"Mereka hanya merekrut perempuan-perempuan cantik yang nggak punya otak."
Perkataan itu menggema, terdengar meremehkan. Selama sepuluh tahun bekerja, pontang-panting melompat dari satu agensi ke agensi lain, baru kali ini aku merasa direndahkan di hari pertama bekerja. Tapi itu tidak mengherankan, sebab yang berkata adalah Gun Saliba, seorang celebrity Chef yang terkenal perfeksionis. Miris karena dari semua hal, pria itu terdengar masih sama, suaranya menggelegar, otoriter dan tidak bisa dibantah, meski belum resmi bertemu, aku sudah bisa membayangkan wajah Gun yang terdiri dari tiga J: judes, julid, jumawa. "Siapa lagi kali ini yang kalian bawa Ed? Saya nggak membutuhkan manajer, yang saya butuhkan adalah asisten yang bisa bekerja." "Bapak berniat menggantikan posisi saya?" Seorang pria yang dipanggil Ed itu terdengar menyahut. Aku merasa salut, meski sedari tadi sudah dibentak, suara laki-laki itu tetap tenang, tidak terpancing sang atasan. Gun mendengus. "Kamu lihat saya memiliki asisten di kitchen sekarang?" "Kalau itu, kami akan segera merekrutkan—“ “I said right now, did you not hear me?” Mau tidak mau, aku kembali memejamkan mata, bukan aku yang dibentak, tapi aku ikut berjengit, tanpa sadar ludahku tertelan, pahit. Bagaimana Mba Niken berharap aku akan menjinakkan laki-laki semengerikan ini? "Tolong Mit, lo tau kan dia tuh terkenal rewel, selama ini nggak ada yang betah jadi manajernya, tapi Pak Punjab suka banget sama dia. Bagi dia, Gun itu ATM berjalan, program Dapur Ceria yang tayang tiap hari selalu tembus rating dua digit, trending X, FYP TokTik, mana mau dia melepas Gun gitu aja, makanya apapun yang dia minta pasti diturutin, dan sekarang Pak Punjab mau lo yang jadi manajer dia." Itulah yang dikatakan Mba Niken pagi tadi, sesaat setelah aku memperkenalkan diri sebagai pegawai baru di Lumeno Entertainment, anak perusahaan dari LO Group, yang menaungi para selebritis papan atas Ibu kota. Masalahnya, kenapa harus aku? Di antara semua orang, kenapa justru aku yang terpilih untuk menjadi manajernya? "Program dia yang weekend, King Chef mulai berjalan, dan lo tau tanggapan pemirsa juga nggak main-main, hari pertama tayang aja, ratusan iklan langsung masuk, dia butuh orang buat handle jadwalnya dengan teratur." Benar, program tersebut memang viral, ditayangkan di segmen siaran day time dengan kode rating SU, bertajuk survival show, bahkan Hiro dan Naga yang tidak pernah menonton TV saja sampai tertarik. Setiap sore di hari weekend mereka sudah standby di living room apartemen kecil kami, duduk di sofa dengan semangkuk popcorn untuk menyaksikan tayangan tersebut. Sesuatu yang membuatku meringis tiap memperhatikan euforia itu. Sialan. "Tenang Mit, ada bayaran yang sepadan buat pengabdian lo, gajinya sesuai rating acara, jadi bisa dipastiin lo bakal dibayar berkali-kali lipat dibandingkan manajer lain di agensi ini." Seolah tahu aku akan menolak, Mba Niken kembali menjelaskan, membuatku akhirnya tidak memiliki pilihan. Aku membutuhkan uang, sebagai single parent yang harus menghidupi baik diri sendiri maupun dua orang bocil, aku harus menjadi palu gada, ibaratnya semua jenis pekerjaan apapun pasti akan aku ambil asalkan ada duitnya, yang penting halal dan tidak minta-minta. Pantang untukku mengharap belas kasihan orang lain, lebih baik aku bekerja siang malam, kepala di kaki, kaki di kepala kalau perlu daripada harus mengharap uluran tangan