Musim dingin membawa banyak hal ke Berlin: aroma kayu manis dari pasar Natal, lampu-lampu kecil yang berpendar di setiap sudut kota, dan di kampus Humboldt, semangat mahasiswa menyiapkan Winter Cultural Festival—acara tahunan yang selalu dinanti. Tahun ini, Amara terpilih sebagai salah satu koordinator divisi konten, dan tanpa diduganya, Leo juga masuk dalam tim yang sama. Bukan karena ia mendaftar—panitia utama secara khusus memintanya menjadi duta tamu mewakili mahasiswa internasional.
Awalnya Amara mengira bekerja dalam satu tim dengan Leo akan memudahkan segalanya. Tapi hari-hari pertama persiapan justru membuat suasana semakin tegang. Bukan karena mereka bertengkar. Tapi karena terlalu banyak yang belum diucapkan sejak percakapan di trotoar sore itu.
Mereka masih saling menatap lebih lama dari seharusnya. Masih tersenyum saat berselisih bahu di ruang rapat kecil. Tapi ada jeda. Seperti ada kalimat yang tertahan di antara catatan program acara dan revisi jadwal latihan.
Sampai suatu sore, ketika mereka sedang mengatur ruang galeri untuk pameran foto budaya, Leo akhirnya membuka suara.
“Kamu sengaja menjaga jarak lagi, ya?”
Amara, yang tengah mengatur pajangan foto dari negara Asia, berhenti sejenak. “Aku tidak sengaja. Aku cuma sibuk.”
Leo menghela napas. “Aku tahu bedanya sibuk dan menghindar.”
Amara meletakkan foto terakhir, lalu duduk di bangku kecil dekat jendela. Di luar, langit mulai gelap meski jam baru menunjukkan pukul empat.
“Aku cuma… butuh waktu. Semua ini terasa terlalu cepat.”
Leo berdiri di seberangnya, menyandarkan tubuh ke dinding, menatapnya lekat. “Apa kamu takut aku akan menyakitimu?”
Amara mengangkat bahu. “Bukan cuma kamu. Dunia kamu. Dunia yang mungkin tidak akan pernah bisa kumasuki sepenuhnya.”
Leo diam lama. Lalu ia duduk di dekatnya. “Kamu tahu apa yang paling melelahkan dari hidupku? Bukan tekanan bisnis, bukan publikasi, bukan berita yang selalu mengaitkanku dengan perempuan yang bahkan tidak kukenal. Tapi rasa sepi. Sepi karena semua orang hanya ingin mendekat karena siapa aku di mata dunia, bukan siapa aku sebenarnya.”
Amara menoleh padanya, matanya melembut.
“Lalu kamu datang,” lanjut Leo, “dan kamu tidak tertarik dengan semua itu. Kamu bahkan berusaha menjauh. Itu membuatku merasa… nyata.”
Amara tertawa pelan. “Kamu tahu betapa anehnya kedengarannya? Pewaris perusahaan raksasa, duduk di ruang latihan pameran kampus, membicarakan rasa sepi.”
“Tapi itulah kenyataannya. Aku hanya manusia, Amara.”
Amara menarik napas panjang. “Kalau begitu, beri aku ruang untuk memahami duniamu. Aku tidak ingin jatuh cinta pada ilusi. Aku ingin mengenal Leo—yang asli, yang kadang ragu, yang kadang takut. Bukan Leo yang selalu tampak sempurna.”
Leo menatapnya, lama sekali. “Deal. Tapi dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Kamu juga harus membiarkanku mengenal kamu. Bukan hanya mahasiswi cerdas dari Indonesia yang selalu punya jawaban. Tapi Amara—yang pernah kecewa, yang pernah ragu, yang masih belajar percaya.”
Amara mengangguk pelan. “Baiklah.”
Dan untuk pertama kalinya sejak bekerja bersama, mereka tertawa—lepas, ringan, seperti dua manusia biasa yang tak sedang memikul nama atau harapan siapa pun.
Hari puncak festival tiba dengan lampu warna-warni dan suhu yang menusuk tulang. Aula utama dipenuhi booth budaya dari berbagai negara, pertunjukan musik, dan galeri seni. Amara mengenakan kebaya modern berwarna krem keemasan, rambutnya disanggul sederhana. Leo, dengan jas hitam dan dasi batik pemberian panitia, berdiri di sampingnya saat sesi pembukaan dimulai.
