12 Oktober 2016
Pintu terbuka, Pak Yudi menyambut Adra dengan ramah.
“Sepertinya keadaanmu sudah membaik hari ini?” tanya Pak Yudi mengamati raut wajah Adra.
“Semangat pagi, pak,” balas Adra santai.
Adra tersenyum lalu mengambil seragam kerja yang sudah dia rapikan semalam.
“Sekali lagi terima kasih,” ucap Adra sambil mengembalikan seragam kerja itu. Pak Yudi menerimanya dengan senang hati.
“Sama-sama.” Pak Yudi mengabil sebuah amplop putih dan menyodorkannya pada Adra, “terimalah, walau tidak banyak. Semoga selanjutnya kamu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan dirimu.”
Adra merasa senang dan langsung menerima amplop itu. Dia juga sempat menunduk memberikan hormat.
“Terima kasih, pak. Saya permisi dulu.”
“Iya, silahkan. Aku titip salam sama Ilya ya Adra, tolong sampaikan.”
“Siap pak! Sampai jumpa.”
Setelah keluar dari ruangan Pak Yudi, Adra ingin langsung pergi ke toko Ilya. Tapi seorang dokter perempuan tiba-tiba saja memanggilnya dari belakang.
“Hei kamu!”
Adra berhenti dan menoleh. Dokter itu mengenakan kemeja biru muda dan slim fit pants hitam, sebuah mantel putih terlipat menggantung di tangan kanannya. Dia juga mengenakan tanda pengenal resmi. Tampak masih muda, cantik dan percaya diri layaknya model.
Dokter itu berjalan mendekat sambil membenarkan kaca mata perseginya.
“Saya?” tanya Adra memastikan.
“Bisa bicara sebentar?”
“Ada apa ya?” Adra masih bingung. Tapi jika melihat dokter itu, sepertinya dia sedang serius.
“Kita bisa ngobrol di kafe sekitar sini, kamu mau?” tawar dokter itu dengan penuh percaya diri. Lalu menyondorkan sebuah kartu nama pada Adra.
Dr. Sa
Spesialis Psikologi088797696XXXTentu saja Adra semakin bingung, sebenarnya apa yang ingin disampaikan dokter psikologi itu pada Adra. Apakah itu hal yang penting? Jika diperhatikan mungkin memang ada hal penting yang harus Adra dengar. Karena hari juga masih pagi, maka Adra pun memutuskan untuk menerima tawaran Dokter Sa.
Adra mengikuti langkah Dokter Sa dari belakang. Mereka keluar dari area rumah sakit dan menuju sebuah kafe. Sebelum masuk ke kafe itu, Dokter Sa sempat memalingkan wajahnya pada Adra. Dia tersenyum seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tak jadi atau sebuah tanda. Tentu saja hal itu sedikit mengganggu Adra, dia merasa seperti sedang digoda. Tapi rasa penasaran telah menguasai diri Adra, membuatnya kini terduduk di bangku pelanggan, berhadapan dengan Dokter Sa.
Tak lama kemudian seorang pelayan mendatangi mereka. Saat menoleh, Adra sangat terkejut melihat Alia yang tampak gugup dan menghindari tatapannya.
“Alia!” sentak Adra membuat seluruh pengunjung di kafe mengalihkan padangannya pada Adra.
Alia terlihat menutupi wajahnya dengan note kecil yang dia bawa.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Adra menahan emosinya.
“Ker–ja kak,” jawab Alia terbata karena takut, “aku bisa jelasin nanti kalau kerjaanku udah selesai.”
“Kamu ini benar-benar ya,” Adra menahan amarahnya yang hampir meledak dan Alia hanya tersenyum kecut sambil memberikan pose iseng. Jika tak bersama Dokter Sa, pasti Adra sudah menyeret Alia keluar.
“Hem,” gumam Dokter Sa membuat Adra sadar akan sesuatu.
“Bisa kita pesan sekarang?” ucap Dokter Sa sambil menatap Adra dan Alia bergantian.
“Dua Cappucino,” ucap Dokter Sa sambil menatap Adra. Mendapat tatapan serius, Adra sedikit salah tingkah dan hanya bisa mengangguk pelan.
