Share

Chapter 6

“Ilya...,” panggil Adra sambil menyentuh pundak wanita itu.

Pelukan itu berakhir, membuat mereka saling menatap begitu dalam. Hasrat Adra muncul, tangannya menyentuh wajah Ilya dengan lembut. Lalu mulai mendekatkan wajahnya.

Ilya terlihat gugup, memutar bola matanya kesana kemari. Dia khawatir jika nanti dirinya ikut hanyut. Ilya memalingkan wajahnya, isyarat jika dirinya belum siap atau tak mau menerima sebuah ciuman dari Adra.

Adra terhenyak, sadar akan tindakannya itu. Maka dengan penyesalan dia mundur menjauh.

“Maaf kalau aku lancang dan tak sopan,” ucapnya pelan sambil tertunduk menyesal.

Ilya yang wajahnya masih merona tampak malu-malu, sebenarnya dia senang diperlakukan seperti itu. Ternyata Adra sangat baik, secara tak langsung dia menghargai Ilya sebagai wanita. Ilya sendiri paham akan keinginan Adra sebagai seorang laki-laki, tapi bagaimana pun dirinya masih belum siap. Ada alasan tersendiri, dia masih ragu.

Ilya berjalan mendekati Adra. Tersenyum sesaat lalu mengulurkan tangannya ke dagu Adra.

“Tegakan wajahmu,” ucap Ilya. Saat Adra menatap wajahnya, dia menggeleng pelan.

Wajah Adra memanas, menahan perasaan tak menentu yang membuat detak jantungnya terpacu lebih cepat. Dia tak punya pengalaman sama sekali dalam menghadapi seorang wanita. Bahkan jika tadi dia berhasil mencium Ilya, itu akan menjadi ciuman pertamanya. 

Entah mengapa prinsip hidup Adra perlahan berubah ketika mengenal Ilya. Dirinya yang dulu tak peduli tentang perasaan, kini mulai memudar. Kekuatan hati menahan apa yang dia lihat dengan mata kutukan itu juga perlahan melemah. Adra yang dulu selalu bisa tetap tegar dengan apa pun yang dia lihat. Tapi selama seminggu ini adalah bukti nyata bahwa hatinya mulai mencair. Bukan karena teringat masa lalunya saja, sebenarnya Adra mulai membuka hati pada lingkungan. Kenapa? Adra sendiri tak mengerti. Bertahun-tahun hatinya terlatih untuk tetap tegar dan kuat, tapi kini semua itu seakan sia-sia.

“Adra,” panggil Ilya.

Adra tersadar. Dia melihat wajah Ilya yang tampak marah, tapi justru sangat lucu.

“Ngelamunin apa kamu?!”

Adra tersenyum, dia merasa sangat bahagia bisa mengenal Ilya. Wanita itu mampu merubahnya menjadi lebih hidup.

“Aku penasaran sama umur kamu, Ilya,” ucap Adra santai.

Sontak Ilya terkejut dan langsung memalingkan wajahnya.

“Memangnya kenapa?”

Suara Ilya terdengar kesal, tapi itu justru semakin membuat Adra terpikat.

“Kamu lebih tua kan dari aku?” tanya Adra lagi.

Ilya melirik Adra, ketika melihat Adra dia kembali memutar bola matanya. Ada perasaan kesal dan malu yang tak tertahankan.

“Coba jelaskan kenapa kamu begitu cantik? Banyak wanita di luar sana, kenapa aku merasa lebih gugup ketika menatapmu. Selama ini aku hidup menjauh dari semua orang, lari seperti pengecut. Hidup bagiku sudah sangat berat dan kejam, tapi tetap kujalani tanpa meminta perhatian orang lain. Lalu kenapa sekarang aku merasa sangat lemah ketika mengenalmu, kenapa rasanya aku sangat membutuhkanmu, kenapa Ilya? Perasaan ini tak seharusnya kurasakan, aku tau posisiku di mana, tapi–”

“Adra...”

Suara Ilya bergetar, membuat Adra terhenyak dan penasaran. Dia mendekat, menatap wajah Ilya yang tadi sempat disembunyikan.

Adra melihat wajah Ilya yang sudah basah lagi oleh air mata.

“Maaf, aku sangat tersiksa akan perasaan ini,” ucap Adra lirih.

