Setumpuk berkas pekerjaan memenuhi meja kerja Ayda yang sedang fokus menjalani hukumannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Ayda masih belum menyelesaikan tugas yang diberikan. Tidak banyak waktu lagi yang Ayda miliki, dengan konsentrasi dan semangat tinggi Ayda berusaha menyelesaikan kembali semua tugasnya.
Akan tetapi, tiba-tiba Ayda teringat bahwa dirinya belum mengabari sang ayah yang pasti mencemaskannya. Tanpa berpikir lama, Ayda pun mencoba menghubungi Rahman untuk memberitahu kalau dirinya akan pulang telat. Namun, entah kenapa Ayda merasa khawatir karena Rahma tak kunjung menjawab panggilannya.
Hingga akhirnya, di percobaan kedua panggilan telepon pun terhubung. “Halo, Ayah dari mana aja sih? Ayda telepon ko lama banget diangkatnya,” keluhnya yang merasa cemas.
[“Ayah sedang di jalan kenanga. Tadi ada orang yang menyewa angkot ayah. Ini baru mau pulang, tapi tiba-tiba angkot ayah mogok. Sekarang ayah lagi mau minta bantuan orang di jalan. Kamu sendiri sudah pulang?”]
“Belum Ayah. Ayda lembur, sebentar lagi juga pulang. Ayah hati-hati ya di jalan,” ucapnya sambil membereskan mejanya yang sangat berantakan.
[“Iya siap. Perlu ayah jemput?”]
Ayda mengulum senyuman. “Tidak perlu Ayah. Lagian juga kan angkot Ayah mogok.”
[Oh iya ayah lupa. Ka-”]
Gubrak!! Tut! Tut!
Panggilan tiba-tiba terputus. Ayda yang sekilas mendengar suara hantaman keras merasa cemas. “Halo ayah … ayah masih bisa dengar suara Ayda kan? Halo … ayah!” erangnya dengan rasa takut dalam hatinya.
Kekhawatiran Ayda semakin menjadi. Ia yakin bahwa sesuatu terjadi pada ayahnya yang menyebabkan panggilan terputus secara tiba-tiba. Tanpa mempedulikan pekerjaannya yang belum selesai, Ayda langsung menyambar tasnya dan berlari keluar kantor.
Sambil terus berusaha menelpon sang ayah, Ayda berusaha mencari kendaraan yang bisa membawanya pergi. Akan tetapi, tidak ada jawaban yang terdengar. Ponsel Rahman bahkan sudah tidak bisa dihubungi lagi. Perasaan Ayda pun semakin tidak karuan. Di tengah jalan yang ramai kendaraan, Ayda menangis.
Di saat seperti ini bahkan tidak ada taksi yang ingin berhenti dan membuatnya semakin merasa frustasi. Dengan lemah, Ayda pun berjongkok sambil membenamkan wajah di antara kedua tangannya.
“Ayo saya antar! Tidak ada masalah yang bisa diselesaikan hanya dengan tangisan,” ucap seseorang yang datang bak malaikat penolong.
“Pak Arya,” lirih Ayda dengan tatapan terkejut.
“Iya ini saya. Kenapa menangis? Biar saya antar pulang,” tutur Arya yang seketika berubah menjadi hangat.
Senyum Ayda pun mengembang. Tidak disangka lelaki yang sangat menyebalkan ini menjadi seseorang yang baik saat dibutuhkan. “Terima kasih, Pak, tapi saya nggak mau pulang. Saya harus mencari ayah saya. Entah kenapa saya ngerasa ada sesuatu yang terjadi padanya. Saya takut, Pak. Saya takut terjadi sesuatu dengan ayah saya,” terang Ayda.
Arya pun mengulurkan tangannya ke arah Ayda. “Saya akan bantu cari ayah kamu. Sekarang masuklah ke dalam mobil saya,” titahnya dan langsung menarik tangan Ayda.
Di tengah keheningan malam, Arya pun melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dalam perjalanan, Ayda terus berdoa untuk keselamatan sang ayah. Arya yang memahami kecemasan Ayda pun berusaha untuk melihat kesana kemari. Jalanan yang mulai sepi memudahkan Arya untuk memantau sekitar jalan.
Hingga akhirnya, Arya melihat keramaian dari kejauhan. “Ada apa ya? Sepertinya ada kecelakaan,” ucapnya sambil memperlambat laju mobilnya.
