Share

Ternyata Tak Seindah Mimpi

Nora terbangun, dia melihat jam di sebelah tempat tidurnya, sudah jam delapan pagi, dia melirik ke samping kanannya, tempat Tian biasa tidur namun tidak ada tanda-tanda orang tertidur di sana, Nora melihat lantai kamarnya berserakan dengan barang-barang yang baru dia beli kemarin, Nora ingin beranjak dari tempat tidur, namun kepalanya masih terasa berat dan pusing, dia tidak tahu berapa kali dia menangis semalam hingga terbangun jam delapan pagi, Nora berusaha untuk bangkit dan mendinginkan kepala, Tian tidak pulang ke rumah, batin Nora.

    Setelah membereskan mandi dan membereskan kamarnya, Nora bersiap untuk keluar rumah, dia memutuskan untuk jalan-jalan membeli perlengkapan lukis yang banyak, lebih baik dia menyibukan diri dari pada harus menunggu Tian yang hanya menganggapnya sebagai alat, Nora menahan rasa sakit di dadanya agar air matanya tidak tumpah lagi bila mengingat kata-kata itu.

    Nora meminta supirnya mengantarkan dia ke toko alat lukis di salah satu mall di Jakarta, di mobil dia sesekali melihat handphonenya berharap ada pesan dari Tian, Nora masih mengharapkan permintaan maaf Tian atas perkataannya, meskipun di pesan kemarin sudah diselipkan kata-kata maaf untuk Nora.

    Nora takjub dengan toko yang menjual alat tulis di toko itu, berbeda sekali dengan toko di kampungnya, dulu bila Nora ingin membeli peralatan lukis dia harus pergi ke pasar di kota, tokonya pun tidak besar dan hanya menjual alat-alat lukis sederhana, tapi disini Nora bisa memilih berbagai macam alat lukis yang dia suka, ini pertama kalinya Nora pergi tanpa di temani siapa-siapa, dia juga tidak bilang Tyas untuk menemaninya seperti biasa, Nora hanya ingin sendiri hari ini, berbekal kartu kredit unlimited yang di fasilitasi keluarga Winata, Nora bisa membeli apapun yang dia mau, namun Nora tidak pernah memakainya untuk hal-hal yang berlebihan.

     Tomi baru sampai di dalam toko alat lukis langganannya, setalah melihat Nora kemarin dengan membawa alat lukis, Tomi jadi merasa ingin memulai kembali hobi lamanya, namun saat dia hendak memilih alat lukis, dia melihat wanita yang mirin dengan Nora, Tomi mendekat perlahan memastikan yang dia lihat adalah Nora.

    “Nora,” panggil Tomi.

    Nora yang merasa namanya dipanggil menoleh ke belakang, dia melihat Tomi berdiri di belakangnya, cukup lama saat Nora mengenali Tomi, bukan akrena dia lupa, tapi Nora masih saja tidak fokus karena Tian.

    “Ah, pak Tomi, kebetulan sekali kita bertemu lagi pak,” jawab Nora.

    “Panggil saya Tomi saja, atau pake mas juga boleh, saya belum terlalu tua untuk di panggil bapak,” balas Tomi sambil bercanda.

    Tomi yang melihat mata Nora sedikit sembab menyadari bahwa Nora habis menangis, meskipun Nora memakai kaca mata namun Tomi sangat jeli melihatnya, Tomi yakin ada yang terjadi, mungkinkah Tian marah besar karena kemarin Nora datang ke kantornya, atau ada hal lain, tapi Tomi yakin ini ada hubungannya dengan Tian.

    “Sudah selesai memilih alat lukis?” tanya Tomi kembali.

    “Ah, belum, masih belum tahu mau beli yang mana,” jawab Nora sambil tersenyum, kesedihan di wajahnya tidak bisa dia hilangkan, karena itu Nora merasa tidak nyaman bila Tomi sampai melihat sembab di matanya.

    “Mau duduk minum kopi, seperti kemarin,” ajak Tomi, entah kenapa kalimat itu meluncur keluar dari mulutnya begitu saja, biasanya Tomi tidak peduli dengan urusan orang lain, tapi entah kenapa dia berbeda dengan Nora, mungkin akrena Nora adalah istri Tian, dan Tian adalah sahabatnya.

    “Oh, ehmm, apa tidak ada masalah bila nanti kita sering duduk minum kopi bersama?” tanya Nora sambil tertunduk.

    “Masalah dengan siapa? Tian?” jawab Tomi.

    “Ehmm, dengan pasangan anda?” balas Nora.

    “Haha..gimana ya, saya belum menikah, gak punya pacar juga, jadi sepertinya gak ada masalah kalau anda minum kopi dengan laki-laki kurang laku seperti saya,” jawab Tomi sambil bercanda.

    Candaan Tomi berhasil membuat Nora tertawa, Nora pun sudah sedikit lebih nyaman dengan Tomi, mungkin Tomi bisa dijadikan salah satu temannya, karena Nora tidak punya siapa-siapa di Jakarta, dia hanya berkirim kabar lewat telepon seminggu sekali dengan keluarganya, itu pun Nora tidak mungkin menceritakan masalahnya, Nora tidak ingin ayahnya kepikiran tentangnya.

