Suaranya rendah dan berat, dari aroma musk tubuhnya secara insting aku langsung tahu milik siapa, namun aku kesulitan untuk menggeliat karena cengkeramannya yang seakan ingin meremukkan kepalaku.
"Pak!" sebutku serak dan ngeri. "Kamu sengaja mengikuti saya?" "B-bukan." Kucoba-coba untuk meraba jemarinya agar terlepas tapi lengan Gun yang bebas malah membelit perutku, aku praktis tidak bisa bergerak. "Jawab," bisiknya mendesak. "Sa-saya cari toilet, Pak." "Apa ini kekurangan kamu yang ketiga? Berpura-pura, padahal kamu penguntit?" serang Gun tanpa ampun. "Atau kamu sudah nggak sabar bekerja bersama saya?" "Pak, bisa lepasin dulu nggak, saya nggak bisa napas," kataku megap-megap. Gun mendengus, kupikir dia tidak akan menuruti permintaanku begitu saja, tapi perlahan dia mengurai pelukan, dan cengkeramannya mengendur, aku langsung mengambil dua langkah menghindar lalu terbatuk-batuk heboh, sambil berbalik menatapnya, kuraba-raba leher, memastikan kepalaku masih utuh. "Apa yang terjadi?" tanyanya, baru menyadari kemejaku yang basah, aku buru-buru menutupinya, karena pakaian berbahan chiffon itu kini menempel di kulitku hingga tembus pandang, Gun seketika mendengus. "Tenang saja, saya nggak akan napsu melihat kamu. Semuanya serba kecil dan rata." Mataku melotot. Apakah dia lupa apa saja yang dulu pernah kami lakukan? Apakah dia lupa bagaimana dulu dia sangat memujaku? Apakah dia lupa bahwa kami... "Pakai ini." Sebuah bathrobe terlempar, refleks aku segera menangkapnya. Lalu merentangkan benda itu, mengernyit ketika melihat ukurannya yang dua kali lipat lebih besar, jika menggunakannya aku akan terlihat seperti jadoo. Jelas ini milik Gun. "Nggak usah Pak," tolakku segera. "Nggak mungkin kamu berkeliaran di sini dengan pakaian seperti itu." "Saya cuma butuh toilet." "Jadi kamu ingin mempertontonkan tubuh kamu?" "Kalau Bapak nggak mau pinjamin saya toilet, saya permisi, Pak." Kesal karena tuduhan sepihaknya, aku memilih untuk melangkah pergi, namun belum mencapai pintu, Gun kembali bersuara. "Tunggu." Aku membeku. "Saya nggak melihat ada cincin di jari manis kamu." "Apa?" Aku sontak menoleh, terkejut. "Pernikahan kamu nggak berhasil?" "Itu bukan urusan Bapak." "Saya perlu tahu dengan siapa saya bekerja, dan bagaimana statusnya." "Bapak bisa mengetahuinya dari resume profil saya, nanti akan saya kirim secepatnya." "Jadi benar?" Ketegangan terasa di dadaku dengan degup jantung yang bertalu-talu ketika tatapan kami beradu. Bisa kutemukan sebuah pertanyaan mendesak di dalam sana, tak sanggup mempertahankan kontak mata, aku melengos, menarik embuskan oksigen sebanyak-banyaknya. "Saya rasa, saya sudah mengganggu waktu Bapak, permisi." Berusaha tegar aku memilih untuk mengabaikannya dan berjalan ke pintu. Tapi tentu saja terlalu naif jika berpikir Gun akan menyerah dengan mudah karena dari balik bahu kudengar dia berkata. "Jangan pikir kamu bisa menghindar begitu saja, Mita." Aku menahan diri untuk tidak mengumpat. "Saya ingin menambahkan satu aturan dari kesepakatan kerja sama kita." Apa sebenarnya yang dia inginkan? "Utamakan sopan santun, ketuk pintu setiap kali kamu ingin memasuki ruangan saya, hanya karena kamu manajer, bukan berarti kamu bisa keluar masuk tanpa izin, paham?" Ya ampun, aku tahu ini ruangan dia saja tidak! Tapi bisa dimengerti, ruangan ini tampak rapi, tertata, kinclong persis seperti pemiliknya. "Baik Pak." Tak ingin menambah masalah aku mengangguk saja, lalu bernapas lega ketika berhasil keluar dari sana. Pertanyaan Gun membuatku takut, kuremas handuk di tangan lalu sadar bathrobenya masih kugenggam. Sial, aku tidak mungkin