Home / Romansa / Cinta Dalam Riuh Salju / Bab 7: Di Balik Layar Festival

Share

Bab 7: Di Balik Layar Festival

Author: K.A. Helmy
last update Last Updated: 2025-06-11 20:36:53

Musim dingin membawa banyak hal ke Berlin: aroma kayu manis dari pasar Natal, lampu-lampu kecil yang berpendar di setiap sudut kota, dan di kampus Humboldt, semangat mahasiswa menyiapkan Winter Cultural Festival—acara tahunan yang selalu dinanti. Tahun ini, Amara terpilih sebagai salah satu koordinator divisi konten, dan tanpa diduganya, Leo juga masuk dalam tim yang sama. Bukan karena ia mendaftar—panitia utama secara khusus memintanya menjadi duta tamu mewakili mahasiswa internasional.

Awalnya Amara mengira bekerja dalam satu tim dengan Leo akan memudahkan segalanya. Tapi hari-hari pertama persiapan justru membuat suasana semakin tegang. Bukan karena mereka bertengkar. Tapi karena terlalu banyak yang belum diucapkan sejak percakapan di trotoar sore itu.

Mereka masih saling menatap lebih lama dari seharusnya. Masih tersenyum saat berselisih bahu di ruang rapat kecil. Tapi ada jeda. Seperti ada kalimat yang tertahan di antara catatan program acara dan revisi jadwal latihan.

Sampai suatu sore, ketika mereka sedang mengatur ruang galeri untuk pameran foto budaya, Leo akhirnya membuka suara.

“Kamu sengaja menjaga jarak lagi, ya?”

Amara, yang tengah mengatur pajangan foto dari negara Asia, berhenti sejenak. “Aku tidak sengaja. Aku cuma sibuk.”

Leo menghela napas. “Aku tahu bedanya sibuk dan menghindar.”

Amara meletakkan foto terakhir, lalu duduk di bangku kecil dekat jendela. Di luar, langit mulai gelap meski jam baru menunjukkan pukul empat.

“Aku cuma… butuh waktu. Semua ini terasa terlalu cepat.”

Leo berdiri di seberangnya, menyandarkan tubuh ke dinding, menatapnya lekat. “Apa kamu takut aku akan menyakitimu?”

Amara mengangkat bahu. “Bukan cuma kamu. Dunia kamu. Dunia yang mungkin tidak akan pernah bisa kumasuki sepenuhnya.”

Leo diam lama. Lalu ia duduk di dekatnya. “Kamu tahu apa yang paling melelahkan dari hidupku? Bukan tekanan bisnis, bukan publikasi, bukan berita yang selalu mengaitkanku dengan perempuan yang bahkan tidak kukenal. Tapi rasa sepi. Sepi karena semua orang hanya ingin mendekat karena siapa aku di mata dunia, bukan siapa aku sebenarnya.”

Amara menoleh padanya, matanya melembut.

“Lalu kamu datang,” lanjut Leo, “dan kamu tidak tertarik dengan semua itu. Kamu bahkan berusaha menjauh. Itu membuatku merasa… nyata.”

Amara tertawa pelan. “Kamu tahu betapa anehnya kedengarannya? Pewaris perusahaan raksasa, duduk di ruang latihan pameran kampus, membicarakan rasa sepi.”

“Tapi itulah kenyataannya. Aku hanya manusia, Amara.”

Amara menarik napas panjang. “Kalau begitu, beri aku ruang untuk memahami duniamu. Aku tidak ingin jatuh cinta pada ilusi. Aku ingin mengenal Leo—yang asli, yang kadang ragu, yang kadang takut. Bukan Leo yang selalu tampak sempurna.”

Leo menatapnya, lama sekali. “Deal. Tapi dengan satu syarat.”

“Apa?”

“Kamu juga harus membiarkanku mengenal kamu. Bukan hanya mahasiswi cerdas dari Indonesia yang selalu punya jawaban. Tapi Amara—yang pernah kecewa, yang pernah ragu, yang masih belajar percaya.”

Amara mengangguk pelan. “Baiklah.”

