Satu bulan kemudian
Jody dan Sarlita sebelumnya sangat intens melakukan hubungan intim. Jody merasa kalau Sarlita cukup aman, karena sudah dibekalinya pil anti hamil. Namun, di luar dugaan Jody, Sarlita hamil.
Sarlita mengajak Jody untuk bertemu di tempat kost Sarlita, “Jod.. tadi aku periksa ke dokter, karena aku merasa kurang sehat.” jelas Sarlita dengan murung. “Terus.. dokter bilang apa? Kok kamu sedih gitu?” tanya Jody dengan was-was. “Aku hamil, Jod! Inilah yang aku takutkan selama ini." Seketika wajah Jody pucat pasi, dia tidak menyangka kalau hal itu bisa terjadi. “Kok bisa, Sar? Kan kamu selalu minum pil itu?”“Tidak selalu, Jod.. ada beberapa kali aku lupa.”“What!!? Kok sebodoh itu kamu, Sar!!?” nada suara Jody meninggi. Sarlita tidak bisa menerima tudingan Jody, “Gila kamu ya!! Kok kamu anggap aku bodoh? Egois banget kamu!!?” Sarlita pun tidak mampu menahan amarahnya.Jody hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Baru kali ini mahasiswi yang diperawaninya hamil, belum pernah terjadi sebelumnya. “Kamu harus tanggung jawab, Jod! Kamu harus nikah aku!!” “Nikah!? Yang benar aja kamu, Sar! Apa kata orang tuaku?”Jody mulai panik, dia tidak sanggup memenuhi keinginan Sarlita. Jody dan Sarlita hanya bisa terdiam, masing-masing berpikir keras menghadapi situasi itu. “Aku tidak sanggup, Sar kalau kita menikah. Kuliahku bisa berantakan, dan orang tuaku pasti tidak setuju.”“Emang kamu pikir cuma kamu yang akan menghadapi hal seperti itu? Aku juga, Jod! Tapi, kita harus pikirkan solusinya!!”Sarlita menumpahkan kesedihannya, dia merasa sudah melakukan sebuah kekeliruan. Terlalu percaya dengan bujuk Rayu Jody yang memabukkannya selama ini. Jody kembali bermuslihat pada Sarlita, dia mencoba meyakini Sarlita bahwa dia mau menikahinya. Jody membujuk dan memeluk Sarlita,“Okey, Sar.. aku akan nikah kamu. Tapi, kita hanya nikah secara siri.” bujuk Jody“Maksudnya gimana? Aku gak tahu apa itu nikah siri?”“Kita nikah secara agama, artinya tidak perlu diketahui kedua orang tua kita.” jawab Jody. “Dan kita tidak tinggal serumah? Bukan seperti itu yang kamu inginkan?” pertanyaan Sarlita itu sangat menohok Jody. “Ya memang begitu, Sar, kan tanpa sepengetahuan orang tua? Kalau kita tinggal serumah, artinya aku gak pulang-pulang dong?” dalih JodyPerdebatan Sarlita dan Jody semakin sengit, Sarlita tidak ingin tinggal sendirian. Bagaimana pun caranya, dia tetap ingin Jody tinggal satu rumah dengannya. Sementara, Jody tidak bisa memenuhi keinginan Sarlita. Jody tidak ingin orang tuanya curiga karena dia tidak pernah pulang. Jody memberikan solusi pada Sarlita, “Begini Sar, kalau setiap hari aku harus menginap, aku gak bisa. Aku akan atur kapan kita harus bersama-sama, dan kapan aku harus pulang.”