"Mereka hanya merekrut perempuan-perempuan cantik yang nggak punya otak."
Perkataan itu menggema, terdengar meremehkan. Selama sepuluh tahun bekerja, pontang-panting melompat dari satu agensi ke agensi lain, baru kali ini aku merasa direndahkan di hari pertama bekerja. Tapi itu tidak mengherankan, sebab yang berkata adalah Gun Saliba, seorang celebrity Chef yang terkenal perfeksionis. Miris karena dari semua hal, pria itu terdengar masih sama, suaranya menggelegar, otoriter dan tidak bisa dibantah, meski belum resmi bertemu, aku sudah bisa membayangkan wajah Gun yang terdiri dari tiga J: judes, julid, jumawa. "Siapa lagi kali ini yang kalian bawa Ed? Saya nggak membutuhkan manajer, yang saya butuhkan adalah asisten yang bisa bekerja." "Bapak berniat menggantikan posisi saya?" Seorang pria yang dipanggil Ed itu terdengar menyahut. Aku merasa salut, meski sedari tadi sudah dibentak, suara laki-laki itu tetap tenang, tidak terpancing sang atasan. Gun mendengus. "Kamu lihat saya memiliki asisten di kitchen sekarang?" "Kalau itu, kami akan segera merekrutkan—“ “I said right now, did you not hear me?” Mau tidak mau, aku kembali memejamkan mata, bukan aku yang dibentak, tapi aku ikut berjengit, tanpa sadar ludahku tertelan, pahit. Bagaimana Mba Niken berharap aku akan menjinakkan laki-laki semengerikan ini? "Tolong Mit, lo tau kan dia tuh terkenal rewel, selama ini nggak ada yang betah jadi manajernya, tapi Pak Punjab suka banget sama dia. Bagi dia, Gun itu ATM berjalan, program Dapur Ceria yang tayang tiap hari selalu tembus rating dua digit, trending X, FYP TokTik, mana mau dia melepas Gun gitu aja, makanya apapun yang dia minta pasti diturutin, dan sekarang Pak Punjab mau lo yang jadi manajer dia." Itulah yang dikatakan Mba Niken pagi tadi, sesaat setelah aku memperkenalkan diri sebagai pegawai baru di Lumeno Entertainment, anak perusahaan dari LO Group, yang menaungi para selebritis papan atas Ibu kota. Masalahnya, kenapa harus aku? Di antara semua orang, kenapa justru aku yang terpilih untuk menjadi manajernya? "Program dia yang weekend, Master Chef mulai berjalan, dan lo tau tanggapan pemirsa juga nggak main-main, hari pertama tayang aja, ratusan iklan langsung masuk, dia butuh orang buat handle jadwalnya dengan teratur." Benar, program tersebut memang viral, ditayangkan di segmen siaran day time dengan kode rating SU, bertajuk survival show, bahkan Hiro dan Naga yang tidak pernah menonton TV saja sampai tertarik. Setiap sore di hari weekend mereka sudah standby di living room apartemen kecil kami, duduk di sofa dengan semangkuk popcorn untuk menyaksikan tayangan tersebut. Sesuatu yang membuatku meringis tiap memperhatikan euforia itu. Sialan. "Tenang Mit, ada bayaran yang sepadan buat pengabdian lo, gajinya sesuai rating acara, jadi bisa dipastiin lo bakal dibayar berkali-kali lipat dibandingkan manajer lain di agensi ini." Seolah tahu aku akan menolak, Mba Niken kembali menjelaskan, membuatku akhirnya tidak memiliki pilihan. Aku membutuhkan uang, sebagai single parent yang harus menghidupi baik diri sendiri maupun dua orang bocil, aku harus menjadi palu gada, ibaratnya semua jenis pekerjaan apapun pasti akan aku ambil asalkan ada duitnya, yang penting halal dan tidak