Ashoka banyak memuntahkan darah, saat cindaku memotong sebagian organnya. Gigi-gigi itu maju perlahan mengunyah tubuh Ashoka dari kaki hingga ke perutnya, menyisakan dada, kepala, dan dua tangan yang menggelantung.
"La--ri ... A-as-ka ..." rintih Ashoka saat kondisinya sedang sekarat. Sedikit demi sedikit kesadarannya mulai menghilang. Meskipun begitu, ia masih mengingat Askara dan berusaha menyerunya dalam bentuk rintihan yang mustahil terdengar langsung oleh adiknya.
Glek ...
Tubuh Ashoka yang tersisa ditelan bulat-bulat dalam mulut makhluk itu. Darah sang kakak terlihat bercipratan di mulut cindaku itu. Seperti tidak menyia-nyiakan makanan lezatnya, cindaku itu menjulurkan lidah panjangnya dan menjilat bercak darah di wajahnya.
"T-tidak mungkin ... Sho--ka ...?" Askara membisu, dadanya terasa sesak sampai tak sanggup berkata kala melihat jasad sang kakak tewas tepat deapn matanya. Sampai air mata berbulir di pipi pun ia tidak menyadarinya. Melihat satu-satunya keluarga yang ia punya mati ditelan hidup-hidup makhluk menyeramkan yang ia kira hanya dongeng belaka. Lucu kedengarannya, sang kakak dimakan monster yang selama ini ia sangka sebagai dongeng anak-anak. Askara duduk lemas, lalu tertawa cekikikan. Pepohonan di sekelilingnya seperti melawak padanya, kenapa monster mengerikan itu malah ia anggap legenda kuno semata? Askara merutuki dirinya sendiri, kenapa ia terlalu bodoh sehingga tidak mampu menyelamatkan Ashoka?
Askara berakhir tertawa keras, meski air matanya semakin mengucur deras di pipinya. Di sela tawanya itu, terdengar ia sesegukan menangis kemudian dilanjut tawa cekikikan lagi. Begitulah terulang-ulang sampai beberapa kali.
" AAAARRGHHH!!!" Askara berakhir menggerang kencang. Seketika pemuda itu banjir air mata, meraung-raung tumpah tangisan. Ia kecewa, sangat-sangat kecewa dengan dirinya sendiri yang tidak mampu menyelamatkan sang kakak.
"Dasar tak berguna! Untuk apa aku hidup!? Untuk apa? UNTUK APAAA ...?!" teriaknya setengah gila. Ia malah menjambak rambutnya sendiri. Pemuda itu tidak menyadari kalau cindaku tadi sedang berjalan menghampirinya.
Namun seketika tangisannya reda kala suara lembut melintas di telinganya. Ia teringat akan syair lagu yang sering disenandungkan oleh Ibunya. Jiwa sang Ibu seperti merasuki dan berhasil menenangkannya.
(Taya pisan ras-rasan ...)
(Taya pisan ras-rasan ...)Bersamaan itu, pesan terakhir Ashoka melintas di ingatannya. Entah kenapa, patah kata itu seperti memberinya dorongan untuk bertahan hidup.
'Lari, Aska!'
'Aku ingin kau tetap hidup!'
Benar juga, Askara harus tetap hidup. Setelah Ibu dan Ayahnya tidak pernah kembali dari rantauan juga Ashoka yang tewas dimangsa cindaku, apakah ia harus mengambil langkah mengecewakan dengan ikut mati juga? 'Tidak. Jika aku mati, Shoka pasti memarahiku.'
Seketika bola mata Ashoka melebar. Mengkilat-kilat dan perlahan bercahaya, mendadak terang berwarna biru berlian. Pupil hitamnya sedikit membesar, garis kecil yang melingkarinya juga berputar serah jarum jam. Seketika Askara merasakan tubuhnya meresap energi aneh yang membuat tenaganya bertambah. Mendadak ia mampu bergerak di saat cindaku hendak mencengkramnya.
'Aku tidak akan mengecewakanmu, Shoka!' "Aku harus tetap hidup!" pekiknya sembari bangkit dan cepat berguling ke depan menghindari jemari cindaku yang hendak menangkapnya. Di detik kemudian, ia berlari lewat bawah selangkangan kaki si monster dan segera berlaju ke arah timur.
