“Tok..tok..tok,” Nora mendengar pintu kamarnya di ketuk, tubuhnya masih tertutup selimut, Nora perlahan membuka matanya, dia melihat jam kecil di samping tempat tidurnya, sudah jam lima pagi, Nora bangkit dari tempat tidurnya, berjalan dan membuka pintu kamar, didepan pintu Ayahnya sudah berdiri menunggu Nora membuka pintu.
“Sudah solat subuh nak?” tanya Ayahnya.
“Iya pak, ini mau ambil wudhu dulu,” jawab Nora.
“Nanti setelah selesai solat, bapak mau bicara ya nak,” balas Ayahnya.
“Iya pak, Nora solat dulu ya pak,” jawab Nora.
Selesai solat subuh Nora menghampiri Ayahnya yang sedang duduk sambil minum kopi di teras rumah, Nora duduk di samping ayahnya sambil membawa piring berisikan pisang goreng yang baru di masak ibunya.
“Ayah mau bicara dengan Nora mengenai apa yah?” tanya Nora pada ayahnya.
“Nak, kalau kamu harus berhenti dari mengajar bagaimana?” jawab ayahnya.
“Berhenti mengajar?” Nora mengulangi pertanyaan ayahnya dengan wajah penuh tanda tanya.
“Umurmu sudah cukup untuk menikah Nora, ada keluarga yang melamarmu, teman lama ayah, dia tinggal di Jakarta” jawab ayahnya.
Nora terdiam, dia tidak tahu bahwa ayahnya akan menjodohkannya dengan anak teman lamanya, dan Nora juga tidak pernah mendengar bahwa ayahnya mempunyai teman yang tinggal di Jakarta, namun Nora adalah anak yang penurut, Ayahnya tidak mungkin menjodohkannya dengan smebarangan orang, pikirnya.
“Ayah sudah bertemu dengan calon suami Nora?” tanya Nora.
“Sudah, kemarin teman ayah datang ke balai, membawa anaknya serta yang akan di jodohkan olehmu,” jawab ayahnya sambil tersenyum.
“Minggu depan kita berangkat ke Jakarta, nanti di sana kita bisa menumpang tinggal sementara di rumah bibimu, sampai hari pernikahanmu tiba” lanjut ayahnya.
Nora hanya mengangguk, dia penasaran seperti apa wajah calon suaminya, kalau sifat sudah pasti orang yang baik, karena ayahnya tidak mungkin memberikan dirinya untuk menikah dengan lelaki sembarangan.
“Ini foto calon suamimu Nora,” kata ibu yang tiba-tiba datang sambil menyodorkan sebuah foto.
Nora mengambil foto tersebut, dia melihat ada tiga laki-laki dan dua wanita di foto tersebut, wanita dan laki-laki paruh baya yang duduk di depan pasti teman lama ayah, namun dua laki-laki yang berdiri di belakang pasti salah satunya adalah calon suami Nora.
“Calon suamimu yang memakai baju biru Nora, namanya Tian, kalau yang satu lagi adiknya namanya Danang, dan yang wanita itu anak bungsu keluarga teman ayah, namanya Tyas,” kata ayahnya.
Nora memandangi foto Tian, calon suaminya terlihat sangat tampan, namun apakah dia akan menerima gadis yang berasal dari kampung sepertinya, tapi bukankah dia sudah menyetujui perjodohan ini, itu tandanya dia menerimanya untuk menjadi istrinya.
Nora dan keluarganya bersiap untuk pergi ke rumah bibinya di Jakarta, setelah pamit dengan teman dan murid-muridnya semalam, ada perasaan sedih di hati Nora karena harus meninggalkan teman dan murid-muridnya, sebenarnya ada sedikit keraguan di hati Nora, dia benar-benar tidak mengenal calon suaminya, pria kota kebanyakan adalah pria yang menyukai wanita-wanita cantik dan gaul, sedangkan Nora hanya gadis kampung yang sehari-hari mengajar di sekolah dasar satu-satunya yang ada di desanya.
Meskipun ayahnya adalah pensiunan kepala desa, namun tetap saja keluarga mereka hanyalah keluarga sederhana, Nora mempunyai kakak laki-laki dan adik perempuan, kakak laki-laki Nora yang bernama Raka sudah menikah dan tinggal di luar kota, sedangkan adik Nora yang bernama Kinanti masih berumur sembilan belas tahun dan bekerja membantu di balai desa, Kinan sangat manja pada Nora, dia tidak ingin Nora pergi dan pindah ke Jakarta meninggalkannya, Kinan tidak henti-hentinya mengatakan bahwa Nora tidak akan betah tinggal di Jakarta.