minta-minta. Pantang untukku mengharap belas kasihan orang lain, lebih baik aku bekerja siang malam, kepala di kaki, kaki di kepala kalau perlu daripada harus mengharap uluran tangan dermawan. "Nah, sekarang tolong banget ya, terima pekerjaan dari Pak Punjab ini, atau mungkin lo bakalan didepak lagi." Dan di sinilah aku akhirnya, berdiri di balik pintu yang bertuliskan Chef Only, sebuah ruang kekuasaan milik seseorang yang sebentar lagi akan menjadi atasanku. "Di mana manajer sialan itu sekarang? Baru hari pertama dia bahkan sudah terlambat, kamu yakin dia kompeten?" "Dari portofolionya perempuan itu cukup meyakinkan, dan dia sudah di sini, silakan masuk." Pintu kemudian mengayun terbuka. Jantungku berdegup kencang, ketika perlahan melangkah memasuki ruangan tersebut. Gun sedang duduk di kursi kebesarannya, membelakangi kami sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. "Siang Pak, saya—“ "Berhenti basa-basi busuk perkenalan, katakan apa kelebihan kamu?" Kutelan ludah susah payah, ini adalah pertanyaan yang mudah. Harusnya aku bisa menjawab lancar, tapi karena tidak siap dengan pertanyaan itu, otakku mendadak beku. Tak kunjung mendapat sahutan, Gun terdengar mendengus. "Kamu nggak memiliki kelebihan? Untuk apa mereka merekrut kamu kalau begitu?" "Saya cekatan, disiplin dan berkemauan keras, Pak," balasku akhirnya. "Nah, sekarang saya tahu apa kekurangan kamu." Suara itu terdengar mengejek. "Kamu pandai berbohong. Dari mana kamu mengklaim cekatan kalau menjawab pertanyaan saya saja kamu gagu?" Ga-gu? Astaga. Aku hanya terlambat menjawab beberapa detik saja, dia langsung menyimpulkan dengan kejam. Jelas aku tidak terima! "Bapak nggak bisa asal berkomentar hanya dari satu sudut pandang, sedangkan Bapak belum pernah bekerja bersama saya.” "Jadi kamu menganggap diri kamu kompeten?" "Sebaik yang Bapak harapkan." "Bagaimana jika saya kecewa?" "Bapak bisa mengganti saya dengan yang lain." "Kamu tahu saya nggak memiliki waktu?" "Kalau begitu saya pastikan waktu Bapak nggak akan terbuang sia-sia." "Kepercayaan diri kamu pasti—" Dia berputar di kursi, dan kalimatnya langsung berhenti. Wajahnya yang semula judes mendadak berubah terkejut. "Kamu?" "Perkenalkan Pak, saya Paramita Ruhi manajer baru Bapak." Matanya tajam, lurus, tepat memandangku. Meski sering melihatnya dari layar kaca, Gun tampak lebih matang dan lebar saat dilihat secara kasatmata. Dia mengenakan sebuah uniform khas chef berupa double breasted jacket bernuansa putih, bahunya tampak luas, sudut-sudut rahangnya keras, usia telah membuat Gun jauh lebih dewasa, tapi yang paling menarik dari semua itu adalah sepasang matanya yang menatap tajam. Persis seperti yang kuingat. "Kamu yakin nggak salah orang Ed?" tanyanya pada sang asisten seolah meminta konfirmasi. "Benar Pak, dia manajer baru Bapak." Aku tahu ini adalah ide yang buruk, aku tahu bertemu lagi seperti ini pasti membuat Gun murka, tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi. Sambil menguatkan mental, aku berusaha bersikap tenang. "Mohon kerja samanya Pak." "Apa yang membuat kamu berpikir saya menerimanya?" Aku menelan ludah saat laki-laki itu perlahan berdiri, menyadari betapa kontrasnya perbedaan tubuh kami, Gun yang menjulang tampak