Secepat apapun Askara memacu kaki, tetap saja bagi monster besar sejenis cindaku menganggap lari Aska bak seekor semut yang bisa di kejar dalam beberapa langkah. Terhitung tiga lompatan, cindaku berhasil menyusul lari Askara sampai ia terpental lagi karena lompatan makhluk itu menggoncangkan tanah.
Askara lagi-lagi tengkurap di tanah, pemuda itu tidak tergesa bangun meski di belakang sudah ada monster yang sudah membuka mulut dan unjuk gigi hendak memakan dirinya. Saat wajah cindaku mendekat dan berupaya melahap langsung tubuhnya, Askara segera menjalankan rencananya.
Ia lemparkan semua taburan garam yang ia pegang tepat di mata monster itu.
Pantas tadi dia berlari ke arah timur, rupanya Askara hendak mengambil kantong garam yang tergeletak di tempat dirinya jatuh sebelumnya ya. Pikiran yang lumayan cerdik.
Askara berlari secepat mungkin, jauh meninggalkan si monster yang terpingkal-pingkal karena merasakan perih di mata. Raungan bising juga menjadi pengiring lari Askara yang berusaha keluar dari hutan itu. Pemuda itu berlari sembari menutup telinga, menembus lebih jauh kegelapan hutan yang tidak tersentuh sinar bulan.
Cindaku itu menggeram, dia hendak mengejar pemuda itu namun tiba-tiba tubuhnya mendadak kaku terkunci. Hendak meraung-raung, mata cindaku itu yang tadinya merah menyala tiba-tiba berubah menjadi hitam legam, satu mata yang terlukanya pun mendadak sembuh dan ikut berganti warna. Bersamaan dengan itu tubuh besarnya tersungkur di tanah dan hilang kesadaran.
Jalan yang dilalui Askara sangatlah gelap, rimba hampir menutupi jalur yang dilaluinya namun tetap ia terobos sampai menemukan petunjuk lain. Hal itu terjadi berulang-ulang sampai ia sampai di hutan yang konon menurut warga sangat hitam. Saking gelapnya, mata terkatup atau terbuka pun tetap sama saja keadaanya, tidak ada perbedaan antara keduanya.
Untungnya mata biru Askara masih bersinar, ia tidak menyadari cahaya remang yang menuntun jalannya itu berasal dari netra matanya sendiri. Yang ia pikirkan hanya satu, yaitu bertahan hidup. Askara hampir putus asa kala itu, namun ia kembali bertahan dan mencoba menerobos kegelapan saat mendengar suara gercikan air.
Dituntun cahaya remang yang berasal dari netra matanya, Askara berhasil keluar hutan. Namun apa yang ia lihat selanjutnya bukanlah sungai, melainkan jurang tinggi yang cukup curam. Askara mengatur nafasnya yang lelah karena berlari, ia berjalan menyelusuri pinggir jurang itu berharap supaya dirinya ditolong orang lain.
Namun terhitung jalan beberapa langkah, mata Askara kembali hitam seperti semula. Mata biru itu menghilang bersamaan dengan redup cahaya remangnya. Membuat semua pandangan di sekitarnya kembali menjadi gelap gulita.
'Apa yang ...' Bersamaan dengan itu badannya mendadak terkuras lemas dan lunglai, pemuda itu hilang tenaga yang membuat tubuhnya jatuh dan terjerumus ke jurang hingga berguling-guling di kecuraman. Tubuh pemuda itu berakhir tercebur dalam sungai tepat di bawah jurang.
'Dingin ...' batin Askara saat tubuhnya terombang di sungai. Dalam keadaan setengah sadar, ia masih menyebut-nyebut nama sang kakak bersamaan dengan tubuhnya yang ikut hanyut mengikuti arus air.
''A-sho-ka ...'
Tak lama kemudian bola matanya perlahan menutup, Askara hilang kesadaran sepenuhnya. Semua pandangannya menjadi gelap dan ia tidak ingat apapun lagi setelah itu.