Tatapan Ayda pun langsung mengarah ke arah pinggir jalan yang berada di sebelahnya. Sebuah mobil angkot yang tak asing bagi Ayda terparki tepat di tepi jalan. “Itu angkot ayah,” pekiknya dan langsung berlari keluar mobil.
Terlihat segerombolan orang sedang melihat korban tabrak lari yang tampak sangat mengenaskan. Ayda yang mengenal jelas angkot ayahnya pun langsung berlari menghampiri kerumunan warga sekitar. Dengan gemetar Ayda berjalan secara perlahan.
Matanya sudah berkaca-kaca dengan tubuh yang seketika terasa lemas. Pemandangan yang mengerikan membuat Ayda tak bisa mengendalikan dirinya. “Ayahhhh!” teriaknya saat tak kuasa melihat orang yang sangat berharga dalam hidupnya bersimbah darah.
***
“Bagaimana keadaan ayah saya dokter?” tanya Ayda dengan mata yang masih terlihat bengkak setelah menangis hampir satu jam lamanya.
“Kondisi pasien sangat kritis. Hasil pemeriksaannya sudah keluar dan pasien mengalami pendarahan di bagian otak. Keadaan ini sangat berbahaya bagi keselamatan pasien, saya menyarankan agar segera dilakukan operasi untuk menghilangkan penggumpalan darah dan mengurangi pendarahannya,” jelas dokter yang terlihat sangat serius.
“O-operasi?” Ayda mengerjapkan matanya dan mundur beberapa langkah. “Kira-kira berapa biaya untuk operasinya? Apa tidak ada cara lain lagi selain operasi?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
Dokter menggelengkan kepala dan memberikan sebuah brosur pada Ayda yang dibawakan oleh suster. “Di sini ada daftar biaya operasinya. Saya harap Mbak bisa mengambil keputusannya dengan segera sebelum terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.”
Ayda menatap kepergian dokter dengan rasa putus asa. Terlebih saat Ayda melihat nominal yang tertera di brosur daftar biaya operasi. “Seratus juta!” pekik Ayda dengan ekspresi syok dan mulut yang sedikit terbuka.
“Lakukan saja operasinya! Masalah biaya itu tidak penting,” ujar Arya yang baru datang setelah membeli minuman.
Sontak Ayda pun menatap emosi ke arah Arya yang tidak memahami masalah apa yang sedang dialaminya. “Hidup saya nggak semudah itu, Pak,” elaknya dan pergi meninggalkan Arya tanpa kata.
Saat ini yang ada di dalam pikiran Ayda adalah bagaimana cara mendapatkan uang untuk operasi ayahnya. Ia berlari menuju taman yang terletak tidak jauh dari rumah sakit. Setelah mengirim pesan pada seseorang, Ayda terdiam di bangku taman dengan pikiran yang kacau.
Tidak pernah terpikirkan untuk Ayda bila sampai kehilangan sang ayah. Apa pun pasti akan ia lakukan demi keselamatan lelaki yang menjadi cinta pertamanya.
“Hai sayang.”
Ayda menengok ke arah sumber suara dan langsung tersneyum lega.
“Ada apa sayang? Bagaimana keadaan ayah kamu sekarang?” tanya lelaki bernama Zayn, kekasih Ayda.
Sebelum menjawab pertanyaan, Ayda lebih dulu memeluk Zayn dengan sangat erat. Zayn yang memahami perasaan Ayda pun langsung membalas pelukan dan mengelus lembut punggung Ayda.
Setelah merasa lebih tenang, Ayda pun melepaskan pelukan dan mencoba mengatakan maksudnya memanggil Zayn untuk datang. “Aku mau bilang sesuatu, sayang. Ayah harus segera di operasi … dan biayanya sangat mahal. Aku ngga tau harus minta tolong ke siapa lagi selain ke kamu sayang,” urainya dengan harapan Zayn akan memahami dirinya.
“Iya sayang, tenang ya. Memang berapa biaya operasinya?” Zayn memegang pundak Ayda untuk menenangkannya.
“Seratus juta.”
“Apaaa?!” pekik Zayn sambil melepaskan pegangannya pada pundak Ayda. “Kamu serius? Biaya sebesar itu untuk operasi ayah kamu? Itu bukan jumlah yang sedikit sayang.” Zayn menggelengkan kepala dan tersenyum getir.
“Iya aku tau itu bukan jumlah yang sedikit, tapi kamu tau kan seberapa pentingnya ayah dalam hidup aku.” Ayda terus berusaha untuk menjelaskan.
