“Jadi, Anda bersungguh-sungguh tidak ingin menandatangani surat ini?” tanya Max sambil menahan gemuruh napasnya.
“Apa maksudmu? Aku sudah menandatangani surat itu,” sahut Gabriella dengan alis berkerut. Nada bicaranya tidak lagi sopan kepada pria itu.
“Oke! Jangan salahkan saya jika hal buruk terjadi pada rumah Anda.”
“Apa kau sedang menyumpahiku? Aku sudah menandatangani surat itu. Kalian tidak boleh mengusik rumah ini lagi.”
“Selamat siang!” Max pergi usai melampiaskan kekesalannya lewat kata-kata. Tidak biasanya pria itu gagal mengendalikan emosi.
“Perempuan itu tidak normal,” umpat sang CEO begitu masuk ke mobil. Laki-laki di balik kemudi langsung menoleh ke arahnya.
“Tidak normal bagaimana?”
“Bayangkan saja, dia memberiku kopi pedas dan air garam. Dia bahkan tidak memberiku air untuk mencuci mulut,” cerita Max dengan raut sebal.
“Benarkah? Lalu, dengan apa kau mencuci mulut?”
Kedipan mata sang CEO sontak tertahan. Lembutnya bibir yang tadi ia kecup masih terbayang-bayang dalam benaknya. Setelah mengerjap kuat, ia menyodorkan map kepada si sekretaris.
“Sudahlah, jangan membahas tentang itu lagi. Yang penting, kita berhasil mendapatkan tanda tangan gadis itu.”
“Apakah ini tanda tangan yang sah?” Sebastian mendekatkan goresan tinta hitam itu ke matanya.
“Sudah kubilang, dia itu perempuan aneh. Sekarang, ayo kita berangkat! Agendaku jadi tertunda karena gadis keras kepala itu.”
Sambil menahan senyum, sekretaris yang merangkap sebagai sopir pun menancap gas. Mereka pergi meninggalkan seorang gadis yang sedang mengintip dari balik jendela.
“Itulah akibatnya kalau berani macam-macam dengan Gabriella,” gumam si tuan rumah dengan bibir mengerucut.
Sedetik kemudian, jemarinya terangkat menyentuh jejak kecupan yang masih terasa hangat. Tanpa sadar, jantungnya kembali berdegup kencang.
“Tapi gara-gara pria itu, aku jadi kehilangan ciuman pertamaku,” gerutunya sambil tertunduk.
“Ah, sudahlah! Untuk apa aku menyesali hal yang telah lalu. Lebih baik aku kembali berlatih untuk kompetisi besok.”
Denting piano pun kembali mengalun. Fokus Gabriella hanya terpaku pada kertas yang penuh dengan barisan not.
“Aku harus mewujudkan impian Mama. Membawa pulang piala itu dan memajangnya di ruang tamu.”
Keesokan harinya, gadis itu pulang dengan wajah semringah. “Mama pasti senang karena aku berhasil lolos di ronde pertama,” gumam Gabriella di sepanjang jalan.
Dengan langkah ringan, ia masuk ke gang menuju rumahnya. Reruntuhan di kanan dan kiri tidak lagi mengusik pikiran. Hatinya telah didominasi oleh perasaan bahagia.
Hingga pada suatu titik, langkah Gabriella terhenti oleh keterkejutan. Senyum di wajahnya seketika berganti menjadi teriakan.
“Jangan!”
Gadis itu berlari tanpa memedulikan gaunnya tersibak angin. Sesekali, langkahnya terhalang oleh kain, tetapi ia tidak boleh berhenti.
“Kumohon, jangan!” teriak Gabriella ketika lengan ekskavator menghancurkan atap rumahnya. Air mata tidak lagi bisa dibendung.
“Hentikan! Jangan hancurkan rumahku!”
Sia-sia. Alat berat terus merobohkan dinding rumahnya. Setengah dari bangunan itu telah menjadi reruntuhan.
“Tidak ... tidak!” teriak gadis yang hampir tiba di pekarangan rumah. Namun malang, dua orang pekerja mencegat langkahnya.
“Jangan ke sana, Nona! Berbahaya!”
“Tapi itu rumahku! Kenapa kalian menghancurkannya?”
“Maaf, Nona. Kami diperintahkan untuk menghancurkan semua rumah di area ini.”
“Tidak dengan rumahku! Aku bahkan tidak sepakat untuk menjualnya! Lalu, apa yang kalian lakukan ini? Apa?”
“Maaf, Nona.” Dua orang pekerja itu menyeretnya menjauh.
“Tidak! Lepaskan aku! Berhentilah!”
Gabriella terus meronta, tetapi dirinya tetap dipaksa menjauh dari monster kuning yang tak kenal ampun.
“Kumohon ...” erangnya lirih.
Malangnya, si penggaruk tetap melanjutkan pekerjaan. Monster kuning itu tidak mengerti bahwa setiap ia merobohkan sebelah dinding, hati Gabriella ikut berserakan.
“Rumahku ....”
Suara Gabriella ikut menghilang bersama asa. Gadis itu tidak punya lagi kekuatan untuk berdiri. Sambil terduduk di pinggir jalan, ia menyaksikan rumahnya diratakan dengan tanah. Tak ada kata yang sanggup diucapkan. Gabriella hanya mampu menangis dan menangis.