Setelah melalui kehampaan yang diselimuti gelap, Askara berhasil terbangun. Ia merasakan pegal-pegal dan nyeri di sekujur tubuhnya. Beberapa detik kemudian dia menyadari punggungnya tengah terbaring di atas kayu, terasa agak geli karena kulitnya menyentuh langsung pembaringan keras nan padat itu. Askara terhentak sesaat setelah melihat kondisinya yang tak mengenakan pakaian atas. Telanjang dada sampai ke pusar. Pemuda itu mengedarkan pandangan guna mencari apapun untuk menutup tubuh kurusnya. Hanya saja setiap sendi bergerak, otot-ototnya terasa sakit sampai-sampai dirinya tak mampu bangkit bahkan untuk duduk sekalipun. Askara meringis kesakitan, tulang-tulang tubuhnya serasa remuk, menggerakan kepala pun harus disertai tenaga. Lelaki itu berakhir menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya, ia putus asa dan siap mati kapan saja. "Jangan banyak bergerak, Nak. Kau belum pulih." Askara sedikit terke
Kali ini Askara menggeleng sembari beranjak mundur. Ia merasa aneh dengan sikap pria dewasa ini, apakah benar semua itu diberikan secara percuma? Pasti ada bayarannya. "Kenapa kau ... Memberikan semuanya padaku? Makanannya? Pakaiannya ... Sebenarnya apa yang anda inginkan dari saya?!" Suara Askara sedikit bergetar. "Aku hanya minta kau menjawab pertanyaanku," ujar Dwara dengan tenang. "Apa itu?" Dwara mengambil nafas. "Apa sebelumnya kau bertarung melawan cindaku?" Bola mata Askara terbuka lebar. Sama sekali ia tidak berfikir jika pria bernama Dwara ini berfikir sampai ke sana. Pemuda itu ragu menjawab, karena sampai saat ini pun dia berusaha menolak keberadaan cindaku. Sekalipun makhluk itu ada, dia harus membantai monster itu dengan tangannya sendiri. "Kenapa anda bertanya seperti itu? Apa menurut anda makhluk itu ada?" Askara sengaja berkilah. Lagi-lagi Dwara ters
"Kau manusia terpilih, Nak." Askara terkejut dengan apa yang dikatakan Dwara. Bukan hanya itu, mata biru pria itu membuatnya sedikit gentar. Warna mata yang tak lazim, biru berlian dengan garis pupil memutar dan bersinar. "Anda s-sebenarnya siapa?" Askara beringsut mundur dari balok ranjang kayu yang ia duduki. Mata Dwara kembali terkatup, ia membuang nafas sambil terpejam. Beberapa saat kemudian matanya kembali menjadi normal dan seperti sedia kala. "Aku sepuh pendekar Adiwira," katanya saat mata biru itu menghilang. "Pendekar Adiwira?" Alis Askara mengkerut, antara percaya dan tidak dengan pengakuan pria itu. "Jadi tokoh pendekar melegenda itu benar-benar ada?" Setelah mendengar hal itu, Dwara pun beranjak menghampiri sebuah bak air yang letaknya di bibir gua. Pinggir-pinggirnya terdapat obor api dengan asap yang lumayan mengepul. Airnya sangat jernih sampai bisa dipergunakan untuk
"Jadi anda adalah sesepuh adiwira?" tanya Askara. Dwara lagi-lagu terkekeh mendengarnya. "Sesepuh itu bisa dikatakan tetua. Peringkatku belum setinggi itu, aku hanya melatih adiwira pemula seperti dirimu." "Lalu, aku harus memanggil anda apa?" "Kau bisa memanggilku sepuh saja," ujar Dwara. Askara yang bingung karena kesulitan membedakan kata sepuh dan sesepuh hanya bisa mengangguk asal saja. "Baiklah sepuh --Dwara." Dwara kemudian menyerahkan pakaian berbahan katun itu pada Askara. "Pakailah, dan setelah ini ikuti aku," suruhnya. Awalnya Askara menghabiskan waktu karena mengagumi pakaiannya. Pernak-pernik yang mengkilap sangat menakjubkan sampai ia sendiri ragu untuk memakainya. Lengan panjang disertai celana lembut lengkap dengan kiping kain luarannya menambah kesan indah pakaian itu. Setelah pakaian itu ia kenakan, bukan lagi pakaiannya yang ia kagumi melainkan kini beralih pada dirinya sendiri. Tukang batu yang memanfa
