Aku menarik oksigen sebanyak-banyaknya setelah pamit undur diri dari ruangan Gun, sadar bahwa sedari tadi telah menahan diri.
"Gimana Mit?" Mba Niken menyongsong di depan pintu ganda kantin khusus karyawan ketika aku baru kembali, lalu terduduk lemas di kursi. "Dia nerima lo kan?" Boleh tidak aku kabur saja? Laki-laki itu sengaja menjebakku! Lima tahun kami tidak pernah bertemu, dan tiba-tiba berhadapan dengan Gun seperti ini, jelas membawa pengaruh buruk bagi mental. Karena aku diam saja, Mba Niken mengguncang lenganku dengan heboh. "Mita, ngomong dong, sumpah lo bikin gue takut, dia nggak ngapa-ngapain lo di sana kan?" "Mba, lo sengaja jadiin gue tumbal ya?" Dia meringis tidak enak hati, sayang belum sempat menjawab sebuah suara mendayu nan merdu sudah mendahuluinya. "Hai Mit, apa kabar?" Punggungku langsung tegak, siaga. Seorang perempuan dalam balutan bodycon dress merah menyala masuk dalam sudut penglihatanku, wajahnya yang cantik terpoles makeup tebal tampak tersenyum ceria. Dia adalah Zara, sepupu sekaligus sainganku sebagai manajer di agensi terdahulu, kami sebenarnya bersaing secara sehat, sampai aku menemukan bukti bahwa Zara bermain api dengan Roy Dihan, seorang celebrity chef yang sedang naik daun sekaligus mantan atasanku. Dan kini, Zara praktis menggantikan posisiku sebagai manajer Roy, awalnya aku merasa kalut karena laki-laki itu lebih memilih Zara daripada aku, tapi mengingat bagaimana reputasi Zara selama ini, terlepas dari hubungan terlarang mereka, Zara memang pantas mendapatkannya. Dia bisa diandalkan, memiliki kemampuan public speaking yang mumpuni. Sejak masa sekolah, aku dan Zara memang sering dibanding-bandingkan, Zara yang berprestasi secara akademis praktis jadi kebanggaan keluarga, sementara aku yang dianggap tidak sepandai dirinya kerap dipandang sebelah mata. Itulah sebabnya aku selalu giat belajar agar mendapat beasiswa dan membuktikan pada keluarga bahwa aku bisa. Terlebih karena aku yatim dan Mama sibuk bekerja, jadi selama masa sekolah aku tinggal bersama orang tua Zara. Sayangnya cara kerja dunia memang tidak adil, Zara yang cantik, pintar dan bertubuh proporsional bisa mendapat pekerjaan dengan mudah. "Lo ada salam loh, dari Roy, dia bilang kenapa lo buru-buru resign dan nggak ambil pesangon?" "Salam balik, semoga sukses sama program barunya." Sebagai mantan manajer, aku tetap menjawab tulus. Alis Zara yang tersulam rapi terangkat. "Oh, pasti sukses kok, kan Roy lagi trending saat ini, lo nggak lihat FYP isinya dia semua?" Tentu saja. Selain Gun Saliba, nama Roy tengah digandrungi banyak orang, terlebih di kalangan gen-Z yang mengidolakan chef tampan. Bedanya jika Gun punya persona misterius yang mulutnya pedas, Roy memiliki keistimewaan senyum lebar yang menggoda. Persaingan keduanya sudah menjadi rahasia umum, ditambah fakta bahwa agensi yang menaungi mereka pun adalah rival abadi dan berada di satu gedung yang sama. Itu sebabnya meski aku sudah tidak bekerja bersama Roy, aku masih berpapasan dengan Zara karena kantin Lumeno Ent, dan Mahadewa Corp, berada di area yang sama. "Rating pas dia jadi bintang tamu di King Chef aja langsung melejit," kata Zara tertawa jumawa. "Padahal cuma bintang tamu loh, apalagi kalau jadi juri chef resmi, bisa-bisa yang lain jadi nggak tersorot." Mba Niken mendengus. "By the way gue dengar lo jadi manajernya Juna Iskandar ya?" tanyanya mengabaikan dengusan itu lalu meringis. "Bukannya cowok itu pakai narkoba dan harus hiatus? Terus apa yang bakal lo kerjain? Bantu ngurus kasusnya?" "Itu cuma rumor, belum terbukti benar," jawabku menahan Mba Niken untuk bicara. Berita tentang aku yang menjadi manajer Gun pasti belum tersebar dan aku tidak ingin repot-repot mengoreski kekeliruan Zara. "Tapi dia lagi dalam pengawasan polisi," katanya berdecak, lalu menatapku kasihan. "Seandainya Roy bisa punya dua manajer, gue pasti mau berbagi tugas sama lo. Jadi lo nggak perlu resgin segala." Sayangnya aku lebih memilih mundur teratur meski akhirnya harus masuk ke lubang buaya bernama Gun Saliba. "Gue juga bakalan sibuk beberapa minggu ini buat persiapan tunangan." Kurasa bukan hanya aku yang terkejut, Mba Niken di