Beranda / Romansa / Cinta Di Balik Tanda Tangan / Pernikahan Yang tak Diinginkan.

Share

Pernikahan Yang tak Diinginkan.

Penulis: Pita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-07 10:14:16

Aluna menatap pantulan dirinya di cermin besar kamar hotel mewah itu. Gaun putih yang ia kenakan begitu indah terlalu indah untuk sebuah pernikahan yang bahkan tak ia inginkan. Wajahnya dipulas dengan riasan lembut, tapi tak mampu menyembunyikan mata sembab dan sorot ketakutan yang tersembunyi di balik lensa kontak bening.

Di luar kamar, dunia bersorak. Musik lembut terdengar dari aula pernikahan, para tamu sosialita berdatangan dengan senyum dan pujian palsu. Semua tampak sempurna di mata publik.

Tapi bagi Aluna, hari ini adalah mimpi buruk yang tak pernah ia harapkan terjadi dalam hidupnya.

Pernikahan ini bukan karena cinta. Bukan karena keinginan dua hati yang saling memilih. Tapi karena sebuah surat hutang, harga diri keluarga, dan permainan takdir yang kejam.

Seseorang mengetuk pintu. "Nona Aluna, waktunya ke altar."

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang kacau. Kakinya gemetar saat melangkah, seolah tubuhnya tahu bahwa ia sedang berjalan menuju jurang tak dikenal,jurang yang akan membawanya kedalam kesengsaraan yang tak ada ujungnya.

---

Di ujung altar, Leonard berdiri tegak dengan setelan jas hitam yang sempurna. Wajahnya datar, dingin, dan tanpa ekspresi seperti patung marmer yang tak tersentuh waktu. Matanya yang tajam hanya melirik Aluna sekilas, seolah kehadirannya tak lebih dari formalitas.

Aluna berjalan pelan dengan tangan digandeng oleh seorang pria tua, pengacara keluarga yang ditugaskan untuk "mengantarkannya" seolah ia adalah pengantin sejati.

Saat akhirnya berdiri di samping Leonard, ia bisa merasakan hawa dingin dari pria itu. Tak ada senyum. Tak ada bisikan hangat. Bahkan tak ada lirikan rasa penasaran.

Leonard seperti... membencinya.

Upacara dimulai. Kata-kata pastor berlalu seperti angin di telinga Aluna. Ia hanya ingat bagian ketika cincin melingkar di jarinya, dingin seperti hatinya sendiri. Lalu suara Leonard, tenang dan tajam.

"Aku bersedia."

Suaranya terdengar seperti perintah, bukan janji.

Aluna menelan ludah. "Aku... aku juga bersedia."

Sorakan meledak di ruangan. Tapi hati Aluna tetap hening.

---

Beberapa jam kemudian, mereka berada di kamar pengantin tempat yang seharusnya menjadi awal bahagia. Tapi tidak malam ini,tidak bagi mereka berdua.

Leonard melepaskan jasnya tanpa bicara, lalu duduk di sofa. Aluna berdiri kikuk di depan pintu, tak tahu harus ke mana. Ke tempat tidur? Ke sofa? Atau keluar saja?

"Mulai sekarang, kita suami istri di atas kertas. Jangan berharap lebih,dan jangan pernah jatuh cinta kepadaku" ucap Leonard dingin tanpa menatapnya.

Aluna mengangguk perlahan. "Aku tidak mengharapkan apa-apa pun darimu."

Pria itu mendengus kecil. "Bagus. Kita akan hidup di rumah yang sama, tapi jangan pernah ganggu urusanku. Dan jangan berharap aku akan memperlakukanmu seperti istri."

Kalimat itu menampar batinnya. Tapi ia hanya bisa menggigit bibir, menahan air mata yang nyaris jatuh.

"Aku mengerti."

Leonard berdiri, mendekatinya. Matanya menatap tajam, seolah mencoba membaca isi hatinya.

"Aku tidak suka wanita menangis, apalagi wanita lemah yang berpura-pura tegar."

"Aku tidak berpura-pura," sahut Aluna pelan, tapi tegas.

Leonard tersenyum sinis. "Kita lihat saja seberapa lama kamu bertahan."