"Jadi senjata yang akan kubawa adalah kujang?" "Yah, ini memang sedikit aneh. Belum pernah aku melatih adiwira pemula yang memegang kujang. Tapi tak apa, anggap saja aku juga latihan saat melatihmu." Dwara mulai melangkah keluar gua. "Maaf, Sepuh." Askara menghentikan langkah Dwara sampai lelaki paruh baya itu nenoleh ke belakang. "Maaf jika saya lancang bertanya. T-tapi, saya penasaran senjata apa yang sepuh pegang selama menjadi adiwira?" Merasa lucu dengan pertanyaan muridnya, Dwara malah mengulum senyum menanggapinya. "Nanti juga kau tau. Sekarang kau ikutlah denganku, kau akan masuk latihan pertama." "Baik, sepuh." Mengikuti langkah pria yang baru saja resmi menjadi gurunya itu, Askara dibawa ke pinggir sungai selepas keluar dari gua. Dwara langsung berdiri di atas batu besar yang sekilas pinggirnya terlihat memiliki ukiran yang unik. Ada dua buah batu besar yang lebih mencolok d
'Gila ... Pukulannya benar-benar ...' 'Menyakitkan ...' Askara terbanting dan berguling di salah satu bebatuan. Saat itu juga dirinya langsung tercebur dalam air sungai. Tubuh kurus laki-laki itu hampir terbawa arus air sungai, untungnya dia berpegangan pada salah satu batu dan berusaha naik ke atasnya. "Kau bilang akan melawan tanpa menunda-tunda. Kenapa kau diam saja?" seru Dwara yang sudah berdiri lagi di salah satu batu. "Ck! Aku belum siap tadi," gerutunya sambil merangkak berusaha menaiki batu yang ukurannya cukup besar. "Coba kau pikir, apa musuhmu nanti akan menunggu dirimu untuk siap-siap dulu?" tanya Dwara yang posisinya sudah jongok lagi tepat di batu yang baru dinaiki Askara. Bagai melihat hantu, Dwara baru saja berpindah tempat secepat angin. Tidak, angin terlalu lambat, dia berpindah se
Askara berjalan tertatih-tatih, seluruh tubuhnya terasa sakit karena beberapa kali terpental mengenai batu. Bahkan tulang pinggangnya terasa bergeser karena ditindih bobot besar Dwara dan dipaksa merangkak. Tak lama kemudian ia menemukan pohon yang rindang akan daun. Akar-akarnya banyak menjulur keluar tanah sampai bisa difungsikan sebagai dudukan. Askara duduk bersimbah disana, sepoinya angin membuai lelaki itu sampai mengantuk hingga mata terkatup-katup. Karena tak kuasa menahan kantuk karena efek kerasnya latihan pertama, Askara pun bersandar di pohon sembari memejamkan matanya dan tertidur. Lelaki berkulit putih dengan hidung sedikit mancung itu memang terlihat manis dan lucu saat memejamkan mata. Bibir maju yang terukir seperti daun talas memang menjadi ciri khas saat lelaki itu tertidur. Kelopak matanya sedikit runcing dengan lipatan atas mata yang membuatnya terlihat sipit. Aura tatapan netranya pasti sangat indah jika Askara memi
"Seka. Bukankah nama itu ..." Askara menggantungkan ucapannya. Pria yang mengaku bernama Seka itu dengan senang hati menunggu jawabannya. Selain senang karena bisa bertemu Askara, ia akan lebih senang lagi jika anak itu tahu dan mengenalinya. "Nama itu hampir sama dengan nama saudaraku! Shoka! Wah Paman, kau jadi mengingatkanku padanya," kekeh Askara sambil menggaruk kepalanya. Seka terdiam. 'Anak ini minta kupukul ternyata!' batinnya menggerutu. Ia mengira anak itu akan mengenalinya. Padahal saat masa dulu, nama Seka cukup terkenal dan dihormati di permukiman di kaki pegunungan Chakrabuana. Mustahil jika penduduk perkampungan sana tidak pernah mendengar nama itu. Apalagi Askara, sangat kurang ajar jika anak itu sama sekali tidak mengenalinya. Kecuali jika akal pikiran Askara sedikit geser, atau memiliki kendala soal mengingat ingatan lampau.