sampingku pun ikut menatap dengan mata membola. "Oh? Lo belum tahu ya?" tambah Zara, kembali tertawa manja. "Gue sama Roy memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius." Tangannya kemudian mengorek sling bag untuk meraih undangan, tapi karena terlalu semangat, sikunya tanpa sengaja menyundul gelas berisi mango punch milik Mba Niken yang tersedia di meja. Benda itu langsung ambruk dan isinya tumpah mengenai sebagian kemeja dan rokku. Aku seketika berdiri sambil memekik tertahan. "Eh, maaf, maaf, gue nggak sengaja," serunya buru-buru menarik beberapa lembar tisu. Karena masih terkejut, tanpa sadar aku menepis tangan Zara yang akan menyentuh kemejaku. "Lo nggak terima kah karena gue nggak sengaja?" seru Zara cukup keras untuk didengar penghuni kantin. "Maaf..." "Bukan gitu Zar, tapi ini lengket banget," balasaku tidak ingin dituduh sembarangan. "Oke, gue tau lo masih marah karena posisi lo digantiin sama gue, tapi Roy nggak mungkin lama-lama tanpa manajer, gue cuma nurut perintah atasan." Sialan, mata-mata itu kini memandangku dengan tatapan memicing, seolah menghakimi. Beberapa orang bahkan terang-terangan berbisik. "Kenapa dia yang marah padahal dia yang mengundurkan diri?” "Mungkin karena Roy memang udah mau mendepak dia." "Kasian banget." "Katanya kerjaannya kurang bagus, ya nggak heran kalau posisinya langsung digantiin Zara, bulan ini aja Zara dapet predikat Manager Of The Month." Wajahku terasa panas. "Sorry Zar." Kuputuskan untuk pergi, menatap Mba Niken sebelum pamit undur diri dan bergegas mencari toilet untuk menyeka kemeja. Koridor gedung Lumeno Ent, lumayan panjang dan cukup berkelok-kelok, sebagai pegawai baru yang belum familier pada tempat ini, aku merasa kesulitan menemukan bilik toilet dan malah masuk makin ke dalam koridor yang benar-benar tampak asing. Kubuka salah satu pintu yang bertuliskan VIP, niatku ingin bertanya tentang letak toilet pada seseorang di dalam, tapi yang kutemukan justru ruangan luas yang kosong. Aku baru akan berbalik pergi saat tiba-tiba sebuah tangan besar dari belakang punggung sudah lebih dulu mencengkeram tenggorokanku lalu berbisik di telingaku. "Apa yang kamu lakukan di sini?” ***"Fudge browniesnya udah semua, Tan?" "Sudah, Bu." "Cotton cheesecake-nya?" "Ada di depan, Bu." "Muffin-nya jangan lupa, Tan." "Siap, Bu." "Dan oh, itu yang lain—" "Sudah berkumpul semua dan sebaiknya kamu tenang." Gun memotong, gemas. Dia berjalan ke belakang punggungku serta membuka kaitan apron, lalu satu tangannya bersandar di pinggiran meja. "Apa yang kamu khawatirkan?" "Banyak Gun, takut dikit." "Itu perasaan yang wajar tapi ada banyak orang yang bekerja di sini. Dan semuanya sudah tertata pada tempatnya, Mita." Benar, sepertinya aku memang terlalu overthinking, atau aku sudah tertular dengan sifat Gun yang perfeksionis. Setelah empat bulan mempersiapkan segalanya mulai dari lokasi, tempat, desain, karyawan sampai menu. Hari ini, kami akhirnya akan meresmikan Petite Peaks. Sebuah bakery yang sudah dirancang sebelum kami menikah. Tempat itu sangat luas, karena kami juga menawarkan dine in. Serta spot-spot foto yang instagramable khusus untuk yang hobi nongkrong di temp
Aku terpaku di tempat, memandang mereka yang tertawa, mendapat uluran hadiah dari Audi dan sepupu lain. Lima tahun, bukan waktu yang sebentar, rasanya seperti baru kemarin aku menggendong mereka dalam balutan kantung kain yang mungil. Dan sekarang Hiro Naga sudah tampak besar di mataku. Mereka akan melanjutkan sekolah, menjalani masa remaja, kuliah lalu... menikah dan memiliki keluarga. "Mita." Mataku mengerjap, lalu tersenyum lebar menyambut uluran tangan Gun. Dia segera merangkul dan mengecup pelipisku. "Ti amo," bisiknya manis. Mengusapi lenganku lalu menghadapi kerumunan. "Oke Hiro, Naga, Papa punya hadiah dan sebaiknya kita buka sekarang ya?" "Oh, apa itu..." Darren membuat suara manja pura-pura penasaran, tapi meledek. "Emas batangan ya, Pa?" "Saham ya, Pa?" Caraka menimpali. "Pulau pribadi ya, Pa?" Delilah ikutan. Keluarga kami kompak tertawa. Gun mendelik judes, tawa kami makin lebar. Aku gantian mengusapi lengannya. "Rumah kontrakan ya, Pa?" Dia berdecak.
