Setelah acara pengambilan hasil kelulusan. Marwah melajukan mobilnya dengan kencang. Sayyidah yang duduk di samping kemudi mendengkus kesal dengan sikap buru-buru mamahnya. Ia bahkan belum sempat foto-foto dengan temannya. Acara merayakan kelulusan di puncak 'pun gagal total. Lantaran Marwah tidak memberinya izin.
"Sayang! Di rumah sudah ada yang menunggu mamah. Maafkan mamah ya, kalau jalannya agak kencang. Yang penting pakai sabuk pengaman biar aman," ucap Marwah tanpa menoleh, ia fokus dengan jalanan di depan.
"Hmmm iya, Mah," jawab Sayyidah pelan, tetapi ucapannya masih bisa di dengar oleh Marwah.
Setelah mobil memasuki pekarangan rumah. keduanya turun dan mendapati seorang laki-laki duduk di sebuah kursi yang terletak di samping pintu masuk.
Dengan memakai sarung, atasannya kemeja koko putih panjang, di bagian kepala ada peci putih yang menutupinya.
"Padahal masih terlihat muda, tetapi gaya berpakaiannya nggak keren. Ketinggalan zaman. Sangat jauh beda dari cowo-cowo di sekolah," ucap Sayyidah, yang tentunya hanya di dalam hati.
"Assalamuallaikum Abbas, maaf menunggu lama. Mari silahkan masuk!" ajak Marwah.
"W*'allaikumussalam Tante, tidak begitu lama kok Tante!" Tersenyum sopan, memasuki pintu mengikuti pemilik rumah, lalu duduk di kursi setelah di persilahkan oleh pemiliknya.
"Kamu sudah besar ya, Bas. Tante sampe pangling. Kamu apa kabarnya?"
"Alhamdulillah sehat Tante, berkah do'a dari Tante juga."
"Sofa pasti bahagia di alam sana, melihat anaknya sesholeh kamu," puji Marwah. Abbas hanya tertunduk malu.
"Sayang! Ini Abbas putra dari Tante Sofa! Abbas, ini Sayyidah putri Tante," ucap Marwah memperkenalkan Sayyidah dengan Abbas.
"Sayyidah." Gadis itu mengulurkan tangan kepadanya.
"Abbas."
Mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Maaf, ya!" ucapnya sopan dengan mengabaikan uluran tangan Sayyidah.Sekilas ada pandangan yang sedikit melirik ke arah Sayyidah. Dia tidak seperti Sayyidah, yang terang-terangan menatapnya tajam dari ujung kepala sampai ujung kaki, seperti penyidik.
"Apakah dia malu?" "Jelas-jelas aku cukup cantik dan banyak yang mendekatiku, hanya saja aku tak mau menghabiskan waktuku mengisi hati untuk seorang lelaki, fokus dengan pelajaran itu lebih baik. Terkecuali Sofyan, yang membuatku sedikit tertarik," batin Sayyidah.
***
Setelah pertemuan singkat itu, Marwah berusaha mati-matian membujuk Sayyidah agar mau menikah dengan Abbas. Ia memasuki kamar Sayyidah yang sudah beberapa hari tidak mau keluar. Sayyidah duduk bertumpuan bantal di kepalanya. Pikirannya melayang membayangkan masa depannya.
Marwah duduk di tepi ranjang dan membelai rambut Sayyidah yang terurai panjang.
"Sayyidah putriku yang sholehah. Insyaallah ini jalan yang terbaik untuk kamu, Nak! Kamu harus menuruti keinginan mama untuk menikah dengan Abbas, ya!"
"Dia laki-laki yang baik! Dia pasti akan menjaga dan membimbing kamu menjadi wanita yang sholehah," bujuk Marwah kepada Sayyidah."Tapi Mah, Sayyidah masih mau kuliah dan mengejar cita-cita Sayyidah," tawar Sayyidah.
"Pernikahan itu bukan penghalang untuk meraih cita-cita, Nak! Justru menjadi penyemangat." "Sebab ada orang yang akan menemani kamu nanti!"
Kali ini ucapan Marwah tidak bisa ia tolak lagi.Mau tidak mau, suka, maupun tidak suka. Sayyidah sangat tak berdaya menolak perintah mamanya. Orang tua satu-satunya. Disaat ia kehilangan sosok ayah, maka Marwahlah yang sigap berperan ganda menjadi ibu sekaligus ayah baginya.
***Dalam suasana sakral yang hanya di hadiri oleh beberapa keluarga dan saudara, terdengar suara laki-laki mengucapkan ijab qobul dengan menggunakan lafadz Arabiyah di dalam sebuah masjid yang bernuansa cat putih khasnya, " Qobiltu nikaha w* tazwijaha ...."
Kemudian terucap kata, "Sah!"
Kata yang sangat singkat dan sederhana. Namun, merubah segalanya. Mimpi yang Sayyidah idamkan, cita-cita yang selalu ia gaungkan dalam semangatnya belajar dan ambisinya untuk meraih segala keinginan, kini menciut seketika.Memang pernikahan bukan belenggu. Namun, kebebasan masa remajanya telah terenggut. Sayyidah belum kuat mental. Baginya semua butuh persiapan dan waktu yang matang.
***
Setelah acara selesai, semua sibuk dengan dunianya masing-masing. Sanak-saudara sudah meninggalkan tempat acara. Karena bukan pesta yang besar. Hanya sebuah acara akad yang sederhana.
Tinggalah Abbas laki-laki yang telah resmi menjadi suami Sayyidah kini.
"Ayo wudhu! Kita sholat bersama," ajak Abbas memulai pembicaraan mereka di dalam sebuah kamar dengan nuansa pink. Kamar yang menjadi tempat favorit Sayyidah untuk menyendiri, maupun merehatkan tubuhnya setiap lelah menyelimuti.
"Iya!"
Setelah selesai salam Abbas terlihat khusyu berdo'a, kemudian dia membalikkan badan dan memegang kepala Sayyidah.
DEG ...
Jantung Sayyidah seperti terlepas dari tempatnya. Mendapatkan perlakuan dari Abbas. Memang bukan pertama kalinya Sayyidah bersentuhan dengan laki-laki, tetapi kali ini pengalaman yang cukup memompa detak jantungnya lebih cepat.
"Apa yang mau dia lakukan kepadaku?" “Sebelum menikah bahkan ia menolak tanganku untuk bersalaman. Tapi saat ini ia menempelkan telapak tangannya di puncak kepalaku, dengan mulutnya yang merapalkan do'a.”
"Kholas! bereskan lagi mukenahmu!" ucap Abbas setelah melepaskan tangannya dari kepala Sayyidah.
"Apa maksud kamu? kholas?" ujar Sayyidah dengan tatapan bingung.
"Kholas itu artinya selesai," terangnya.
"Oh!""Kamu sakit?" timpal Abbas lagi. Ia ingat bagaimana wajah kusut dan tak semangat Sayyidah sebelumnya. Walaupun berbalut make up, tetapi ekspresinya tidak bisa di bohongi, membuat hatinya sedikit menciut.
"Tidak," ketus sayyidah.
Rasa benci dan tak terima Sayyidah sedikit menguap seiring sikap dan wajah teduh Abbas kepadanya. Walaupun rasa jengkel Sayyidah masih lebih besar kepada Abbas.
"Kalau begitu kemarilah mendekat kepadaku!" panggil Abbas, melihat Sayyidah selesai merapihkan alat sholatnya di lemari tembus pandang, yang terletak di ujung ruangan.
"Ada apa?" ketus Sayyidah, dia merasa takut akan perlakuan Abbas kepadanya. Bahkan selayaknya suami-istri yang berbahagia saat pengantin baru. Sayyidah merasa sangat risih membayangkan semua itu.
"Tidak apa-apa, aku tidak akan melukaimu. Kita ngobrol santai saja, anggaplah ini perkenalan kita." Terlihat senyum mengembang di bibir Abbas.
Mendekat dan tanpa basa-basi, "Aku tidak ingin punya anak!"
"Aku mau kuliah ... jangan sentuh aku!" Dengan suara lantang dan tanpa jeda.Tidak ada ucapan balasan apapun dari Abbas. Dia hanya menarik Sayyidah dan memposisikan kepala Sayyidah di pangkuannya. Tangan Abbas terulur membelai kepala Sayyidah.
"Aku juga masih kuliah, kok! Tahun ini masuk semester 5 di jurusan Pendidikan Agama Islam," ucap Abbas, "kamu masuk jurusan apa?" sambungnya.
"Bahasa Inggris," jawab Sayyidah. Ia tak tau apa yang ada di pikiran Abbas. Yang jelas keputusannya saat ini harus waspada dengannya.
"Semangat, ya!"
Tangan Abbas mengepal di udara."Jangan sok akrab! Sok nyemangatin, deh!" batin Sayyidah mendengus kesal.
***
Sinar matahari menyeruak masuk di sela-sela jendala yang terbuka, membuat Sayyidah terpaksa membuka mata.
"Mmmmm ... Mama kenapa di buka? Sayyidah masih mau tidur, semalem mimpi buruk," rengek Sayyidah sambil menguap. Hatinya merasa lega.
"Mungkin semua ini cuman mimpi semalam?!" batin Sayyidah."Nak, kamu harus belajar jadi istri yang baik! Bangunlah lebih pagi!"