Alia diam-diam tersenyum dan mulai menjaili kakaknya itu.
“Pacar kakak cantik banget deh,” bisiknya pada Adra.
Seperti tersengat listrik, Adra menatap Alia dengan tajam dan kesal.
“Urusan orang dewasa, anak kecil nggak boleh ikutan, udah sana,” ucap Adra kesal.
Alia beranjak pergi dan sesaat kemudian kembali dengan membawa dua gelas cappucino.
“Selamat menikmati, jika ada yang ingin dipesan lagi anda bisa memanggil saya, permisi.”
Melihat gestur Alia dan kecakapannya itu membuat Adra sedikit kegum. Sejujurnya dia juga sangat lega, karena Alia ternyata baik-baik saja. Apalagi dari tadi dia lihat Alia seperti sangat menikmati pekerjaannya sebagai seorang waiters.
Dengan isyarat tangan Dokter Sa mempersilahkan Adra untuk meminum cappucinonya.
“Jangan terlalu kaku, santai saja. Aku hanya ingin mengobrol ringan denganmu,” ucap Dokter Sa sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari mantel putih yang dia letakan di atas paha.
Adra sedikit terkejut, tapi tetap mencoba untuk biasa saja. Lagi pula apa salahnya seorang dokter perempuan merokok.
“Aku suka mata merahmu itu,” ucap Dokter Sa setelah menyalakan sebatang rokok.
Mendengar itu Adra seperti tersambar petir. Apakah wanita di depannya ini tahu sesuatu tentang mata kutukannya. Pikiran Adra mulai melayang ke mana-mana, menerka-nerka apa maksud Dokter Sa berkata seperti itu. Dia suka dengan Adra? Bukan, sepertinya bukan tentang masalah tertarik atau sejenisnya. Pujian itu terdengar seperti sebuah penekanan awal untuk hal yang lebih rinci.
“Maksudnya?” tanya Adra.
Dokter Sa mengambil asbak di bawah meja. Dia membuang abu rokoknya lalu menghisapnya dengan mata terpejam.
“Matamu itu melihat yang seharusnya tidak kau lihat bukan?” ucap Dokter Sa. Matanya menatap sangat tajam, menunggu jawaban dari Adra.
Mata Adra terbuka lebar, kepalanya seperti tersengat listrik. Kenapa dia bisa tahu? Pertanyaan itu memenuhi pikiran Adra, mengakar pada pertanyaan-pertanyaan lain yang semakin rumit. Apakah Dokter Sa bisa membantu, membuat Adra normal?
“Kenapa kamu bisa tau,” ucap Adra sangat pelan, takut jika pembicaraan mereka terdengar oleh orang lain.
“Lihatlah dengan teliti pada mataku, Adra,” ucap Dokter Sa. Suaranya terdengar menggoda dan sangat memikat.
Entah apa yang terjadi, Adra seakan terhinoptis oleh mata Dokter Sa yang pupilnya berubah warna menjadi merah darah. Lalu sebuah senyuman licik merekah di wajah wanita itu.
“Aku sama sepertimu, Adra. Kita ditakdirkan seperti ini, apakah kamu tertarik denganku?”
Dokter Sa beranjak mendekat, duduk di samping Adra.
“Mendekatlah, aku sangat tertarik padamu.”
Adra seperti tak sadar akan apa yang sedang terjadi, bahkan tatapannya pun terlihat kosong.
Tanpa membuang waktu, Dokter Sa memulai aksinya. Mencium bibir Adra dengan sangat agresif. Dalam kesadarannya Adra seperti terbang dalam sebuah ruang yang penuh akan gambaran masa lalunya. Semua kejadian-kejadian itu, dirinya yang menyedihkan. Terus dan terus, Adra mulai tersiksa dan berteriak tak jelas. Lalu samar-samar terlihat Dokter Sa yang mendekat mengulurkan tangannya.
“Menyatulah bersamaku dan kau akan merasa tenang,” ucap Dokter Sa, kemudian menyeringai licik.