seperti raksasa bagiku yang mini. Langkahnya yang lebar mendekat, aku menahan napas saat aroma parfumnya memeluk indera penciumanku. "Saya rasa Bapak nggak memiliki pilihan, saya dikirim langsung oleh Pak Punjab untuk menjadi manajer Bapak." Aku menjawab, setengah mati menahan diri untuk tidak mundur. "Dan kalau saya menolak?" "Bapak bisa sampaikan sendiri keputusan tersebut pada Pak Punjab." "Apa kamu berani mengambil risiko tanpa libur jika menjadi manajer saya?" "Termasuk cuti?" tanyaku, pandangan terangkat, dan seketika menyesali keputusan tersebut karena tatapan Gun sangat menusuk. "Saya nggak suka jika manajer saya bepergian ketika sedang saya butuhkan." Tunggu dulu, dalam kesepakatan seharusnya tidak seperti ini, dan setiap pekerja berhak menerima libur. Tapi di bawah tatapan Gun yang mengintimidasi aku merasa sulit memutuskan. "Gimana?" tanyanya mendesak. "Saya perlu memikirkannya, Pak." "Bukannya kamu bilang, bahwa kamu dikirim ke sini oleh Pak Punjab, berarti sekarang kamu menolak perintah beliau?" Perangkap, bisa-bisanya dia membalikkan keadaan! Aku megap-megap. “Itu...” Lesung pipi Gun terbit. "Saya menemukan kekurangan kamu yang kedua, kamu sangat plin-plan." Diejek begitu, wajahku seketika terasa panas. Gun mundur selangkah lalu menggidikkan kepala pada asistennya. "Suruh seseorang membawa dia pergi, dia belum memenuhi kualifikasi untuk menjadi manajer saya." Mataku langsung melebar. "Nggak bisa gitu dong, Pak!" Dua pria berbadan besar dengan seragam hitam rapi memasuki ruangan, aku dengan cepat berseru. "Saya ... saya menerimanya." Jemari Gun terangkat, praktis menghentikan gerakan sang pengawal yang sudah berada di kanan dan kiri, siap menyeretku keluar. "Saya terima tawaran Bapak, nggak ada libur kan? Nggak masalah, saya bisa Pak," kataku mengulangi dengan lebih percaya diri. "Kamu yakin?" Aku mengangguk. "Bagus," sahutnya sambil kembali duduk di kursi. "Tapi kamu harus tahu bahwa saya nggak mentolerir keterlambatan, dan satu kesalahan kecil saja, silakan kamu langsung angkat kaki." "Baik Pak." Kemudian tangannya terulur, sejenak aku hanya memandangi tangan itu. Tangan yang kekar dengan gurat-gurat kehidupan. Lalu perlahan aku pun maju dan mengulurkan tanganku, begitu mungil di jabatan tangannya. Kontak itu hanya berlangsung sepersekian detik, tapi hawa panasnya seperti menempel di telapak tanganku lalu merayap naik menuju wajahku. Sebelum semakin malu, aku segera menarik tanganku kembali. Senyum Gun melebar. "Selamat menjadi manajer saya, Mita." Inilah seorang mantan yang lebih baik dilupakan. ***Aku menarik oksigen sebanyak-banyaknya setelah pamit undur diri dari ruangan Gun, sadar bahwa sedari tadi telah menahan diri."Gimana Mit?" Mba Niken menyongsong di depan pintu ganda kantin khusus karyawan ketika aku baru kembali, lalu terduduk lemas di kursi. "Dia nerima lo kan?"Boleh tidak aku kabur saja? Laki-laki itu sengaja menjebakku!Lima tahun kami tidak pernah bertemu, dan tiba-tiba berhadapan dengan Gun seperti ini, jelas membawa pengaruh buruk bagi mental.Karena aku diam saja, Mba Niken mengguncang lenganku dengan heboh. "Mita, ngomong dong, sumpah lo bikin gue takut, dia nggak ngapa-ngapain lo di sana kan?""Mba, lo sengaja jadiin gue tumbal ya?"Dia meringis tidak enak hati, sayang belum sempat menjawab sebuah suara mendayu nan merdu sudah mendahuluinya."Hai Mit, apa kabar?"Punggungku langsung tegak, siaga.Seorang perempuan dalam balutan bodycon dress merah menyala masuk dalam sudut penglihatanku, wajahnya yang cantik terpoles makeup tebal tampak tersenyum ceria.Dia