“Siap beraksi, duta internasional?” bisik Amara, senyum geli di wajahnya.
Leo membalas dengan lirikan iseng. “Siap kalau kamu di sampingku.”
Mereka berdiri di atas panggung kecil, menyapa ratusan penonton dengan bahasa Jerman dan Inggris. Tapi yang lebih penting, mereka akhirnya berdiri berdampingan—bukan hanya di atas panggung, tapi dalam kenyataan.
Namun di sela riuh tepuk tangan dan denting musik, ada satu pasang mata yang memperhatikan dari kejauhan.
Seorang wanita muda berambut pirang sebahu, mengenakan mantel mahal dan menatap Leo tanpa senyum. Di tangannya, sebuah ponsel aktif merekam momen itu. Ia berbisik pada seseorang di sebelahnya.
“Lihat siapa yang sedang bermain cinta di negeri orang.”
Dan tanpa disadari Amara dan Leo, badai dari masa lalu Leo mulai bergerak mendekat, perlahan namun pasti.
Di rumah batu tua yang telah menjadi tempat berlindung dan pelarian, Elias duduk di teras, mencoret-coret halaman jurnalnya. Ia tak lagi menulis data atau laporan. Hanya puisi-puisi kecil yang ia bagi untuk dirinya dan Mira.Mira muncul dari dalam rumah, mengenakan gaun linen berwarna krem. Rambutnya dibiarkan terurai, mata keemasan itu memancarkan kedamaian yang tak bisa dicuri siapa pun.“Aku baru saja selesai menidurkan anak-anak di kelas sore,” katanya pelan, lalu mendekat dan duduk di pangkuan Elias.Elias menyambutnya dengan pelukan lembut. “Dan sekarang giliranmu untuk ditidurkan?”Mira menggeleng dengan senyum nakal. “Tidak malam ini. Malam ini... aku ingin merasa hidup. Di atas tubuhmu. Dalam diam, dalam nafas, dalam getar.”Ia tak butuh undangan dua kali.Elias mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk ke kamar tidur yang jendelanya terbuka menghadap ladang anggur. Aroma mawar dan rosemary masuk bersama udara malam, menyelimuti keduanya saat tubuh mereka bersatu dalam tarian
Musim semi datang lebih awal di Istanbul tahun itu. Pepohonan di taman Gülhane mulai mekar, burung-burung melintasi langit biru yang bersih, dan aroma kopi hangat dari kedai-kedai jalanan menguar lebih kuat dari biasanya.Di sebuah bangku taman yang menghadap ke selat Bosphorus, Elias duduk dengan Mira di sampingnya, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Tapi matanya tak membaca, melainkan menatap anak-anak kecil yang berlarian di antara bunga-bunga tulip.Mira tersenyum, menyenderkan kepala di bahu Elias. “Aku selalu suka tempat ini. Tenang, tapi hidup.”Elias membalas senyum itu. “Kau tahu, setiap kali aku melihat anak-anak itu... aku pikir mungkin Liesel pernah membayangkan hal seperti ini juga. Dunia yang tak lagi dibentuk oleh sistem, tapi oleh harapan kecil yang tumbuh tanpa tekanan.”Mira mengangguk. “Dan sekarang, dunia seperti itu bukan cuma mungkin. Ia sedang tumbuh—perlahan.”Sejak kehancuran Proyek Hawa dan lenyapnya sistem Liesel, dunia telah bergerak ke arah yang berbeda.
