“Aku tidak mencintaimu. Dan pernikahan ini... tak lebih dari transaksi.”
Kalimat itu menampar Aluna lebih keras daripada tamparan nyata. Ia hanya bisa memandangi pria yang berdiri di hadapannya, tinggi menjulang dengan setelan jas mahal dan ekspresi datar tak berperasaan. Leonard Alvaro Dirgantara. CEO muda, tajir melintir, sekaligus lelaki dengan hati sedingin es. Di hadapannya, tergeletak sebuah dokumen dengan sampul tebal: Kontrak Pernikahan. Tidak ada kata cinta di sana. Hanya angka, durasi, dan aturan yang terdengar lebih mirip penjara daripada pernikahan. “tiga bulan. Setelah itu, kita kembali ke kehidupan masing-masing,” ucap Leonard, membalik halaman pertama. “Kamu akan mendapatkan lima ratus juta rupiah. Dibayar lunas setelah pernikahan berlangsung dan kontrak ditandatangani.” Aluna menggenggam tangannya di atas pangkuan. Jantungnya berdetak tidak karuan. Tidak pernah dalam hidupnya ia membayangkan akan duduk di ruang kantor mewah seperti ini, ditawari pernikahan palsu oleh pria yang bahkan belum dikenalnya sehari penuh. Namun pilihan hidupnya kini sangat terbatas. adiknya sedang dirawat di ruang ICU. Biaya rumah sakit terus membengkak. Utangnya sudah di mana-mana. Dan tidak ada satu pun orang yang bisa ia andalkan selain dirinya sendiri. “Kenapa aku?” tanyanya akhirnya, dengan suara nyaris tak terdengar. Leonard menatapnya dengan tajam. “Karena kamu sangat putus asa untuk mengatakan ‘iya". Aluna terdiam. Kata-kata itu memang menyakitkan, tapi benar. Ia memang sangat putus asa. “Aku tidak mengerti,” ucapnya, berusaha menahan air mata. “Kenapa kamu butuh istri kontrak? Kamu bisa punya siapa saja.Banyak wanita yang pasti rela menikah denganmu." Leonard menghela napas panjang, lalu berjalan ke jendela besar di belakang mejanya. Kota Jakarta terlihat dari sana, ramai dan tak pernah tidur. Tapi pria itu terlihat seperti hidup di dunia yang berbeda sunyi dan beku. “Ibuku sekarat. Dia ingin melihatku menikah sebelum dia pergi,” katanya dingin. “Aku tidak ingin cinta. Aku tidak butuh drama. Aku hanya ingin menyenangkan ibuku untuk terakhir kalinya. Setelah itu, kamu bebas.” Aluna memejamkan mata. Hatinya terasa berat. Pernikahan tanpa cinta?apa dia sanggup? Membiarkan dirinya menjadi ‘istri palsu’ dari pria yang bahkan tidak peduli padanya? Tapi di sisi lain... ada nyawa adiknya yang dipertaruhkan. Ia tidak bisa duduk diam dan melihat adiknya mati hanya karena ia terlalu takut untuk membuat keputusan besar. “Apakah... selama tiga bulan, aku akan tinggal bersamamu?” tanyanya pelan. Leonard mengangguk. “Kita akan tinggal di Mansionku Hanya agar ibuku percaya. Di depan umum, kita akan berpura-pura menjadi pasangan sempurna. Tapi di balik pintu? Aku tidak akan menyentuhmu. Kamu bebas selama tidak membuat masalah,dan kamu bisa melakukan apapun selagi itu tidak merugikanku." Aluna menggigit bibir bawahnya. Rasanya seperti menjual harga dirinya. Tapi saat ia teringat wajah adiknya yang lemah dengan alat bantu pernapasan di sekeliling tempat tidur, ia tahu… ia tidak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, ia meraih pulpen di meja. “Kalau aku menandatangani ini... apa kamu benar-benar akan menanggung seluruh biaya pengobatan adikku?" tanyanya lagi, nyaris seperti bisikan. Leonard menoleh. Tatapannya tajam, dingin, tapi jelas. “Ya. Selama kamu mematuhi kontrak ini.” Tanpa berkata-kata lagi, Aluna menandatangani. Tinta hitam mengalir di atas kertas putih, menyegel nasibnya dalam sebuah