Adra yang sudah putus asa mulai mendekat, ingin menyambut uluran tangan Dokter Sa. Tapi tiba-tiba sosok Alia muncul dan menampar Adra cukup keras.
Yang terjadi sebenarnya adalah Alia menghentikan ciuman Dokter Sa pada Adra. Dia merasa tak terima melihat kakaknya diperlakukan seperti itu, apalagi di tempat umum.
“Kenapa?” tanya Dokter Sa berdiri menantang Alia.
Terlihat Adra sudah tersadar dan memegangi kepalanya yang pusing. Lalu entah mengapa padanganya mulai kabur dan Adra pun tak sadarkan diri.
“Pergi dari sini, keluar!” teriak Alia sangat marah, bahkan tangannya sudah tak tahan untuk menampar wanita itu.
“Cih, dasar pengganggu,” decak Dokter Sa dalam hati. Lalu menatap Adra yang sudah tak sadarkan diri.
“Kamu tuli atau apa hah!” teriak Alia lagi, “keluar!!”
Dengan berat hati Dokter Sa mengalah dan pergi. Semua pelanggan yang ada di kafe itu melihat ke arah Alia dengan tatapan aneh. Tapi dia sama sekali tak peduli, kakaknya lebih penting dari apa pun. Bahkan jika harus menahan malu seperti saat ini.
Sesaat kemudian seorang pelayan lain datang menghampiri Alia.
“Kamu ada masalah apa? Kenapa berantem sama pelanggan?” tanya teman Alia.
“Mereka ciuman di sini?”
“Terus? Kan banyak yang kayak gitu juga, Lia-Lia kamu ini bikin heboh aja.”
“Masalahnya dia kakak aku,” ucap Alia sambil menunjuk ke arah Adra yang terlihat sedang tidur di atas meja.
“Oh ya? Aku paham sekarang, yang sering kamu ceritain itu kan? Yaudah buat hari ini kerjaan kamu biar dihandle yang lain dulu, kamu urus dia. Kayaknya kecapekan deh itu kakak kamu, sampai ketiduran gitu. Lucu juga sih, masak habis ciuman bisa langsung tidur gitu.”
Alia menatap Adra lekat-lekat. Kenapa tadi kakaknya itu seperti pinsan? Kenapa wanita itu menciumnya? Kenapa hatinya seperti tak rela?
Sungguh memusingkan. Alia berdecak kesal.
“Makasih ya, lain kali aku traktir makan deh buat gantinya. Oh ya, kalau si bos datang terus nanyain, bilang aja aku baru nggak enak badan.”
“Siap!”
Lalu teman Alia itu pergi.
“Ngapain sih kakak bisa sampai kenal sama cewek kayak gitu, ditinggal dua bulan aja kayak gini. Haduh,” gumam Alia sambil duduk di samping Adra.
Alia mencoba membangunkan Adra dengan suara pelan. Tak ada respon, bahkan kakaknya itu seperti sedang bermimpi indah dan tak ingin bangun.
“Kebiasaan deh,” gumam Alia kesal sendiri.
Tanpa berpikir dua kali, Alia langsung menggoyang-goyangkan tubuh Adra.
“Ada apa sih?” ucap Adra sambil mengerjapkan matanya beberapa kali.
“Alia,” panggil Adra setelah matanya terbuka dan mendapati sosok adiknya tengah memasang wajah kesal.
“Yuk pulang, bikin susah aja kamu ini,” ajak Alia.
Adra terlihat linglung dan hanya menurut saja. Dia tak ingat apa yang tadi terjadi, kepalanya juga masih berdenyut.