***
“Permisi, Tuan.” Sebastian melangkah masuk ke ruangan Max.
“Ada apa, Bas? Kenapa kau terdengar serius sekali?” tanya sang CEO dengan tatapan melekat pada dokumen di meja.
“Saya baru mendapat laporan. Rumah gadis itu telah dirobohkan.”
Gerak pena di tangan Max spontan tertahan. Setelah menegakkan kepala, pria itu berkedip tegas. “Apa katamu?”
“Rumah Gabriella baru saja dirobohkan. Seseorang telah mengirimkan perintah yang salah menggunakan surel dari kantor kita.”
Max pun terpejam dan menekan pelipisnya dengan sebelah tangan. “Siapa itu? Siapa yang berani mengirimkan perintah itu?”
“Maaf, Tuan. Perintah itu dikirim melalui surel Anda.”
Sang CEO terbelalak. Dengan alis tertarik oleh kening, ia menatap sekretarisnya lekat-lekat. “Surel saya?”
“Ya, Tuan,” sahut Sebastian tak berani membalas pandangan sepupunya.
Max menyandarkan punggung ke kursi empuknya. Setelah mencerna informasi itu dengan saksama, tawa hambarnya terdengar putus asa.
“Ternyata dugaanku benar. Ada yang tidak beres dengan rumah itu. Lalu, bagaimana dengan perempuan itu? Apakah kau sudah menerima kabar tentangnya?”
“Sampai saat ini, belum ada kabar yang berarti. Gabriella terus menangis meratapi puing-puing rumahnya.”
Telunjuk sang CEO mulai mengetuk-ngetuk meja. “Apa yang akan perempuan aneh itu lakukan? Apakah dia akan mengamuk di depan media? Atau menuntut kita lewat jalur hukum?”
“Maaf, Tuan. Saya masih harus mengurus hal lain. Kita harus segera menemukan orang yang mengirimkan perintah palsu itu. Permisi.”
Sebastian membungkuk sedikit lalu melangkah pergi, meninggalkan Max dengan puluhan skenario dalam otaknya.
“Apa yang akan perempuan itu lakukan?” gumam sang CEO tak kunjung menemukan terkaan yang bagus. Segala sesuatu tentang Gabriella tampak rumit dan sulit diprediksi.
“Apa yang harus kulakukan?” gumam seorang gadis yang duduk di dekat reruntuhan rumahnya. Ia sudah berkeliling memeriksa puing-puing. Tidak ada satu pun benda yang terselamatkan.
Foto ayah dan ibunya, gelas yang ia dapat di ulang tahun ke-10, dan bahkan boneka beruang kutub yang selalu menemaninya tidur. Kenangan indah seakan ikut hancur bersama barang-barang itu.
“Apa yang harus kulakukan?” ulang Gabriella yang sesungguhnya hanya bicara. Otaknya terlalu lelah untuk mencari jawaban.
“Nona ....”
Gabriella menoleh ke samping. Sepasang sepatu lusuh masuk dalam bingkai pandangnya. Dengan tenaga yang tersisa, ia mendongak menatap laki-laki yang memegang helm proyek dengan kedua tangannya.
“Maaf, Nona. Sampai kapan Nona mau duduk di sini? Hari sudah hampir gelap. Kami harus pulang. Tidak baik jika seorang gadis sendirian di tempat seperti ini.”
Gabriella kembali tertunduk. Air mata perlahan mulai terbentuk di ujung pelupuknya. Setelah menelan ludah yang terasa tajam, ia menghela napas.
“Kalian masih memiliki rumah untuk pulang, sedangkan aku ... aku tidak punya tempat lagi untuk tinggal.”
Laki-laki yang berdiri di sebelah sang gadis pun meringis. Ia merasa telah salah memilih kata.
“Maaf, Nona. Saya tidak bermaksud menyinggung. Tapi, memangnya Nona tidak punya saudara? Atau keluarga jauh? Tinggallah di rumah mereka untuk sementara waktu.”
Gabriella tidak membalas. Ia terlalu sedih untuk menjelaskan bahwa ia tidak punya siapa-siapa untuk diandalkan.
“Hm, bagaimana kalau Nona meminta pertanggungjawaban kepada pimpinan perusahaan Quebracha? Saya dengar, beliau orang yang bijak dan ramah. Siapa tahu, Nona bisa mendapat kompensasi yang sesuai.”
Tangan Gabriella terkepal erat menggenggam gaunnya. Kemarahan yang teramat besar baru saja terbit dan mengisi tenaganya.
“Percuma saya meminta pertanggungjawaban. Rumah saya tidak akan kembali berdiri.”
“Tapi, setidaknya, Nona bisa mendapatkan uang dan mungkin ... tempat untuk menyambung hidup. Itu jauh lebih baik dibandingkan meratapi nasib seperti ini.”
Gabriella tertegun. Nasihat si pekerja telah meresap dalam otaknya. Apa yang diucapkan oleh pria itu memang benar. Bergerak jauh lebih baik daripada diam. Orang yang telah menghancurkan kenangan dan harapannya tidak boleh dibiarkan menang.
Perlahan-lahan, gadis itu bangkit berdiri.
“Apakah Bapak tahu di mana alamat pimpinan perusahaan yang tidak memiliki hati ini?”
Si pekerja mengangguk.
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq