Share

Cinta Dalam Perjodohan
Cinta Dalam Perjodohan
Penulis: Naily L

Mimpi buruk lulus SMA

Setelah acara pengambilan hasil kelulusan. Marwah melajukan mobilnya dengan kencang. Sayyidah yang duduk di samping kemudi mendengkus kesal dengan sikap buru-buru mamahnya. Ia bahkan belum sempat foto-foto dengan temannya. Acara merayakan kelulusan di puncak 'pun gagal total. Lantaran Marwah tidak memberinya izin.

"Sayang! Di rumah sudah ada yang menunggu mamah. Maafkan mamah ya, kalau jalannya agak kencang. Yang penting pakai sabuk pengaman biar aman," ucap Marwah tanpa menoleh, ia fokus dengan jalanan di depan.

"Hmmm iya, Mah," jawab Sayyidah pelan, tetapi ucapannya masih bisa di dengar oleh Marwah.

Setelah mobil memasuki pekarangan rumah. keduanya turun dan mendapati seorang laki-laki duduk di sebuah kursi yang terletak di samping pintu masuk.

Dengan memakai sarung, atasannya kemeja koko putih panjang, di bagian kepala ada peci putih yang menutupinya.

"Padahal masih terlihat muda, tetapi gaya berpakaiannya nggak keren. Ketinggalan zaman. Sangat jauh beda dari cowo-cowo di sekolah," ucap Sayyidah, yang tentunya hanya di dalam hati.

"Assalamuallaikum Abbas, maaf menunggu lama. Mari silahkan masuk!" ajak Marwah.

"W*'allaikumussalam Tante, tidak begitu lama kok Tante!" Tersenyum sopan, memasuki pintu mengikuti pemilik rumah, lalu duduk di kursi setelah di persilahkan oleh pemiliknya.

"Kamu sudah besar ya, Bas. Tante sampe pangling. Kamu apa kabarnya?"

"Alhamdulillah sehat Tante, berkah do'a dari Tante juga." 

"Sofa pasti bahagia di alam sana, melihat anaknya sesholeh kamu," puji Marwah. Abbas hanya tertunduk malu.

"Sayang! Ini Abbas putra dari Tante Sofa! Abbas, ini Sayyidah putri Tante," ucap Marwah memperkenalkan Sayyidah dengan Abbas.

"Sayyidah." Gadis itu mengulurkan tangan kepadanya.

"Abbas." 

Mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Maaf, ya!" ucapnya sopan dengan mengabaikan uluran tangan Sayyidah.

Sekilas ada pandangan yang sedikit melirik ke arah Sayyidah. Dia tidak seperti Sayyidah, yang terang-terangan menatapnya tajam dari ujung kepala sampai ujung kaki, seperti penyidik.

"Apakah dia malu?" "Jelas-jelas aku cukup cantik dan banyak yang mendekatiku, hanya saja aku tak mau menghabiskan waktuku mengisi hati untuk seorang lelaki, fokus dengan pelajaran itu lebih baik. Terkecuali Sofyan, yang membuatku sedikit tertarik," batin Sayyidah. 

***

Setelah pertemuan singkat itu, Marwah berusaha mati-matian membujuk Sayyidah agar mau menikah dengan Abbas. Ia memasuki kamar Sayyidah yang sudah beberapa hari tidak mau keluar. Sayyidah duduk bertumpuan bantal di kepalanya. Pikirannya melayang membayangkan masa depannya. 

Marwah duduk di tepi ranjang dan membelai rambut Sayyidah yang terurai panjang.

"Sayyidah putriku yang sholehah. Insyaallah ini jalan yang terbaik untuk kamu, Nak! Kamu harus menuruti keinginan mama untuk menikah dengan Abbas, ya!" 

"Dia laki-laki yang baik! Dia pasti akan menjaga dan membimbing kamu menjadi wanita yang sholehah," bujuk Marwah kepada Sayyidah.

"Tapi Mah, Sayyidah masih mau kuliah dan mengejar cita-cita Sayyidah," tawar Sayyidah.

"Pernikahan itu bukan penghalang untuk meraih cita-cita, Nak! Justru menjadi penyemangat." "Sebab ada orang yang akan menemani kamu nanti!" 

Kali ini ucapan Marwah tidak bisa ia tolak lagi.

Mau tidak mau, suka, maupun tidak suka. Sayyidah sangat tak berdaya menolak perintah mamanya. Orang tua satu-satunya. Disaat ia kehilangan sosok ayah, maka Marwahlah yang sigap berperan ganda menjadi ibu sekaligus ayah baginya.

***

Dalam suasana sakral yang hanya di hadiri oleh beberapa keluarga dan saudara, terdengar suara laki-laki mengucapkan ijab qobul dengan menggunakan lafadz Arabiyah di dalam sebuah masjid yang bernuansa cat putih khasnya, " Qobiltu nikaha w* tazwijaha ...."

Kemudian terucap kata, "Sah!" 