“Kapan kamu mau nikahi aku? Kamu jangan lari dari tanggung jawab, Jod!!” desak Sarlita. “Lho? Aku kan sudah bilang, aku akan segera nikahi kamu? Tapi, aku tidak bisa satu rumah sama kamu! Hanya itu masalahnya, Sar!!”Sarlita minta pada Jody agar pindahkan kuliah Sarlita ke kampus yang berbeda. “Aku tidak ingin tetap di kampus yang sama, Jod. Kamu harus pindahkan aku ke kampus yang lain!!”Keduanya terus bertengkar dengan sengit, masing-masing tetap dengan egonya. Jody merasa menjadi tumpuan kesalahan dan dia tidak bisa menerima, “Okey, aku akan turuti kemauan kamu. Tapi, jangan tumpukan semua kesalahan sama aku dong! Ini kan kesalahan kita berdua, Sar!!”Keduanya kembali terdiam, Sarlita menyesali semua yang sudah terjadi. Terbayang di benaknya, betapa murkanya kedua orangtuanya jika tahu dia sedang hamil. Sarlita hanya bisa menumpahkan kekecewaan dalam tangis. “Aku bingung Jod, gimana kalau orang tua aku tahu bahwa aku hamil?”“Sama aja Sar, aku juga bingung menghadap kedua orang tuaku. Kita harus sepakat mencari jalan keluarnya, gak bisa kalau cuma aku yang memikirkannya.”“Sementara ini, aku bisa menerima keputusan kamu, Jod. Kita tinggal terpisah dan kuliah di kampus yang berbeda.”Jody merasa lega dengan sikap Sarlita yang mulai bisa menerima kenyataan. Jody lama merenung, dia kembali teringat bagaimana dengan bangganya dia berhasil membuktikan tantangan Windi. Seperti seorang petarung sejati yang sudah berhasil menjawab tantangan, hati Jody begitu bangga atas keberhasilannya. Jody mengajak Windi untuk bertemu, dia ingin memberikan bukti pada Windi. Jody dan Windi ngobrol di dalam mobil Jody di parkiran kampus.“Kamu harus konsisten ya dengan ucapan kamu, Win. Aku sudah memenuhi tantangan kamu..” ujar Jody sembari memperlihatkan saputangan yang ada bercak darah dan foto yang memvisualkan bercak darah di atas sprei putih.“Gila ya kamu!! Aku kan cuma bercanda, Jod!!? Kok kamu serius menanggapinya?” tanya Windi hampir tidak percaya.“Udah.. kamu jangan ngeles deh, mulai sekarang kamu harus bebaskan aku untuk pacari Sarlita.” jawab Jody dengan cueknya.“Tapi kan.. apa yang kamu lakukan itu sudah keterlaluan Jod, itu artinya kamu mau tinggalkan aku!!” Windi seakan tidak bisa menerima kenyataan.“Ini sudah terjadi Win.. pilihannya cuma dua, kamu bebaskan aku pacaran dengan Sarlita, atau kamu tinggalkan aku!!” Tegas Jody.Windi tidak menjawab pilihan yang diberikan Jody, dia bergegas keluar dari mobil Jody dan meninggalkannya. Bagi Windi itu sudah cukup menjadi jawaban terhadap pilihan yang diberikan Jody.Jody terbangun dari lamunannya saat Sarlita memeluknya, “Jod.. aku tidak ingin kamu tinggalkan begitu saja, apalagi saat ini aku sedang hamil. Saat malam tiba setelah Jody pulang, dalam kesendiriannya Sarlita menyesali semua yang sudah terjadi. Dia kembali teringat ketika dia tersadar, saat Jody akan mem
Sarlita serba salah mau menjawab pertanyaan Mamanya. Dia berdalih kalau saat ini dia sangat sibuk dan tidak bisa menemani Mamanya di Jakarta. “Gak usah, Ma.. soalnya Sarlita juga sangat sibuk. Gak mungkin bisa menemani Mama di Jakarta.”Mama Sarlita menceritakan tentang mimpinya. Dalam mimpinya Sarlita tergelincir saat sedang mendaki bukit, dan mimpi itu memberikan firasat buruk. Sehingga, itulah yang membuatnya telepon Sarlita. “Mama gak usah terlalu memikirkan mimpi itu, aku di sini baik-baik aja kok, Ma.”“Syukurlah, kalau kamu baik-baik saja. Mama semalaman gak bisa tidur setelah mimpi itu. Mama takut terjadi sesuatu dengan diri kamu, Sar.”Sarlita berusaha keras agar Mamanya tidak ke Jakarta dan berusaha meyakini Mamanya, bahwa dia dalam keadaan baik-baik saja. Setelah menutup sambungan telepon dengan Mamanya, Sarlita kembali dihantui berbagai kecemasan. Dia tidak bisa membayangkan kalau setiap malam harus sendiri di kamarnya. Dia sepenuhnya belum percaya pada niat baik Jody,