Nora melirik Kinan yang sedang tertidur disampingnya, kepala kinan bersandar di bahu Nora, perjalanan ke Jakarta memakan waktu hampir sebelas jam dari desanya, dan membuat semuanya merasakan lelah yang teramat sangat, hanya Nora yang masih terjaga di mobil, semakin dekat ke Jakarta semakin membuat Nora takut dengan keputusannya.
Keluarga Nora telah sampai di rumah bibinya, setelah istirahat mereka mempersiapkan acara lamaran untuk Nora, besok siang keluarga teman lama ayahnya datang untuk melamarnya.
Malam ini Nora tidak bisa tertidur, dia memutuskan untuk membaca novel kesukaannya sambil menikmati angin malam di teras rumah bibinya, saat Nora keluar dia melihat ayahnya berada di sana.
“Ayah belum tidur?” tanya Nora
“Loh harusnya ayah yang tanya, kok kamu belum tidur nak?” jawab ayahnya sambil melihat Nora yang berdiri di depan pintu.
“Nora gak bisa tidur yah, mau baca-baca buku sedikit, mungkin saja bisa mengantuk,” balas Nora sambil berjalan dan duduk di samping ayahnya.
“Jangan terlalu memikirkan besok nak, kalau memang kamu keberatan dengan perjodohan ini, tidak apa-apa, biar ayah bicara dengan teman ayah,” tanya ayah kepada Nora.
“Tidak yah, tidak apa-apa, Nora hanya takut rindu keluarga di kampung saja, karena Nora pasti ikut suami di sini,” jawab Nora sambil memainkan buku di tangannya.
Nora sangat menyayangi ayahnya, dia tidak pernah menolak perintah atau keinginan ayahnya, namun mala mini, Nora melihat kekhawatiran di raut wajah ayahnya, padahal saat ayahnya memutuskan sesuatu dia tidak akan pernah menarik kata-katanya.
“Ya sudah, besok acara lamaran jam Sembilan pagi, lebih baik kamu tidur nak, biar badanmu besok segar,” balas ayahnya.
Nora tersenyum dan mengangguk, dia bangkit dari duduknya dan pergi ke kamar, dihatinya Nora tidak sabar ingin mengenal keluarga dan calon suaminya, dia penasaran seperti apa teman ayahnya dan keluarganya, namun Nora memilih untuk memejamkan mata.
Iring-iringan sudah terlihat dari ujung jalan rumah bibinya, meskipun bibinya tinggal di sebuah komplek namun jalannya tidak selebar jalanan pada umumnya, perasaan Nora campur aduk, ini pertama kalinya dia akan melihat calon suaminya, Nora tidak henti merapihkan bajunya, menyeka rambutnya yang dia biarkan tergerai, sesekali memeriksa wajahnya di kaca yang tergantung tak jauh dari tempat dia berdiri.
“Sudah kak, sudah cantik, siapapun yang lihat kakak pasti gak akan melepaskan pandangannya, kalau calon suamimu menolak, itu tandanya matanya sudah buta,” goda Kinan yang disambut tawa kecil orang-orang di ruangan itu, membuat wajah Nora tersipu malu.
Semua tamu sudah berada di satu ruangan, acara lamaran dilaksanakan, kedua belah pihak sudah setuju, pernikahan akan dilaksanakan satu bulan lagi, saat semua tamu sedang menikmati makan siang, ayahnya memanggil Nora, disamping ayahnya berdiri teman ayahnya yang biasa di panggil Hendra Winata dan anaknya Bastian Winanta, dialah calon suami Nora.
“Nora, ini pak Hendra Winata, yang akan menjadi ayah mertuamu dan ini Bastian, calon suami mu, yang telah melamarmu hari ini,” kata ayahnya.
Nora menjabat tangan keduanya sambil memperkenalkan dirinya, namun Nora masih merasa sungkan untuk menatap langsung wajah calon suaminya.
“Saya Nora,” jawab Nora sambil menjabat tangan Tian.
“Bastian, panggil saja Tian,” balas Tian sambil menyambut uluran tangan Nora.