dermawan. "Nah, sekarang tolong banget ya, terima pekerjaan dari Pak Punjab ini, atau mungkin lo bakalan didepak lagi." Dan di sinilah aku akhirnya, berdiri di balik pintu yang bertuliskan Chef Only, sebuah ruang kekuasaan milik seseorang yang sebentar lagi akan menjadi atasanku. "Di mana manajer sialan itu sekarang? Baru hari pertama dia bahkan sudah terlambat, kamu yakin dia kompeten?" "Dari portofolionya perempuan itu cukup meyakinkan, dan dia sudah di sini, silakan masuk." Pintu kemudian mengayun terbuka. Jantungku berdegup kencang, ketika perlahan melangkah memasuki ruangan tersebut. Gun sedang duduk di kursi kebesarannya, membelakangi kami sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. "Siang Pak, saya—“ "Berhenti basa-basi busuk perkenalan, katakan apa kelebihan kamu?" Kutelan ludah susah payah, ini adalah pertanyaan yang mudah. Harusnya aku bisa menjawab lancar, tapi karena tidak siap dengan pertanyaan itu, otakku mendadak beku. Tak kunjung mendapat sahutan, Gun terdengar mendengus. "Kamu nggak memiliki kelebihan? Untuk apa mereka merekrut kamu kalau begitu?" "Saya cekatan, disiplin dan berkemauan keras, Pak," balasku akhirnya. "Nah, sekarang saya tahu apa kekurangan kamu." Suara itu terdengar mengejek. "Kamu pandai berbohong. Dari mana kamu mengklaim cekatan kalau menjawab pertanyaan saya saja kamu gagu?" Ga-gu? Astaga. Aku hanya terlambat menjawab beberapa detik saja, dia langsung menyimpulkan dengan kejam. Jelas aku tidak terima! "Bapak nggak bisa asal berkomentar hanya dari satu sudut pandang, sedangkan Bapak belum pernah bekerja bersama saya.” "Jadi kamu menganggap diri kamu kompeten?" "Sebaik yang Bapak harapkan." "Bagaimana jika saya kecewa?" "Bapak bisa mengganti saya dengan yang lain." "Kamu tahu saya nggak memiliki waktu?" "Kalau begitu saya pastikan waktu Bapak nggak akan terbuang sia-sia." "Kepercayaan diri kamu pasti—" Dia berputar di kursi, dan kalimatnya langsung berhenti. Wajahnya yang semula judes mendadak berubah terkejut. "Kamu?" "Perkenalkan Pak, saya Paramita Ruhi manajer baru Bapak." Matanya tajam, lurus, tepat memandangku. Meski sering melihatnya dari layar kaca, Gun tampak lebih matang dan lebar saat dilihat secara kasatmata. Dia mengenakan sebuah uniform khas chef berupa double breasted jacket bernuansa putih, bahunya tampak luas, sudut-sudut rahangnya keras, usia telah membuat Gun jauh lebih dewasa, tapi yang paling menarik dari semua itu adalah sepasang matanya yang menatap tajam. Persis seperti yang kuingat. "Kamu yakin nggak salah orang Ed?" tanyanya pada sang asisten seolah meminta konfirmasi. "Benar Pak, dia manajer baru Bapak." Aku tahu ini adalah ide yang buruk, aku tahu bertemu lagi seperti ini pasti membuat Gun murka, tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi. Sambil menguatkan mental, aku berusaha bersikap tenang. "Mohon kerja samanya Pak." "Apa yang membuat kamu berpikir saya menerimanya?" Aku menelan ludah saat laki-laki itu perlahan berdiri, menyadari betapa kontrasnya perbedaan tubuh kami, Gun yang menjulang tampak seperti raksasa bagiku yang mini. Langkahnya yang lebar mendekat, aku menahan napas saat aroma parfumnya memeluk indera penciumanku. "Saya rasa Bapak nggak memiliki pilihan, saya dikirim langsung oleh Pak Punjab untuk menjadi manajer Bapak." Aku menjawab, setengah mati menahan diri untuk tidak mundur. "Dan kalau saya menolak?" "Bapak bisa sampaikan sendiri keputusan tersebut pada Pak Punjab." "Apa kamu berani mengambil risiko tanpa libur jika menjadi manajer saya?" "Termasuk cuti?" tanyaku, pandangan terangkat, dan seketika menyesali keputusan tersebut karena tatapan Gun sangat menusuk. "Saya nggak suka jika manajer saya bepergian ketika sedang saya butuhkan." Tunggu dulu, dalam kesepakatan seharusnya tidak seperti ini, dan setiap pekerja berhak menerima libur. Tapi di bawah tatapan Gun yang mengintimidasi aku merasa sulit memutuskan. "Gimana?" tanyanya mendesak. "Saya perlu memikirkannya, Pak." "Bukannya kamu bilang, bahwa kamu dikirim ke sini oleh Pak Punjab, berarti sekarang kamu menolak perintah beliau?" Perangkap, bisa-bisanya dia membalikkan keadaan! Aku megap-megap. “Itu...” Lesung pipi Gun terbit. "Saya menemukan kekurangan kamu yang kedua, kamu sangat plin-plan." Diejek begitu, wajahku seketika terasa panas. Gun mundur selangkah lalu menggidikkan kepala pada asistennya. "Suruh seseorang membawa dia pergi, dia belum memenuhi kualifikasi untuk menjadi manajer saya." Mataku langsung melebar. "Nggak bisa gitu dong, Pak!" Dua pria berbadan besar dengan seragam hitam rapi memasuki ruangan, aku dengan cepat berseru. "Saya ... saya menerimanya." Jemari Gun terangkat, praktis menghentikan gerakan sang pengawal yang sudah berada di kanan dan kiri, siap menyeretku keluar. "Saya terima tawaran Bapak, nggak ada libur kan? Nggak masalah, saya bisa Pak," kataku mengulangi dengan lebih percaya diri. "Kamu yakin?" Aku mengangguk. "Bagus," sahutnya sambil kembali duduk di kursi. "Tapi kamu harus tahu bahwa saya nggak mentolerir keterlambatan, dan satu kesalahan kecil saja, silakan kamu langsung angkat kaki." "Baik Pak." Kemudian tangannya terulur, sejenak aku hanya memandangi tangan itu. Tangan yang kekar dengan gurat-gurat kehidupan. Lalu perlahan aku pun maju dan mengulurkan tanganku, begitu mungil di jabatan tangannya. Kontak itu hanya berlangsung sepersekian detik, tapi hawa panasnya seperti menempel di telapak tanganku lalu merayap naik menuju wajahku. Sebelum semakin malu, aku segera menarik tanganku kembali. Senyum Gun melebar. "Selamat menjadi manajer saya, Mita." Inilah seorang mantan yang lebih baik dilupakan. ***"Ma guarda chi si è sposato, ecco il miracolo!" Dua orang laki-laki berwajah latin dengan setelan jas mengkilat menghampiri kami begitu acara resepsi tiba. Kebayaku sudah diganti dengan ball gown berwarna silver grey yang berkilauan di bawah cahaya. Bagian atasnya berbentuk bustier dengan detail kristal dan manik-manik yang rumit, menampilkan bahu dan leherku yang terbuka. Roknya mengembang indah, terbuat dari beberapa lapis tulle dan organza dengan taburan sequin halus, menciptakan efek shimmer yang memukau setiap kali aku bergerak. Mengikuti gaun, rambutku pun kini ditata dengan updo yang lebih glamor sesuai tema resepsi, lalu dihiasi jepit rambut bertabur kristal. Sementara dibandingkan akad yang natural, saat repesi ini makeupku sedikit lebih berani dengan smokey eyes dan lipstik nude. Gun tidak henti-henti memuji, dan mengecupi pelipisku setiap ada kesempatan. Sejujurnya sejak tadi gigiku kering karena dioper ke sana-kemari menyalami para tamu lalu dikenalkan dengan tema
