“Aku nggak mau.” Setelah tangis Cita reda, ia akhirnya kembali bisa bersuara dengan tenang. Pertemuannya dengan Arya kali ini, sungguh menguras emosi yang tidak pernah Cita sangka sebelumnya. “Aku nggak mau kita baikan.”Arya yang masih berlutut di hadapan Cita, langsung tertunduk. Menarik napas panjang dan masih memikirkan cara agar gadis itu mau kembali padanya.“Kenapa?” tanya Arya kembali menatap Cita. “Kenapa kamu nggak mau ngasih aku kesempatan? Aku sudah berkali-kali jelasin, nggak ada apa-apa antara aku sama Almira. Dia cuma klien dan kami nggak pernah melakukan apa-apa. Semua itu salah paham.”“Klien yang nelpon lewat tengah malam?” Cita tersenyum miring dan melepas satu tawa. “Klien yang bisa buat kamu senyum dan ketawa? Klien yang sudah bisa ngerubah hari-harimu yang membosankan, waktu masih jadi suamiku? Klien yang seperti itu, maksudnya?”“Cita, nggak ada yang terjadi—”“Itulah yang terjadi, Mas!” putus Cita kembali emosional. “Apa kamu nggak ngerti, semua yang aku sebutk
“Hei, Kak.” Cita menyapa, ketika sudah berhenti di samping Duta yang berdiri di depan meja bar. Wajah pria itu tengah tertekuk serius, dengan beberapa kertas yang berisi angka-angka. “Sibuk?”Duta menoleh dan mengerjap untuk beberapa saat. Saat melihat Cita seperti sekarang, pikirannya langsung tertuju pada Nando. Namun, setelah mengingat pembicaraan terakhirnya dengan Cita, Duta tidak jadi mengatakan sesuatuDuta lantas menggeleng, sambil merapikan kertas-kertas yang sedikit berantakan di meja bar. “Oia, sendirian? Atau janjian sama Kasih?”“Sendiri. Aku janjian sama tante Gemi di sini.”Akhirnya, Cita mengiyakan permintaan Kasih untuk bertemu Gemi. Tidak ada lagi yang perlu dihindari, karena Cita sudah lebih dulu bertemu dengan Arya sebelumnya. Jadi, bertemu Gemi setelahnya, pasti akan lebih mudah.Kedua alis Duta terangkat tinggi dan memastikan sekali lagi. “Janjian sama mamanya Arya?”“Iya.”“Waaah, apa kalian—”“Nggak.” Cita segera menyanggah dan memberi klarifikasi. “Kak Duta mi
“Cita, kamu ngapain ke rumah pak David?”Baru saja Cita masuk ke dalam kamar inap untuk menjemput Sandra, wanita itu sudah menodongnya dengan sebuah pertanyaan dengan intonasi tinggi. Sudah ada Kasih di yang juga menatap tanya, tetapi tidak bersuara. Sementara Harry, langsung memberi gelengan ketika Cita menatapnya.“Siapa yang bilang?” tanya Cita langsung duduk di sebelah Kasih. “Pak David, atau istrinya?”“Pak David yang ke sini,” jawab Harry. “Kata—”“Biar Mami yang jelasin.” Sandra yang berada di samping Harry menyela. Ia tidak ingin sang suami kelelahan, karena harus memberi penjelasan pada Cita. “Mas istirahat aja,” ujarnya sambil mengusap lengan Harry.“Kalau pak David sudah ke sini, berarti Mami nggak perlu tanya lagi, aku ngapain datang ke sana.”“Cita, bukan itu masalahnya.” Sebenarnya, Sandra tidak ingin berdebat. Namun, karena ada hal yang harus Sandra ketahui, maka ia harus membicarakannya terlebih dahulu. “Kenapa kamu nggak bicarakan semuanya sama kita? Tahu-tahu datang
“Aku sempat lihat bang Awan sama kak Duta di Bawah,” kata Cita sambil menutup pintu kamar inap Harry. Ada Kasih duduk bersila di ranjang pasien dan berhadapan dengan Harry, yang juga duduk dengan posisi yang sama. Cita melihat ada permainan ular tangga di tengah mereka dan dadu di tangan Kasih.Melihat kedekatan Harry dan Kasih yang seperti sekarang, hal tersebut terkadang membuat Cita iri. Namun, Cita tidak mampu menyuarakan protesnya, karena sadar diri dengan asal usulnya. Meskipun sikap Harry sudah berubah 180 derajat sejak Cita kecelakaan, tetapi tetap saja ada banyak masa kecil yang terlewat dan membuat kekosongan di hatinya.“Hm, mereka mau ngopi dulu,” jawab Kasih lalu menunjuk kursi kosong di samping ranjang pasien. Ia meminta Cita duduk di sana dan kembali melanjutkan permainan dengan Harry. “Soalnya, nanti abang yang jagain papa, terus aku pulang sama Ndut. Terus, ngapain kamu ke sini? Kan, kasihan mamimu sendirian di rumah?”“Mami kayaknya kecapean.” Ujar Cita lalu duduk di