“Kalian bisa mengobrol, saling mengenal, mudah-mudahan bisa langsung saling menyukai,” kata pak Hendra yang langsung di iyakan oleh ayahnya Nora.
Dari wajah Nora bisa terlihat bahwa dia sudah menyukai Tian, namun Tian tidak terlalu memperlihatkan perasaannya, Tian tidak pernah bermimpi untuk menikah dengan gadis dari kampung, meskipun menurut Tian, Nora adalah gadis kampung yang cantik namun tetap saja dia bukan selera Tian, kalau saja bukan karena ayahnya dia tidak akan mau dijodohkan dengan Nora, namun Nora tidak punya salah apa-apa padanya, dan Tian cukup tahu sopan santun dengan menjaga perasaan Nora.
“Nanti mungkin kita akan sering bertemu untuk mempersiapkan pernikahan,” kata Tian tiba-tiba.
“Oh iya, tadi ayah sudah bicara mengenai hal itu,” jawab Nora.
Nora yang dari tadi ingin sekali bertanya pada Tian, ragu untuk mengutarakan niatnya, dia takut Tian tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaannya.
“Kalau ada yang mau kamu tanya, silahkan,” kata Tian, yang langsung disadari Nora bahwa gerak geriknya terbaca oleh Tian.
“Maaf kalau saya banyak tanya-tanya, tapi apa alasan kamu menerima perjodohan ini, apalagi dengan gadis dari kampung seperti saya, saya lihat kamu cukup tampan untuk bisa mencari calon istri sendiri,” jawab Nora.
“Cukup tampan? dia gak tahu ya berapa banyak wanita yang berebut untuk mendapatkan posisi dia sekarang ini,” bisik Tian dalam hati.
“Karena aku tidak punya pilihan,” jawab Tian singkat.
“Terus, kamu kenapa mau jauh-jauh untuk di jodohkan?” tanya Tian.
“Memang kamu gak punya pacar di tempat asalmu?” lanjut Tian sambil mengambil rokok dari saku celananya.
“Karena ayah, lagipula aku tidak punya pacar di kampung, sehari-hari aku hanya mengajar, tidak pernah punya pikiran untuk pacaran,” jawab Nora.
“Ohh,” jawab Tian singkat.
Tian yang masih kesal dengan ayahnya karena menjebaknya dengan perjodohan ini hanya diam, saat dia meminta ijin untuk merokok di depan halaman pada Nora, saat itu handphonenya berbunyi, dia melihat pesan masuk dari Tomi, teman kerjanya sekaligus sahabatnya.
“Bagaimana lamarannya sob?cantik gak calon istri lu,” tanya Tomi.
“Lancar, dia cantik sih, cuma tetap aja kampungan, bukan selera gue,” balas Tian.
Tian yang besar di lingkungan anak-anak orang kaya, tidak pernah mengira bahwa ayahnya akan menjodohkan dia dengan anak temannya, terlebih lagi mereka dari desa, mungkin bila ayahnya menjodohkan dia dengan salah satu anak teman bisnisnya, Tian tidak akan peduli karena Tian tahu sifat wanita-wanita itu hanya peduli dengan uang, tapi saat Tian melihat Nora pertama kali, dia tahu bahwa tidak ada alasan Tian untuk mempermainkan wanita ini.
Pertama kali ayahnya mengajukan syarat untuk pembagian warisan dan penerus perusahaan keluarga Winata, bahwa Tian harus menikah dengan wanita pilihan ayahnya, bila tidak menurut Tian tidak akan mendapatkan warisan sepeser pun, tentu saja Tian langsung menyanggupi, Tian yang selalu hidup berfoya-foya, main wanita tidak pernah pikir dua kali untuk menyanggupi hal tersebut, dia lebih baik menuruto kemauan ayahnya daripada kehilangan haknya sebagai ahli waris perusahaan Winata.
Nora yang tidak tahu apapun soal Tian merasa Tian adalah calon suami yang baik untuknya, Tian sopan dan baik kepadanya, Nora tidak tahu bahwa dia hanyalah alat bagi Tian untuk mendapatkan warisan ayahnya, namun bagi Nora, Tian adalah laki-laki yang membawa dirinya bak putri dongeng.
Malam sebelum acara lamaran, Nora sudah menyelidiki latar belakang keluarga Winata, dengan sedikit merayu ayahnya, ayah bilang bahwa keluarga calon suaminya adalah pengusaha terpandang di Jakarta, bermodalkan handphone Kinan dia mencari nama keluarga tersebut, Nora sempat kaget bahwa dia akan menikah dengan seorang pangeran meskipun bukan seperti di negeri dongeng, namun keluarga calon suaminya bukan dari keluarga sembarangan.