Tanpa disadari keduanya sudah bergumul di atas tempat tidur, keduanya memang saling membutuhkan kehangatan. Kesempatan itu dimanfaatkan Jody untuk melampiaskan hasratnya yang tak tersalurkan pada SarlitaKeduanya dalam remang temaram cahaya di kamar terlihat tanpa dibaluti sehelai pakaian pun. Desah nafas berpacu mengiringi rintihan Windi yang tertahan dengan lirih. Keduanya hanyut dalam gairah dan hasrat yang membuncah. Rumah Jody yang jauh dari kesan hangat, rumah yang sepi bak tak berpenghuni. Rumah yang begitu luas sehingga tidak terawasi apa yang terjadi di kamar Jody. Dua insan yang berpagut nafsu terus berganti posisi. Windi yang tadinya berada di bawah, kini meliuk-liukkan tubuhnya di atas tubuh Jody. “Jod.. aku sangat menikmatinya.” Ucap Windi disela desah nafasnya. Jody menatap Windi yang berada di atasnya penuh kemenangan. Jody mengatur nafasnya untuk mempersiapkan serangan berikutnya. Kini Jody membalikkan posisinya dia berada di belakang Windi yang tiduran dengan posis
Satu minggu kemudian.. Pertemuan Sarlita semakin intensif, itupun Sarlita masih diselingi Jody dengan Windi. Jody selalu memanfaatkan kencannya dengan Sarlita untuk sekadar bercinta. Sarlita tidak tahu kalau Jody masih berhubungan dengan Windi. Sementara Windi merestui hubungan Jody dengan Sarlita. Setelah berhubungan intim, Jody mau meninggalkan Sarlita begitu saja. Sarlita tidak bisa menerima sikap Jody tersebut, “Aku hanya tempat pelampiasan nafsu aja, Jod? Setelah itu dengan seenaknya kamu tinggalkan?”“Bukan gitu Sar, aku ada mata kuliah yang gak bisa aku tinggalkan.”“Tapi, gak gitu juga kali, Jod? Basa-basi dulu kek.. atau apalah.”Muka Jody seperti ditimpuk kotoran oleh Sarlita, dia tidak menyangka kalau Sarlita mengawasi sikap dan gerak-geriknya. Jody berusaha untuk menahan diri sejenak, meskipun perasaannya sangat gelisah. “Yaudah Sar.. kalau gitu aku ke kampus dulu ya, aku ada mata kuliah penting hari ini.”“Terus..ngapain kamu ke sini? Udah tahu ada mata kuliah penting
“Kamu gak perlu menyesali apa yang sudah terjadi Sar, percuma saja. Keperawanan kamu tidak akan bisa kembali dengan menyesalinya. Kamu harus pikirkan, bagaimana agar Jody tidak pindah kelain hati.”Kristo tanyakan pada Sarlita, bagaimana mereka bisa aman berhubungan intim. Kristo juga tanyakan, apakah setiap berhubungan dengan Jody memakai alat kontrasepsi? “Jody selalu memberikan aku Pil Anti Hamil mas, alasannya agar aku tidak hamil.”“Aku gak bisa mencampuri urusan kamu dan Jody terlalu jauh Sar, tapi aku kasihan sama kamu.”“Sebagai lelaki apakah mas Kristo mau menerima gadis yang sudah tidak perawan?”“Kalau aku sih tidak pernah mempersoalkan masalah itu Sar.. bagi aku yang penting aku suka dan cinta."Mendengar jawaban Kristo, Sarlita lega hatinya. Dia merasa masih mempunyai peluang untuk mendapatkan cinta seorang lelaki. Itu kalau seandainya Jody meninggalkannya. “Aku suka dengan sikap mas Kristo, karena sangat bijak dalam menentukan pilihan.”“Kamu gak usah terlalu terbebani
