"Arancini di lokal kayak kroket ya?"
"Bukan Tante, beda, kalau arancini pakai nasi risotto, kroket pakai kentang, walaupun sama-sama digoreng.""Ya itu sama aja, bedanya cuma yang satunya nasi, satunya lagi kentang isi daging. Masih enakan kroket ah, Mita."Terserah.Setiap orang memiliki selera masing-masing. Aku pribadi menyukai keduanya, dan tidak akan membandingkan satu dengan yang lain. Karena kedua makanan itu memiliki kelebihan tersendiri, dan yang pasti sama-sama enak.Tapi tentu saja itu tidak berlaku untuk Tante Nirmala. Tidak ada makanan yang tidak luput dari komentarnya.Bukan hanya itu, bahkan saat aku baru duduk setelah dia meminta bertemu, suasana De Luca pun tidak luput dari kritikannya."Jadi ini ya restoran Chef Gun-Gun itu, yang katanya Italian fine dining? Hmm… kok lampunya remang-remang begini sih Mita, kayak tempat karaokean."Aku diam saja, enggan membalas.Setelah sekian lama bek"Kak udah lihat berita terbaru? Roy dan tunangannya ditangkap karena positif narkoba." Langkahku langsung tersendat sambil mengikat apron saat masuk ke dalam kitchen untuk menuju station pasta ketika mendengar kata-kata itu dari Lea. "Kamu yang bener Le?" Lea mengangguk mantap. "Barusan banget Kak, ini langsung trending." "Kapan ditangkapnya? Kok bisa?" Aku segera merapat ke Lea yang menyodorkan layar ponsel. Di sebelahku Mas Gilman ikut kepo. "Semalam kayaknya Kak." Lea sengaja meninggikan sedikit volume suara hingga kini suara sang reporter terdengar menggema. "...Chef Roy Dihan ditangkap bersama tunangannya berinisial ZA, dalam sebuah penggerebekan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dari Satuan Reserse Narkoba Polda Metro Jaya di kediaman mewah mereka di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pada subuh, dini hari tadi. Menurut pihak kepolisian, penangkapan ini mer
"Kamu harusnya tanya aku dulu, bukannya tiba-tiba mutusin secara sepihak." Jujur, aku merasa seperti dikhianati, aku berusaha mati-matian menjauhkan Mama dari radar kehidupan kami. Tapi Gun dengan mudah malah menempatkannya di rumah bersama anak-anak. "Kamu tau betul gimana Mama aku Gun, kamu lihat sendiri apa yang terjadi di apartemen aku dan apa yang sudah dia lakukan. Dengan kamu membiarkannya tinggal di sini. Itu sama saja seperti kamu mempersilakan dia untuk membuat masalah," kataku menggebu-gebu. Kami sedang berada di kamar berdebat, aku langsung menyeretnya saat kutahu Mama tinggal di rumah. "Kamu harus usir dia Gun." "Kamu harus tenang." "Gimana aku bisa tenang?" tanyaku sambil mondar-mandir. "Kapan kalian ketemu, apa dia minta pekerjaan sama kamu?" Gun diam saja, yang artinya aku benar. "Harusnya kamu nolak." "Dia Mama kamu."
Aku terbangun dengan perasaan hampa dan mimpi abstrak yang mengingatkanku akan kenangan kami. Keringat dingin merembes di kulitku, namun angin sejuk terasa menampar lembut dari sela jendela. Begitu mataku terbuka, Gun sudah tidak ada. Kuraba-raba ranjang yang baru saja dia tiduri. Dingin. Berarti dia sudah pergi cukup lama. Ponselku yang tergeletak di atas nakas terdengar berdenting sekali. Notifikasi pesan masuk. Aku mengusap layarnya yang retak secara perlahan. (Zara: puas fitnah gue, sepupu?) Aku mengabaikannya, perlahan beringsut duduk, sadar bahwa Zara hanya mencari perkara. Tapi ponselku berdenting lagi. (Zara: kalau ada satu org yg gak suka sama lo, itu bisa dipertanyakan, tp kalau ada banyak yg gak suka sama lo, bukankah harusnya lo intropeksi?) (Zara: karma waiting for u bitch!) (Paramita: cuma lo yg gak suka sama gue dan menghas
(Flashback) "He's fallin' in love, isn't he?" Meira menyenggol bahuku ketika melihat Gun di antara kerumunan. Kami sedang merayakan kontrak salah satu program terbaru Gun. King Chef. Selama beberapa minggu terakhir Gun sangat gusar. Dia terang-terangan mengatakan padaku kalau dia sangat ingin mendapatkan program itu, yang menurutnya tipenya banget. "Konsepnya adventure, kami akan keliling Indonesia, menemukan tempat-tempat yang menurut masyarkat setempat sangat bagus. Simplenya hidden gem. Lalu aku akan masak di sana dengan latar belakang panorama keindahan Indonesia, yang selama ini nggak dikenal. Bisa kamu bayangkan gimana serunya Mita?" Sebagai orang yang sudah mengenal Gun selama empat tahun terakhir dan paham kalau dia adalah tipikal ekstrovert yang tidak bisa diam di satu tempat. Aku sangat mengerti keinginannya ini. Tapi meski mengatakannya dengan antusias, dia keliha
Jalan-jalan yang dimaksud Gun adalah kami berkeliling dan mengunjungi ION Orchard, sebuah mal futuristik dengan arsitektur memukau. Tapi aku senang sih, maksudnya, perempuan mana yang tidak suka diajak jalan-jalan apalagi kalau ditambah dengan berbelanja? Kami melompat dari satu toko ke toko lain, melihat koleksi terbaru. Mulai dari tas, sepatu, perhiasan sampai gaun."Kamu mau pakai itu?" tanyanya saat aku menarik satu gaun silk berwarna dusty rose berpotongan backless sehingga mengekspose bagian punggung."Memang kenapa?""Kurang pantas."Astaga. "Tapi ini lucu.""Cari yang lebih..." Dia seolah kesulitan mencari kata-kata, memandang sekitar, yang penuh pakaian dan gaun. Kemudian mengembuskan napas pelan. "Sopan."Aku mendengus. "Kalau dipakai di gala dinner atau opening De Luca nanti kan lucu, itu nggak terlalu berlebihan kok, untuk acara fancy bisa, santai bisa. Kalau aku ambil itu, aku bisa pakai di mana aja."
"Di kamar Mba Hana gimana, nyaman?" "Nyaman kok, pemandangannya aestetik, kamar kita kan sebelahan. Kenapa Mita? Kamar kamu nggak nyaman?" "Kamar mandi Mba juga berarti transparan?" "Ya enggak, nggak bisa tidur saya nanti, ngeri ada yang mandangin dari dalam." Kemudian dia bergidik dan berderap menjauh dariku. Kenapa aku tidak memikirkan hal yang sama? Ya karena manusia yang sekamar denganku jauh lebih seram daripada jurik. Bayangkan, dia berkata ruangan kamar mandi itu otomatis, tapi ternyata aku harus menekan tombol jika ingin kacanya yang transparan berubah gelap, itu bahkan bisa diakses menggunakan voice. Jadi selama aku berganti pakaian dia melihat.... Wajahku terasa panas. "Kenapa?" tanyanya datar saat aku prengat-prengut. "Aku sudah pernah melihat semuanya." Mataku melotot. "Kamu nggak adi