Empat jam sebelum konferensi pers. Dapur mendidih, secara harfiah dan emosional.
Tidak ada yang berubah dari Gun, seakan kami tidak sedang mempersiapkan hidup dan mati di tangan media. "Saya nggak mau lihat satu tetes pun saus tumpah di lantai. Ini bukan kantin SMA, ini restoran bintang dua Michelin, damn it!" teriaknya dari ujung kitchen, suaranya menggelegar. Tiga pot bunga rosemary di dekat pantry sampai bergetar. Tangannya sibuk mencincang bawang putih dengan presisi kejam. Tapi suaranya membelah ruangan seperti pisau tajam. Asap mengepul dari wajan sauté, aroma bawang putih tumis dengan minyak zaitun bercampur rosemary menyatu dengan wangi kaldu seafood yang sedang mendidih di belakang. "Siapa yang plating carpaccio kayak begitu? Ini bukan makanan kucing, sialan." Lea terlonjak mundur. "Chef, itu saya, saya kira—"<Empat jam sebelum konferensi pers. Dapur mendidih, secara harfiah dan emosional. Tidak ada yang berubah dari Gun, seakan kami tidak sedang mempersiapkan hidup dan mati di tangan media. "Saya nggak mau lihat satu tetes pun saus tumpah di lantai. Ini bukan kantin SMA, ini restoran bintang dua Michelin, damn it!" teriaknya dari ujung kitchen, suaranya menggelegar. Tiga pot bunga rosemary di dekat pantry sampai bergetar. Tangannya sibuk mencincang bawang putih dengan presisi kejam. Tapi suaranya membelah ruangan seperti pisau tajam. Asap mengepul dari wajan sauté, aroma bawang putih tumis dengan minyak zaitun bercampur rosemary menyatu dengan wangi kaldu seafood yang sedang mendidih di belakang. "Siapa yang plating carpaccio kayak begitu? Ini bukan makanan kucing, sialan." Lea terlonjak mundur. "Chef, itu saya, saya kira—"
'Apakah benar Anda adalah simpanan Chef Gun saliba?' 'Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan?' 'Status Anda adalah janda sementara Chef Gun bujangan. Apakah Anda nggak merasa hubungan ini nggak adil untuk Chef Gun?' 'Apakah anak-anak kembar itu adalah anak Chef Gun?' 'Hiro dan Naga adalah anak saya.' 'Tapi mereka sangat mirip dengan Chef Gun, Anda berbohong kan? Anda menyembunyikan fakta ini pada dunia.' 'Itu nggak benar!' 'Itu benar Mita. Semuanya benar.' Aku terisak, tersedu-sedu. Berusaha menggapai-gapai Gun yang murka dan melangkah menjauh. Semakin mengecil sampai hilang dari pandangan. "Gun...!" Aku tersentak bangun, keringat terasa menempel di kulit merembes membasahi kaosku. Alarm berbunyi nyaring di atas nakas. Perlahan, tanganku terulur, meraba-raba dan mematikannya. Suasana sunyi langsung menyapa, hanya ada suara detak jantungku yang berdegup kencang seperti marathon. Kulirik jendela dengan cahaya pink yang mengintip di baliknya. Berusaha mengatur
"Papa Gun? Mereka sudah akrab dengan Gun ya?" Sindiran menohok. Zara kelihatan anggun dalam balutan cardigan knit bernuansa marun yang dipadukan satin skirt putih. Menenteng shoulder bag bersama seorang ajudan yang dia tinggalkan di luar kafe. Awalnya aku menolak untuk bicara, tapi senyumnya yang tampak culas seolah aku gentar, serta tatapan Hiro dan Naga yang lebih dulu menyapa. Aku tidak memiliki pilihan selain mengikutinya 'nongkrong' di salah satu kafe dekat minimarket. Kami duduk secara terpisah, mejaku dan Zara berada di dekat jendela, sementara Hiro dan Naga duduk di meja pojok sambil menikmati milkshake dan donat. "Gun yang memintanya manggil begitu, atau si kembar sendiri yang insiatif?" tanyanya merdu. "Si kembar itu punya nama, dan itu cuma panggilan hormat karena Gun beberapa kali membantu kami." Alisnya yang tersulam rapi terangkat. "Jadi kalian memang punya hubungan khusus seperti yang diberitakan media?" "Kamu tau faktanya, Zara." Dia tertawa, tawa anggun yang
Ada alasan kenapa aku merasa perlu cokelat hangat. Konon katanya cokelat efektif membangkitkan mood. Sayangnya meski sudah berusaha meneguk minuman pahit manis itu aku tetap tidak merasa lebih baik. "Tenanglah, ini nggak akan berjalan seburuk yang kamu bayangkan." Bukan itu masalahnya. Gun tidak mengerti. Keluarga besarku tidak tahu bahwa aku tidak pernah menikah. Ketika mengetahui mengandung si kembar, aku memang mengatakannya pada mereka. Lalu menjauh dari keluarga dengan alasan akan menikah. Aslinya aku menghilang, dan karena MBA (Married By Accident) itu dianggap aib dalam keluarga. Mereka tidak repot-repot mencari tahu apakah aku benar-benar menikah atau tidak. Begitupun Zara. Hanya Mama satu-satunya yang tahu bahwa aku melahirkan sendirian, tanpa status apalagi sebuah pernikahan. Kini, aku ngeri bahwa Zara akan mencari detail silsilah si kembar dan menemukan fakta yang kucoba kubur dalam-dalam. Karena kalau seperti itu, Gun pun pasti akan terkejut dan murka. "Gun, apa ha
Selama itu, tangan Gun tidak lepas menggandeng tanganku. Dia bahkan tetap menggenggamnya selagi berdiskusi bersama Mas Gilman dan Chef Lukas di ruangan. Sementara aku duduk di sampingnya. "Dia sengaja melakukannya, laki-laki itu datang ke sini bukan untuk membicarakan masalah cufflink, itu hanya pengalih perhatian. Target utamanya memang membuat Mita terpancing emosi." Gun melirik sedikit. Merasakan tubuhku menegang, dia meremas genggaman kami untuk memberi dukungan. "Ketika dia berhasil, dia membuat narasi playing victim, seolah korban." Chef Lukas menimpali. "Sekarang urusannya bukan lagi di De Luca." Benar, mungkin awalnya berita ini tidak terlalu besar. Tapi Roy memblow up-nya dan saat dia menyebut restoran itu adalah milik Gun. Semua orang mendadak menaruh perhatian. Sekarang netizen malah menguliti hubungan kami. "Gimana dengan keadaan Restoran?" "Sejauh ini aman." Mas Gilman menceritakan tentang insiden food vloger kelebet tenar. Gun hanya mengangguk tanpa menanggapi.