    Nora dan Tomi duduk di salah satu kafe kopi gak jauh dari toko alat lukis, setelah memilih-milih alat lukis sesuai saran Tomi, mereka pergi keluar untuk ngobrol sambil minum kopi, namun Nora heran bukankah ini jam kerja, mengapa Tomi sepertinya bebas pergi kemana-mana sedangkan suaminya Tian selalu bilang sibuk dan tak punya waktu untuknya.

    Nora dan Tomi memilih tempat duduk dekat jendela yang berbatasan langsung dengan taman, suasana sejuk dan bau air hujan yang akan turun sangat di sukai Nora, Tomi yang duudk di depannya memperhatikan wajah Nora, apakah Tian sekejam itu pada dia sampai matanya sembab seperti itu, apa dia menangis semalaman karena Tian, Tomi yakin Nora sangat mencintai sahabatnya itu.

    “Kalau mau curhat, boleh loh, saya biasanya buka job jadi tong sampah orang,” kata Tomi membuka percakapan.

    “Eh, maksudnya?” jawab Nora pura-pura tidak mengerti.

    “Kalau ada masalah jangan di pendam sendiri, ya kalau gak percaya sama saya, lebih baik cari orang yang bisa di ajak cerita,” balas Tomi.

    Nora terdiam, dia mengambil cangkir kopi yang ada di depannya, tak berani menatap Tomi, Nora tidak tahu apakah dia bisa mempercayai Tomi, namun perkataan Tomi benar adanya.

    “Tian tidak pulang semalam, sisi tempat tidurnya rapih,” kata Nora mulai bercerita pada Tomi.

    “Memang baru malam ini dia tidak pulang,” tanya Tomi penuh selidik, dia tahu masalahnya bukanlah Tian pulang atau tidak, pasti ada sesuatu yang terjadi kemarin.

    “Ehmm, entahlah, tapi saat bangun tidak ada dia baru hari ini,” timpal Nora.

    “Lalu?” balas Tomi.

    Nora memandang Tomi, sebelum melanjutkan air mata Nora sudah menetes di balik kacamatanya, Tomi yang melihatnya tak percaya bahwa Nora akan menangis di hadapannya, Tomi memberikan tisu pada Nora untuk menghapus air matanya.

    “Aku tahu Tian tidak pernah mencintaku, bagaimana bisa aku berharap Tian bisa dengan mudah menerima perjodohan ini dengan cuma-cuma, namun apakah salah bila aku berharap semua akan berubah seiring waktu, aku sudah berusaha menjadi istri yang baik, menjadi wanita yang bisa dia bawa dengan bangga, bukan gadis kampung yang dulu saat pertama kali Kita bertemu,” kata Nora yang sudah mulai meluapkan perasaannya pada Tomi, dia pun tidak tahu mengapa harus kepada Tomi dia menceritakan semua, tapi Nora sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi.

    “Tian bilang dia hanya menganggapku sebagai alat untuk mendapatkan warisan ayahnya, bagaimana bisa dia bicara seperti itu setelah semalam dia menggauli aku, dan untuk itu dia meminta maaf padaku, aku istrinya apakah aku tidak berhak atas semua hak istri pada Tian,” tangis Nora pecah, dia berusaha memendam suara isakannya, dia tidak peduli bila Tomi menganggapnya wanita cengeng atau sejenisnya.

    Tomi yang mendengar dan melihat Nora menangis tidak bisa berbuat apa-apa, Tomi memang sering mendengar Tian menyebut bahwa Nora hanya alatnya, namun Tomi tidak menduga bahwa Tian akan mengatakannya pada Nora.

    “Ehmm, apa kamu mencintai Tian?” tanya Tomi pada Nora.

    Nora yang mendengar pertanyaan Tomi menatapnya dengan mata berair, pertanyaan Tomi bermunculan di kepala Nora, memang apakah tidak terlihat bila dia sampai menangis seperti ini.

    “Tentu saja saya mencintai suami saya Tian,” jawab Nora.

    “Sejak kapan?” tanya Tomi kembali.

    Nora berhenti sejenak, dia tidak tahu persis kapan dia jatuh cinta dengan Tian, kapan dia mencintai Tian begitu dalam hingga membuatnya berharap Tian bisa memberikan apa yang Nora harapkan.

    “Aku sudah menyukai Tian dari pertama bertemu, namun aku mencintainya mungkin sebulan setelah kita menikah, tapi entahlah, mungkin semua memang percuma,” jawab Nora.

    Tomi yang mendengar cerita Nora merasa iba, entah mengapa saat ini dia ingin memeluk Nora dan membiarkannya menangis di pelukannya, mungkin dia harus memberikan nasihat pada Tian, ada sedikit rasa sakit di dada Tomi saat Nora menjawab bahwa dia sangat mencintai Tian, namun Tomi tidak mau ambil pusing mengapa dia merasakan seperti itu, tidak mungkin dia mulai menyukai Nora, Tomi cepat-cepat membuang pikiran itu, dia hanya merasa iba pada Nora, itu saja, gumamnya dalam hati.

    “Tomi..Nora,” suara di belakang Tomi membuat Tomi menoleh.

    Tomi melihat Tian berdiri di belakangnya, menatapnya dan Nora secara bergantian, Nora segera menghapus air matanya, Tomi berdiri dan berjalan ke arah Tian.

    “Menenangkan istrimu Ian,” jawab Tomi dan di sambut tatapan heran Tian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status