mengembalikannya karena tidak ingin berhadapan dengan laki-laki itu lagi hari ini. Terpaksa aku menggunakan handuk itu, jika dipakai Gun mungkin hanya sebatas dengkul, tapi ketika dipakai olehku, panjangnya nyaris mencapai mata kaki, membalut seperti jubah. Sambil merapikan debar jantung yang berantakan, aku menyusuri koridor yang sepi, begitu melewati kantin, Zara sudah menjadi pusat perhatian, dikerubungi oleh karyawan yang memberi selamat. Sebentar lagi berita pertunangannya dengan Roy pasti akan trending di kalangan netizen *** "Siapa yang mulai duluan?" Hiro menunjuk Naga, begitu pun sebaliknya, aku mendengus. Apakah ini hari basah-basahan nasional? Karena bukan hanya aku yang terkena tumpahan air, tapi kedua anakku juga. Bedanya air mereka bercampur tanah, mengotori pakaian sampai membuat wajah mereka cemang-cemong. "Mama tanya sekali lagi ya, siapa di antara kalian yang duluan melempar lumpur?" Keduanya menunjuk diri sendiri. Bagus, tadi mereka saling menyalahkan, kini mereka saling melindungi. "Jadi kalian nggak ada yang mau ngaku?" "Aku suka main lumpur." Hiro menyahut datar. Naga segera menimpali. "Aku juga, Ma." "Ini bukan masalah main lumpurnya, tapi kalian bikin semua kotor," kataku capek. "Bukannya Mama udah pesan jangan bertingkah, dan jangan bikin Mba Susi repot?" "Tempat itu bau, aku nggak kuat, lebih enak main di luar, kami bisa tanam jagung." Sebagai yang lebih tua meski hanya beda lima menit, Hiro menjelaskan. Aku melotot tidak percaya dengan penuturan frontalnya. "Bau?" "Ikan asin." Naga dengan senang hati menambahkan. "Mereka masak itu untuk maksi." Maksudnya adalah makan siang. Aku baru menjemput mereka di day care, karena seharian bekerja dan tidak ada yang mengurus, terpaksa dua bocah ini dititipkan di sana. Tapi ibu mana yang tidak shock jika mendadak disuguhkan pemandangan mengenaskan. "Dengar," kataku, berjongkok, untuk menjajari tubuh mungil mereka. Lalu menatap kedua anak kembarku bolak-balik. "Kalian nggak boleh menghakimi apa yang dikonsumsi orang lain, dan kalian juga nggak boleh menghina makanan. Gimana kalau itu lauk kesukaan Mba Susi? Dia berhak makan apapun yang dia suka." "Tapi udah ada larangan nggak boleh membawa makanan beraroma menyengat." Jemari montok Hiro menunjuk peraturan yang menempel di dinding. "Bau itu bisa tersimpan di filter AC yang lama dan bisa mempengaruhi aroma ruangan." Aku meringis. "Iya Ma, cara supaya baunya hilang kompartemen AC harus dibersihkan dan diganti dengan filter udara yang baru," imbuh Naga semangat. Baiklah, aku tidak akan marah dengan alasan mereka meski terdengar menyebalkan, tapi aku tidak ingin diajarkan cara membersihkan AC oleh anak berusia empat tahun. "Ya sudah, Mama mau temuin Mba Susi, kalian bersih-bersih, mandi dulu sebelum pulang, oke?" "Aku lebih suka langsung pergi." Hiro memberikan pendapat. "Aku juga." Naga setuju. Kuabaikan penolakan mereka dengan membiarkan keduanya digiring ke kamar mandi oleh Mba Fiona, lalu melangkah lebih ke dalam untuk bertemu Mba Susi. Beliau adalah wanita paruh baya berusia empat puluh tahun bertubuh tambun dan kacamata, suaranya yang ceriwis langsung menyambut begitu melihat kedatanganku. "Gimana Mba Mita?" tanyanya mendadak tidak ramah. "Sudah lihat Hiro dan Naga?" "Sudah Mba, saya minta maaf mewakili mereka ya," kataku tak enak hati. "Saya pasti akan mengajari mereka di rumah supaya lebih sopan dan menjaga perilaku." "Itu tindakan yang bagus. Yah, saya tahu Mba sibuk kerja dan mungkin nggak sempat mendidik mereka, makanya mereka jadi liar." Aku meringis kecut. "Makasih untuk pengertiannya, Mba. Besok saya pastikan mereka