Nora merasa dirinya seperti putri dalam cerita dongeng, dinikahi pangeran tampan dan berharap hidup bahagia.
Hari pernikahan Nora dan Tian sudah semakin dekat, setiap hari Tian datang menjemput Nora untuk mencoba baju yang akan di pakai di hari pernikahan mereka, Tian membiarkan Nora yang memilih tentu saja di damping oleh sekretaris Tian.
Tian juga mengajak Nora untuk memilih souvenir dan segala sesuatu yang Nora inginkan untuk pernikahan mereka, Tian tahu memperlakukan wanita, dia tahu bagaimana membuat wanita senang, dan Nora menikmati itu meskipun Tian terkadang sibuk dengan handphone dan tabletnya namun Nora merasa Tian sangat perhatian padanya.
“Oiya kamu belum diberitahu kan, kalau nanti setelah menikah kita akan tinggal di rumah yang sudah aku beli, jadi kita tidak tinggal dengan mama dan papahku,” kata Tian.
“Mas Tian sudah beli rumah untuk kita?” jawab Nora.
“Iya sudah, semua sudah disiapkan, kamu tinggal masuk saja,” balas Tian yang masih melihat tablet di tangannya.
Nora yang mendengarnya tersenyum senang, Tian begitu perhatian hingga rumah pun sudah dia siapkan untuk mereka tinggali.
“Kita tinggal pilih cincin ya,” kata Tian.
“Oh, cincin kita pilih sendiri? Aku kira sudah dipilihkan oleh ibu mu,” jawab Nora.
“Tidak, akum au semua kita yang pilih, walau dari tadi kamu yang hampir memilih semua, tapi aku takut kamu tidak suka bila dipilihkan orang lain,” jawab Tian.
Nora tersipu, semua perhatian yang di berikan Tian membuat Nora mulai membuka sedikit demi sedikit perasaannya, Nora merasa Tian akan menjadi suami yang baik untuknya, Nora yakin dia bisa hidup berdampingan dengan Tian, meskipun Nora masih kesulitan untuk mengimbangi Tian.
“Nanti saat di toko perhiasan, sepertinya aku gak bisa menemanimu ya, aku sudah suruh Abigail untuk menemanimu memilih cincin, gak perlu tanya aku, aku pasti suka apapun yang kamu pilih,” kata Tian.
“Loh kamu mau kemana?” tanya Nora.
“Aku ada urusan mendadak,”jawab Tian sambil tersenyum.
Nora mengangguk, dia menuruti kata-kata Tian, lagipula Nora tidak ingin Tian beranggapan dirinya posesif, meskipun Nora sangat suka berada di dekat Tian, tapi dia tidak ingin mencampuri usuran Tian saat bekerja.
Nora melihat-lihat contoh cincin di toko perhiasan langganan keluarga Winata, setelah Tian memberikan instruksi kepada pelayan toko dia pamit pergi pada Nora, Tian sudah menyuruh Abigail sekretarisnya untuk menemani Nora sampai selesai dan mengantarnya pulang.
“Aku pergi ya, sampai ketemu besok,” kata Tian.
Nora memilih cincin pernikahan atas saran Abigail, cincin berlian yang sangat serasi bila dipakai di jari Nora dan Tian, saat pulang tak hentinya senyum menghiasi wajah Nora, dia sangat senang beberapa hari ini bersama Tian, Nora mengirimkan foto cincin mereka ke Tian, namun Tian tidak membalasnya, status chat Tianpun sedang tidak online, mungkin urusannya belum selesai,
Di tempat lain tanpa sepengetahuan Nora, Tian sedang berada di tempat tidur dengan seorang wanita, Tian yang sedang memeluk tubuh wanita lain tidak memedulikan suara handphonenya yang terus berbunyi, suara deru napas Tian saat sedang menikmati tubuh wanita itu sama sekali tidak terlintas wajah Nora sedikitpun, baginya Nora hanya alat, tapi wanita ini adalah kekasih Tian yang sangat dia cintai.