“Makasih,” ucap Arya ketika baru memasuki mobil dan memasang sabuk pengaman. “Makasih karena sudah ngasih kesempatan buat aku, Cit.”“Aku nggak ngasih “kesempatan”.” Cita meralat cepat, agar Arya tidak salah paham. “Aku cuma mau kita bicara lagi, karena masih ada yang nggak sreg.”Napas Arya terbuang panjang. Ia menjalankan mobil yang dipinjamnya dari Chandi dengan perlahan dan keluar dari kediaman Lukito. Arya juga sempat bertemu Sandra dan berpamitan. Sikap Sandra sudah terasa sedikit hangat, meskipun masih tampak kesal pada Arya.“Kita ke mana?” tanya Arya harus lebih hati-hati lagi dalam berujar. “Mau ke mall, atau—”“Kita makan aja, di restonya kak Duta.”“Oh di situ” Setelah menyadari restoran Duta tidak hanya satu, Arya kembali mengajukan pertanyaan. “Resto mas Dut yang di mana?”“Yang searah sama rumah sakit papa.” Dua tahun lebih tidak menginjakkan kaki di Jakarta, Cita sedikit lupa dengan nama jalan. “Ambasador.”“Resto mas Dut, semua namanya Ambasador, Cit,” terang Arya, te
Berteman saja.Setidaknya, pernyataan Cita tersebut lebih baik daripada ketika mereka bertemu di tempat Elok. Arya hanya harus lebih bersabar lagi, agar bisa mendekati Cita. Mungkin akan memakan waktu lama, karena Arya harus bolak balik Jakarta-Surabaya untuk memperjuangkan gadis itu.Cita juga tidak lagi membahas tentang Almira, sehingga perasaan Arya bisa lumayan tenang. Meskipun, interaksinya dengan Cita saat ini benar-benar terasa kaku, karena gadis itu lebih banyak diam dan apatis kepadanya.“Mau nonton habis ini?” tawar Arya, masih ingin berlama-lama menghabiskan waktu dengan Cita. “Atau, terserah kamu.”“Aku mau balik ke rumah sakit.” Cita meletakkan garpunya di atas piring kosongnya. Setelah mendengar penjelasan mengenai Almira, sepertinya Cita butuh waktu untuk memikirkan banyak hal.Cita déjà vu akan sesuatu. Dahulu kala, awal kedekatan Cita dengan Arya karena pria itu juga menolongnya. Sama halnya dengan Almira. Pria itu berniat membantu, karena mungkin hal tersebut sudah t
Duta melambai pada Arya yang tengah bingung mencari keberadaannya. Begitu pria itu melihatnya, Arya tersenyum dan segera menghampiri. Namun, Duta bisa melihat jelas senyum itu memudar, ketika Arya melihat pria yang berada di hadapannya.“Nando baru datang.” Duta segera memberi penjelasan, sebelum Arya salah paham.Dua jam yang lalu, Arya menelepon dan mengatakan ingin bertemu dan bicara dengan Duta. Namun, siapa yang menyangka jika Nando mendadak datang ke restoran di waktu yang hampir bersamaan dengan Arya.Karena itu, di sinilah mereka bertiga. Arya duduk di samping Duta, semetara Nando berada di hadapan mereka.“Kapan balik ke Surabaya, Ar?” tanya Nando santai.“Besok pagi,” jawab Arya yang sebenarnya tidak menyukai kehadiran Nando. Namun, apa boleh buat. Arya tidak punya kuasa untuk mengusir pria itu. “Tapi jumat depan, aku ke sini lagi.”“Karena Cita.” Nando tersenyum tipis, tanpa melepas pandangannya pada Arya. “Kenapa kamu nggak jadian sama Almira, Ar? Kenapa harus datang lagi,
“Pagi, Kak.” Meskipun berat, tetapi Cita akhirnya menuruti permintaan Harry. Ia datang ke perusahaan sesuai dengan jam kantor dan menemui Kasih lebih dulu di ruangannya.“Pagi.” Kasih tersenyum. Beranjak dari kursi kerjanya, lalu memeluk Cita. Setelahnya, Kasih mempersilakan Cita duduk di sofa, untuk membicarakan beberapa hal. “Tolong jangan panggil aku, “kak”, kalau di depan orang kantor.”Cita mengangguk. Ternyata, Kasih bisa bersikap seprofesional itu ketika berada di kantor. Bahkan, intonasinya pun sangat terdengar formal dan tidak seperti biasanya.“Jadi, aku panggilnya Bu Kasih aja.”“Iya!” jawab Kasih dengan anggukan lalu duduk di sofa tunggal. “Di sini semua juga manggilnya ibu.”Cita kembali mengangguk. “Terus … kerjaku di sini ngapain?”“Begini.” Meskipun mereka berdua sama-sama berstatus anak perempuan Harry, tetapi Kasih lebih mendapatkan hak istimewa di perusahaan. Tentu saja hal tersebut karena asal usul keduanya yang berbeda. Karena itu, Kasih ingin menjelaskan hal ters