sudah lebih nurut dan nggak membuat masalah." "Gini Mba..." Mba Susi berdeham, lalu membetulkan letak kacamatanya. "Saya pikir sebaiknya Mba nggak usah bawa mereka ke sini lagi." "Gimana Mba?" "Sejujurnya saya kualahan, kemarin mereka memecahkan selusin gelas untuk melakukan penelitian terhadap sinar matahari atau apa, saya nggak paham, sekarang mereka mencangkul tanah di belakang rumah. Saya nggak tau apa yang akan mereka lakukan besok." "Mohon keringanannya, Mba." "Tolong pengertiannya juga Mba, anak yang dititipkan di sini ada banyak dan saya nggak bisa hanya mengawasi mereka. Lagipula Hiro dan Naga sudah terlalu dewasa buat dititipkan di sini." "Tapi Mba—“ "Makasih Mba Mita." Tidak ada negosiasi, Mba Susi langsung melengos untuk menyapa Bunda lain yang menjempat anaknya. Aku mendesah, dengan lesu berjalan menuju mobil, menunggu sampai Hiro dan Naga melompat masuk ke kursi penumpang, sudah rapi dan wangi. "Kita diusir?" tanya Hiro, benar-benar membuatku melotot. "Kamu nguping?" "Baguslah aku malas di tempat ini." "Apa itu berarti besok kita bakalan di apartemen sama Mama?" tanya Naga antusias, tidak menyadari situasi yang terjadi. Aku mendengus. "Nggak, sekarang kalian akan Mama tinggalin di panti asuhan." Keduanya merengek protes. Sial, bagaimana aku akan menjaga anak-anak sementara aku pun harus bekerja dan tidak ada libur? ***"Tolong Ma, kali ini aja, sambil aku cari day care yang dekat rumah, untuk sementara aku titip Hiro dan Naga di sini." "Mama nggak melarang Mit, tapi kamu tau sendiri Mama juga bukan pengangguran, silakan aja mereka di sini asalkan bayarannya sesuai." "Berapa?" "Lima puluh juta aja." Mataku melotot sempurna, yang benar saja? Aku hanya meminta beliau menjaga Hiro dan Naga hari ini sebelum aku menemukan day care pengganti yang lokasinya terjangkau dari apartemen, tapi Mama seperti aji mumpung, mengambil keuntungan dalam kesempitan. "Ini kan weekend Mit, wajar kalau Mama minta segitu, sepadan sama waktu liburan yang Mama luangkan. Lagian anak-anak kamu itu tingkahnya di luar nalar, apa kamu nggak ingat apa yang mereka lakukan ketika terakhir dititipkan di sini?" tanya Mama emosi. Bagaimana aku bisa lupa? Ketika sedang terlelap mereka mengikat kedua tangan dan kaki Mama dengan mulut yang dibungkam lakban. Saat aku menanyakan hal tersebut Hiro dan Naga beralasan bahwa mereka s
"Scene satu, shot dua, take sebelas. Action!" Sang asisten sutradara memberi aba-aba, membunyikan sebuah clapper, papan hitam putih sampai bunyi cletak!"Sebentar, poni gue berantakan.""Cut!"Suara Pak Wisnu, sutradara menggema memenuhi ruangan, membuyarkan adegan yang sedang dijalani Gun dan Prily, aktris cilik yang kini sudah beranjak dewasa. "Duh, kemarin di workshop talent nggak gini, lo kebanyakan mengkhawatirkan hal yang nggak perlu Pril, muka lo juga terlalu datar," tegurnya. "Walaupun harus sesuai naskah tapi gue butuh lo improvisasi, lo kan bukan amatir! Kita bahkan masih di adegan pertama, kalau seperti ini terus kapan selesainya?"Perempuan cantik bertubuh semampai itu tampak meringis. "Sorry Mas, bisa kita ulangin lagi?"Seorang tim wardrobe buru-buru mendekati mereka dan melakukan touch up pada Prily dan Gun, wajah laki-laki itu kelihatan kecut, sudah hampir dua jam adegan iklannya diulangi, dan semakin lama, Gun semakin kehilangan kesabaran."Kita break dulu aja, lo pe