Suaranya rendah dan berat, dari aroma musk tubuhnya secara insting aku langsung tahu milik siapa, namun aku kesulitan untuk menggeliat karena cengkeramannya yang seakan ingin meremukkan kepalaku."Pak!" sebutku serak dan ngeri."Kamu sengaja mengikuti saya?""B-bukan." Kucoba-coba untuk meraba jemarinya agar terlepas tapi lengan Gun yang bebas malah membelit perutku, aku praktis tidak bisa bergerak."Jawab," bisiknya mendesak."Sa-saya cari toilet, Pak.""Apa ini kekurangan kamu yang ketiga? Berpura-pura, padahal kamu penguntit?" serang Gun tanpa ampun. "Atau kamu sudah nggak sabar bekerja bersama saya?""Pak, bisa lepasin dulu nggak, saya nggak bisa napas," kataku megap-megap.Gun mendengus, kupikir dia tidak akan menuruti permintaanku begitu saja, tapi perlahan dia mengurai pelukan, dan cengkeramannya mengendur, aku langsung mengambil dua langkah menghindar lalu terbatuk-batuk heboh, sambil berbalik menatapnya, kuraba-raba leher, memastikan kepalaku masih utuh."Apa yang terjadi?"
"Tolong Ma, kali ini aja, sambil aku cari day care yang dekat rumah, untuk sementara aku titip Hiro dan Naga di sini." "Mama nggak melarang Mit, tapi kamu tau sendiri Mama juga bukan pengangguran, silakan aja mereka di sini asalkan bayarannya sesuai." "Berapa?" "Lima puluh juta aja." Mataku melotot sempurna, yang benar saja? Aku hanya meminta beliau menjaga Hiro dan Naga hari ini sebelum aku menemukan day care pengganti yang lokasinya terjangkau dari apartemen, tapi Mama seperti aji mumpung, mengambil keuntungan dalam kesempitan. "Ini kan weekend Mit, wajar kalau Mama minta segitu, sepadan sama waktu liburan yang Mama luangkan. Lagian anak-anak kamu itu tingkahnya di luar nalar, apa kamu nggak ingat apa yang mereka lakukan ketika terakhir dititipkan di sini?" tanya Mama emosi. Bagaimana aku bisa lupa? Ketika sedang terlelap mereka mengikat kedua tangan dan kaki Mama dengan mulut yang dibungkam lakban. Saat aku menanyakan hal tersebut Hiro dan Naga beralasan bahwa mereka s
"Scene satu, shot dua, take sebelas. Action!" Sang asisten sutradara memberi aba-aba, membunyikan sebuah clapper, papan hitam putih sampai bunyi cletak!"Sebentar, poni gue berantakan.""Cut!"Suara Pak Wisnu, sutradara menggema memenuhi ruangan, membuyarkan adegan yang sedang dijalani Gun dan Prily, aktris cilik yang kini sudah beranjak dewasa. "Duh, kemarin di workshop talent nggak gini, lo kebanyakan mengkhawatirkan hal yang nggak perlu Pril, muka lo juga terlalu datar," tegurnya. "Walaupun harus sesuai naskah tapi gue butuh lo improvisasi, lo kan bukan amatir! Kita bahkan masih di adegan pertama, kalau seperti ini terus kapan selesainya?"Perempuan cantik bertubuh semampai itu tampak meringis. "Sorry Mas, bisa kita ulangin lagi?"Seorang tim wardrobe buru-buru mendekati mereka dan melakukan touch up pada Prily dan Gun, wajah laki-laki itu kelihatan kecut, sudah hampir dua jam adegan iklannya diulangi, dan semakin lama, Gun semakin kehilangan kesabaran."Kita break dulu aja, lo pe