Dia sudah tak peduli tanda kematian yang ada pada diri Ilya. Siapa pun tak punya hak untuk menghentikan Adra, sekali pun itu adalah takdir. Jika benar nanti Ilya akan pergi meninggalkan dirinya, Adra sudah siap sejak memeluk tubuh Ilya tadi. Dia siap hancur berkali-kali asalkan perasaannya tersampaikan.

Tiba-tiba mata Ilya terbuka lebar, seakan sadar akan sesuatu. Lalu tanpa ragu dia mendekatkan wajahnya, mencium bibir Adra dengan perasaan kacau.

Adra sangat terkejut, kali ini dirinya yang tak siap. Tapi wanita itu terus saja melanjutkannya dengan mata terpejam. Perlahan Adra mulai terhanyut, ada sebuah kehangatan yang terbagi untuk keduanya. Sesaat waktu seperti melambat, momen yang tercipta begitu manis. Lalu mereka mengakhirnya dengan lembut, kening mereka bertemu. Saling menatap dan tersenyum. Adra mundur beberapa langkah, tak ada niat lain. Dia merasa ini sudah cukup dan dia merasa sangat lega.

“Kamu mencuri ciuman pertamaku,” ucap Adra dengan nada angkuh.

“Hah!” decak Ilya terkejut, “Selama ini kamu belum pernah menyentuh wanita?”

Adra menggeleng pelan lalu tersenyum.

“Aku lebih takut kehilangan dari pada menyesal,” ucapnya santai.

Ilya masih belum percaya dan mengamati penampilan Adra dengan seksama. Walau tak begitu tampan, tapi seharusnya pasti ada yang tertarik bukan. Ilya menghela napas, lalu menatap kesal pada Adra.

“Pantes dicium kok cuma diem aja, kaku banget.”

“Loh yang suruh cium siapa? Kok nyalahin aku.”

“Kok kamu jadi nyebelin ya? Siapa suruh bikin kata-kata manis kayak tadi.”

Ilya membalikan tubuhnya karena kesal, lalu mengambil roti kering yang tadi ingin dia siapkan ke piring.

Adra berjalan mendekat, membalikan tubuh Ilya. Mereka sekali lagi saling memandang, Adra menghapus air mata di wajah Ilya dan membersihkan bibir Ilya dari serpihan-serpihan kecil roti kering.

“Kalau makan jangan berantakan,” ucap Adra pelan.

Bibir Ilya mengerucut sebal.

“Kamu mau aku cium lagi?!”

Mendengar itu Adra jadi salah tingkah sendiri. Kenapa respon wanita itu justru kesal, Adra hanya mencoba memberikan perhatian.

“Jangan, nanti kalau aku berubah jadi singa gimana? Kamu mau aku gigit? Udahlah, yuk duduk aja. Kamu buatin aku teh kan, mana?”

Ucapan Adra sekali lagi meluluhkan hati Ilya dan membuat perasaan kesalnya lenyap seketika. Maka Ilya pun menurut, duduk manis sambil merapikan rambutnya. Adra paham dan langsung mengambil dua gelas teh yang tadi sudah disiapkan oleh Ilya. Lalu menaruhnya di atas meja bersama sepiring roti kering.

Adra pun mengambil kursi dan duduk mendekat pada Ilya.

“Aku minum ya,” ucap Adra. Ilya hanya mengangguk pelan, ada sesuatu yang sedang dia pikirkan. Adra mengutarakan perasaannya, dia pun sama, lalu status mereka sekarang ini apa? Ilya terus bertanya-tanya dalam hati.

“Kamu mikirin apa?” tanya Adra sambil memandang wajah Ilya.

“Aku bingung,” jawab Ilya.

“Bingung kenapa?”

“Kita kan sama-sama suka, terus status kita sekarang apa?”

Mendengar itu Adra terdiam sesaat. Dia sempat melihat tanda kematian di atas kepala Ilya. Pasti akan sangat sulit nanti, tapi perasaan Ilya juga harus dia hargai. Walau nanti Adra yang akan hancur, tapi sekarang ini melihat Ilya tersenyum bahagia adalah hal terpenting. Adra sudah memutuskan, biarpun nanti hatinya akan sangat hancur dan tersiksa, dia tak peduli.

“Biarin aku dapat pekerjaan dulu, setelah itu kita bisa hidup bersama,” ucap Adra lalu meminum tehnya.