Sebenarnya aku berharap Gun akan lupa, setelah dua jam take video iklannya menemui jalan buntu, mungkin saja moodnya yang berantakan membuatnya jadi tidak ingin berhadapan denganku, tapi tentu saja itu adalah harapan yang terlalu muluk."Kenapa kamu terlambat?" tanyanya. Apa itu basa-basi? Sepertinya kalimat itu memang sudah menguap dari kamus seorang Gun.Dia duduk di kursi kebesaran, di ruangannya yang tampak tertata, rapi dan kinclong."Begini Pak..." Aku berdeham, merapikan rambut panjangku, menyelipkannya ke balik daun telinga kemudian mengulurkan paper bag yang kubawa. "Ini bathrobe yang kemarin Bapak pinjamin ke saya." Kuletakkan di atas meja. "Makasih Pak, saya terbantu sekali kemarin dengan handuk itu, Bapak benar, saya nggak mungkin berkeliaran di kantor dengan pakaian basah, apalagi di hari pertama saya kerja, walaupun ukurannya besar sekali dan bikin saya kelihatan melayang seperti kunti--""Apa kamu mau menghabiskan waktu saya?" Suaranya yang tajam segera menyela.Aku mer
"Masa begitu sih Pak?" Aku langsung protes karas. Bahu Gun terangkat santai. "Pilihannya hanya itu atau silakan angkat kaki." Ya Tuhan, bahuku merosot lemas. "Kamu keberatan?" Bagaimana aku akan mengeluh kalau dia sudah memutuskan dan tidak bisa dibantah?! Aku harus secepatnya melaporkan keluhan ini pada Mba Niken, aku yakin dia tidak bisa berbuat apa-apa, tapi dialah yang mendorongku menerima tawaran manajer ini, jadi aku perlu dukungannya untuk meneruskan keluhanku pada Pak Punjab agar pria tua itu berubah pikiran, lalu menggantikan posisiku menjadi manajer selebriti yang sifatnya normal. Persetan dengan gaji berkali-kali lipat, lebih baik menjaga kewarasan daripada aku harus bekerja di bawah tekanan yang tidak masuk akal. Karena aku diam saja, laki-laki itu bangkit, menganggapku telah setuju. "Bagus, sekarang kamu singkirkan ini, saya nggak mengambil kembali barang yang sudah saya berikan ke orang lain," katanya menggedikkan kepala pada paper bag di atas meja. "Sebentar Pa
Karena macet aku baru sampai di rumah Mama sekitar pukul sepuluh malam. Tempat itu sangat sunyi dan gelap, halamannya ditumbuhi tanaman lebat seperti rumah tidak berpenghuni."Hiro, Naga?" tanyaku pada Mama ketika beliau membukakan pintu."Udah tidur, kenapa nggak sekalian kamu pulang di jam cinderlella aja? Bukannya kamu udah dipecat sama Roy Dihan?""Dari mana Mama tau?""Jadi benar?""Kenyataannya aku yang mengundurkan diri.""Dan Zara menggantikan posisi kamu. Dari dulu dia memang bisa diandalkan, nilai sekolahnya selalu bagus, membanggakan, sekarang juga dia mengalahkan kamu dalam pekerjaan.""Nggak ada yang dikalahkan Ma, aku dan Zara nggak sedang berkompetisi." Kupilih untuk melewati tubuhnya dan terkejut menemukan anak-anakku yang sedang tertidur di sofa dalam posisi duduk. "Kenapa mereka nggak dipindahin di kamar?""Kamar di rumah ini cuma satu, Mama nggak mau mereka ngacak-ngacak kamar Mama, di sana banyak makeup dan barang penting.""Barang penting itu lebih penting dari an
"Kapan kita akan tanam jagung, Mas?" "Kita nggak punya tempat untuk menanam di rumah ini." "Kalian bisa tanam di balkon, tapi bukan jagung nanti Mama belikan biji strawberry."Naga yang sangat menyukai buah tersebut langsung memekik girang, sementara Hiro tampak tidak terkesan."Kami sudah pernah menanam itu di sekolah, hasilnya biasa aja," katanya."Tapi di rumah belum pernah kan? Kamu bisa mencobanya lagi nanti." Aku memberi usul dengan sabar.Akhir-akhir ini mereka sedang hobi bercocok tanam, mungkin itulah yang membuat Mba Susi senewen, karena baginya Hiro dan Naga terkesan hanya megacau tanpa sadar bahwa mereka sebenarnya ingin bermain sekaligus belajar. Sampai detik ini aku masih mencoba berkomunikasi dengan beliau meminta maaf dan berusaha untuk membujuknya agar kembali mau menerima anak-anakku, walaupun jawabannya belum berubah."Kita akan ke rumah Nenek lagi hari ini?" tanya Hiro, tampak tidak antusias saat ak