Sebenarnya aku berharap Gun akan lupa, setelah dua jam take video iklannya menemui jalan buntu, mungkin saja moodnya yang berantakan membuatnya jadi tidak ingin berhadapan denganku, tapi tentu saja itu adalah harapan yang terlalu muluk."Kenapa kamu terlambat?" tanyanya. Apa itu basa-basi? Sepertinya kalimat itu memang sudah menguap dari kamus seorang Gun.Dia duduk di kursi kebesaran, di ruangannya yang tampak tertata, rapi dan kinclong."Begini Pak..." Aku berdeham, merapikan rambut panjangku, menyelipkannya ke balik daun telinga kemudian mengulurkan paper bag yang kubawa. "Ini bathrobe yang kemarin Bapak pinjamin ke saya." Kuletakkan di atas meja. "Makasih Pak, saya terbantu sekali kemarin dengan handuk itu, Bapak benar, saya nggak mungkin berkeliaran di kantor dengan pakaian basah, apalagi di hari pertama saya kerja, walaupun ukurannya besar sekali dan bikin saya kelihatan melayang seperti kunti--""Apa kamu mau menghabiskan waktu saya?" Suaranya yang tajam segera menyela.Aku mer
"Masa begitu sih Pak?" Aku langsung protes karas. Bahu Gun terangkat santai. "Pilihannya hanya itu atau silakan angkat kaki." Ya Tuhan, bahuku merosot lemas. "Kamu keberatan?" Bagaimana aku akan mengeluh kalau dia sudah memutuskan dan tidak bisa dibantah?! Aku harus secepatnya melaporkan keluhan ini pada Mba Niken, aku yakin dia tidak bisa berbuat apa-apa, tapi dialah yang mendorongku menerima tawaran manajer ini, jadi aku perlu dukungannya untuk meneruskan keluhanku pada Pak Punjab agar pria tua itu berubah pikiran, lalu menggantikan posisiku menjadi manajer selebriti yang sifatnya normal. Persetan dengan gaji berkali-kali lipat, lebih baik menjaga kewarasan daripada aku harus bekerja di bawah tekanan yang tidak masuk akal. Karena aku diam saja, laki-laki itu bangkit, menganggapku telah setuju. "Bagus, sekarang kamu singkirkan ini, saya nggak mengambil kembali barang yang sudah saya berikan ke orang lain," katanya menggedikkan kepala pada paper bag di atas meja. "Sebentar Pa
Karena macet aku baru sampai di rumah Mama sekitar pukul sepuluh malam. Tempat itu sangat sunyi dan gelap, halamannya ditumbuhi tanaman lebat seperti rumah tidak berpenghuni."Hiro, Naga?" tanyaku pada Mama ketika beliau membukakan pintu."Udah tidur, kenapa nggak sekalian kamu pulang di jam cinderlella aja? Bukannya kamu udah dipecat sama Roy Dihan?""Dari mana Mama tau?""Jadi benar?""Kenyataannya aku yang mengundurkan diri.""Dan Zara menggantikan posisi kamu. Dari dulu dia memang bisa diandalkan, nilai sekolahnya selalu bagus, membanggakan, sekarang juga dia mengalahkan kamu dalam pekerjaan.""Nggak ada yang dikalahkan Ma, aku dan Zara nggak sedang berkompetisi." Kupilih untuk melewati tubuhnya dan terkejut menemukan anak-anakku yang sedang tertidur di sofa dalam posisi duduk. "Kenapa mereka nggak dipindahin di kamar?""Kamar di rumah ini cuma satu, Mama nggak mau mereka ngacak-ngacak kamar Mama, di sana banyak makeup dan barang penting.""Barang penting itu lebih penting dari an
