Suaranya rendah dan berat, dari aroma musk tubuhnya secara insting aku langsung tahu milik siapa, namun aku kesulitan untuk menggeliat karena cengkeramannya yang seakan ingin meremukkan kepalaku.
"Pak!" sebutku serak dan ngeri. "Kamu sengaja mengikuti saya?" "B-bukan." Kucoba-coba untuk meraba jemarinya agar terlepas tapi lengan Gun yang bebas malah membelit perutku, aku praktis tidak bisa bergerak. "Jawab," bisiknya mendesak. "Sa-saya cari toilet, Pak." "Apa ini kekurangan kamu yang ketiga? Berpura-pura, padahal kamu penguntit?" serang Gun tanpa ampun. "Atau kamu sudah nggak sabar bekerja bersama saya?" "Pak, bisa lepasin dulu nggak, saya nggak bisa napas," kataku megap-megap. Gun mendengus, kupikir dia tidak akan menuruti permintaanku begitu saja, tapi perlahan dia mengurai pelukan, dan cengkeramannya mengendur, aku langsung mengambil dua langkah menghindar lalu terbatuk-batuk heboh, sambil berbalik menatapnya, kuraba-raba leher, memastikan kepalaku masih utuh. "Apa yang terjadi?" tanyanya, baru menyadari kemejaku yang basah, aku buru-buru menutupinya, karena pakaian berbahan chiffon itu kini menempel di kulitku hingga tembus pandang, Gun seketika mendengus. "Tenang saja, saya nggak akan napsu melihat kamu. Semuanya serba kecil dan rata." Mataku melotot. Apakah dia lupa apa saja yang dulu pernah kami lakukan? Apakah dia lupa bagaimana dulu dia sangat memujaku? Apakah dia lupa bahwa kami... "Pakai ini." Sebuah bathrobe terlempar, refleks aku segera menangkapnya. Lalu merentangkan benda itu, mengernyit ketika melihat ukurannya yang dua kali lipat lebih besar, jika menggunakannya aku akan terlihat seperti jadoo. Jelas ini milik Gun. "Nggak usah Pak," tolakku segera. "Nggak mungkin kamu berkeliaran di sini dengan pakaian seperti itu." "Saya cuma butuh toilet." "Jadi kamu ingin mempertontonkan tubuh kamu?" "Kalau Bapak nggak mau pinjamin saya toilet, saya permisi, Pak." Kesal karena tuduhan sepihaknya, aku memilih untuk melangkah pergi, namun belum mencapai pintu, Gun kembali bersuara. "Tunggu." Aku membeku. "Saya nggak melihat ada cincin di jari manis kamu." "Apa?" Aku sontak menoleh, terkejut. "Pernikahan kamu nggak berhasil?" "Itu bukan urusan Bapak." "Saya perlu tahu dengan siapa saya bekerja, dan bagaimana statusnya." "Bapak bisa mengetahuinya dari resume profil saya, nanti akan saya kirim secepatnya." "Jadi benar?" Ketegangan terasa di dadaku dengan degup jantung yang bertalu-talu ketika tatapan kami beradu. Bisa kutemukan sebuah pertanyaan mendesak di dalam sana, tak sanggup mempertahankan kontak mata, aku melengos, menarik embuskan oksigen sebanyak-banyaknya. "Saya rasa, saya sudah mengganggu waktu Bapak, permisi." Berusaha tegar aku memilih untuk mengabaikannya dan berjalan ke pintu. Tapi tentu saja terlalu naif jika berpikir Gun akan menyerah dengan mudah karena dari balik bahu kudengar dia berkata. "Jangan pikir kamu bisa menghindar begitu saja, Mita." Aku menahan diri untuk tidak mengumpat. "Saya ingin menambahkan satu aturan dari kesepakatan kerja sama kita." Apa sebenarnya yang dia inginkan? "Utamakan sopan santun, ketuk pintu setiap kali kamu ingin memasuki ruangan saya, hanya karena kamu manajer, bukan berarti kamu bisa keluar masuk tanpa izin, paham?" Ya ampun, aku tahu ini ruangan dia saja tidak! Tapi bisa dimengerti, ruangan ini tampak rapi, tertata, kinclong persis seperti pemiliknya. "Baik Pak." Tak ingin menambah masalah aku mengangguk saja, lalu bernapas lega ketika berhasil keluar dari sana. Pertanyaan Gun membuatku takut, kuremas handuk di tangan lalu sadar bathrobenya masih kugenggam. Sial, aku tidak mungkin mengembalikannya karena tidak ingin berhadapan dengan laki-laki itu lagi hari ini. Terpaksa aku menggunakan handuk itu, jika dipakai Gun mungkin hanya sebatas dengkul, tapi ketika dipakai olehku, panjangnya nyaris mencapai mata kaki, membalut seperti jubah. Sambil merapikan debar jantung yang berantakan, aku menyusuri koridor yang sepi, begitu melewati kantin, Zara sudah menjadi pusat perhatian, dikerubungi oleh karyawan yang memberi selamat. Sebentar lagi berita pertunangannya dengan Roy pasti akan trending di kalangan netizen *** "Siapa yang mulai duluan?" Hiro menunjuk Naga, begitu pun sebaliknya, aku mendengus. Apakah ini hari basah-basahan nasional? Karena bukan hanya aku yang terkena tumpahan air, tapi kedua anakku juga. Bedanya air mereka bercampur tanah, mengotori pakaian sampai membuat wajah mereka cemang-cemong. "Mama tanya sekali lagi ya, siapa di antara kalian yang duluan melempar lumpur?" Keduanya menunjuk diri sendiri. Bagus, tadi mereka saling menyalahkan, kini mereka saling melindungi. "Jadi kalian nggak ada yang mau ngaku?" "Aku suka main lumpur." Hiro menyahut datar. Naga segera menimpali. "Aku juga, Ma." "Ini bukan masalah main lumpurnya, tapi kalian bikin semua kotor," kataku capek. "Bukannya Mama udah pesan jangan bertingkah, dan jangan bikin Mba Susi repot?" "Tempat itu bau, aku nggak kuat, lebih enak main di luar, kami bisa tanam jagung." Sebagai yang lebih tua meski hanya beda lima menit, Hiro menjelaskan. Aku melotot tidak percaya dengan penuturan frontalnya. "Bau?" "Ikan asin." Naga dengan senang hati menambahkan. "Mereka masak itu untuk maksi." Maksudnya adalah makan siang. Aku baru menjemput mereka di day care, karena seharian bekerja dan tidak ada yang mengurus, terpaksa dua bocah ini dititipkan di sana. Tapi ibu mana yang tidak shock jika mendadak disuguhkan pemandangan mengenaskan. "Dengar," kataku, berjongkok, untuk menjajari tubuh mungil mereka. Lalu menatap kedua anak kembarku bolak-balik. "Kalian nggak boleh menghakimi apa yang dikonsumsi orang lain, dan kalian juga nggak boleh menghina makanan. Gimana kalau itu lauk kesukaan Mba Susi? Dia berhak makan apapun yang dia suka." "Tapi udah ada larangan nggak boleh membawa makanan beraroma menyengat." Jemari montok Hiro menunjuk peraturan yang menempel di dinding. "Bau itu bisa tersimpan di filter AC yang lama dan bisa mempengaruhi aroma ruangan." Aku meringis. "Iya Ma, cara supaya baunya hilang kompartemen AC harus dibersihkan dan diganti dengan filter udara yang baru," imbuh Naga semangat. Baiklah, aku tidak akan marah dengan alasan mereka meski terdengar menyebalkan, tapi aku tidak ingin diajarkan cara membersihkan AC oleh anak berusia empat tahun. "Ya sudah, Mama mau temuin Mba Susi, kalian bersih-bersih, mandi dulu sebelum pulang, oke?" "Aku lebih suka langsung pergi." Hiro memberikan pendapat. "Aku juga." Naga setuju. Kuabaikan penolakan mereka dengan membiarkan keduanya digiring ke kamar mandi oleh Mba Fiona, lalu melangkah lebih ke dalam untuk bertemu Mba Susi. Beliau adalah wanita paruh baya berusia empat puluh tahun bertubuh tambun dan kacamata, suaranya yang ceriwis langsung menyambut begitu melihat kedatanganku. "Gimana Mba Mita?" tanyanya mendadak tidak ramah. "Sudah lihat Hiro dan Naga?" "Sudah Mba, saya minta maaf mewakili mereka ya," kataku tak enak hati. "Saya pasti akan mengajari mereka di rumah supaya lebih sopan dan menjaga perilaku." "Itu tindakan yang