"Abbas ngga ada yang nyiapin sarapan!" tegas Marwah."Apa!" Sayyidah tersentak kaget dan bangkit dari kasur dengan wajah frustasi.
Ternyata bukan sekedar mimpi, tapi jelas semuanya telah terjadi.
Atas perintah dari Marwah, Sayyidah segera membereskan tempat tidur dan membersihkan tubuhnya di kamar mandi. "Mandi yang wangi dan pakai pakaian yang rapih, ya sayang! Biar terlihat mempesona di mata suamimu," goda Marwah dengan nada meledek. "Apaan sih, Mah!" Sayyidah mendengus kesal dan tak berminat sama sekali untuk menuruti perintah Marwah agar berpenampilan cantik di depan Abbas. Saat sower mengucur di kepala Sayyidah, pikirannya menerawang jauh mengingat kejadian semalam."Apa yang terjadi denganku? Apa aku di mangsa oleh Abbas?" batin Sayyidah, ia tak terima jika itu terjadi. Tapi seingat Sayyidah, ia hanya di tanya mengenai sekolahnya. Kemudian terlelap di pangkuan Abbas. Mungkin Abbas menggendongnya ke atas kasur sampai ia terbangun tadi. "Ah tidak!" teriak Sayyidah. Membayangkan hal yang tidak ia harapkan. Tangannya segera menggosokan sabun keseluruh tubuh, tak ingin ada bekas sentuhan Abbas yang menempel
Selepas waktu subuh, Marwah mengantarkan kedua anaknya ke sebuah daerah yang cukup terpencil di Pasuruan, jauh dari kota Jakarta tempat tinggalnya. Marwah dan Sayyidah sangat menikmati udara segar yang mereka hirup. Sangat jauh berbeda dengan suasana kota dan polusi udara yang menyesakkan dada. Terlebih pemandangan alam pegunungan dan area pesawahan di samping asrama yang memanjakkan mata. Tak jauh dari tempat asrama yang Abbas tinggali, terlihat deretan gedung bertingkat tiga. Terdengar suara lantunan Al Quran dari sana. "Sofa sangat bijak memilih Abbas mendapatkan pendidikan di tempat ini, nyatanya tempat ini berhasil mencetak Abbas menjadi orang baik dan berakhlak." Marwah begitu iri dengan Sofa, karena ia tak bisa seperti Sofa dalam mendidik anaknya. Menyesal, tentu. Setidaknya Marwah telah memutuskan jalan hidup untuk Sayyidah saat ini. Dunia bisa di cari, tetapi akhirat siapa yang bisa menjamin bisa selamat, sedangkan kehidupan akhirat itu k
Satu bulan berlalu Sejak tinggal di asrama Abbas, Sayyidah berdaptasi banyak hal. Dengan lingkungan baru, Sayyidah 'pun harus belajar kebiasaan baru. Abbas memberikan Sayyidah beberapa potong gamis yang harus ia pakai setiap hari. Dia hanya di perbolehkan memakai celana ketika di dalam asrama atau hanya untuk daleman ketika keluar. Lingkungan Abbas yang mengedepankan nilai-nilai agama memaksa Sayyidah untuk terbiasa, tidak seperti kehidupan sebelumnya yang bebas dan tanpa batas. Pukul enam pagi Abbas telah berpakaian rapi, gamis putih panjang berkerah, di lapisi jaket hitam, sedangkan kepalanya ia hiasi dengan peci putih. Ia duduk menyuapi mulutnya dengan bantuan sendok, lidah Abbas menyecap rasa dari kuah kuning bubur ayam yang ia buat sendiri sebelumnya. Manik mata Abbas menatap Sayyidah keluar dari pintu kamar dengan muka bantal dan rambut yang acak-acakan. "Say, ayo makan!" Sayyidah tak menggubris aj
"Sudah dua hari Sayyidah mendiamkanku. Dia tak mau menatapku. Bahkan memalingkan pandangannya setiap berpapasan denganku. Bersama di bawah satu atap. Namun, rasanya seperti ada tirai yang menghalangi aku dengan istriku." "Aku sangat sedih, batinku tersiksa. Tapi aku harus lebih tabah dan sabar menghadapinya. Lagi pula tidak gampang baginya menerima segalanya dengan mudah. Ia butuh waktu dan menata hatinya." pikir Abbas dalam muhasabahnya. Saat azan subuh berkumandang, Sayyidah beranjak dari tempat tidur tanpa Abbas di sisinya. Abbas memilih tidur di perpustakaan kecil miliknya, menghindari penolakan Sayyidah yang membuat hatinya kecut.Sayyidah bergegas membersihkan tubuh dan keluar dari kamar mandi dengan gamis polos berwarna abu muda sebagai penutup tubuhnya. Ia menghadap cermin guna melihat wajahnya saat membalut pashmina plisket di kepala. Tidak ada riasan. Walaupun polos, pipi mulusnya menampilkan rona alami. Dering benda pip