perjanjian yang akan mengubah seluruh hidupnya. Saat ia mengangkat wajah, Leonard sudah memalingkan wajahnya seolah semua ini hanyalah urusan bisnis biasa. Tidak ada senyuman. Tidak ada ucapan terima kasih. Hanya ketegangan yang menggantung di udara. “Kita menikah hari minggu ini. Siapkan dirimu." Kalimat itu membuat lutut Aluna lemas. Hari minggu? Itu hanya empat hari lagi. Ia bahkan belum tahu harus memberi tahu siapa. Ia tidak punya banyak teman. Keluarganya pun hanya adiknya seorang. Dan sekarang, ia harus menjadi istri dari pria yang hatinya tak bisa disentuh siapa pun. Saat ia berdiri dan hendak keluar dari ruangan, Leonard kembali berbicara. “Oh, satu hal lagi. Jangan pernah jatuh cinta padaku. Itu akan membuat segalanya menjadi rumit.” Aluna berhenti di ambang pintu. Ia tersenyum pahit tanpa menoleh. “Aku tidak cukup bodoh untuk mencintai pria seperti kamu.” Tapi siapa yang bisa memprediksi hati manusia?Makan siang itu terasa hambar bagi Aluna. Lidahnya nyaris tak bisa merasakan apa pun meski hidangan di hadapannya tersaji begitu rapi. Ia hanya menunduk, menahan detak jantung yang masih kacau setelah membaca kembali isi kontrak pernikahan mereka.Di seberangnya, Leonard makan dengan tenang. Tidak ada tanda ia menyadari gelisah yang berusaha Aluna sembunyikan.“Kenapa tidak dihabiskan?” tanya Leonard tiba-tiba.Aluna tersentak. “Ah… aku kenyang.”Leonard menatapnya lama, lalu tanpa berkata apa pun, ia mendorong piringnya sendiri sedikit ke tengah meja. “Kalau begitu, jangan memaksakan diri. Tapi minum supnya, supaya tidak masuk angin.”Ucapan itu sederhana, tapi justru membuat dada Aluna semakin sesak. Lelaki itu… seakan perlahan melunturkan dinginnya. Ia takut kalau dirinya tidak lagi sanggup membendung perasaan yang seharusnya terlarang.Sore harinya, Aluna duduk di balkon kamarnya. Angin berembus pelan menerpa wajahnya,Namun ketenangan itu tak bisa menenangkan pikirannya.Kalimat d
Pagi menyapa Mansion mewah itu dengan sunyi. Hanya suara burung dari taman belakang yang terdengar samar. Aluna membuka matanya perlahan, mengingat kembali percakapan semalam dengan Leonard dan sorot mata lelaki itu yang tak bisa ia lupakan. "Aku mulai menyadari, mungkin... menjaga jarak pun tak akan bisa menghapus keberadaanmu dari pikiranku." Kalimat itu kembali terngiang dalam benaknya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat meski ia belum bangkit dari tempat tidur. Ia menarik napas dalam, lalu bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Hari ini, ia bertekad untuk bersikap seperti biasa. Tidak boleh larut dalam perasaan yang belum tentu memiliki arah. Lagi pula, pernikahan mereka adalah kontrak. Ia tak boleh lupa akan hal itu. --- Di ruang makan, Leonard sudah duduk lebih dulu, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Ia tampak lebih santai dari biasanya, tapi aura dinginnya tetap ada. Aluna ragu sejenak sebelum akhirnya duduk di seberang meja. “Pagi,” sa
Tiga hari terasa lambat bagi Aluna. Mansion itu terlalu besar untuk dirinya sendiri, terlalu sunyi, dan terlalu asing meskipun ia sudah tinggal di dalamnya selama hampir dua minggu. Ia mengisi hari-harinya dengan membaca, memasak makanan sederhana meski ada koki di Mansion dan berjalan di taman belakang. Ia menolak untuk hanya menjadi hiasan di rumah mewah itu. Aluna ingin tetap menjadi dirinya. Seorang gadis biasa yang punya mimpi dan logika, walau kini terjebak dalam dunia yang tak pernah ia bayangkan. Namun, malam itu berbeda. Aluna terbangun karena suara hujan deras di luar. Petir menggelegar, dan kilatan cahaya menyinari langit. Ia menatap jendela kamar, berusaha mengusir rasa gelisah. Biasanya, ia tak takut badai, tapi malam ini... entah kenapa dadanya terasa sesak. Ia mengambil ponsel dari meja samping tempat tidur. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Tidak ada kabar dari Leonard sejak malam pertama ia pergi. “Kenapa aku menunggu? Bukankah ini pernikahan palsu?” “Buka