---

Malam itu Aluna tidur sendiri di sisi tempat tidur besar yang dingin. Punggungnya menghadap Leonard yang memilih tidur di sofa. Ia menatap langit-langit kamar gelap dengan mata terbuka, berpikir tentang masa depannya yang baru saja dijual dengan tanda tangan.

“Apakah ini hidupku sekarang?” pikirnya. “Menjadi istri pria yang bahkan tak ingin menatapku?”

Tapi jauh di lubuk hati, ia bersumpah: ia tidak akan menjadi korban. Ia akan bertahan, tidak peduli seberapa dingin dunia barunya.

---

Di balik layar, Leonard diam-diam menatap punggung Aluna dari kejauhan. Wajahnya tetap datar, tapi dalam pikirannya berputar berbagai pertanyaan.

“Kenapa gadis ini tak memberontak?”

“Kenapa dia terlihat kuat... bahkan ketika aku mencoba menghancurkannya dengan kata-kataku sendiri?”

Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Leonard merasa terusik. Tapi bukan oleh kebencian melainkan oleh rasa penasaran yang tumbuh pelan-pelan… seperti bunga yang mulai merekah di tengah musim dingin.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Tatapan yang mengusik.

    Makan siang itu terasa hambar bagi Aluna. Lidahnya nyaris tak bisa merasakan apa pun meski hidangan di hadapannya tersaji begitu rapi. Ia hanya menunduk, menahan detak jantung yang masih kacau setelah membaca kembali isi kontrak pernikahan mereka.Di seberangnya, Leonard makan dengan tenang. Tidak ada tanda ia menyadari gelisah yang berusaha Aluna sembunyikan.“Kenapa tidak dihabiskan?” tanya Leonard tiba-tiba.Aluna tersentak. “Ah… aku kenyang.”Leonard menatapnya lama, lalu tanpa berkata apa pun, ia mendorong piringnya sendiri sedikit ke tengah meja. “Kalau begitu, jangan memaksakan diri. Tapi minum supnya, supaya tidak masuk angin.”Ucapan itu sederhana, tapi justru membuat dada Aluna semakin sesak. Lelaki itu… seakan perlahan melunturkan dinginnya. Ia takut kalau dirinya tidak lagi sanggup membendung perasaan yang seharusnya terlarang.Sore harinya, Aluna duduk di balkon kamarnya. Angin berembus pelan menerpa wajahnya,Namun ketenangan itu tak bisa menenangkan pikirannya.Kalimat d

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Aturan Yang Mulai Retak.

    Pagi menyapa Mansion mewah itu dengan sunyi. Hanya suara burung dari taman belakang yang terdengar samar. Aluna membuka matanya perlahan, mengingat kembali percakapan semalam dengan Leonard dan sorot mata lelaki itu yang tak bisa ia lupakan. "Aku mulai menyadari, mungkin... menjaga jarak pun tak akan bisa menghapus keberadaanmu dari pikiranku." Kalimat itu kembali terngiang dalam benaknya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat meski ia belum bangkit dari tempat tidur. Ia menarik napas dalam, lalu bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Hari ini, ia bertekad untuk bersikap seperti biasa. Tidak boleh larut dalam perasaan yang belum tentu memiliki arah. Lagi pula, pernikahan mereka adalah kontrak. Ia tak boleh lupa akan hal itu. --- Di ruang makan, Leonard sudah duduk lebih dulu, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Ia tampak lebih santai dari biasanya, tapi aura dinginnya tetap ada. Aluna ragu sejenak sebelum akhirnya duduk di seberang meja. “Pagi,” sa

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Rasa Yang Tak Diundang.

    Tiga hari terasa lambat bagi Aluna. Mansion itu terlalu besar untuk dirinya sendiri, terlalu sunyi, dan terlalu asing meskipun ia sudah tinggal di dalamnya selama hampir dua minggu. Ia mengisi hari-harinya dengan membaca, memasak makanan sederhana meski ada koki di Mansion dan berjalan di taman belakang. Ia menolak untuk hanya menjadi hiasan di rumah mewah itu. Aluna ingin tetap menjadi dirinya. Seorang gadis biasa yang punya mimpi dan logika, walau kini terjebak dalam dunia yang tak pernah ia bayangkan. Namun, malam itu berbeda. Aluna terbangun karena suara hujan deras di luar. Petir menggelegar, dan kilatan cahaya menyinari langit. Ia menatap jendela kamar, berusaha mengusir rasa gelisah. Biasanya, ia tak takut badai, tapi malam ini... entah kenapa dadanya terasa sesak. Ia mengambil ponsel dari meja samping tempat tidur. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Tidak ada kabar dari Leonard sejak malam pertama ia pergi. “Kenapa aku menunggu? Bukankah ini pernikahan palsu?” “Buka

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Di Antara Dua Dunia.