"Kapan kita akan tanam jagung, Mas?" "Kita nggak punya tempat untuk menanam di rumah ini." "Kalian bisa tanam di balkon, tapi bukan jagung nanti Mama belikan biji strawberry."Naga yang sangat menyukai buah tersebut langsung memekik girang, sementara Hiro tampak tidak terkesan."Kami sudah pernah menanam itu di sekolah, hasilnya biasa aja," katanya."Tapi di rumah belum pernah kan? Kamu bisa mencobanya lagi nanti." Aku memberi usul dengan sabar.Akhir-akhir ini mereka sedang hobi bercocok tanam, mungkin itulah yang membuat Mba Susi senewen, karena baginya Hiro dan Naga terkesan hanya megacau tanpa sadar bahwa mereka sebenarnya ingin bermain sekaligus belajar. Sampai detik ini aku masih mencoba berkomunikasi dengan beliau meminta maaf dan berusaha untuk membujuknya agar kembali mau menerima anak-anakku, walaupun jawabannya belum berubah."Kita akan ke rumah Nenek lagi hari ini?" tanya Hiro, tampak tidak antusias saat ak
Aku mencoba melihat segalanya dalam sudut pandang yang positif. Selama diliburkan, aku bisa menjaga anak-anak tanpa perlu daycare atau orang lain, terlebih Mama yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Aku bahkan bisa membuatkan mereka bekal makan siang untuk dibawa ke sekolah. Lalu mengajak mereka berbelanja mingguan, dan yang paling penting karena mereka tidak ikut liburan bersama teman-teman lain ke kebun binatang. Aku bisa menyempatkan waktu untuk mengajak mereka ke sana. Hiro dan Naga menyambut gembira. Ketika mereka bertanya, kenapa Mama nggak kerja? Aku bisa berkelit dengan menjawab Mama sedang ambil cuti. Dan selayaknya anak berusia empat tahun mereka sangat senang, bakan berharap Mamanya akan cuti selama setahun penuh. Hiro yang biasanya mudah curiga, kali ini juga tidak banyak bertanya. Menghabiskan waktu bersamaku bagi mereka jauh lebih berharga dibandingkan harus memikirkan masalah lain. Sangat tipika
"Apalagi yang perlu dibicarakan, Gun?" Aku sudah lelah dengan drama pencurian ini, jika dia ingin mengkonfrontasi dan membuatku mengaku bahwa akulah yang mencuri barang miliknya, maka lebih baik Gun pergi daripada menghabiskan waktu. "Ke ruangan saya, atau ribut di sini." Namun Gun adalah Gun kan? Setiap kata-katanya tidak bisa dibantah mutlak, hingga ketika dia menggidikkan kepala agar aku mengikutinya, aku tidak memiliki pilihan selain nurut. Belum lagi jika kami ribut di koridor maka itu bisa menarik perhatian para karyawan. Dengan gontai aku memasuki ruangan Gun, merasa sedikit trauma ketika wanginya yang maskulin sontak menyerbu. Inilah tempat yang membuatku dituduh melakukan tindakan amoral. "Duduklah." Aku nurut. Gun melangkah tenang, membuka lemari bening yang berada di sudut ruangan. Mengeluarkan satu botol yang terlihat mahal, menuangkan isinya ke gelas kemudian mengulurkannya padaku. Kepalaku terangkat, bingung. "Aku—" "Minumlah, kamu butuh rileks sekarang." Dia k
Siapapun yang melihat pasti akan langsung sadar bahwa benda itu terbuat dari berlian. Bentuknya kecil seperti kancing manset pada umumnya, namun berkilauan. Aku bisa mendengar semua karwayan menahan napas. Harganya pasti di atas 1M, pantas saja Pak Punjab tampak senewen, meskipun Gun sempat tidak peduli. Mba Niken megap-megap tidak paham. "Saya nggak tau itu ada di sana." Semua pasang mata langsung menatapnya. "Itu barang kamu?" tanya Pak Punjab. "Y-ya," gagap Mba Niken. "Tapi saya nggak mencuri, dan saya juga nggak tau kenapa benda itu ada di dalam sana Pak." "Ini benar milik kamu kan, Gun?" tanya Zara. Aku mengangkat alis, menyadari dia memanggil Gun tanpa embel-embel Pak atau Chef seperti karyawan yang lain, akrab sekali, bund. "Seharusnya ada sepasang kan? Di mana yang satunya lagi?" "Saya nggak tau!" Mba Niken memekik. "Sebaiknya Anda bicara yang sopan." Gerald memperingatkan dengan tajam. "Nggak apa-apa, dalam keadaan seperti ini semua pasti tegang, dia berhak untuk mem