“Kamu ngelamar aku?!”

Adra mengangguk pelan. Jujur saja, rasanya Ilya ingin menangis lagi. Dari semua kisah cinta yang pernah Ilya jalani, baru kali ini dia mendengar kesungguhan hati dari seorang laki-laki.

“Kamu serius? Kamu bisa nerima aku yang lebih tua ini, aku udah dua puluh tujuh loh.”

Adra memalingkan wajahnya, menatap Ilya. Tatapan Adra sangat dalam dan serius. Walau semua itu hanyalah kiasan keinginan Adra, tapi jika kali ini takdir bisa berubah maka dia akan bersungguh-sungguh. Perasaan Adra yang tulus bertarung dengan pengelihatan mata kutukannya, sesakit apa pun dia akan selalu bisa melewatinya. Harus, demi Ilya.

“Aku janji,” ucap Adra sambil mengulurkan tangannya menyentuh rambut Ilya dan mengusapnya lembut. Ilya tersenyum haru, hatinya benar-benar bahagia. Dia yakin bahwa Adra akan selalu melindunginya, apa pun yang akan terjadi.

“Kenapa kamu secantik ini, Ilya? Aku kagum dengan dirimu yang selalu ceria dan baik, bahkan pada diriku yang kemarin-kemarin masih asing. Kamu memberikanku rasa perhatian dan kepedulian. Hatiku yang selama ini keras dan tak ingin peduli dengan apa pun atau siapa pun menjadi luluh. Lalu saat tadi aku memelukmu, aku sadar. Aku membutuhkanmu.”

Mata Adra berkaca-kaca, tapi dia menahannya. Justru dia mengusap air mata Ilya yang menggenang. Seperti ini saja Adra sudah merasa bahagia.

“Jangan bikin aku nangis lagi,” ucap Ilya, lalu bibirnya cemberut.

“Lagian kamu udah dewasa, bisa-bisanya kayak gini, sekarang aku jadi tau kan sifat kamu yang kayak anak kecil.”

“Yah ketahuan deh. Ya maaf kalau aku masih kekanak kanakan. Tapi aku masih imutkan, hehehe...”

Ilya tertawa renyah, Adra pun ikut tertawa. Rasanya dunia sudah menjadi milik mereka berdua. Bahkan Adra seakan tak memperdulikan tanda kematian pada Ilya.

“Kamu tau nggak, aku udah suka sama kamu pas pertama kamu ke toko. Kamu kayak misterius gitu, lempeng aja kayak nggak bisa senyum terus aneh lagi,” jelas Ilya kemudian.

“Cuma itu?”

Adra kembali membelai rambut Ilya.

“Aku juga ngerasa sedih pas liat kamu sedih, nggak tau kenapa rasanya nyesek banget. Jadi aku coba hibur kamu, kasih kamu kopi, bantu kamu cari kerjaan. Eh, iya. Aku seneng banget loh kemarin pas kamu aku kasih info pekerjaan. Kamunya semangat banget, rasanya lega gitu.”

Adra tersenyum haru. Jadi seperti itu lah padangan Ilya pada dirinya.

“Kamu baik banget sama aku, Ilya.”

“Terus tadi pas liat kamu kehujanan rasanya sakit banget. Tadi kamu nangis kan pas kehujanan?”

“Iya, maaf ya Ilya,” suara Adra bergetar.

“Kamu tau nggak kalau tadi aku nangis di kamar pas ngambilin baju ganti buat kamu.”

Tangan Adra kembali menyentuh wajah Ilya, mengusap air matanya yang hampir jatuh.

“Maaf, aku bakal jelasin tapi nggak sekarang.”

Ilya mengangguk paham, kemudian dengan malu-malu melirik wajah Adra.

“Adra, aku suka mata kamu. Baru kali ini aku lihat iris mata yang berwarna sedikit kemerahan.”

Deg.

Dada Adra seperti terpukul sangat keras. Sesak, sangat sakit. Namun sekuat hati dia menahannya dan mencoba tersenyum.

“Makasih Ilya,” ucap Adra sedikit terbata. Dia tak ingin Ilya tahu tentang rahasianya, setidaknya untuk saat ini. Tapi cepat atau lambat Adra tetap harus menjelaskannya pada Ilya. Sebelum takdir kematian memisahkan mereka.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status