    Hujan malam itu turun semakin deras, membasahi pekarangan Mansion mewah tempat Aluna tinggal sejak statusnya berubah menjadi "istri kontrak." Ia belum terbiasa dengan keheningan megah Mansion itu, belum terbiasa dengan ruang-ruang besar yang terasa kosong dan dingin seperti hati pria yang sekarang menjadi suaminya. Di balik tirai kamarnya yang setengah terbuka, Aluna diam-diam memperhatikan Leonard. Lelaki itu berdiri di balkon kamarnya, mengenakan kemeja putih yang bagian atasnya terbuka. Rambutnya basah oleh rintik hujan, namun ia tak bergeming. Ada kesepian dalam sosok pria itu yang tak bisa Aluna abaikan. Sesuatu yang selama ini ia tutupi dengan dinginnya sikap, dengan tatapan tajam dan kata-kata yang selalu terdengar menyakitkan. Aluna menggenggam jemarinya yang dingin. Ia tahu ia tidak seharusnya peduli. Ini hanya pernikahan kontrak. Tidak ada cinta. Tidak ada keterikatan perasaan. Namun... kenapa hatinya terasa sesak saat melihat lelaki itu tampak begitu rapuh, meski tak m

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Pria Yang Tak Percaya Cinta.

    “Dia bukan tipe wanita yang bisa di miliki.” Ucapan itu tiba-tiba muncul dari bibir Leonard saat tengah berbincang dengan Andrew, sahabat sekaligus asistennya, di ruang kerja kantor pusat Alvaro Group. Andrew menaikkan alis. “Kau berbicara tentang istrimu sendiri?” Leonard tak menjawab. Pandangannya lurus ke luar jendela kaca, menatap langit Jakarta yang kelabu. Angin hujan mengguyur jendela, seolah mencerminkan kekacauan dalam pikirannya. “Dia berbeda,” ucapnya akhirnya. “Terlalu tenang, terlalu sabar… dan terlalu kuat untuk wanita yang hidup di bawah bayanganku.” Andrew tersenyum tipis. “Kau takut jatuh cinta, Leo?” Leonard menoleh dengan tatapan dingin. “Cinta tidak pernah membuat siapa pun menang. Cinta itu hanya kelemahan yang bisa membuat orang bertekuk lutut,dan aku tidak percaya dengan cinta." Andrew hanya mengangguk karena ia tau jika leonard adalah pria yang tak pernah percaya dengan cinta,bagi leonard cinta hanyalah sebuah perasaan yang tak ada artinya. --- Sement

  • Cinta Di Balik Tanda Tangan   Rumah Tanpa Kehangatan.

    Mansion itu terlalu besar untuk dihuni dua orang. Begitu Aluna melangkah masuk ke dalam mansion keluarga Arsenio, ia merasa seolah terjebak dalam istana es. Dinding marmer putih memantulkan cahaya dingin, dan lorong-lorong sunyi menyambutnya tanpa kehangatan. “Ini kamar anda,” ucap pelayan wanita sambil membuka pintu kamar di sayap kanan rumah. Aluna hanya mengangguk. Pandangannya menyapu seisi kamar luas, elegan, tapi kosong. Tak ada satu pun sentuhan yang menunjukkan ‘rumah’. Tak ada warna-warna hangat, tak ada figura keluarga. Semuanya hanya perabot mewah tanpa jiwa. Di belakangnya, Leonard berdiri sambil menyilangkan tangan. “Atur batasmu. Jangan masuk ke area pribadiku tanpa izin.” Aluna menoleh perlahan. “Aku tidak berniat mencampuri hidupmu.” Mata mereka bertemu. Sekilas. Tapi cukup bagi Leonard untuk menangkap ada luka di mata wanita itu luka yang dalam, tapi tak meronta. Luka yang diam-diam sedang menyembuhkan diri. Leonard membuang muka. “Besok pagi kita harus tampil

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status