"Saya bukan mau menuduh kamu melakukan pencurian, tapi saya perlu melakukan konfirimasi apa yang kamu lakukan di dalam ruangan Gun." "Benar Pak, saya melihat dia keluar dari ruangan Chef Gun siang ini." Lusi tiba-tiba menyela, suaranya terdengar berapi-api. Pak punjab merentangkan tangan, meminta agar perempuan itu tidak memotong pembicaran. "Kita perlu memberikan Paramita waktu untuk menjelaskan." "Apanya yang perlu dijelaskan Pak? Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri kok. Ketika saya tanya apa yang dia lakukan di sana karena Chef Gun sedang nggak ada. Mita sendiri kelihatan ketakutan, seolah dia baru kepergok melakukan sesuatu." Ya Tuhan. Tidak menuduh aku melakukan pencurian? Tapi jelas sekali kata-kata beliau justru menunjukkan yang sebaliknya. Aku bahkan tidak diminta duduk tanpa basa-basi. Di antara empat pasang mata, kecuali Gun, mereka menatapku menunggu jawaban. Punggungku panas dingin. "Apa maksud Bapak pencurian?" tanyaku, lidah terasa pahit saat mengatakan itu
Apartemen kami ternyata sudah rapi, tempat itu sudah tidak dipasang garis polisi. Dan ruang tamunya yang acak-acak dengan perabotan terbalik serta pecah belah sudah dibersihkan dan ditata seperti semula. Aku hanya perlu menyimpan barang-barang kami di kamar masing-masing, membujuk Hiro dan Naga untuk tidur kemudian istirahat. Walaupun aku sendiri insomnia. Bangun-bangun, kepalaku terasa berat, badanku sakit semua seperti habis digebuki. Aku mandi dengan menahan nyeri, kemudian menyadari aku melupakan jadwal pertemuan bersama Miss Clara. "Nggak pa-pa kok Mam, kalau memang masih sibuk, kami maklum. Silakan datang kalau Mama kembar nggak sibuk ya." Aku menggumamkan terima kasih untuk pengertiannya. Lalu meninggalkan anak-anak di kelas. Mengabaikan tatapan kepo dari trio Ibu Nuri, Yuli, dan Yuni. "Ibu-Ibu foto jalan-jalan kemarin sudah dikirim ke grup ya, silakan dicek. Ini saya juga punya bingkisan untuk Ibu-Ibu di rumah, tapi untuk yang ikut-ikut aja." Ibu Nuri mengumumkan di depa
Aku segera melompat bangkit dari kursi, jantung berdebar penuh antisipasi. Mata mendelik nyalang menatapnya. "Apa maksud kamu?" Gun menyesap air putih di meja, gerakannya begitu tenang terkendali, sikap judes yang selalu diperlihatkannya mendadak hilang digantikan sikap dingin, tak tersentuh dan tak terbantah. Seolah dia telah sepenuhnya berubah dari Gun yang dulu pernah kukenal, menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. "Kamu mengerti apa yang saya maksud," jawabnya lambat-lambat. Telingaku berdenging panjang, alarm tanda bahaya menyala. "Kamu bercanda kan, Gun?" "Do I look like I am joking?" Tapi ini sama sekali tidak masuk akal, bahuku merosot lemas, mundur selangkah. Gun bukan laki-laki pemaksa, aku tahu dia sangat galak, judes, dan sulit ditangani. Sebagai pengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD) Gun selalu menuntut kesempurnaan, dia tidak akan bisa bekerja sama dengan orang-orang lamban. Hanya saja, sepanjang kami berpacaran, tidak pernah sekalipun dia
