Share

Chapter 7

12 Oktober 2016

Pintu terbuka, Pak Yudi menyambut Adra dengan ramah.

“Sepertinya keadaanmu sudah membaik hari ini?” tanya Pak Yudi mengamati raut wajah Adra.

“Semangat pagi, pak,” balas Adra santai.

Adra tersenyum lalu mengambil seragam kerja yang sudah dia rapikan semalam.

“Sekali lagi terima kasih,” ucap Adra sambil mengembalikan seragam kerja itu. Pak Yudi menerimanya dengan senang hati.

“Sama-sama.” Pak Yudi mengabil sebuah amplop putih dan menyodorkannya pada Adra, “terimalah, walau tidak banyak. Semoga selanjutnya kamu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan dirimu.”

Adra merasa senang dan langsung menerima amplop itu. Dia juga sempat menunduk memberikan hormat.

“Terima kasih, pak. Saya permisi dulu.”

“Iya, silahkan. Aku titip salam sama Ilya ya Adra, tolong sampaikan.”

“Siap pak! Sampai jumpa.”

Setelah keluar dari ruangan Pak Yudi, Adra ingin langsung pergi ke toko Ilya. Tapi seorang dokter perempuan tiba-tiba saja memanggilnya dari belakang.

“Hei kamu!”

Adra berhenti dan menoleh. Dokter itu mengenakan kemeja biru muda dan slim fit pants hitam, sebuah mantel putih terlipat menggantung di tangan kanannya. Dia juga mengenakan tanda pengenal resmi. Tampak masih muda, cantik dan percaya diri layaknya model. 

Dokter itu berjalan mendekat sambil membenarkan kaca mata perseginya.

“Saya?” tanya Adra memastikan.

“Bisa bicara sebentar?”

“Ada apa ya?” Adra masih bingung. Tapi jika melihat dokter itu, sepertinya dia sedang serius.

“Kita bisa ngobrol di kafe sekitar sini, kamu mau?” tawar dokter itu dengan penuh percaya diri. Lalu menyondorkan sebuah kartu nama pada Adra.

Dr. Sa

Spesialis Psikologi

088797696XXX

Tentu saja Adra semakin bingung, sebenarnya apa yang ingin disampaikan dokter psikologi itu pada Adra. Apakah itu hal yang penting? Jika diperhatikan mungkin memang ada hal penting yang harus Adra dengar. Karena hari juga masih pagi, maka Adra pun memutuskan untuk menerima tawaran Dokter Sa.

Adra mengikuti langkah Dokter Sa dari belakang. Mereka keluar dari area rumah sakit dan menuju sebuah kafe. Sebelum masuk ke kafe itu, Dokter Sa sempat memalingkan wajahnya pada Adra. Dia tersenyum seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tak jadi atau sebuah tanda. Tentu saja hal itu sedikit mengganggu Adra, dia merasa seperti sedang digoda. Tapi rasa penasaran telah menguasai diri Adra, membuatnya kini terduduk di bangku pelanggan, berhadapan dengan Dokter Sa. 

Tak lama kemudian seorang pelayan mendatangi mereka. Saat menoleh, Adra sangat terkejut melihat Alia yang tampak gugup dan menghindari tatapannya.

“Alia!” sentak Adra membuat seluruh pengunjung di kafe mengalihkan padangannya pada Adra.

Alia terlihat menutupi wajahnya dengan note kecil yang dia bawa.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Adra menahan emosinya.

“Ker–ja kak,” jawab Alia terbata karena takut, “aku bisa jelasin nanti kalau kerjaanku udah selesai.”

“Kamu ini benar-benar ya,” Adra menahan amarahnya yang hampir meledak dan Alia hanya tersenyum kecut sambil memberikan pose iseng. Jika tak bersama Dokter Sa, pasti Adra sudah menyeret Alia keluar.

“Hem,” gumam Dokter Sa membuat Adra sadar akan sesuatu.

“Bisa kita pesan sekarang?” ucap Dokter Sa sambil menatap Adra dan Alia bergantian.

“Dua Cappucino,” ucap Dokter Sa sambil menatap Adra. Mendapat tatapan serius, Adra sedikit salah tingkah dan hanya bisa mengangguk pelan.

Alia diam-diam tersenyum dan mulai menjaili kakaknya itu.

“Pacar kakak cantik banget deh,” bisiknya pada Adra.

Seperti tersengat listrik, Adra menatap Alia dengan tajam dan kesal.

“Urusan orang dewasa, anak kecil nggak boleh ikutan, udah sana,” ucap Adra kesal.

Alia beranjak pergi dan sesaat kemudian kembali dengan membawa dua gelas cappucino.

“Selamat menikmati, jika ada yang ingin dipesan lagi anda bisa memanggil saya, permisi.”

Melihat gestur Alia dan kecakapannya itu membuat Adra sedikit kegum. Sejujurnya dia juga sangat lega, karena Alia ternyata baik-baik saja. Apalagi dari tadi dia lihat Alia seperti sangat menikmati pekerjaannya sebagai seorang waiters.

Dengan isyarat tangan Dokter Sa mempersilahkan Adra untuk meminum cappucinonya.

“Jangan terlalu kaku, santai saja. Aku hanya ingin mengobrol ringan denganmu,” ucap Dokter Sa sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari mantel putih yang dia letakan di atas paha.

Adra sedikit terkejut, tapi tetap mencoba untuk biasa saja. Lagi pula apa salahnya seorang dokter perempuan merokok.

“Aku suka mata merahmu itu,” ucap Dokter Sa setelah menyalakan sebatang rokok.

Mendengar itu Adra seperti tersambar petir. Apakah wanita di depannya ini tahu sesuatu tentang mata kutukannya. Pikiran Adra mulai melayang ke mana-mana, menerka-nerka apa maksud Dokter Sa berkata seperti itu. Dia suka dengan Adra? Bukan, sepertinya bukan tentang masalah tertarik atau sejenisnya. Pujian itu terdengar seperti sebuah penekanan awal untuk hal yang lebih rinci.

“Maksudnya?” tanya Adra.

Dokter Sa mengambil asbak di bawah meja. Dia membuang abu rokoknya lalu menghisapnya dengan mata terpejam.

“Matamu itu melihat yang seharusnya tidak kau lihat bukan?” ucap Dokter Sa. Matanya menatap sangat tajam, menunggu jawaban dari Adra.

Mata Adra terbuka lebar, kepalanya seperti tersengat listrik. Kenapa dia bisa tahu? Pertanyaan itu memenuhi pikiran Adra, mengakar pada pertanyaan-pertanyaan lain yang semakin rumit. Apakah Dokter Sa bisa membantu, membuat Adra normal?

“Kenapa kamu bisa tau,” ucap Adra sangat pelan, takut jika pembicaraan mereka terdengar oleh orang lain.

“Lihatlah dengan teliti pada mataku, Adra,” ucap Dokter Sa. Suaranya terdengar menggoda dan sangat memikat.

Entah apa yang terjadi, Adra seakan terhinoptis oleh mata Dokter Sa yang pupilnya berubah warna menjadi merah darah. Lalu sebuah senyuman licik merekah di wajah wanita itu.

“Aku sama sepertimu, Adra. Kita ditakdirkan seperti ini, apakah kamu tertarik denganku?”

Dokter Sa beranjak mendekat, duduk di samping Adra.

“Mendekatlah, aku sangat tertarik padamu.”

Adra seperti tak sadar akan apa yang sedang terjadi, bahkan tatapannya pun terlihat kosong.

Tanpa membuang waktu, Dokter Sa memulai aksinya. Mencium bibir Adra dengan sangat agresif. Dalam kesadarannya Adra seperti terbang dalam sebuah ruang yang penuh akan gambaran masa lalunya. Semua kejadian-kejadian itu, dirinya yang menyedihkan. Terus dan terus, Adra mulai tersiksa dan berteriak tak jelas. Lalu samar-samar terlihat Dokter Sa yang mendekat mengulurkan tangannya.

“Menyatulah bersamaku dan kau akan merasa tenang,” ucap Dokter Sa, kemudian menyeringai licik.

Adra yang sudah putus asa mulai mendekat, ingin menyambut uluran tangan Dokter Sa. Tapi tiba-tiba sosok Alia muncul dan menampar Adra cukup keras.

Yang terjadi sebenarnya adalah Alia menghentikan ciuman Dokter Sa pada Adra. Dia merasa tak terima melihat kakaknya diperlakukan seperti itu, apalagi di tempat umum.

“Kenapa?” tanya Dokter Sa berdiri menantang Alia.

Terlihat Adra sudah tersadar dan memegangi kepalanya yang pusing. Lalu entah mengapa padanganya mulai kabur dan Adra pun tak sadarkan diri.

“Pergi dari sini, keluar!” teriak Alia sangat marah, bahkan tangannya sudah tak tahan untuk menampar wanita itu.

“Cih, dasar pengganggu,” decak Dokter Sa dalam hati. Lalu menatap Adra yang sudah tak sadarkan diri.

“Kamu tuli atau apa hah!” teriak Alia lagi, “keluar!!”

Dengan berat hati Dokter Sa mengalah dan pergi. Semua pelanggan yang ada di kafe itu melihat ke arah Alia dengan tatapan aneh. Tapi dia sama sekali tak peduli, kakaknya lebih penting dari apa pun. Bahkan jika harus menahan malu seperti saat ini.

Sesaat kemudian seorang pelayan lain datang menghampiri Alia.

“Kamu ada masalah apa? Kenapa berantem sama pelanggan?” tanya teman Alia.

“Mereka ciuman di sini?”

“Terus? Kan banyak yang kayak gitu juga, Lia-Lia kamu ini bikin heboh aja.”

“Masalahnya dia kakak aku,” ucap Alia sambil menunjuk ke arah Adra yang terlihat sedang tidur di atas meja.

“Oh ya? Aku paham sekarang, yang sering kamu ceritain itu kan? Yaudah buat hari ini kerjaan kamu biar dihandle yang lain dulu, kamu urus dia. Kayaknya kecapekan deh itu kakak kamu, sampai ketiduran gitu. Lucu juga sih, masak habis ciuman bisa langsung tidur gitu.”

Alia menatap Adra lekat-lekat. Kenapa tadi kakaknya itu seperti pinsan? Kenapa wanita itu menciumnya? Kenapa hatinya seperti tak rela?

Sungguh memusingkan. Alia berdecak kesal.

“Makasih ya, lain kali aku traktir makan deh buat gantinya. Oh ya, kalau si bos datang terus nanyain, bilang aja aku baru nggak enak badan.”

“Siap!”

Lalu teman Alia itu pergi.

“Ngapain sih kakak bisa sampai kenal sama cewek kayak gitu, ditinggal dua bulan aja kayak gini. Haduh,” gumam Alia sambil duduk di samping Adra.

Alia mencoba membangunkan Adra dengan suara pelan. Tak ada respon, bahkan kakaknya itu seperti sedang bermimpi indah dan tak ingin bangun.

“Kebiasaan deh,” gumam Alia kesal sendiri.

Tanpa berpikir dua kali, Alia langsung menggoyang-goyangkan tubuh Adra.

“Ada apa sih?” ucap Adra sambil mengerjapkan matanya beberapa kali.

“Alia,” panggil Adra setelah matanya terbuka dan mendapati sosok adiknya tengah memasang wajah kesal.

“Yuk pulang, bikin susah aja kamu ini,” ajak Alia.

Adra terlihat linglung dan hanya menurut saja. Dia tak ingat apa yang tadi terjadi, kepalanya juga masih berdenyut.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status