Mag-log inMansion itu terlalu besar untuk dihuni dua orang.
Begitu Aluna melangkah masuk ke dalam mansion keluarga Arsenio, ia merasa seolah terjebak dalam istana es. Dinding marmer putih memantulkan cahaya dingin, dan lorong-lorong sunyi menyambutnya tanpa kehangatan. “Ini kamar anda,” ucap pelayan wanita sambil membuka pintu kamar di sayap kanan rumah. Aluna hanya mengangguk. Pandangannya menyapu seisi kamar luas, elegan, tapi kosong. Tak ada satu pun sentuhan yang menunjukkan ‘rumah’. Tak ada warna-warna hangat, tak ada figura keluarga. Semuanya hanya perabot mewah tanpa jiwa. Di belakangnya, Leonard berdiri sambil menyilangkan tangan. “Atur batasmu. Jangan masuk ke area pribadiku tanpa izin.” Aluna menoleh perlahan. “Aku tidak berniat mencampuri hidupmu.” Mata mereka bertemu. Sekilas. Tapi cukup bagi Leonard untuk menangkap ada luka di mata wanita itu luka yang dalam, tapi tak meronta. Luka yang diam-diam sedang menyembuhkan diri. Leonard membuang muka. “Besok pagi kita harus tampil di depan media. Persiapkan dirimu untuk berpura-pura bahagia.” Aluna tersenyum tipis. “Aku sudah cukup mahir untuk berpura-pura.” Kalimat itu membuat Leonard terdiam sepersekian detik. Tapi ia tak ingin terlihat goyah. Ia hanya berbalik dan pergi tanpa bicara. --- Hari pertama sebagai istri Leonard Alvaro tidak seperti yang dibayangkan orang. Tak ada sarapan bersama, tak ada ciuman di dahi, tak ada ucapan manis. Yang ada hanya jadwal padat, sorotan kamera, dan skenario cinta palsu yang harus mereka mainkan. Di depan media, Leonard menggenggam tangan Aluna. Mereka tampak sempurna. Pria tampan berkelas dan wanita anggun yang memesona. Kilatan kamera menangkap momen saat Leonard merangkul pinggang Aluna, membisikkan sesuatu di telinganya, yang membuat para wartawan bersorak riang. Padahal yang dibisikkan hanya satu kalimat dingin: “Jangan salah gerak. Aku tidak suka kegagalan.” Aluna tersenyum manis, padahal hatinya teriris. Ia tahu permainan ini harus dimainkan dengan sempurna. Jika tidak, ia bukan hanya akan kehilangan harga dirinya tapi juga masa depan adiknya yang sedang dirawat di rumah sakit kecil di pinggiran kota. --- Beberapa hari berlalu. Aluna mulai membiasakan diri dengan rutinitas di rumah Leonard. Ia tidak mengganggu Leonard. Ia menghabiskan waktu membaca, memasak sendiri makanannya karena tidak nyaman dengan makanan pelayan, dan kadang berbincang dengan pelayan tua yang ramah. Namun, tetap saja... kesunyian itu menggigit. Sampai suatu malam, ia mendengar suara bentakan dari ruang kerja Leonard. “Ini bukan angka yang kusetujui! Siapa yang mengubah laporan ini?!” Aluna yang tadinya hanya hendak mengambil teh, terdiam di depan pintu. Suara Leonard membuat jantungnya berdebar. Tapi entah mengapa, alih-alih pergi, ia justru mengetuk pintu dengan ragu. Tok. Tok. “Apa?!” “Aku hanya… ingin memberikan teh.” Pintu terbuka lebar. Leonard menatapnya tajam. “Kamu pikir aku butuh teh saat sedang marah?” “Tidak. Tapi mungkin kamu butuh jeda untuk berpikir lebih jernih.” Ia tahu ia sedang bermain api. Tapi entah kenapa, malam itu Aluna tak mau mundur. Mungkin karena rasa lelah, atau karena hatinya sudah terlalu sering diinjak. Tapi ia ingin Leonard tahu, ia bukan wanita lemah seperti yang dikira. Leonard menatapnya lama. Matanya tak berkedip. Sejenak, hanya suara detik jam yang terdengar. “Letakkan di meja.” Aluna mengangguk dan melangkah masuk. “Siapa kamu sebenarnya?” tanya Leonard tiba-tiba. Pertanyaan itu membuatnya terhenti. “Aku istrimu. Di atas kertas,” jawab Aluna. “Tapi kamu bukan gadis biasa,” gumam Leonard sambil menatap layar laptopnya. “Kamu tidak takut padaku. Kamu tidak berusaha menjilatku. Dan kamu tidak menangis seperti wanita lain yang kukenal.” Aluna tersenyum kecil. “Mungkin karena