Hujan malam itu turun semakin deras, membasahi pekarangan Mansion mewah tempat Aluna tinggal sejak statusnya berubah menjadi "istri kontrak." Ia belum terbiasa dengan keheningan megah Mansion itu, belum terbiasa dengan ruang-ruang besar yang terasa kosong dan dingin seperti hati pria yang sekarang menjadi suaminya. Di balik tirai kamarnya yang setengah terbuka, Aluna diam-diam memperhatikan Leonard. Lelaki itu berdiri di balkon kamarnya, mengenakan kemeja putih yang bagian atasnya terbuka. Rambutnya basah oleh rintik hujan, namun ia tak bergeming. Ada kesepian dalam sosok pria itu yang tak bisa Aluna abaikan. Sesuatu yang selama ini ia tutupi dengan dinginnya sikap, dengan tatapan tajam dan kata-kata yang selalu terdengar menyakitkan. Aluna menggenggam jemarinya yang dingin. Ia tahu ia tidak seharusnya peduli. Ini hanya pernikahan kontrak. Tidak ada cinta. Tidak ada keterikatan perasaan. Namun... kenapa hatinya terasa sesak saat melihat lelaki itu tampak begitu rapuh, meski tak m
“Dia bukan tipe wanita yang bisa di miliki.” Ucapan itu tiba-tiba muncul dari bibir Leonard saat tengah berbincang dengan Andrew, sahabat sekaligus asistennya, di ruang kerja kantor pusat Alvaro Group. Andrew menaikkan alis. “Kau berbicara tentang istrimu sendiri?” Leonard tak menjawab. Pandangannya lurus ke luar jendela kaca, menatap langit Jakarta yang kelabu. Angin hujan mengguyur jendela, seolah mencerminkan kekacauan dalam pikirannya. “Dia berbeda,” ucapnya akhirnya. “Terlalu tenang, terlalu sabar… dan terlalu kuat untuk wanita yang hidup di bawah bayanganku.” Andrew tersenyum tipis. “Kau takut jatuh cinta, Leo?” Leonard menoleh dengan tatapan dingin. “Cinta tidak pernah membuat siapa pun menang. Cinta itu hanya kelemahan yang bisa membuat orang bertekuk lutut,dan aku tidak percaya dengan cinta." Andrew hanya mengangguk karena ia tau jika leonard adalah pria yang tak pernah percaya dengan cinta,bagi leonard cinta hanyalah sebuah perasaan yang tak ada artinya. --- Sement
Mansion itu terlalu besar untuk dihuni dua orang. Begitu Aluna melangkah masuk ke dalam mansion keluarga Arsenio, ia merasa seolah terjebak dalam istana es. Dinding marmer putih memantulkan cahaya dingin, dan lorong-lorong sunyi menyambutnya tanpa kehangatan. “Ini kamar anda,” ucap pelayan wanita sambil membuka pintu kamar di sayap kanan rumah. Aluna hanya mengangguk. Pandangannya menyapu seisi kamar luas, elegan, tapi kosong. Tak ada satu pun sentuhan yang menunjukkan ‘rumah’. Tak ada warna-warna hangat, tak ada figura keluarga. Semuanya hanya perabot mewah tanpa jiwa. Di belakangnya, Leonard berdiri sambil menyilangkan tangan. “Atur batasmu. Jangan masuk ke area pribadiku tanpa izin.” Aluna menoleh perlahan. “Aku tidak berniat mencampuri hidupmu.” Mata mereka bertemu. Sekilas. Tapi cukup bagi Leonard untuk menangkap ada luka di mata wanita itu luka yang dalam, tapi tak meronta. Luka yang diam-diam sedang menyembuhkan diri. Leonard membuang muka. “Besok pagi kita harus tampil