"Welcome back to Jakarta." "Madrid kami bawa oleh-oleh banyak." Naga pamer, dan segera membuka tas ranselnya yang seperti kantung Doraemon untuk mengeluarkan sebuah kotak. "Ini semua buat Madrid." "Naga, nanti aja kita kasih di rumah, terus kita bukain oleh-oleh yang lain ya?" Aku berusaha membujuknya naik ke mobil. Naga menolak, memutar bahunya yang kusentuh. "Sebentar Mama, ini penting karena cokelatnya bisa meleleh. Dan harus cepat dimakan sebelum kadaluarsa." Aku meringis. "Madrid lihat ini." Hiro menarik tali gangsing, kemudian melempar benda dari kayu itu ke lantai hingga berputar. Matanya kelihatan bangga. "Kamu bisa?" Ya ampun. "Hebat Mas Hiro, terima kasih Mas Naga." Madrid bertepuk tangan seperti lumba-lumba lalu menerima cokelatnya. Aku menatap Gun meminta pertolongan, tapi sulit sekali melihat ekspresinya dari balik kacamata hitam yang dia kenakan. "Gun?" "Hiro, Naga, masuk." Naga sigap melompat ke dalam mobil yang pintunya sudah terbuka, Hiro me
Honeymoon kami berjalan kacau. Oke, aku tidak ingin menyepelekan bagaimana usaha Gun untuk membawa kami keliling Eropa, tapi setiap kali pindah dari satu negara dan bergeser ke negara lain, ada saja masalah yang timbul. Misalnya saja seperti Hiro yang hilang di antara patung ketika kami mampir di Frogner Park, Norway. Atau Naga yang menjatuhkan sepedanya di kapal saat perjalanan dari Dover menuju Calais. Dan yang paling epik, ketika si kembar mengejar pencopet di jalanan Paris. Maksudku, ya sudah. Itu hanya dompet, memang di dalamnya ada kartu identitas dan beberapa lembar uang, tapi itu sama sekali tidak penting dibandingkan keselamatan anak-anakku, dan... "Dia ke sana." Hiro menjerit, kakinya bergerak lincah, meliuk-liuk di antara tubuh-tubuh orang yang sedang berjalan. Lalu Naga dengan langkahnya yang kecil-kecil, cekatan mengekori. "Kanan, Mas, kanan." Naga memberi intruksi begitu Hiro mulai kebingungan, berdiri di tengah gang bercabang. "Bukan, dia berlari ke kiri.
"Ma guarda chi si è sposato, ecco il miracolo!" Dua orang laki-laki berwajah latin dengan setelan jas mengkilat menghampiri kami begitu acara resepsi tiba. Kebayaku sudah diganti dengan ball gown berwarna silver grey yang berkilauan di bawah cahaya. Bagian atasnya berbentuk bustier dengan detail kristal dan manik-manik yang rumit, menampilkan bahu dan leherku yang terbuka. Roknya mengembang indah, terbuat dari beberapa lapis tulle dan organza dengan taburan sequin halus, menciptakan efek shimmer yang memukau setiap kali aku bergerak. Mengikuti gaun, rambutku pun kini ditata dengan updo yang lebih glamor sesuai tema resepsi, lalu dihiasi jepit rambut bertabur kristal. Sementara dibandingkan akad yang natural, saat repesi ini makeupku sedikit lebih berani dengan smokey eyes dan lipstik nude. Gun tidak henti-henti memuji, dan mengecupi pelipisku setiap ada kesempatan. Sejujurnya sejak tadi gigiku kering karena dioper ke sana-kemari menyalami para tamu lalu dikenalkan dengan tema
They say when you meet the love of your life, time stops, and that’s true. Mungkin itulah yang menggambarkan perasaanku saat ini. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan menikah. Aku hanya ingin hidup bersama anak-anak. Menjalani hari-hari dengan rutinitas yang mungkin sedikit mendebarkan. Tapi kehadiran Gun seperti sebuah nahkoda yang membawa ke mana kapal kami harusnya berlabuh agar kami tidak lagi tersesat dan kehilangan arah. Dia menjadi teman, sahabat, Papa dan pasangan yang kubutuhkan. Kami masih bertengkar, kami masih berdebat, kami masih saling mengejek saat memasak. Tapi kurasa itulah bahasa cinta kami, seperti itulah cara kami saling menyampaikan bahwa kami peduli. "Mama..." Hiro dan Naga masuk bersama Madrid ketika aku sudah selesai dimakeup dan mengenakan pakaian pengantin. Berbeda dari kebaya tradisional yang biasanya terbuat dari brokat tebal, kebaya yang kukenakan adalah sebuah impian yang menjadi nyata, dirancang khusus oleh desainer kepercay