Setelah sistem dihancurkan, dan vila Varn ditinggalkan dalam sunyi, Elias, Mira, dan Hawa duduk di pinggir dermaga kecil dekat desa nelayan. Laut Hitam menghampar gelap, tapi malam terasa lebih ringan dari biasanya—seperti beban yang akhirnya dilepaskan dari pundak generasi.Mira memeriksa kembali sisa-sisa data dari sistem yang sempat mereka unduh sebelum kehancuran total. Di antara potongan algoritma dan rekaman keamanan, ada satu file aneh—tidak terlindungi enkripsi, hanya diberi judul sederhana:"Untuk Leo, dari Liesel."Elias menatap layar dengan dada sesak. Ia tahu suara itu akan menghantuinya… dan sekaligus menyelamatkannya.Mira membuka file. Muncullah video. Liesel duduk di meja kayu, tanpa jas lab, tanpa layar di belakangnya. Hanya dirinya—seorang ibu, bukan ilmuwan."Leo, jika kau menonton ini, maka semua telah sampai pada ujungnya.""Aku tidak tahu di mana kau sekarang, dan bersama siapa. Tapi jika kau selamat, maka kau telah melakukan hal yang bahkan aku sendiri tak beran
Vila Dr. Nikolaus Varn berdiri megah di antara tebing-tebing curam Laut Hitam, dikelilingi tembok batu tinggi dan penjagaan bersenjata. Tak ada tanda-tanda kehidupan dari luar, namun pantulan lampu inframerah di jendela kaca membuktikan bahwa tempat itu aktif—dan sangat terlindungi.Elias dan Mira menyusup di tengah malam, dibantu oleh kontak lama Liesel, seorang ahli elektronik tua bernama Emre, yang telah lama tinggal di wilayah pesisir itu sebagai nelayan.“Tempat itu bukan vila,” kata Emre saat mereka memantau dari perahu kecil. “Itu laboratorium. Bawah tanahnya dua tingkat. Kau tak akan masuk tanpa akses biometrik.”Elias menatap layar pemindai. “Tapi aku punya sesuatu yang bisa mereka baca.”Mira mengerutkan dahi. “Kau akan memancing mereka?”“Jika Liesel benar... jika aku adalah kunci, maka mungkin—sistem keamanan mereka akan membukakan pintu bagiku.”Dan benar saja.Begitu Elias mendekati pagar otomatis dari sisi timur, sinyal keamanan memindainya dalam diam. Pintu besi berder
Istanbul memeluk mereka dengan kekacauan yang hangat. Deru kapal ferry melintasi Bosphorus, azan dari masjid-masjid tua bersahut-sahutan dengan tawa anak-anak di gang sempit. Kota ini tidak peduli siapa kau kemarin—di sini, semua bisa dimulai kembali.Leo—kini dengan nama baru, Elias Andros—bekerja sebagai penerjemah lepas. Ia menata hidup di apartemen kecil di kawasan Cihangir, dikelilingi toko buku dan kedai teh. Amara, yang kini dikenal sebagai Mira, menjadi sukarelawan di sekolah bahasa untuk pengungsi Suriah. Mereka hidup seperti dua titik kecil dalam lautan manusia yang terus bergerak.Tidak ada jejak chip Liesel. Tidak ada nama Rosenthal. Hanya pagi yang tenang, malam yang sederhana, dan sepotong dunia yang akhirnya terasa manusiawi.Tapi mimpi tak bisa selamanya menyembunyikan kenyataan.Suatu sore, saat Elias baru pulang dari pasar, ia menemukan secarik surat terselip di bawah pintu. Tidak ada pengirim. Hanya tiga kata:"Kami belum lupa."Tangannya mengepal.Ia membuka semua
Cahaya biru pucat dari layar hologram memenuhi ruangan apartemen itu. Leo duduk diam, tatapannya terpaku pada serangkaian file yang muncul satu per satu setelah chip Liesel berhasil terbaca.Folder utama bertajuk: Projekt Adam.Amara duduk di sampingnya, memegang secangkir teh yang sudah mendingin. Ia tidak bicara. Tak ingin mengganggu proses Leo yang tampak seperti sedang menghadapi bayangan hidupnya sendiri.Leo membuka file pertama.Sebuah video muncul—Liesel duduk di ruang kerjanya, jauh lebih muda dari yang Leo ingat. Rambutnya lebih hitam, kulitnya lebih cerah, dan matanya… tetap setajam logika murni.“Hari ini aku memulai tahap awal Projekt Adam,” suara Liesel mengisi ruangan. “Bukan sebagai sistem pengganti, tapi sebagai bentuk terakhir dari penyesuaian genetis dan psikis manusia. Jika dunia gagal memahami Eulysium, maka aku akan ciptakan seseorang—satu manusia—yang tak hanya mampu memahami sistem… tapi menjadi penyeimbangnya.”Leo menegang.Liesel menatap ke kamera, seolah be