi suntuk sama teman-teman..." Aku mengelusi tangan Naga, dia baru sakit beberapa jam, tapi tubuhnya sudah kelihatan kurus dan pipinya mulai cekung. "Aku akan carikan sarapan," kata Gun ketika angka di dinding perlahan menunjukkan pukul tujuh pagi. "Nggak pa-pa Gun, aku akan minta Mama sekalian mampir di bakery.""Masuklah Ed, kamu juga pasti ingin melihat gimana keadaan anak-anak, mungkin kamu perlu berkenalan dulu. Hiro dan Naga bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain, apalagi Papa baru." Alis Ed mengernyit. "Kenapa malah bengong? Silakan, tapi tolong, pesan saya hanya satu jangan mesra-mesraan di depan anak-anak." "Kamu lupa siapa yang justru mesra-mesraan di depan anak-anak?" tanyaku agak terpancing. Alis Gun terangkat menantang. "Siapa yang kamu bicarakan?" "Sebaiknya kamu tanya diri kamu sendiri, apa yang kamu lakukan di depan anak-anak aku, tanpa seizin aku."
Pukul setengah enam pagi, suhu tubuh Naga sudah turun menjadi 38,1°C. Dokter Adnan menyarankan untuk memindahkan Naga ke ruang rawat anak. Tidak bisa kujelaskan betapa leganya. Gun bahkan mengembuskan napas panjang setelah semalaman menahan diri. Dokter Adnan menjabat tangannya lalu pergi mengobrol sebentar, tapi aku bisa mendengar sayup-sayup suara mereka. "Saya sering sekali menonton King Chef selama masa pendidikan, jadi hiburan kalau lagi suntuk sama teman-teman..." Aku mengelusi tangan Naga, dia baru sakit beberapa jam, tapi tubuhnya sudah kelihatan kurus dan pipinya mulai cekung. "Aku akan carikan sarapan," kata Gun ketika angka di dinding perlahan menunjukkan pukul tujuh pagi. "Nggak pa-pa Gun, aku akan minta Mama sekalian mampir di bakery."
Rasanya seperti ingin terbang, mobilku melaju dalam kecepatan seperti pembalap, Mama di samping mencengkeram seatbelt, wajahnya ikut cemas, tidak ada yang bicara selama kami menelusuri perjalanan. Bersyukur karena lalu lintas mulai lengang, jadi aku bisa sampai di Rumah Sakit cukup cepat. Bau antiseptik yang menyengat langsung menyambut ketika aku berlari di koridor, jantungku berdegup kencang begitu menemukan Madrid meremas tangan gugup tepat di depan ruang UGD. "Mba Mita?" "Di mana?" Lalu aku melihatnya, Gun yang berantakan masih dalam kemeja kerja, sedangkan di sampingnya, Naga terbaring di ranjang kecil darurat, tubuhnya hanya ditutupi selimut tipis, dan perawat sedang mengikat lengannya untuk dipasang infus. Dia menangis. Lirih. Lelah. "Naga..." Gun seketika menoleh, wajahnya kusut. Dia mengerjap cepat saat melihatku seolah
"Malam ini seharusnya aku dinner sama Gun, tapi aku memilih buat nggak datang, karena aku yakin dia juga pasti nggak akan repot-repot buat datang." Aku diam saja mendengarkan. "Ini bukan atas inisiatif dia sendiri, dia melakukannya karena sutradara. Kami sedang ada project series iklan, adegannya akan banyak dan dibuat seperti potongan film, rencanaya di akhir adegan akan ada give away untuk konsumen." Kami sengaja memilih tempat yang private, dia ditemani asistennya, yang kini duduk agak jauh dari kami, mengawasi. Di sebuah kafe kecil dekat salon Jenardi. Sebenarnya aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba mengatakan hal tersebut, tapi aku sudah lelah dengan konfrontasi. Lagipula dialah yang memintaku melipir sebentar dan ingin bicara, jadi aku nurut saja. "Pak Wisnu, kamu pasti kenal dia kan? Dia yang pertama kali dulu menyutradarai CF iklan CoffeeKu. Dia selalu beranggapan kami ng
Aku tidak melakukan apa pun selama seharian setelah resmi resign. Mama berkata kalau aku memang perlu memberi diri sendiri jeda. Perlu memberi diri sendiri libur setelah selama ini pontang-panting bekerja. "Anggap aja rewards," serunya tanpa beban. "Sebagai apresiasi, toh selama ini kamu jarang ngambil cuti kan? Kamu juga butuh liburan Mita, biarkan anak-anak sementara sama Papanya, kamu juga bisa sibuk memperbaiki diri di sini." Lalu dia memintaku untuk datang ke salon Jenardi, tempat di mana sekarang dia bekerja. Tapi aku tidak memiliki waktu untuk berleha-leha. Gun mungkin sudah menyusun banyak rencana, dan kalau aku lengah sedikit saja, aku akan ketinggalan banyak langkah darinya. Jadi, siang itu aku langsung ke Lumeno. Tempat itu ramai seperti biasa dan sibuk. Sedang ada bersih-bersih massal untuk menyambut 25th anniversary agensi. Tidak heran kalau semua orang tampak hilir mudik, dan suntuk. "Paramita.
"Kak, jangan lupa main-main ke sini ya, aku bakal senang banget kalau Kakak datang, jadi pelanggan juga nggak pa-pa." "Makasih Lea." "Mba Mita, good luck di tempat baru, di manapun itu semoga karier Mba Mita nggak pernah redup dan menyala terus." "Aamiin, kamu juga ya Rena, doa baik semoga kembali ke yang mendoakan." "Lo pasti suka ini, ada kursus untuk masakan Italia yang bakal open bulan depan. Lo bisa ikut di sana dan mereka juga nawarin paket untuk belajar langsung di restoran Roma sekalian jalan-jalan." "Mau, forward infonya ke WA Mas." "Mita, kalau ketemu di restoran lain jangan sombong ya." Aku tertawa dengan ucapan Chef Lukas dan memberinya jempol. Kuembuskan napas panjang kemudian pandanganku menyapu seluruh kitchen. Tempat ini terlihat berantakan tapi juga rapi di saat