Share

Menginap bersama

Terdengar suara panggilan seseorang dari jauh.

Saat aku melihat ternyata itu adalah Pak Bram, Sang CEO korban Ghosting. Aku hanya diam tak menjawab teguran dari Pak Bram.

"Riri, kamu ini sudah dipanggil dari tadi," ucapnya.

"Hah, dari tadi? Dia aja baru manggil sekali," ucapku dalam hati.

"Kamu punya mulut atau tidak?" tegas Pak Bram.

"Punya Pak!" balasku ngeri.

"Ya sudah, dijawab dong!" pekik Pak Bram.

Akhirnya kami berangkat ke luar kota. perjalanan terasa begitu panjang karena tidak ada pembicaraan yang menemani perjalanan itu. Pak Bram terlihat dingin, duduk di samping ku.

"Pak!" ujarku.

"Diam, saya mengantuk," ucapnya, aku kesal dengan kelakukan Pak Bram. Padahal aku tahu, kalau sebenarnya aku tidak terlalu dibutuhkan untuk rapat kerja di luar kota yang sedang di jalan ka olenya. Tapi, aku hanya bisa mengikuti kemauan Pak Bram.

"Saya kan gak dibutuhkan untuk pekerjaan ini Pak. Kenapa saya harus ikut?" tanyaku melihat ke arah Pak Bram.

"Kalau kamu keberatan, silahkan turun!" ujarnya sambil menutup matanya menggunakan majalah yang baru saja di baca olehnya. Turun? Dia menyuruhku turun, padahal dia tau kalau kami melakukan perjalanan udara, kami menggunakan pesawat.

"Bahkan, kalau saya tidak ingin pun, untuk turun sangat tidak mungkin," ujarku kecil.

"Ya, kamu tau itu," balasnya singkat.

"Dasar tidak waras!" cetelukku.

"Kamu bilang apa tadi?" tanyanya langsung melepas Majalah yang menutupi matanya.

"Ti ... tidak Pak, saya gak bilang apa-apa!" sambungku. Akhirnya Pak Bram kembali ke posisi semula dan tidak menghiraukanku. Sesampainya di tempat tujuan, aku berniat turun terlebih dulu. Sebenarnya aku tidak memikirkan apapun, yang aku tau adalah setelah sampai waktunya untuk turun.

Pak Bram tiba-tiba menarik tanganku.

"Apa kamu akan mendahului bosmu?" tanyanya.

"Apa? Oh, tidak Pak, maaf!" balasku melihat wajahnya yabg masih dalam keadaan ngantuk.

   Akhirnya yang terjadi adalah aku harus membiarkan Pak Bram turun terlebih dahulu dan aku mengikutinya dibelakang, ya itulah yang dia inginkan. Kami memasuki sebuah hotel tempat kami menginap untuk semalam karena besok sore kami akan pulang.

Aku yang merasa letih mencoba untuk membaringkan tubuhku di tempat tidur hotel.

"Eh, itu tempat tidur saya!" teriak Pak Bram.

"Lha, terus saya dimana Pak?" tanyaku bingung.

"Kamu di kamar sebelah, masa iya kita sekamar!" ujarnya mengerutkan dahi.

"Ya, kenapa tidak Pak?" ucapku berusaha membuatnya jengkel.

"Kalau kamu mau tidur sekamar dengan saya, gapapa, tapi jangan salahkan saya jika setelah ini kita harus menikah!" cetusnya, ucapan itu membuatku sedikit panik.

"Aa ... baik Pak, saya pindah kamar saja, saya tidak mau menikah dengan orang kehilangan kewarasannya," ujarku dan langsung berlari dari tempat itu.

  Pak Bram diam saja tak membalas ejekanku, hal itu membuatku senang karena untuk pertama kali aku bisa merasa kemenangan atas pengejekan terhadapnya. Tak lama setelah itu, terdengar notifikasi dari ponselku, itu adalah Pak Bram yang menyuruhku memesankan kopi untuknya.

"Ini Pak!" ujarku judes.

"Apa kamu tidak memiliki sopan santun?" tanyanya.

"Saya salah apa lagi Pak, semua yang saya lakukan salah dimata Bapak!" ujarku memiringkan bibir.

"Kamu bisa kan masuk dengan mengetuk pintu!" balasnya.

Aku kembali ke luar seperti biasa dan mengetuk pintu untuk masuk ke ruangannya.

"Nah, seperti itu kan lebih sopan!" ujarnya.

"Iya Pak, saya permisi," ujarku membalikkan badan.

"Kemana kamu?" tanyanya.