Kata yang sangat singkat dan sederhana. Namun, merubah segalanya. Mimpi yang Sayyidah idamkan, cita-cita yang selalu ia gaungkan dalam semangatnya belajar dan ambisinya untuk meraih segala keinginan, kini menciut seketika.

Memang pernikahan bukan belenggu. Namun, kebebasan masa remajanya telah terenggut. Sayyidah belum kuat mental. Baginya semua butuh persiapan dan waktu yang matang.

***

Setelah acara selesai, semua sibuk dengan dunianya masing-masing. Sanak-saudara sudah meninggalkan tempat acara. Karena bukan pesta yang besar. Hanya sebuah acara akad yang sederhana.

Tinggalah Abbas laki-laki yang telah resmi menjadi suami Sayyidah kini.  

"Ayo wudhu! Kita sholat bersama," ajak Abbas memulai pembicaraan mereka di dalam sebuah kamar dengan nuansa pink. Kamar yang menjadi tempat favorit Sayyidah untuk menyendiri, maupun merehatkan tubuhnya setiap lelah menyelimuti.

"Iya!"

Setelah selesai salam Abbas terlihat khusyu berdo'a, kemudian dia membalikkan badan dan memegang kepala Sayyidah. 

DEG ...

Jantung Sayyidah seperti terlepas dari tempatnya. Mendapatkan perlakuan dari Abbas. Memang bukan pertama kalinya Sayyidah bersentuhan dengan laki-laki, tetapi kali ini pengalaman yang cukup memompa detak jantungnya lebih cepat. 

"Apa yang mau dia lakukan kepadaku?" “Sebelum menikah bahkan ia menolak tanganku untuk bersalaman. Tapi saat ini ia menempelkan telapak tangannya di puncak kepalaku, dengan mulutnya yang merapalkan do'a.” 

"Kholas! bereskan lagi mukenahmu!" ucap Abbas setelah melepaskan tangannya dari kepala Sayyidah.

"Apa maksud kamu? kholas?" ujar Sayyidah dengan tatapan bingung.

"Kholas itu artinya selesai," terangnya.

"Oh!"

"Kamu sakit?" timpal Abbas lagi. Ia ingat bagaimana wajah kusut dan tak semangat Sayyidah sebelumnya. Walaupun berbalut make up, tetapi ekspresinya tidak bisa di bohongi, membuat hatinya sedikit menciut.

"Tidak," ketus sayyidah.

Rasa benci dan tak terima Sayyidah sedikit menguap seiring sikap dan wajah teduh Abbas kepadanya. Walaupun rasa jengkel Sayyidah masih lebih besar kepada Abbas.

"Kalau begitu kemarilah mendekat kepadaku!" panggil Abbas, melihat Sayyidah selesai merapihkan alat sholatnya di lemari tembus pandang, yang terletak di ujung ruangan.

"Ada apa?" ketus Sayyidah, dia merasa takut akan perlakuan Abbas kepadanya. Bahkan selayaknya suami-istri yang berbahagia saat pengantin baru. Sayyidah merasa sangat risih membayangkan semua itu.

"Tidak apa-apa, aku tidak akan melukaimu. Kita ngobrol santai saja, anggaplah ini perkenalan kita." Terlihat senyum mengembang di bibir Abbas.

Mendekat dan tanpa basa-basi, "Aku tidak ingin punya anak!"

"Aku mau kuliah ... jangan sentuh aku!" Dengan suara lantang dan tanpa jeda.

Tidak ada ucapan balasan apapun dari Abbas. Dia hanya menarik Sayyidah dan memposisikan kepala Sayyidah di pangkuannya. Tangan Abbas terulur membelai kepala Sayyidah.

"Aku juga masih kuliah, kok!  Tahun ini masuk semester 5 di jurusan Pendidikan Agama Islam," ucap Abbas, "kamu masuk jurusan apa?" sambungnya.

"Bahasa Inggris," jawab Sayyidah. Ia tak tau apa yang ada di pikiran Abbas. Yang jelas keputusannya saat ini harus waspada dengannya.

"Semangat, ya!" 

Tangan Abbas mengepal di udara.

"Jangan sok akrab! Sok nyemangatin, deh!" batin Sayyidah mendengus kesal. 

***

Sinar matahari menyeruak masuk di sela-sela jendala yang terbuka, membuat Sayyidah terpaksa membuka mata.

"Mmmmm ... Mama kenapa di buka? Sayyidah masih mau tidur, semalem mimpi buruk," rengek Sayyidah sambil menguap. Hatinya merasa lega.

"Mungkin semua ini cuman mimpi semalam?!" batin Sayyidah.

"Nak, kamu harus belajar jadi istri yang baik! Bangunlah lebih pagi!"

"Abbas ngga ada yang nyiapin sarapan!" tegas Marwah.

"Apa!" Sayyidah tersentak kaget dan bangkit dari kasur dengan wajah frustasi.

Ternyata bukan sekedar mimpi, tapi jelas semuanya telah terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status