bagus. Yah, saya tahu Mba sibuk kerja dan mungkin nggak sempat mendidik mereka, makanya mereka jadi liar." Aku meringis kecut. "Makasih untuk pengertiannya, Mba. Besok saya pastikan mereka sudah lebih nurut dan nggak membuat masalah." "Gini Mba..." Mba Susi berdeham, lalu membetulkan letak kacamatanya. "Saya pikir sebaiknya Mba nggak usah bawa mereka ke sini lagi." "Gimana Mba?" "Sejujurnya saya kualahan, kemarin mereka memecahkan selusin gelas untuk melakukan penelitian terhadap sinar matahari atau apa, saya nggak paham, sekarang mereka mencangkul tanah di belakang rumah. Saya nggak tau apa yang akan mereka lakukan besok." "Mohon keringanannya, Mba." "Tolong pengertiannya juga Mba, anak yang dititipkan di sini ada banyak dan saya nggak bisa hanya mengawasi mereka. Lagipula Hiro dan Naga sudah terlalu dewasa buat dititipkan di sini." "Tapi Mba—“ "Makasih Mba Mita." Tidak ada negosiasi, Mba Susi langsung melengos untuk menyapa Bunda lain yang menjempat anaknya. Aku mendesah, dengan lesu berjalan menuju mobil, menunggu sampai Hiro dan Naga melompat masuk ke kursi penumpang, sudah rapi dan wangi. "Kita diusir?" tanya Hiro, benar-benar membuatku melotot. "Kamu nguping?" "Baguslah aku malas di tempat ini." "Apa itu berarti besok kita bakalan di apartemen sama Mama?" tanya Naga antusias, tidak menyadari situasi yang terjadi. Aku mendengus. "Nggak, sekarang kalian akan Mama tinggalin di panti asuhan." Keduanya merengek protes. Sial, bagaimana aku akan menjaga anak-anak sementara aku pun harus bekerja dan tidak ada libur? ***"Fudge browniesnya udah semua, Tan?" "Sudah, Bu." "Cotton cheesecake-nya?" "Ada di depan, Bu." "Muffin-nya jangan lupa, Tan." "Siap, Bu." "Dan oh, itu yang lain—" "Sudah berkumpul semua dan sebaiknya kamu tenang." Gun memotong, gemas. Dia berjalan ke belakang punggungku serta membuka kaitan apron, lalu satu tangannya bersandar di pinggiran meja. "Apa yang kamu khawatirkan?" "Banyak Gun, takut dikit." "Itu perasaan yang wajar tapi ada banyak orang yang bekerja di sini. Dan semuanya sudah tertata pada tempatnya, Mita." Benar, sepertinya aku memang terlalu overthinking, atau aku sudah tertular dengan sifat Gun yang perfeksionis. Setelah empat bulan mempersiapkan segalanya mulai dari lokasi, tempat, desain, karyawan sampai menu. Hari ini, kami akhirnya akan meresmikan Petite Peaks. Sebuah bakery yang sudah dirancang sebelum kami menikah. Tempat itu sangat luas, karena kami juga menawarkan dine in. Serta spot-spot foto yang instagramable khusus untuk yang hobi nongkrong di temp
Aku terpaku di tempat, memandang mereka yang tertawa, mendapat uluran hadiah dari Audi dan sepupu lain. Lima tahun, bukan waktu yang sebentar, rasanya seperti baru kemarin aku menggendong mereka dalam balutan kantung kain yang mungil. Dan sekarang Hiro Naga sudah tampak besar di mataku. Mereka akan melanjutkan sekolah, menjalani masa remaja, kuliah lalu... menikah dan memiliki keluarga. "Mita." Mataku mengerjap, lalu tersenyum lebar menyambut uluran tangan Gun. Dia segera merangkul dan mengecup pelipisku. "Ti amo," bisiknya manis. Mengusapi lenganku lalu menghadapi kerumunan. "Oke Hiro, Naga, Papa punya hadiah dan sebaiknya kita buka sekarang ya?" "Oh, apa itu..." Darren membuat suara manja pura-pura penasaran, tapi meledek. "Emas batangan ya, Pa?" "Saham ya, Pa?" Caraka menimpali. "Pulau pribadi ya, Pa?" Delilah ikutan. Keluarga kami kompak tertawa. Gun mendelik judes, tawa kami makin lebar. Aku gantian mengusapi lengannya. "Rumah kontrakan ya, Pa?" Dia berdecak.