"Sebentar Pak, masih macet.""Kamu tahu jam berapa sekarang?""Saya sedang berusaha Pak.""Apa terlambat sudah jadi hobi kamu, Mita?""Bukan begitu Pak—"Kepalaku nyaris kepentok stir saat tiba-tiba dari arah belakang sebuah motor menyalip dan aku harus ngerem mendadak."Apa itu?" Suara Gun terdengar bertanya di antara raungan klakson yang bersahut-sahutan di belakang kendaraanku hingga menimbulkan kemacetan."Pak saya tutup dulu ya?""Tunggu, di mana kamu?""Di jalan Pak, saya harus—oh shit!" Aku tak sengaja mengumpat saat lagi-lagi sebuah motor menyalip sehingga aku terlonjak."Mita?""Saya harus fokus nyetir, Pak.""Saya tanya di mana kamu, biar pengawal saya jemput kamu di sana."Aku merasa ngeri. "Jangan Pak, saya baik-baik aja kok, cuma kaget dikit."Gun terdengar mengeram rendah."Beneran Pak, udah dulu ya." Aku langsung mematikan sambungan te
Aku terbangun saat mendengar alarm ponsel, dan langsung diserbu rasa pusing di kepala ketika segera duduk tegak. Lenganku terangkat untuk memijatnya kemudian menyadari selembar selimut terasa merosot dari bahuku."Tidurnya nyenyak Mita?"Mataku melebar, menoleh dan menemukan Gun sudah duduk di ruangan."Saya membayar kamu untuk bekerja bukan untuk terlelap di ruangan saya.""Maaf Pak, ini..." Kulirik jam digital di ponsel, pukul satu siang. Aku harus segera menjemput Hiro dan Naga.Sial."Kamu pikir di sini hotel?""Saya sudah membacanya, Pak.""Oh ya, apa kesimpulan kamu kalau begitu?" tanyanya sinis.Aku meringis, menurun jemariku yang masih memijat kepala dan berusaha menatapnya. Berharap tidak ada liur yang tertinggal di sudut bibirku. "Banyak Pak, tertutama tentang program-program Bapak yang memiliki rating tinggi dan bisa dipertahakan di tahun ini.""Contohnya?""Master Chef."
Gun benar-benar keras kepala. Dia memang tidak langsung datang dan mengganggu aktivitasku, tapi dia menempati janjinya untuk berkunjung saat makan malam. Namun sayang kehadirannya tidak disambut hangat oleh anak-anak. Begitu aku membuka pintu, Naga mendadak muncul dari balik bahuku dengan wajah coreng moreng, mengenakan topi pantai dan menggenggam senapan laras panjang. "Mama tiarap," perintahnya. Aku refleks melakukan yang dia teriakkan, kemudian senapan itu menyempotkan air tepat ke wajah Gun di balik punggungku. Mataku mendelik ngeri, aku sudah bersiap menerima omelan judes Gun saat menoleh dan melihat laki-laki itu ternyata berhasil menghindar dengan berjongkok. Bibirnya menyunggingkan senyum puas. "Musuh gagal dieksekusi." Naga terdengar kesal. Tapi itu adalah pengalih perhatian yang bagus karena di detik berikutnya, sebelum Gun berdiri tegak. Hiro muncul dari balik sofa lalu membombardirnya dengan tem
Karena aku tak kunjung merespon, dan hanya menarik embuskan napas dengan dada naik turun, Gun kembali bersuara. "Mita..." Perlahan dia menunduk, aku bisa merasakan napas hangatnya membayang di wajahku, ketika bibirnya semakin maju, aku sontak membuang muka. "Kamu bilang mau bicara, Gun." Detak jantungku terasa bertalu-talu, darah seperti mengalir deras dari tubuhku. Gun langsung berhenti. Dia diam cukup lama, seolah menyedot habis oksigen di sekeliling kami hingga aku merasa kesulitan bernapas. Lalu cengkeraman tangannya mengendur, kemudian tubuhnya perlahan mundur. Dia menyugar rambut, menatapku yang mematung. Tapi terlalu muluk jika berharap seorang Gun akan mudah menyerah, karena saat aku mulai bergerak untuk menjauh, dia mencekal lenganku kemudian bibirnya menyerbu bibirku. Gun menahan belakang kepalaku selagi mataku melotot dan berusaha mendorong dadanya mundur. Dia memangut lembut.