They say when you meet the love of your life, time stops, and that’s true. Mungkin itulah yang menggambarkan perasaanku saat ini. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan menikah. Aku hanya ingin hidup bersama anak-anak. Menjalani hari-hari dengan rutinitas yang mungkin sedikit mendebarkan. Tapi kehadiran Gun seperti sebuah nahkoda yang membawa ke mana kapal kami harusnya berlabuh agar kami tidak lagi tersesat dan kehilangan arah. Dia menjadi teman, sahabat, Papa dan pasangan yang kubutuhkan. Kami masih bertengkar, kami masih berdebat, kami masih saling mengejek saat memasak. Tapi kurasa itulah bahasa cinta kami, seperti itulah cara kami saling menyampaikan bahwa kami peduli. "Mama..." Hiro dan Naga masuk bersama Madrid ketika aku sudah selesai dimakeup dan mengenakan pakaian pengantin. Berbeda dari kebaya tradisional yang biasanya terbuat dari brokat tebal, kebaya yang kukenakan adalah sebuah impian yang menjadi nyata, dirancang khusus oleh desainer kepercay
H - Seminggu pernikahan. Ya ampun, aku stres. Segala hal berjalan sesuai rencana, tapi debarnya semakin liar. Aku sampai insomnia, dan sedikit sakit kepala, dan akhirnya Mama ikut turun tangan, mengambil alih segala printilan pernikahan yang bisa dihandle seperti food testing dan seat table tamu. Gun juga makin sibuk, dia seperti kerja rodi, pergi pagi, pulang saat matahari terbit lagi. Dan sekalinya weekend serta ada di rumah, kami yang harus angkat kaki. "Ini sudah nggak relevan, ada gadget yang bisa dipakai buat komunikasi jadi nggak ada bedanya kalau kamu di sini atau di apartemen," katanya memprotes untuk yang kesekian kali. "Justru itu Gun, karena ada HP kita bisa tetap saling bertukar kabar. Jadi apa yang kamu cemaskan? Kita
"Tumben jam segini kamu udah pulang Gun?" Aku mencoba mengulur-ulur waktu dengan berjalan santai ke arah living room, di mana anak-anak sudah lari-larian. Dia tidak mungkin mengamuk di depan mereka kan, jadi aku tersenyum setenang yang kuharapkan terlihat. Gun segera mengekori di belakang, suara langkahnya terdengar tegas seperti pemangsa yang sedang memburu santapannya. "Biasanya kamu masih syuting." "Kalau kamu bisa jalan-jalan sama Ed, itu artinya jadwal aku juga sudah selesai." Kutelan ludah susah payah. "Aku nggak jalan-jalan, cuma main sebentar—" "Kenapa kamu nggak angkat telepon
Kami disambut seorang perempuan muda, mungkin pertengahan 20-an ketika perlahan pintu terbuka. Lalu diarahkan untuk masuk ke sebuah kamar luas dengan interior klasik Japandi. Mami Vero duduk di kepala ranjang, beliau kelihatan berbeda dari yang kutemui terakhir kali di De Luca. Kini wajahnya tampak pucat dan sedikit cekung. "Tipes dan asam lambung, dokter berkata saya terlalu banyak makan-makanan yang asam. Memang beberapa bulan terakhir saya stay di Thailand dan sedang hobi sekali menikmati Som Tum. Kamu harus mencobanya sekali-kali." "Aku udah pernah mencobanya Mami, memang enak buat camilan." "Oh kami menikmatinya dengan bihun, orang Thai suka sekali makanan yang pedas dan asam, cocok buat lidah Indo.
Setelah makan malam di rumah Om Frankie. Kami kembali sibuk dengan rutinitas mempersiapkan pernikahan. Lebih tepatnya aku, karena Gun sibuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda dan dia kelihatan setuju-setuju saja dengan apa pun yang kupilih. Padahal aku tuh butuh pendapatnya, seperti dekorasi atau venue misalnya, aku perlu tahu apa yang dia suka, tapi dia hanya menjawab sederhana. "Apa yang kamu suka, aku juga suka." Dahlah. "Yang penting tuh bill lancar Mita, masalah bayar membayar. Nah, baru lo serahkan ke Gun." Jenardi ikut berkomentar ketika melihatku senewen sendiri.