"Ya kembali ke kamar saya lah Pak, kemana lagi!" jawabku.

"Tidak, kamu tetap disini sampai saya menyuruhmu kembali," perintahnya. Aku pun hanya bisa mengikuti ke inginnannya. Bunda meneleponku, aku segera mengangkat telepon itu dan tidak keluar sama sekali.

"Hallo Bun!" 

"Iya Sayang, kamu sudah sampai?" tanya Bunda khawatir.

"Sudah Bun," balasku.

"Apakah kamu bersama bos CEO yang kamu bilang ngeselin itu Ri?" teriak kakak sambil terdengar suara tawanya. Pak Bram mulai melihatku sinis.

"Ih Kak, Pak Bram ada disini," jawabku.

"Wah, kalian berduaan?" tanyanya lagi, wajahku semakin memerah, takut bercampur dengan malu.

Disisi lain, Alex sedang duduk sendirian di cefe biasa, melihat ke semua arah, memikirkan Ruri yang sangat ia cintai.

"Lho, kok aku jadi kebayang sama Ruri terus ya," ucap Alex tersenyum malu.

Alex mulai menyadari bahwa ia sangat mencintai Riri, tapi ia bahkan belum berani mengutarakan hal itu, begitupun dengan Riri.

Riri yang sudah selesai berbincang dengan bunda dan kakaknya, langsung bergegas ingin pergi ke kamarnya.

"Tunggu!" ujar Pak Bram.

"Iya Pak," jawabku sambil menunduk malu atas ucapan kakak.

"Sini, duduk!" perintahnya dingin.

Segera aku duduk di dekatnya.

"Kamu bilang apa ke keluargamu tentang saya?" tanyanya, pertanyaan itu membuatku merasa gugup.

"Tidak ada Pak, saya tidak bilang apa-apa," jelas ku dengan bibir gemetaran.

"Ah, jangan bohong kamu, kamu jelekin saya kan?" tanyanya semakin mendekat padaku.

"Gak Pak, aku cuma bilang-" 

"Bilang apa? Bilang kalau saya korban Ghosting atau mungkin kamu bilang saya menyukaimu!" ujarnya berdiri di depanku.

"Ih nazis banget Pak," ucapku tak sengaja.

"Apa? Awas ya kalau nanti kamu benar-benar menyukaiku," ucapnya membelakangiku. Aku yang sudah tidak bisa memjawab pertanyaanya langsung berlari ke kamarku tanpa seizin Pak Bram.

"Akhirnya, aku bisa terlepas darinya," ujarku kecil hampir tak terdengar. Setelah merasa lebih tenang, aku pun tertidur.

Tok ... tok .... tok .... 

Terdengar suara ketukan di pintu kamarku, aku yang masih mengantuk merasa marah karena mengetuk malam-malam.

"Apa kamu gak bisa melihat jam?" ujarku marah sambil mengucek mataku.

"Apa? Jam?" ujarnya, ternyata itu adalah Pak Bram yang sudah mengetuk kamarku.

"Eh, Bapak, ada apa Pak? Mengetuk malam-malam gini?" tanyaku berusaha manis, sesungguhnya aku sangat membencinya.

Pak Bram langsung masuk ke kamarku dan membuka gorder selebar mungkin, ternyata sudah pagi dan aku merasa baru tertidur beberapa menit saja. Aku kaget, malu dan takut.

"Astaga, aku kesiangan!" teriakku.

"Makanlah, kamu gak perlu mengikuti rapat!" ujarnya. Memang seharusnya aku tidak mengikuti rapat, Pak Bram hanya berusaha untuk membuatku ikut bersamanya agar ia bisa menyiksaku.

"Kenapa Pak? Apa saya dipecat? Ah Pak tolong jangan pecat saya!" ucapku memohon di kakinya.

"Siapa yang memecatmu? Memang kamu tidak dibutuhkan di rapat ini," ujarnya. Aku langsung terdiam dan berdiri.

"Kalau Bapak tau begitu, mengapa Bapak memaksaku ikut!" ujarku kesal.

"Kamu Bos atau saya?" tanyanya.

"Ya Bapak!" balasku melihatnya sinis.

"Berarti yang membuat peraturan, kamu dong?" ujarnya.

"Bukan saya, tapi Bapak, itu saja tidak tau!" cetusku.

"Nah, itu kamu tau, jadi untuk apa kamu protes?" tanyanya. Pertanyaannya benar-benar menjebakku dan membuatku bertambah malu.

Akhirnya Pak Bram pergi untuk mengikuti rapat seorang diri dan meninggalkan aku di hotel untuk istirahat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status