Sesuai dugaan, aku memang tidak bisa begitu saja memutus kontrak menjadi manajer Gun, apalagi pindah dengan entengnya menjadi asisten chef. Stres. Aku merasa seolah baru saja dioper dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Tapi apa daya, aku cuma cungpret (kacung kampret) yang bisa disuruh-suruh. Gun bahkan tidak ambil pusing meskipun dia sepertinya kesal, namun raut wajahnya tetap santai tanpa minta maaf. "Sama saja kan, mau kamu jadi manajer ataupun asisten chef saya. Kalau nggak ada syuting kamu bisa balik menjadi asisten. Kalau ada syuting kamu bisa menemani saya. Fleksibel, semua aman." Gila, kenapa sejak awal dia tidak mengatakan ini? Dan justru membuatku terperosok dalam jurang? "Masalah libur gimana?" "Kita akan tetap pada kesepakatan awal Mita." Aku menahan diri untuk tidak mengumpat. Lemas sebadan-badan. Merasa baru saja dipermainkan. Apakah Gun sengaja melakukannya? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi masalah lain yang lebih memdesak adalah posisiku pun terancam.
"Apa maksudnya ditolak Pak, bukannya Bapak sendiri yang menawarkan saya buat jadi asisten chef dan bisa pindah?" Aku merasa seperti terombang-ambing. Kemarin kami ke Lumeno tapi tidak ada hasil apapun. Hari ini, pagi-pagi sekali kami kembali lagi ke agensi itu. Tapi aku merasa seolah sedang dikerjai habis-habisan. Belum ada 2x24 jam aku menjadi asistennya, mendadak sekarang aku harus kembali menjadi manajer Gun. "Ini masalah birokrasi agensi. Kamu harus bayar pinalti kalau tiba-tiba mau pindah." Begitulah penjelasan Gun, karena secara teknis aku masih terikat kontrak bersama Lumeno Ent, dan kontrak itu berlaku sampai setahun ke depan, jika aku mengundurkan diri, maka akan ada konsekuensinya Demi Tuhan. Aku sadar masalah ini sejak awal, itulah kenapa aku sempat skeptis dengan tawaran tiba-tiba Gun. Namun dia membujuk dengan iming-iming gaji tinggi, libur, dan kelebihan lain, itu sebabnya aku menyerah. Tapi sekarang aku harus mendapati kenyataan kalau semua ini salah? "K
"Kamu bilang, mereka nggak bisa didakwa dengan tuntutan pengerusakan?" "Saya sudah bilang, kalau untuk menyerahkan semuanya pada Jerikho, dia sudah terbiasa mengurus kasus seperti ini." Jujur, aku merasa lega sekaligus bertanya-tanya. Sayangnya pertanyaan itu tidak bisa terjawab karena Gun tidak mengizinkan aku untuk menemui pelaku. "Setidaknya aku harus tau gimana orang-orang yang udah nyaris mencelakakan aku," kataku beralasan setelah kami beradu argumen. "Untuk apa Mita? Yang penting mereka sudah ditangkap, terbukti melakukan pengrusakan dan penyalahgunaan wewenang dengan bertindak semena-mena. Itu sudah lebih dari cukup." Gun membalas tegas. "Untuk apa kamu harus menemui mereka lagi? Hanya menghabiskan waktu." Gun benar, dan tidak benar di saat yang bersamaan. Aku kesal, ingin melihat bagaimana tampang seseorang yang sudah membuat si kembar ketakutan. Tapi pendapat Gun juga tidak salah. "Itu berarti, apa aku dan anak-anak udah bisa pulang ke apartemen sekarang?" Hiro dan Na