“Maaf Jod.. apa yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku dan Mas Kristo hanya ngobrol kerjaan.” Sarlita merasa serba salah. Tanpa banyak bicara, Jody tarik lengan Sarlita dan menyeretnya menjauh dari Kristo. Kristo hanya tercengang melihat perlakuan Jody pada Sarlita. Di dalam mobil, Jody tidak berkata sepatah kata pun. Dia memandang lurus ke depan dengan berbagai kekecewaan yang berkecamuk dibenaknya. “Jod.. aku salah, maafin aku ya..” Sarlita memelas pada Jody“Udahlah.. nanti saja kita bicarakan, jangan salahkan aku kalau nanti aku selalu mencurigai kamu, Sar.”Sarlita hanya bisa menitikkan airmata, posisinya memang sedang salah. Tidak ada pembelaan yang patut dia lakukan. Sampai di kosan, Jody langsung mencecar Sarlita dengan berbagai pertanyaan, “Seperti apa sih sebetulnya hubungan kamu dengan Kristo? Kok dari awal aku kenal kamu, dia sangat intens mendekati kamu?”“Lho? Kan aku selalu terbuka sama kamu, Jod? Setiap ada job dari mas Kristo, kamu selalu tahu?”Rahan
Waktu berlalu begitu cepat, penderitaan Sarlita semakin berat. Sudah satu minggu Jody menghilang begitu saja, ponselnya tidak bisa dihubungi sama sekali. Sarlita tidak mungkin mencarinya di kampus. Dalam kepanikankannya, Sarlita berniat untuk ambil cuti semester. Dia ingin mencari pekerjaan yang bisa untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari. Meskipun, kiriman dari orang tuanya masih lancar. Tapi, Sarlita ingin mengantisipasi keadaan, kalau tiba-tiba orang tuanya tahu keadaan yang sebenarnya. Dengan berat hati, Sarlita menghubungi Kristo, “Hai mas.. apa kabar? Mas kecewa ya dengan kejadian waktu itu?”“Sar.. aku tidak ingin kamu menghadapi masalah, kamu sedang hamil, Sar.”“Justeru aku sedang bermasalah, mas. Aku butuh pekerjaan, Jody Ghosting, mas. Aku bingung menghadapi masalah ini sendirian.”Kristo memberikan saran pada Sarlita, agar mencari Jody ke rumahnya. Sementara Sarlita menghindari itu, dia tidak ingin bertemu dengan orang tua Jody. “Ya gak bisa gitu, Sar, kamu harus lakuk
Jody dan Windi terperanjat di atas tempat tidur, Jody tidak mengira kalau Sarlita seketika datang. Sarlita seakan kehabisan kata-kata, dia terduduk di lantai meluruh dalam kemarahan yang memuncak. Jody menghampiri Sarlita dan tangannya menggapai Sarlita untuk mengajaknya bangkit, namun Sarlita menepis tangan Jody. “Ini sangat menyakitkan, Jod.. Apa salah aku Jod.. ?” ucap Sarlita lirih. Sarlita tertunduk menumpahkan kesedihannya dalam tangis pilu. Jody menatap Sarlita yang ada di bawahnya, tidak ada usaha Jody untuk mensejajarkan dirinya dengan Sarlita. Bahkan, dari raut wajahnya tidak terlihat perasaan merasa bersalah. “Kamu Cuma lihat aku ngobrol sama mas Kris, kamu begitu murka. Sekarang, perlakuan kamu lebih dari itu, Jod!!” suara Sarlita meninggi, namun masih terasa pilu. “Aku salah, Sar.. Aku minta minta maaf..”“Untuk apa, Jod? Kalau itu tidak mengubah perilakumu? Aku udah capek, Jod!!” Sarlita katakan itu tanpa menatap Jody. Dia tidak ingin mempresentasikan dirinya mengham