Nora yang bahagia tidak tahu bahwa pernikahannya bukanlah pernikahan dongeng semata, bahwa kehidupan seorang putri yang di idamkannya tidak semudah itu akan dia dapatkan, Tian yang dari awal tidak pernah mencintai Nora tidak peduli meski saat ini dia menyentuh wanita lain.
Sudah lima bulan sejak pernikahan Nora dan Tian dilangsungkan, setiap pagi Nora selalu menyiapkan makanan untuk sarapan Tian, meskipun Tian hanya menyentuh sedikit dari masakannya, namun Nora tetap menyediakan berbagai santapan pagi hari, bila tidak habis biasanya Nora menyuruh pelayan dan sopir untuk menghabiskannya. “Bu, apa tidak sebaiknya masak seperlunya saja?” tanya bi Tiyem, asisten rumah tangganya. “Gak apa-apa bi, bisa saja hari ini bapak sedang mau sarapan banyak,” jawab Nora tak mengindahkan pertanyaan bi Tiyem. Setiap pagi bi Tiyem selalu mengingatkan hal yang sama pada Nora, namun Nora tetap saja meyajikan Tian sarapan yang bermacam pilihan, meskipun Nora yakin Tian hanya akan menyentuh Kopi dan memakan roti bakar, itupun hanya satu gigitan saja. Tian sudah bersiap untuk berangkat ke kantor, dia duduk di meja makan dan memandang semua makanan d
Nora bersiap untuk pergi ke rumah keluarga Winata setelah menemani Tian sarapan dan berangkat kerja, meskipun tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Tian, Nora yakin Tian sadar yang apa yang telah mereka lakukan semalam, Nora pun masih tidak percaya sampai saat ini, saat dia terbangun, Tian sudah berada disampingnya dan sama-sama tidak ada satu helai pun benang yang menempel di tubuh mereka, Nora terbangun dan terduduk di tempat tidurnya, dia diam terpaku, membereskan rambut dan menatap Tian yang masih tertidur. Nora dengan cepat bangkit dari tempat tidurnya, dan sedikit berlari ke kamar mandi tanpa mengetahui bahwa Tian mengintip dari tempat tidurnya, Tian pun tidak percaya yang telah dia lakukan semalam pada Nora, bukankah dia hanya menganggap Nora sebagai alat untuk mendapatkan warisan ayahnya, namun entah mengapa semalam dia melihat Nora begitu cantik, dan tidak bisa menghentikan tubuhnya untuk tidak menyentuh Nora.
Nora terbangun, dia melihat jam di sebelah tempat tidurnya, sudah jam delapan pagi, dia melirik ke samping kanannya, tempat Tian biasa tidur namun tidak ada tanda-tanda orang tertidur di sana, Nora melihat lantai kamarnya berserakan dengan barang-barang yang baru dia beli kemarin, Nora ingin beranjak dari tempat tidur, namun kepalanya masih terasa berat dan pusing, dia tidak tahu berapa kali dia menangis semalam hingga terbangun jam delapan pagi, Nora berusaha untuk bangkit dan mendinginkan kepala, Tian tidak pulang ke rumah, batin Nora. Setelah membereskan mandi dan membereskan kamarnya, Nora bersiap untuk keluar rumah, dia memutuskan untuk jalan-jalan membeli perlengkapan lukis yang banyak, lebih baik dia menyibukan diri dari pada harus menunggu Tian yang hanya menganggapnya sebagai alat, Nora menahan rasa sakit di dadanya agar air matanya tidak tumpah lagi bila mengingat kata-kata itu. Nora meminta supirnya mengantarkan dia ke t
“Kenapa kamu bisa bersama Tomi,” suara Tian meninggi setelah menarik dan melempar Nora ke atas tempat tidur, Nora tersungkur dan memegang pergelangan tangannya yang kesakitan karena genggaman Tian. “Hanya kebetulan bertemu, aku sedang membeli alat lukis di dekat situ, lalu mas Tomi mengajakku minum kopi,” jawab Nora. “Kebetulan bertemu? memang kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?” tanya Tian yang terlihat marah. “Kami bertemu pertama kali saat aku datang ke kantormu kemarin,” jawab Nora sambil menundukan wajahnya, dia tak berani melihat wajah Tian, dia tahu Tian marah besar padanya “Apa? aku bilang sama kamu dan tolong dengarkan baik-baik, aku mohon kamu jangan pernah muncul di kantorku atau di hadapan teman-temanku lagi,” balas Tian. Nora yang mendengar apa yang diucapkan Tian tersentak