Dan untuk pertama kalinya sejak bekerja bersama, mereka tertawa—lepas, ringan, seperti dua manusia biasa yang tak sedang memikul nama atau harapan siapa pun.

Hari puncak festival tiba dengan lampu warna-warni dan suhu yang menusuk tulang. Aula utama dipenuhi booth budaya dari berbagai negara, pertunjukan musik, dan galeri seni. Amara mengenakan kebaya modern berwarna krem keemasan, rambutnya disanggul sederhana. Leo, dengan jas hitam dan dasi batik pemberian panitia, berdiri di sampingnya saat sesi pembukaan dimulai.

“Siap beraksi, duta internasional?” bisik Amara, senyum geli di wajahnya.

Leo membalas dengan lirikan iseng. “Siap kalau kamu di sampingku.”

Mereka berdiri di atas panggung kecil, menyapa ratusan penonton dengan bahasa Jerman dan Inggris. Tapi yang lebih penting, mereka akhirnya berdiri berdampingan—bukan hanya di atas panggung, tapi dalam kenyataan.

Namun di sela riuh tepuk tangan dan denting musik, ada satu pasang mata yang memperhatikan dari kejauhan.

Seorang wanita muda berambut pirang sebahu, mengenakan mantel mahal dan menatap Leo tanpa senyum. Di tangannya, sebuah ponsel aktif merekam momen itu. Ia berbisik pada seseorang di sebelahnya.

“Lihat siapa yang sedang bermain cinta di negeri orang.”

Dan tanpa disadari Amara dan Leo, badai dari masa lalu Leo mulai bergerak mendekat, perlahan namun pasti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 88 - Luka yang Disembunyikan

    Suasana kampus seakan berubah menjadi arena bisikan. Di koridor panjang yang biasanya dipenuhi tawa, kini setiap langkah Elena diiringi lirikan dan bisik lirih yang menusuk. Sebagian menatapnya dengan penasaran, sebagian lain dengan sinis.“Katanya Axel meninggalkan gala demi dia…”“Celeste sampai memutuskan kontrak sponsor, loh…”“Gila, gadis itu berani banget menentang keluarga Celeste.”Elena mendengar semuanya, tapi ia berjalan tanpa memperlambat langkah. Buku catatan di tangannya menjadi tameng diam yang melindunginya dari suara-suara jahat itu. Ia tahu rumor itu bukan sekadar gosip, Celeste yang menyebarkannya.Celeste Van Heeren. Mahasiswi kaya raya pewaris yayasan donor kampus, pemil

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 87 - Di Balik Munich

    Langit Munich sore itu berwarna keperakan, seolah menyatu dengan gedung-gedung tua yang berjajar di sekitar aula konferensi internasional. Di dalam ruangan besar penuh peserta dari berbagai negara, Elena berdiri di atas panggung dengan jas putih, papan presentasi di belakangnya berisi data kompleks tentang sistem energi berkelanjutan yang dikembangkan dari sisa proyek Aetheris.Suara Elena lembut tapi tegas, seperti nada yang terlatih dari keberanian dan pengalaman. “Kami percaya bahwa sumber energi masa depan bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral pada bumi.”Kalimat itu menggema, memantul ke dinding marmer aula, membuat beberapa kepala menoleh kagum. Namun di antara kerumunan penonton, ada sepasang mata yang menatapnya dengan cara berbeda — bukan sekadar bangga, melainkan penuh perasaan yang sulit disembunyikan. Axel.Ia datang tanpa undangan resmi. Meninggalkan gala besar yang diselenggarakan oleh keluarga Celeste, dengan alasan mendadak pada sekretaris

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 86 - Keberangkatan

    Musim gugur Berlin datang perlahan, daun-daun mulai memudar menjadi kuning pucat, udara terasa lebih tajam, dan jalanan kampus dipenuhi aroma kopi yang menenangkan. Tapi di antara keseharian yang tampak biasa itu, ada sesuatu yang berubah.Nama Elenakini terpampang di papan pengumuman internasional: Finalist of Global Energy Future, Munich. representing Humboldt Universität zu Berlin.Sorak sorai terdengar di aula kampus pagi itu. Beberapa mahasiswa menyalaminya, dosen-dosen tersenyum bangga. Namun di balik senyum Elena, ada tatapan tenang yang tak banyak bicara. Ia tahu perjalanan ini bukan sekadar kompetisi. ini adalah ujian, baik bagi dirinya maupun bagi hubungan yang diam-diam ia jaga bersama Axel.Di bengkel laboratorium tem