"Welcome back to Jakarta." "Madrid kami bawa oleh-oleh banyak." Naga pamer, dan segera membuka tas ranselnya yang seperti kantung Doraemon untuk mengeluarkan sebuah kotak. "Ini semua buat Madrid." "Naga, nanti aja kita kasih di rumah, terus kita bukain oleh-oleh yang lain ya?" Aku berusaha membujuknya naik ke mobil. Naga menolak, memutar bahunya yang kusentuh. "Sebentar Mama, ini penting karena cokelatnya bisa meleleh. Dan harus cepat dimakan sebelum kadaluarsa." Aku meringis. "Madrid lihat ini." Hiro menarik tali gangsing, kemudian melempar benda dari kayu itu ke lantai hingga berputar. Matanya kelihatan bangga. "Kamu bisa?" Ya ampun. "Hebat Mas Hiro, terima kasih Mas Naga." Madrid bertepuk tangan seperti lumba-lumba lalu menerima cokelatnya. Aku menatap Gun meminta pertolongan, tapi sulit sekali melihat ekspresinya dari balik kacamata hitam yang dia kenakan. "Gun?" "Hiro, Naga, masuk." Naga sigap melompat ke dalam mobil yang pintunya sudah terbuka, Hiro me
Honeymoon kami berjalan kacau. Oke, aku tidak ingin menyepelekan bagaimana usaha Gun untuk membawa kami keliling Eropa, tapi setiap kali pindah dari satu negara dan bergeser ke negara lain, ada saja masalah yang timbul. Misalnya saja seperti Hiro yang hilang di antara patung ketika kami mampir di Frogner Park, Norway. Atau Naga yang menjatuhkan sepedanya di kapal saat perjalanan dari Dover menuju Calais. Dan yang paling epik, ketika si kembar mengejar pencopet di jalanan Paris. Maksudku, ya sudah. Itu hanya dompet, memang di dalamnya ada kartu identitas dan beberapa lembar uang, tapi itu sama sekali tidak penting dibandingkan keselamatan anak-anakku, dan... "Dia ke sana." Hiro menjerit, kakinya bergerak lincah, meliuk-liuk di antara tubuh-tubuh orang yang sedang berjalan. Lalu Naga dengan langkahnya yang kecil-kecil, cekatan mengekori. "Kanan, Mas, kanan." Naga memberi intruksi begitu Hiro mulai kebingungan, berdiri di tengah gang bercabang. "Bukan, dia berlari ke kiri.
"Ma guarda chi si è sposato, ecco il miracolo!" Dua orang laki-laki berwajah latin dengan setelan jas mengkilat menghampiri kami begitu acara resepsi tiba. Kebayaku sudah diganti dengan ball gown berwarna silver grey yang berkilauan di bawah cahaya. Bagian atasnya berbentuk bustier dengan detail kristal dan manik-manik yang rumit, menampilkan bahu dan leherku yang terbuka. Roknya mengembang indah, terbuat dari beberapa lapis tulle dan organza dengan taburan sequin halus, menciptakan efek shimmer yang memukau setiap kali aku bergerak. Mengikuti gaun, rambutku pun kini ditata dengan updo yang lebih glamor sesuai tema resepsi, lalu dihiasi jepit rambut bertabur kristal. Sementara dibandingkan akad yang natural, saat repesi ini makeupku sedikit lebih berani dengan smokey eyes dan lipstik nude. Gun tidak henti-henti memuji, dan mengecupi pelipisku setiap ada kesempatan. Sejujurnya sejak tadi gigiku kering karena dioper ke sana-kemari menyalami para tamu lalu dikenalkan dengan tema
They say when you meet the love of your life, time stops, and that’s true. Mungkin itulah yang menggambarkan perasaanku saat ini. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan menikah. Aku hanya ingin hidup bersama anak-anak. Menjalani hari-hari dengan rutinitas yang mungkin sedikit mendebarkan. Tapi kehadiran Gun seperti sebuah nahkoda yang membawa ke mana kapal kami harusnya berlabuh agar kami tidak lagi tersesat dan kehilangan arah. Dia menjadi teman, sahabat, Papa dan pasangan yang kubutuhkan. Kami masih bertengkar, kami masih berdebat, kami masih saling mengejek saat memasak. Tapi kurasa itulah bahasa cinta kami, seperti itulah cara kami saling menyampaikan bahwa kami peduli. "Mama..." Hiro dan Naga masuk bersama Madrid ketika aku sudah selesai dimakeup dan mengenakan pakaian pengantin. Berbeda dari kebaya tradisional yang biasanya terbuat dari brokat tebal, kebaya yang kukenakan adalah sebuah impian yang menjadi nyata, dirancang khusus oleh desainer kepercay