aku sudah menangis habis-habisan sebelum masuk ke hidupmu.” Mata Leonard perlahan terangkat menatapnya. Ada sesuatu di sana. Bukan kebencian. Bukan kemarahan. Tapi... rasa penasaran. --- Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka berbincang lebih dari dua menit. Bukan tentang media. Bukan tentang kontrak. Tapi tentang hal remeh seperti kopi yang disukai dan buku yang pernah dibaca. Dan untuk pertama kalinya, Leonard tidak terlihat seperti patung marmer yang dingin. Ia seperti manusia. Lelaki muda yang menyimpan banyak luka. Dan Aluna, tanpa sadar, mulai melihat celah kecil di balik tembok tinggi yang dibangun Leonard selama ini. Mungkin… pernikahan ini bukan akhir. Tapi awal dari sesuatu yang lebih rumit. Lebih dalam. Lebih menyakitkan atau mungkin, lebih indah.Sudah tiga hari sejak malam itu.Mansion terasa berbeda sepi, dingin, seperti kehilangan jiwanya.Langkah kaki Aluna dan Leonard jarang bersinggungan; mereka hidup di rumah yang sama, tapi seolah berada di dua dunia yang terpisah.Andrew bisa merasakan ketegangan itu setiap kali ia melintas di antara keduanya.Leonard lebih banyak mengurung diri di ruang kerja, sementara Aluna lebih sering duduk di taman belakang, menatap kolam tanpa benar-benar melihat apa pun.---Pagi itu Aluna duduk di bangku taman dengan selimut di pangkuannya, memegang secangkir teh yang sudah mulai dingin.Ia tahu Leonard memperhatikannya dari jendela lantai dua ia bisa merasakannya. Tapi tidak ada yang mencoba bicara.Hingga akhirnya, langkah berat terdengar mendekat.Suara yang selama ini ia hindari.“Boleh aku duduk?” tanya Leonard pelan.Suara itu terdengar hati-hati, seolah ia takut mengusik.Aluna tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, tapi tidak menolak.Leonard duduk di sampingnya, menyisakan
Hujan turun sejak subuh, menutupi seluruh halaman Mansion dengan kabut tipis.Di balik kaca besar ruang kerja, Leonard berdiri diam, memandangi tetesan air yang berlarian di permukaan jendela.Sementara pikirannya berlari ke masa lalu ke satu luka yang selama ini ia simpan rapat, bahkan dari dirinya sendiri.Pintu ruang kerja terbuka pelan.Andrew masuk dengan langkah ragu, membawa beberapa dokumen di tangannya, Tapi ekspresinya menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan.“Tuan, saya… menemukan sesuatu.”Leonard menoleh, wajahnya datar. “Tentang apa?”Andrew menatap Leonard sejenak sebelum meletakkan amplop kecil di meja. “Tentang keluarga Nona Aluna.”Wajah Leonard berubah.“Apa maksudmu?”“Rumah sakit yang merawat adik Nona Aluna beberapa waktu lalu tempat itu…” Andrew berhenti, seolah takut melanjutkan. “Tempat itu dulu pernah menerima donasi besar dari perusahaan anda. Donasi yang… anda tanda tangani sendiri, lima tahun lalu.”Ruangan mendadak hening.Leonard men
Sudah tiga hari sejak malam itu malam di mana batas antara kewajiban dan perasaan akhirnya lenyap. Tapi yang tersisa justru keheningan.Bukan keheningan canggung, tapi keheningan yang menggantung di antara dua hati yang sama-sama takut.Leonard kembali bersikap seperti semula dingin, teratur, seolah tak ada yang pernah terjadi di antara mereka.Setiap pagi, ia berangkat lebih awal, pulang lebih malam, dan menghabiskan waktu di ruang kerja tanpa banyak bicara.Sementara Aluna… hanya bisa pura-pura tidak peduli.Ia tertawa di depan Andrew, menghabiskan waktu di taman, bahkan mencoba membuat sarapan untuk semua orang di mansion sesuatu yang jarang ia lakukan. Tapi di balik semua itu, ada rasa hampa yang tak bisa ia sembunyikan.Tawa yang dulu muncul tanpa sadar saat melihat Leonard tersenyum kecil… kini hilang entah ke mana.---Pagi itu, Andrew memperhatikan Aluna dari jauh.Ia melihat gadis itu duduk di teras belakang, menatap kolam kecil sambil memegang cangkir teh yang sudah dingin.