Aku mencoba melihat segalanya dalam sudut pandang yang positif. Selama diliburkan, aku bisa menjaga anak-anak tanpa perlu daycare atau orang lain, terlebih Mama yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Aku bahkan bisa membuatkan mereka bekal makan siang untuk dibawa ke sekolah. Lalu mengajak mereka berbelanja mingguan, dan yang paling penting karena mereka tidak ikut liburan bersama teman-teman lain ke kebun binatang. Aku bisa menyempatkan waktu untuk mengajak mereka ke sana. Hiro dan Naga menyambut gembira. Ketika mereka bertanya, kenapa Mama nggak kerja? Aku bisa berkelit dengan menjawab Mama sedang ambil cuti. Dan selayaknya anak berusia empat tahun mereka sangat senang, bakan berharap Mamanya akan cuti selama setahun penuh. Hiro yang biasanya mudah curiga, kali ini juga tidak banyak bertanya. Menghabiskan waktu bersamaku bagi mereka jauh lebih berharga dibandingkan harus memikirkan masalah lain. Sangat tipika
"Apalagi yang perlu dibicarakan, Gun?" Aku sudah lelah dengan drama pencurian ini, jika dia ingin mengkonfrontasi dan membuatku mengaku bahwa akulah yang mencuri barang miliknya, maka lebih baik Gun pergi daripada menghabiskan waktu. "Ke ruangan saya, atau ribut di sini." Namun Gun adalah Gun kan? Setiap kata-katanya tidak bisa dibantah mutlak, hingga ketika dia menggidikkan kepala agar aku mengikutinya, aku tidak memiliki pilihan selain nurut. Belum lagi jika kami ribut di koridor maka itu bisa menarik perhatian para karyawan. Dengan gontai aku memasuki ruangan Gun, merasa sedikit trauma ketika wanginya yang maskulin sontak menyerbu. Inilah tempat yang membuatku dituduh melakukan tindakan amoral. "Duduklah." Aku nurut. Gun melangkah tenang, membuka lemari bening yang berada di sudut ruangan. Mengeluarkan satu botol yang terlihat mahal, menuangkan isinya ke gelas kemudian mengulurkannya padaku. Kepalaku terangkat, bingung. "Aku—" "Minumlah, kamu butuh rileks sekarang." Dia k
Siapapun yang melihat pasti akan langsung sadar bahwa benda itu terbuat dari berlian. Bentuknya kecil seperti kancing manset pada umumnya, namun berkilauan. Aku bisa mendengar semua karwayan menahan napas. Harganya pasti di atas 1M, pantas saja Pak Punjab tampak senewen, meskipun Gun sempat tidak peduli. Mba Niken megap-megap tidak paham. "Saya nggak tau itu ada di sana." Semua pasang mata langsung menatapnya. "Itu barang kamu?" tanya Pak Punjab. "Y-ya," gagap Mba Niken. "Tapi saya nggak mencuri, dan saya juga nggak tau kenapa benda itu ada di dalam sana Pak." "Ini benar milik kamu kan, Gun?" tanya Zara. Aku mengangkat alis, menyadari dia memanggil Gun tanpa embel-embel Pak atau Chef seperti karyawan yang lain, akrab sekali, bund. "Seharusnya ada sepasang kan? Di mana yang satunya lagi?" "Saya nggak tau!" Mba Niken memekik. "Sebaiknya Anda bicara yang sopan." Gerald memperingatkan dengan tajam. "Nggak apa-apa, dalam keadaan seperti ini semua pasti tegang, dia berhak untuk mem
"Saya bukan mau menuduh kamu melakukan pencurian, tapi saya perlu melakukan konfirimasi apa yang kamu lakukan di dalam ruangan Gun." "Benar Pak, saya melihat dia keluar dari ruangan Chef Gun siang ini." Lusi tiba-tiba menyela, suaranya terdengar berapi-api. Pak punjab merentangkan tangan, meminta agar perempuan itu tidak memotong pembicaran. "Kita perlu memberikan Paramita waktu untuk menjelaskan." "Apanya yang perlu dijelaskan Pak? Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri kok. Ketika saya tanya apa yang dia lakukan di sana karena Chef Gun sedang nggak ada. Mita sendiri kelihatan ketakutan, seolah dia baru kepergok melakukan sesuatu." Ya Tuhan. Tidak menuduh aku melakukan pencurian? Tapi jelas sekali kata-kata beliau justru menunjukkan yang sebaliknya. Aku bahkan tidak diminta duduk tanpa basa-basi. Di antara empat pasang mata, kecuali Gun, mereka menatapku menunggu jawaban. Punggungku panas dingin. "Apa maksud Bapak pencurian?" tanyaku, lidah terasa pahit saat mengatakan itu
Apartemen kami ternyata sudah rapi, tempat itu sudah tidak dipasang garis polisi. Dan ruang tamunya yang acak-acak dengan perabotan terbalik serta pecah belah sudah dibersihkan dan ditata seperti semula. Aku hanya perlu menyimpan barang-barang kami di kamar masing-masing, membujuk Hiro dan Naga untuk tidur kemudian istirahat. Walaupun aku sendiri insomnia. Bangun-bangun, kepalaku terasa berat, badanku sakit semua seperti habis digebuki. Aku mandi dengan menahan nyeri, kemudian menyadari aku melupakan jadwal pertemuan bersama Miss Clara. "Nggak pa-pa kok Mam, kalau memang masih sibuk, kami maklum. Silakan datang kalau Mama kembar nggak sibuk ya." Aku menggumamkan terima kasih untuk pengertiannya. Lalu meninggalkan anak-anak di kelas. Mengabaikan tatapan kepo dari trio Ibu Nuri, Yuli, dan Yuni. "Ibu-Ibu foto jalan-jalan kemarin sudah dikirim ke grup ya, silakan dicek. Ini saya juga punya bingkisan untuk Ibu-Ibu di rumah, tapi untuk yang ikut-ikut aja." Ibu Nuri mengumumkan di depa
Aku segera melompat bangkit dari kursi, jantung berdebar penuh antisipasi. Mata mendelik nyalang menatapnya. "Apa maksud kamu?" Gun menyesap air putih di meja, gerakannya begitu tenang terkendali, sikap judes yang selalu diperlihatkannya mendadak hilang digantikan sikap dingin, tak tersentuh dan tak terbantah. Seolah dia telah sepenuhnya berubah dari Gun yang dulu pernah kukenal, menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. "Kamu mengerti apa yang saya maksud," jawabnya lambat-lambat. Telingaku berdenging panjang, alarm tanda bahaya menyala. "Kamu bercanda kan, Gun?" "Do I look like I am joking?" Tapi ini sama sekali tidak masuk akal, bahuku merosot lemas, mundur selangkah. Gun bukan laki-laki pemaksa, aku tahu dia sangat galak, judes, dan sulit ditangani. Sebagai pengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD) Gun selalu menuntut kesempurnaan, dia tidak akan bisa bekerja sama dengan orang-orang lamban. Hanya saja, sepanjang kami berpacaran, tidak pernah sekalipun dia
Sesuai dugaan, aku memang tidak bisa begitu saja memutus kontrak menjadi manajer Gun, apalagi pindah dengan entengnya menjadi asisten chef. Stres. Aku merasa seolah baru saja dioper dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Tapi apa daya, aku cuma cungpret (kacung kampret) yang bisa disuruh-suruh. Gun bahkan tidak ambil pusing meskipun dia sepertinya kesal, namun raut wajahnya tetap santai tanpa minta maaf. "Sama saja kan, mau kamu jadi manajer ataupun asisten chef saya. Kalau nggak ada syuting kamu bisa balik menjadi asisten. Kalau ada syuting kamu bisa menemani saya. Fleksibel, semua aman." Gila, kenapa sejak awal dia tidak mengatakan ini? Dan justru membuatku terperosok dalam jurang? "Masalah libur gimana?" "Kita akan tetap pada kesepakatan awal Mita." Aku menahan diri untuk tidak mengumpat. Lemas sebadan-badan. Merasa baru saja dipermainkan. Apakah Gun sengaja melakukannya? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi masalah lain yang lebih memdesak adalah posisiku pun terancam.