Tidak seperti kemarin yang sepi, hari ini restoran kembali padat. Bell tanda orderan masuk berbunyi tanpa henti. Dapur didominasi wangi garlic. Tidak ada pasta overcooked. Tidak ada fettucine yang terlalu creamy, tidak ada saos encer. Kurasa kalau Gun ada di sini, dia akan puas melihat kinerja kami. Bahkan wartawan pun tidak ada. Kemungkinan alasan utamanya karena para bodyguard langsung dikerahkan untuk berjaga di sekeliling De Luca. Begitu tiba pagi tadi, aku pun terkejut dengan pengawalan yang Gun berikan. Namun para pengawal itu kemudian menyebar tanpa menarik perhatian, berbaur tanpa mencolok dengan para staf agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan untuk para pelanggan. Kemungkinan kedua karena mereka tidak tertarik lagi pada berita ini. "Kan, netizen itu cepat bosan, mereka butuh sesuatu yang baru terus buat jadi bahan perbincangan. Dan skandal kita nggak begitu menarik dibanding kasus perselingkuhan artis." Chef Lukas berkata setelah selesai menyajikan risotto ai fu
Kami tidak bisa keluar dari akses pintu belakang, kami juga tidak bisa keluar dari pintu depan. Wartawan-wartawan itu jauh lebih pintar dari yang kami bayangkan. "Mereka mau wawancara?" "Kemungkinan iya, mereka mencari salah satu staf, nggak tau di depan tadi ada yang berhasil dipepet buat wawancara atau nggak. Mudah-mudahan sih enggak." Tanpa kesepakatan kami sama-sama memeriksa ponsel, mengecek grup staf De Luca di WA. Ternyata di sana memang sudah heboh, meminta kami yang masih di restoran berhati-hati. Beruntung semua kompak tutup mulut. "Mereka bilang wartawan itu sebenarnya cuma mau cari info tentang De Luca. Masalahnya ini restoran Chef Gun, tanpa ngapa-ngapain aja De Luca udah jadi sorotan apalagi ditambah skandal. Makin deh netizen yang diam-diam benci Chef Gun punya kesempatan buat hujat dia." Lea memberikan analisisnya. Dan dia memang benar. Setelah menunggu kurang lebih dua jam, barulah kami bisa keluar. Ditemani oleh Pak satpam yang berjaga malam. "Rame ba
De Luca hampir kosong oleh tamu. Lampu-lampu gantung menyala temaram, menyisakan cahaya hangat yang membias di atas meja marmer dapur terbuka. Wangi kopi dan cokelat masih menggantung di udara sejak tadi sore. Jam menunjukkan pukul sembilan lewat, melebihi jam operasional. Tapi aku masih di sini. Dan begitu juga staf lain. "Ini kacau." Benar, Mas Gilman sudah berusaha mencari kalimat yang halus. Tapi tetap saja, tidak ada yang bisa menggambarkan situasi ini kecuali kekacauan. Roy benar-benar melancarkan ancamannya. Kupikir awalnya dia hanya main-main. Tapi ternyata tidak. Pagi tadi sebelum tamu VIP pertama datang, medsos dikejutkan dengan sebuah video yang nyaris membuat tanganku teriris pisau. Aku berdiri di dalam video tersebut lalu membentak Roy untuk keluar. Sudut pengambilan videonya direkam dengan pas, persis di samping meja kami. Wajahku terpampang dengan mata membelalak dalam kemarahan. Video itu diuploud semalam, dan langsung trending di X, Lambe Nyinyir bahkan berk
"Kalau ini bukan soal makanan lebih baik kamu lupain aja, Roy." "Duduk dulu, Mita." Sialan. Sebulan aku tidak bertemu dengannya sejak yang terakhir kali. Dan di sinilah dia, dengan setelan kasual semi-formal, kemeja yang digulung sampai siku, rambut berantakan tapi tetap tampan, tangan melingkar di cangkir kopi, tatapan santai seakan menikmati hidangan. Roy Dihan penuh kepalsuan karena ketika aku menolak, dia berkata tegas. "Kamu ingin menarik perhatian?" Bagaimana aku bisa mengabaikannya? Dia sengaja komplain agar bisa menemuiku. Tamu-tamu di meja lain sudah melirik, tersenyum pada Roy, tapi karena kebanyakan mereka adalah para old money yang punya adab, tidak ada yang lancang melotot kepo. Walaupun begitu, bukan berarti mereka tidak penasaran. Roy memang sendirian tapi kehadirannya saja sudah mencuri atensi. "Kak?" Lea berbisik dari balik punggungku, alis mengernyit menatap kami. Antara cemas dan ragu-ragu. "Nggak pa-pa Le, kamu bisa tinggalin aku sendiri," putusku