Pesawat terbang meninggalkan pacuannya, air mata Sayyidah terjun bebas di pipi. "Rasanya baru sebentar,” ucap Sayyidah seraya menyeka air matanya."Semoga Mamah selamat sampai tujuan, aamiin," ucap Abbas."Aamiin.""Ayo kita balik ke asrama, Say!" Keesokan harinya Tugas Sayyidah sebagai mahasiswa mulai menumpuk. Walaupun kuliah online, tapi tugas terus berjalan. Ceklek! "Assalamuallaikum." Abbas memasuki kamar. "W*'allaikumussalam,” balas Sayyidah dengan tatapan jengah. Ia melihat jam masih menunjukkan pukul sebelas siang. Biasanya Abbas pulang sore, ini lebih awal dari biasanya. "Ada yang ketinggalan tadi pagi,” ujar Abbas lebih dulu melihat ekspresi penuh pertanyaan di wajah istrinya. Namun, sayangnya ia hanya diam seolah tak peduli.Abbas berjalan mendekati nakas.Benar saja map hijau tergeletak disana. Suara dering benda pipih di atas kasur mendorong tangan empunya untuk men
Abbas berjalan mengiringi langkah Sayyidah memasuki sebuah mall. "Bas, kamu nunggu aja, ya!" Sayyidah menghentikan langkahnya. "Ngga Sayyidah, aku mau menemanimu,” pinta Abbas. "Tapi Bas, pakaianmu ... udah ku suruh pakai celana aja, kenapa sih ngga mau?" "Ngga papa Say, aku sudah terbiasa pakai sarung, ngga biasa pakai jeans seperti yang kamu suruh. Biarin orang mau nilai aku apa, yang penting aku jadi diri sendiri." "Ish! Keras kepala amat." gerutu Sayyidah. "Dimana tempat teman kamu yang bernama Zahra?" Mengedarkan pandangannya. Merasa dirinya asing di tempat seperti ini, walaupun bukan pertama kalinya ia berkunjung ke mall. Bahkan dulu ketika libur dari pondok, uminya sering mengajaknya ke mall untuk berbelanja atau mencari kebutuhan saat persiapan berangkat ke pesantren. Sangat jarang, alasannya tentu menghindari pemandangan aurot dari wanita yang memakai pakaian kurang bahan, menurutnya.
Abbas duduk di belakang kemudi, melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sayyidah berada di sampingnya. Keduanya diam tanpa sepatah katapun. Detik kemudian ... "Ada yang mau kamu jelasin?" tanya Abbas memecah keheningan. "Tidak ada," balas Sayyidah dengan malas. "Kalau pergi kemanapun harus tau waktu, waktunya sholat harus sholat. Jangan sampe di tinggal!" pesan Abbas, kepalanya menengok kepada lawan bicaranya. Sayyidah membuang wajahnya ke jalan, "Aku udah besar, tau mana yang benar-mana yang salah, tau depan-belakang, tau atas-bawah. Ngga usah kamu ngasih tau, aku juga sudah tau," sanggah Sayyidah dengan ketus. "Jaga pergaulan kamu Sayyidah, jangan sampe mama sedih di alam sana dengan keadaan kamu di sini!" "Aku tau," jawab Sayyidah dengan ekspresi kesal. Abbas tak lagi membalas ucapan Sayyidah. Tak ada kata maaf sama sekali dari mulutnya, setelah mengatakan Abbas sebagai sepupu di depan
Sayyidah dan Abbas masih menjalani hari-harinya di Jakarta. Demi menemani Sayyidah, Abbas rela meninggalkan tugas khidmah di ma'had dan perkuliahannya. Hati Sayyidah masih terpukul dengan kepergian Marwah, hari-harinya masih hampa tanpa semangat. Lepas sholat subuh, Sayyidah mengurungkan diri di dalam kamar. Sebagai suami, ia sendirilah yang mengerjakan pekerjaan rumah. Pukul tujuh pagi ia sudah selesai nyapu, ngepel dan menyiapkan sarapan untuknya dan Sayyidah. Ia berjalan membawakan makanan untuk Sayyidah ke dalam kamar. Tubuh Sayyidah terbungkus oleh selimut, matanya terpejam, tapi mulutnya meracau."Mah, Sayyidah kangen ... peluk Sayyidah, Mah." Bulir air matanya mengalir, Abbas yang sudah duduk di tepi ranjang di tarik oleh tangan Sayyidah dan di bawanya dalam pelukan. Kini Abbas sudah terbaring di sampingnya, kepala Sayyidah terbenam di leher Abbas, tangan kiri Sayyidah melekat di pinggangnya, sedangkan tangan kanannya meraba ba