"Tenang ya, sebentar lagi Chef Gun kesayangan kalian datang. Udah pada makan siang belum?" Dengan ceria Jenardi menyapa para awak media.
Mereka terkekeh sambil menjawab serempak. Ada yang menggumam belum, ada yang meminta traktir, bahkan ada yang menggoda Jenardi, yang ditanggapinya dengan tawa cekikikan. Aku merasa iri pada sikapnya yang luwes. Saking gugupnya aku bahkan hanya bisa berdiri kaku. Merasakan desakan kuat untuk mengeluarkan makan siangku. Ruangan konferensi pers sudah dipenuhi wartawan seperti lebah di sarang madu. Mikrofon-mikrofon menempel di meja, kamera ditodong ke panggung dari 15 stasiun TV dan kanal TubeYou gosip. Jerikho datang lima belas menit sebelum konfrensi dimulai, pengacara muda yang sempat menangani kasus di apartemenku itu datang untuk memberikan kemajuan mengenai serangan Roy dan tuntutan pelecehan yBegitu aku membuka pintu rumah, aku langsung mencium aroma harum sesuatu yang baru matang—seperti roti, atau kue? Senyumku masih mengembang, tapi langkahku melambat saat mendengar suara bisik-bisik kecil di balik sofa. "Sssst! Mama datang, jangan keluar dulu Naga," suara kecil itu terdengar jelas, diikuti tawa ditahan-tahan. Alisku mengerut, bingung, tapi belum sempat bertanya, tiba-tiba— "SURPRAAAAIISSEEE!!!" Hiro dan Naga melompat dari balik sofa dengan topi ulang tahun di kepala mereka—meskipun ini bukan ulang tahunku—dan confetti warna-warni yang mereka lemparkan dengan terlalu semangat. Beberapa bahkan nyasar ke mukaku. Lalu Madrid muncul dari balik tembok sambil nyengir dengan topi yang sama. Astaga. "Selamat datang kembali, Mama!" seru mereka secara bersamaan, dengan ekspresi bangga seperti baru saja menyelamatkan dunia. "Sudah aku bilang, tunggu." Suara Gun di balakang terdengar menggerutu. "Apa ini?" "Maaf telat Mama, soalnya Papa Gun ada urusan, jadi kita
Kami menunggu sampai langkah kaki Briptu Rein yang diantar Madrid dan dokter Alex yang menyusul pamit setelahnya, sebelum melanjutkan diskusi tentang tuntutan hukum. "Ada beberapa pasal yang bisa kita gunakan dalam masalah ini. Pertama," kata Jerikho memulai. "Pasal 204 KUHP, karena pelaku sengaja memasukkan zat berbahaya ke makanan dan minuman, ancaman hukuman bisa 15 sampai 20 tahun penjara bahkan paling berat seumur hidup. Kedua, kalau terbukti ada upaya pembunuhan bisa niak ke 340 KUHP, seperti yang kita tau, ancaman penjaranya seumur hidup atau mati." Aku menahan napas sesaat selagi dia menjelaskan hal tersebut. Sebelum tadi kami benar-benar berdiskusi bersama yang lain. Aku sempat basa-basi sejenak dengan Jerikho dan bercanda sedikit kalau lagi-lagi kami harus bekerja sama. Dan dia tertawa. "Empat kali ya," katanya membalas. Lalu dia menyebutkan apa saja sejauh ini kasus yan
Menjelang hari ketiga di rumah, tentu saja aku sadar kami tidak bisa berleha-leha selamanya. Ada kasus yang harus diurus. Jadi untuk menghindari bentrok dengan anak-anak yang selalu kepo terhadap semual hal, Gun menyambut Briptu Rein di paviliun, langkap bersama Jerikho, Ed, bahkan dokter Alex. Karena kami membutuhkan analisisnya. Kami duduk di meja panjang dari salah satu ruangan, seperti ruangan rapat yang kemungkinan dipakai Gun untuk diskusi setiap akan bikin konten. Aku duduk di paling depan, Gun di sampingku, dengan tangannya yang tidak lepas menggenggam tanganku. "Semua gelas langsung dibersihkan setelah pesta selesai. Kami nggak bisa menentukan gelas mana yang dipakai Mba Mita. Rupaya nggak ada yang menyangka kalau reaksi yang dia alami akibat bubuk pengawet, yang kemungkinan sengaja dimasukkan ke dalam minumannya." Mengikuti gaya Gun yang tidak mengenal basa-basi. Briptu Rein langsung memulai. "Buka
Masa-masa di rumah sakit adalah hal yang paling menakutkan. Dari dulu aku tidak pernah bersahabat dengan tempat ini. Bahkan sebisa mungkin menjauhinya. Tapi hari buruk tidak ada di kalender. Setelah seminggu dirawat, dan ruam-ruamnya di bagian leher maupun tangan mulai berkurang. Aku akhirnya diizinkan pulang, walaupun masih harus menjalani perawatan ringan di rumah untuk membersihkan sisanya. Gun belum membolehkan bekerja, aku juga berniat meminta libur karena secara keseluruhan aku merasa perlu mengembalikan tenaga. Jadi hari pertama di rumah, aku mulai meniatkan untuk ngegym. Sekedar lari di treadmill. Ditemani Gun tentu saja. Kurasa dia sudah seperti trainer yang mengawasi walaupun ikut ngegym juga. FYI, kami melakukannya di rumah, di ruang gym dengan pemandangan yang langsung mengarah ke halaman belakang. Gun berdiri dengan tank top hitam dan celana training abu-abu. Keringatnya mengilap d
"Aku harus ikut." Pagi berikutnya berjalan sangat hethic, Gun sudah mengenakan polo t-shirt dengan topi, yang semuanya serba putih, kinclong rapi khas dirinya. Sementara aku hanya bisa memandangnya dengan iri. "Anak-anak pasti butuh Mamanya, lagian ini lomba pertama mereka, Gun." "Kamu belum boleh terkena sinar matahari." "Aku bisa di dalam mobil," kataku ngotot. "Atau di bawah tenda. Para ibu kan cuma bakalan jadi penonton aja." "Justru itu, kalau cuma nonton saja lebih baik kamu di sini. Ed akan merekam semuanya, kita punya tim. Nanti kamu bisa menonton ulang kegiatan mereka." Aku cemberut, merasa kesal, dan itu sama sekali tidak ditutup-tutupi. Tapi bukan karena Gun, melainkan Zara yang menyebabkan semua rasa sakit ini. Aku sudah menunggu momen ini begitu lama semenjak Gun setuju untuk menemani anak-anak dalam lomba. Dan sekarang aku kehilangan segalanya. "Mita..." sebut Gun mendesah, dia mendekat, duduk di sampingku saat melihat mataku mulai berkaca-kaca. Berusaha membujuk
Aku terbangun keesokan paginya dengan rasa terbakar di tenggorokan dan perut. Gun langsung melompat bangkit dari tempat tidur untuk memanggil dokter, tapi di saat yang sama aku pun bangkit untuk muntah-muntah hebat di kamar mandi. Tubuhku lemas, rasanya seperti apa yang kumakan semalam keluar semua. Gun membantu meraup dan menggenggam rambutku selama aku mengosongkan isi perut. Begitu dokter Alex tiba, aku sudah tidak bisa apa-apa di atas tempat tidur. Beliau mengatakan bahwa ini reaksi obat, tapi gatalnya luar biasa. Aku menggaruk ruam-ruam itu saking tidak tahan. Lalu tertidur karena kepala berat, bangun hanya untuk makan dan minum obat. Namun begitu benar-benar bisa membuka mata, wajah Hiro dan Naga adalah yang pertama kali kulihat. "Mama udah bangun!" Naga berseru di atas tempat tidur, di sisi kananku. Sementara Hiro di sisi lain, tampak sedang mengusapi keningku dengan tisu. "Mama keringetan," katanya manis. Lalu Gun nongol dalam penglihatanku, membantu menyusun bantal aga