***
“Wah rasanya kangen banget,” ucap Alia begitu memasuki rumah. Dia beranjak kesana kemarin dengan riang, sedangkan Adra langsung menghaburkan tubuhnya ke sofa.Entah mengapa rasanya sangat lelah, padahal hari masih cukup pagi. Adra merasa seperti ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Tapi apa? Dia sama sekali tak mengingat tentang mata merah Dokter Sa dan ciuman dari wanita itu. Terakhir yang dia ingat adalah pergi ke kafe bersama seorang dokter perempuan, lalu secara tak sengaja bertemu Alia. Kemudian dia tertidur? Tidak, Adra menolak logikanya. Pasti ada sesuatu, dia terus bertanya-tanya tanpa mendapatkan jawaban.Sampai akhirnya Alia muncul dengan membawa dua gelas es teh, membuat Adra bangkit dari posisi tidurnya.“Pengertian juga kamu,” ucap Adra langsung mengambil satu gelas es teh dari tangan Alia.Gadis itu cemberut, ingin memaki tapi tak tega. Pasalnya Adra terl
Pagi-pagi sekali Alia sudah bangun dan melakukan pekerjaan rumah. Setelah selesai, dia beranjak ke kamar Adra, mengamati keadaan kakaknya itu.“Kak, aku bersihin badan kamu ya, abis itu kita sarapan.”Adra hanya diam dengan tatapan kosong. Alia semakin kalut dan sedih melihat kakaknya seperti itu. Semalaman Alia berpikir, namun tetap saja tak bisa mengerti dengan apa yang terjadi pada Adra. Jika mengingat masa lalu, Adra memang pernah seperti itu setelah kedua orang tua mereka meninggal. Dan Alia juga yang merawatnya sampai sembuh. Tapi kali ini kasusnya sedikit berbeda. Adra benar-benar tak meresponnya, seakan jiwa kakaknya itu sedang tertidur.Memang benar. Saat ini jiwa Adra tengah masuk dalam memori masa lalunya sendiri. Dia terjebak di sana, tak akan bisa keluar jika tak ada yang datang menjemputnya. Ketakutan dan luka hati yang teramat dalam membuat Adra menyerah dan lebih memilih untuk hidup di kenanga
Ilya mengikuti langkah Alia menuju ke sebuah kamar. Di sana terlihat Adra yang tengah terbaring dengan tatapan kosong. Bahkan tak menghiraukan kedatangan Alia dan Ilya.“Adra...”Suara Ilya bergetar, menahan perasaannya yang mulai kacau. Dia mendekat dengan raut tak percaya. Ada apa dengan Adra? Ilya terus saja bertanya dalam hati.Di ambang pintu, Alia hanya menghela napas. Masih tetap tegar dengan pemandangan sedih di depannya.“Adra...,” panggil Ilya sekali lagi, tapi tetap saja tak ada respon.Lantas Ilya mencoba memposisikan tubuh Adra untuk duduk. Tapi dia justru memeluknya erat, dan tangisnya pun pecah. Terdengar pilu, begitu dalam sampai Alia ikut terbawa suasana.“Adra, kamu kenapa? Aku di sini? Ini aku Ilya. Tolong jangan seperti ini.”Kesadaran Adra yang terjebak pada kenangan masa lalu mulai
16 Oktober 2016Pukul 09:30. Setelah Adra selesai bersih-bersih rumah bersama Alia. Dia memutuskan untuk pergi ke toko Ilya. Entah mengapa dia merasa tak enak dan pikirannya terus tertuju pada Ilya. Apalagi jika ingat akan tanda kematian wanita itu, rasanya Adra tak ingin jauh-jauh darinya, agar bisa melindungi Ilya dari maut. Mungkin hal itu terdengar konyol, tapi bagaimana pun Adra tak ingin berpisah dengan Ilya.Apalagi setelah mendengar perkataan malaikat kematian yang beberapa hari lalu muncul. Sejauh apa pun Adra berpikir, dia tak bisa memungkirinya. Jika ucapan malaikat itu memang benar adanya. Api hitam di atas kepala Ilya sudah semakin besar. Adra tak punya banyak waktu lagi. Jika bisa, Adra akan mengorbankan nyawanya sendiri demi Ilya.Suasana langit pagi tiba-tiba menjadi sedikit murung. Adra bisa merasakan udara di sekitarnya mulai terasa lebih dingin. Dia mendongak, menatap nanar ke jalan raya yang sudah ram
Waktu telah kembali mundur.3 Oktober 2016“Ilyaaa!” teriak Adra terbangun dari tidurnya.Detak jantung Adra begitu cepat, napasnya pun tampak memburu. Keringat dingin memenuhi wajahnya. Dia sempat tertegun sesaat sebelum akhirnya tergesa-gesa mencari ponsel. Begitu melihat tanggal yang tertera di sana, Adra merasa aneh. Antara terkejut dan bingung. Kesadaraannya belum sepenuhnya kembali. Lalu dia merasakan denyutan hebat di kepala, memunculkan ingatan terakhirnya tentang kecelakaan Ilya dan malaikat kematian itu. Adra mengingat apa yang sudah dia sepakati dengan malaikat tersebut, sebuah pertukaran yang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Tapi pada kenyataannya, Adra benar-benar mundur pada waktu yang sudah berlalu.Alih-alih Adra melihat ibu jari tangan kanannya. Ada sebuah goresan, ini nyata. Karena masih ragu maka dia menampar pipinya sendiri.“Aww,” d
Masih pada hari yang sama. Adra sempat pulang, tapi pikirannya terus saja tertuju pada Ilya. Membuat Adra ingin menemuinya lagi.Langit di atas sana mulai menggelap, mendung berkumpul di beberapa sisi. Udara pun semakin terasa dingin saat Adra berdiri menunggu untuk menyebrang. Di tangan kanannya dia membawa sekantong plastik, ini adalah inisiatifnya agar mempunyai alasan jika nanti ditanya oleh Ilya.Tiba-tiba hujan turun cukup deras dan kebetulan lampu hijau juga telah menyala, maka Adra langsung berlari menyebrang. Dia sungguh tak menduga jika akan sedikit basah karena hujan. Sesaat Adra tersadar, dia merasa ini adalah de javu. Waktu itu dirinya juga sempat terguyur hujan sebelum memasuki toko.Kling...Suara lonceng yang khas menyambut Adra saat membuka pintu toko bunga itu. Padangannya langsung tertuju pada Ilya yang sedang tertegun di belakang meja kasir. Wanita itu menatap Adra dengan sebal, l
Dalam perjalanan pulang, Adra mengingat-ingat lagi penampilan laki-laki yang sebentar lagi akan mengalami kecelakaan. Sebelum waktu mundur, pada hari yang sama Adra melihat kematian seorang laki-laki. Kali ini dia ingin memastikan sesuatu. Apakah sebuah takdir bisa diubah? Adra memikirkan tentang teori sebab dan akibat, semua hal saling terhubung dan menciptakan takdirnya masing-masing. Di dalamnya ada sebab dan akibat yang berperan. Adra ingin mencoba menggagalkan kematian laki-laki itu dengan mengubah sebabnya.Adra yang sejak tadi berdiri di ujung trotoar mulai bereaksi ketika melihat seorang laki-laki bejalan tergesa. Iris mata Adra menyala merah. Dia menatap langit di atas kepala orang itu yang mulai menggelap, membentuk lingkaran awan hitam. Kemudian sekelompok gagak keluar dari lubang di tengahnya, mereka terbang memutar seakan sedang menciptakan sebuah arus udara.Sadar akan apa yang nanti akan terjadi, maka Adra mulai berjalan, memp
“Kamu nggak kerja?” tanya Ilya. Setelah merasa kenyang dia tampak malas dan mulai terkantuk-kantuk di atas meja.Adra yang sedang mencuci gelas di wastafel tertegun. Pekerjaan? Adra teringat, harusnya hari ini adalah wawancara terakhirnya, tapi dia memilih untuk menemui Ilya. Baginya pekerjaan bisa dia cari, tapi waktu mungkin tak bisa kembali dua kali. Kesempatan kedua yang Adra dapatkan ini mungkin akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya. Jujur, dia tak ingin sedetikpun jauh dari Ilya. Saat nanti dia pulang pasti juga akan terus terbayang-bayang.“Baru nganggur aku, gagal interview terus. Sekarang cari kerja kayak cari jodoh, susahnya minta ampun,” jelas Adra. Dia mengeringkan tangannya dengan kain, lalu duduk di samping Ilya.Wanita itu tampak terkantuk-kantuk, Adra tersenyum. Lalu mengulurkan tangannya, ingin meraih kepala Ilya.“Boleh nggak aku sentuh rambut kamu?” ta