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 85 -Tatapan di Balik Sorotan

    Sinar lampu studio memantul di kaca gedung Fakultas Teknik Berlin saat Axel keluar dari ruang rapat yayasan. Langkahnya berat, pikirannya berisik. Di tangannya masih tergenggam proposal riset yang baru saja disetujui Celeste, proyek “Neural Quantum Core,” yang sebenarnya adalah modifikasi dari rancangan awal Elena.Ia tahu Celeste tidak mencuri secara langsung. Ia hanya “menyesuaikan arah proyek yayasan.” Namun di balik kata-kata manis itu, Axel bisa merasakan aroma manipulasi yang halus tapi tajam.“Bagus sekali idemu, Axel,” ucap Celeste tadi di ruang rapat, dengan senyum yang kini terus terngiang di kepalanya. “Tapi agar proyek ini layak didanai, aku rasa kita harus menyesuaikannya sedikit… kau tahu, demi nama baik yayasan.”“Menyesuaikan,” pikir Axel kesal. Itu bukan penyesuaian, itu pengambilalihan.Hari mulai sore ketika ia berjalan melintasi taman kampus. Dari kejauhan, ia melihat Elena sedang duduk di bawah pohon maple, laptop terbuka di pangkuannya, dikelilingi tumpukan kerta

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 84 - Meja Makan dan Panggung Kekuasaan

    Dua minggu berlalu sejak pesta di rumah keluarga Reinhardt, dan gosip tentang kedekatan Axel dan Celeste belum juga mereda. Bahkan kini media kampus menulis artikel opini tentang “Dua Otak Brilian yang Akan Mengubah Dunia Sains Jerman.”Judul itu, disertai foto mereka berdua sedang duduk dalam seminar, menjadi perbincangan hangat di kantin dan aula fakultas.Namun di tengah semua hiruk pikuk itu, Elena memilih diam bukan karena kalah, melainkan karena ia sedang menyusun langkahnya sendiri.Ia tidak membalas dengan komentar, tidak mencari pembelaan, tidak membuat drama. Ia justru memusatkan energinya pada kompetisi nasional “Future Energy Challenge” ajang prestisius tempat mahasiswa seluruh Jerman mempresentasikan riset energi bersih. Proyek yang ia kembangkan bersama tim kecilnya, Aurora Cell, merupakan teknologi penyimpanan energi berbasis fotosintesis buatan.Namun siapa sangka, dewan juri kompetisi itu kini disponsori oleh Yayasan Reinhardt tempat Celeste duduk sebagai dewan kehorm

  • Cinta Dalam Riuh Salju   Bab 83 - Bayang kedua

    Sejak konferensi di Zurich, nama Celeste makin sering terdengar di lorong kampus. Ia bukan sekadar mahasiswi baru biasa, ia adalah pewaris yayasan riset terbesar di Berlin, cucu dari industrialis legendaris Jürgen Reinhardt. Kehadirannya membawa aura yang membuat banyak orang ingin dekat, tapi juga hati-hati untuk tidak menyinggungnya.Dan tentu saja, gosip paling hangat yang beredar di antara mahasiswa adalah kedekatannya dengan Axel mahasiswa paling jenius sekaligus paling tertutup di fakultas teknik.Axel tak pernah benar-benar mencari perhatian. Namun sejak Celeste mulai sering muncul dalam acara riset, atau sekadar “menitipkan berkas” ke laboratorium tempat Axel bekerja, gosip itu tumbuh dengan cepat. Ia tahu bagaimana media sosial kampus bekerja, satu foto, satu senyum, bisa memicu badai yang sulit dikendalikan.Namun masalahnya, keluarga Axel memiliki hubungan lama dengan keluarga Celeste. Ibu Axel, Irene Krauss pernah bekerja sama dengan keluarga Reinhardt dalam proyek pengemba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status