Nora masih memandangi foto-foto yang dikirimkan pengirim tanpa nama tersebut, dia perhatikan satu persatu, wajah Tian yang tak pernah dia lihat sebahagia itu saat bersamanya. Banyak pertanyaan yang terlintas di kepala Nora, apakah wanita yang bersama Tian di foto ini adalah Citra, orang yang mengirimkan foto itu padanya. Jam menunjukan pukul sepuluh malam, Nora tida bisa memejamkan matanya, gambaran foto itu terus datang saat dia memejamkan matanya, Nora sudah berjanji tidak ingin menangis lagi, untuk bertanya pada Tian, Nora tidak punya keberanian setelah mereka bertengkar semalam, tapi Nora tidak akan tenang sebelum tahu kenyataannya. “Apakah aku harus menemui mas Tomi ataukah Tyas,” gumam Nora dalam hati. Nora mengambil handphone yang berada di meja samping tempat tidurnya, dia mulai mengirikan pesan kepada seseorang, Nora memutuskan untuk bertemu besok pagi setelah Tian berangkat kerja, dan pesan Nora
Nora mematung di depan kanvas lukisnya, tangannya memegang kuas yang yang catnya sudah mengering, hampir satu jam lamanya Nora hanya memandang kanvas kosong, tidak seperti biasanya, bila di depan kanvas Nora dengan gamblang melukis dan memainkan kuasnya sehingga menjadi lukisan yang indah, hati Nora bimbang, dia merasa seperti perempuan bodoh yang hanya menurut dan akhirnya harga dirinya terinjak-injak. Foto-foto Tian dengan wanita lain masih terbayang dalam benak Nora, bahkan dia istrinya tidak pernah berpose seperti itu dengan suaminya sendiri, selama berbulan-bulan dia menikah baru kemarin Tian benar-benar menyentuhnya, itu pun mungkin bukan karena Tian mencintai dirinya. Nora meletakan kuasnya, dia berjalan ke kamar, membuka lemari bajunya, namun wajahnya terlihat ragu, Nora ingin pulang sejenak ke kampungnya, bertemu ayah dan ibunya, menangis dan bercerita dengan puas dengan adiknya hingga beban di pundaknya berkurang meskipun sedik
“Tian, aku mau bicara,” isi pesan singkat Tomi di handphone membuat Tian bertanya, tidak seperti biasa Tomi mengirimkan pesan hanya untuk bicara padanya, sepertinya kali ini dia ingin berbicara serius, batinnya dalam hati. Lima belas menit kemudian Tomi sudah berada di depan ruangan Tian, dia membuka pintu dan melihat Tian sudah duduk dan meracik kopi untuk mereka berdua, Tomi duduk di sofa sambil melihat ke arah Tian, setelah Nora menceritakan kejadian di museum tadi, Tomi langsung pergi menemui Tian. “Katanya mau bicara, kok malah diam aja sekarang,” tanya Tian pada Tomi. “Tapi sebelumnya aku tidak ada maksud apa-apa, aku hanya mau bertanya sesuatu padamu Ian, dan ini demi masa depan dan warisanmu itu,” jawab Tomi. “Ha ha ha sejak kapan jadi serius begini sob, kita sudah lama kenal, jangan tegang begini lah,” balas Tian yang memandang wajah Tomi, ad
Jam menunjukan pukul sepuluh pagi, kamar Nora masih terlihat gelap, dan Nora masih terbaring di tempat tidurnya, matanya tak mau terpejam hingga jam empat subuh, kata-kata wanita kemarin siang yang menemuinya masih terbayang di kepala Nora. dia tidak membayangkan Tian menghamili wanita itu, apakah mereka sudah menikah siri di belakang Nora, sesaat Nora merasa sebagai istri yang tak berguna, bagaimana tidak, harusnya dia yang mengandung anak Tian bukan wanita lain, rasa sesak kembali memenuhi dada Nora. Nora mencoba bangkit dari tempat tidur, dia menyandarkan punggungnya dan mengambil handphone yang dia letakan di dalam laci, Nora sengaja menyimpannya di sana, selepas pulang dari museum dia tidak ingin berbicara dengan siapapun, dia melihat layar handphone, tiga puluh dua panggilan tak terjawab dari Tian dan Tomi, Nora kembali meletakan handphonenya, dia tak menggubris semua panggilan yang masuk. Nora mencoba membuat dirinya sibuk untuk m