Dari balik jendela besar ruang kerjanya Leonard menatap derasnya air hujan yang jatuh. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang sulit ia kendalikan perasaan yang kini tumbuh semakin dalam pada Aluna.Perasaan yang seharusnya tidak ada sejak awal.Ia menegakkan tubuhnya, menarik napasnya panjang, dan mencoba kembali fokus pada dokumen di meja. Tapi setiap kali menatap tinta hitam di atas kertas, pikirannya justru kembali pada wajah Aluna senyum hangatnya pagi tadi, tawa kecilnya saat menggoda Andrew, bahkan cara ia memandang dunia dengan berani meski hidupnya penuh luka.Sial, pikirnya.Ia sudah terlalu jauh."Apa yang harus aku lakukan?sulit untuk menahan perasaan ini terlalu lama."gumam Leonard sembari terus menghela nafasnya.---Sementara itu, di kamar, Aluna duduk di tepi ranjang sambil menatap ke arah pintu yang tertutup rapat. Hujan di luar seperti menggambarkan isi hatinya yang kacau.Sejak beberapa hari terakhir, perhatian Leonard terasa berbeda lebih lembut, lebih
Pagi itu berbeda.Bukan karena matahari lebih cerah dari biasanya, tapi karena ada sesuatu, sesuatu yang membuat Aluna sadar bahwa hari-hari mereka tak lagi sama.Ia menatap dirinya di cermin, rambutnya tergerai lembut di bahu, wajahnya tampak sedikit lebih segar. Tapi yang paling terasa adalah hatinya tidak lagi sesesak dulu.Entah sejak kapan, rasa takut dan canggung yang dulu selalu muncul setiap kali melihat Leonard, perlahan menghilang.Mungkin karena kini, di antara mereka sudah tidak lagi ada jarak yang begitu tebal.Mungkin karena semalam, lewat tatapan dan kejujuran yang tak terucap, mereka sama-sama tahu: ada sesuatu yang berubah.---Leonard menunggu di ruang makan.Ia jarang terlihat santai pagi-pagi begini, tapi hari itu ia hanya duduk sambil membaca koran, tanpa ekspresi tegang yang biasa menghiasi wajahnya.Begitu Aluna datang, ia menurunkan korannya pelan dan tersenyum.“Pagi,” sapanya lembut, berbeda dari biasanya.“Pagi juga,” jawab Aluna, agak kikuk tapi berusaha te
Pagi datang dengan cahaya lembut yang menembus tirai kamar.Aluna membuka matanya perlahan ia menyadari udara di ruangan itu terasa lebih hangat dari biasanya. Ia menoleh ke samping dan Leonard masih tertidur di sofa kecil di ujung kamar, dengan posisi tubuh setengah miring, kemejanya sedikit kusut.Ia tidak tahu sejak kapan pria itu tertidur di sana.Yang ia tahu, semalam hujan tak berhenti, dan mereka berdua berbicara di balkon sampai larut. Tentang masa lalu, tentang ketakutan, dan sedikit… tentang perasaan.Aluna tersenyum kecil. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.Dulu, hanya melihat wajah Leonard saja bisa membuatnya merasa gugup karena jarak yang tak terjangkau. Sekarang, hanya dengan memandangnya, dadanya terasa tenang tapi sekaligus berdebar.Ia berusaha menepis perasaan itu, tapi hati tak bisa dibohongi.Rasa itu ada, dan semakin hari semakin sulit diabaikan.---Leonard perlahan membuka matanya ia menatap langit-langit sebentar sebelum menyadari Aluna memperhatikannya.