Akan tetapi, Zayn tidak mau mendengarkan. “Tidak Ayda. Aku ngga punya uang sebanyak itu,” elaknya.
Ayda yang semula memiliki harapan besar pada Zayn pun mulai merasa ragu. “Iya aku paham, tapi seenggaknya kamu bisa bantu aku kan?”
Zayn terdiam sejenak. “Bantu kamu? Apa yang kamu harapkan dari aku? Kamu harap aku bakal kasih uang tabungan pernikahan aku, iya? Nggak akan Ayda, uang itu sangat berharga untuk aku,” ungkapnya dengan senyum menyakitkan di akhir kata.
“Sangat berharga kamu bilang? Terus kamu pikir keselamatan ayah aku ngga penting buat kamu gitu?” Ayda tertawa dan bertepuk tangan di sela tatapan kecewa. “Hebat ya. Aku ngga pernah mengira kamu akan bersikap seperti ini Zayn!”
Situasi yang semula tenang pun berubah menjadi penuh perdebatan. Zayn tetap pada keputusannya untuk tidak membantu Ayda. Setelah semua waktu yang mereka lalui bersama, Ayda merasa sangat terluka saat melihat seseorang yang selalu ia perjuangkan tak ingin memperjuangkannya.
“Sekarang aku paham satu hal … kamu memang nggak pernah tulus sayang sama aku. Kamu hanya terobsesi dengan pernikahan yang sempurna sampai melupakan aku yang juga ada di dalamnya,” erang Ayda dengan berurai air mata.
“Nggak Ayda kamu salah! Aku tulus sayang sama kamu,” elak Zayn yang masih berusaha menutupi kesalahannya.
Akan tetapi, Ayda sudah sangat muak dengan perdebatan di antara mereka. “Lebih baik kita putus!” tegasnya yang langsung membalikkan badan dan pergi meninggalkan Zayn.
Beratnya langkah kaki tak membuat Ayda menyerah. Tangis yang tiada henti tak menghentikan tekad Ayda untuk kembali bangkit dari masa terpuruknya. Teriakan Zayn yang terus memanggil namanya pun tak akan mengurungkan niat Ayda untuk mengakhiri segalanya.
Dengan sisa harapan yang ada, Ayda terus berjalan kembali menuju rumah sakit. Menyusuri jalan taman yang sepi seorang diri. Hingga tiba di saat Ayda tak mampu lagi untuk berjalan. Di bawah gelapnya malam, Ayda tumbang.
Ia menjatuhkan dirinya sambil terus menangis meluapkan rasa kecewa dalam dada. Kepala yang tertunduk ke bawah tanah menjadi pertanda hancurnya perasaan Ayda. Namun, semesta memang selalu memiliki jalan untuk setiap permasalahan.
Di balik kegelapan, terlihat seseorang datang dan berjalan ke arah Ayda. Langkah demi langkah pun terlewati. Perlahan seseorang itu berjongkok di hadapan Ayda dan mengulurkan tangannya. “Menikahlah dengan saya. Setelah itu, saya akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Termasuk, uang.”
“Me-menikah?” Ayda mengulang kalimat yang membuat syok pikiranya. Lelaki yang sama kembali datang, dengan perkataan yang mengubah keadaan. “Ini bukan saat yang tepat untuk bercanda, Pak,” imbuhnya sambil bangun dari posisinya.“Saya tidak bercanda. Pikirkanlah keadaan ayah kamu dan jangan membuang waktu hanya untuk menangisi lelaki tidak berguna seperti dia,” ujarnya sambil menunjuk ke arah belakang Ayda.Sosok lelaki yang sudah sangat mengecewakan terlihat jelas, Ayda meremas tangannya dan kembali membalikkan badan ke arah lelaki yang sudah memberikan tawaran dadakan padanya. “Baiklah, saya terima.” Dengan gemetar Ayda meraih uluran tangan yang diberikan.Lelaki yang berdiri tegak dengan tawaran dadakan itu adalah Arya pemilik perusahaan ternama. “Pilihan yang bagus, ikutlah dengan saya,” titahnya dan menatap tajam ke arah Zayn yang berdiri tidak jauh di hadapannya.Dengan penuh keyakinan, Ayda melangkahkan kakinya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menoleh ke arah b
Ayda yang menyadari kehadiran dokter pun langsung bangkit dari duduknya. “I-iya dok, saya anak dari pasien yang berada di dalam.”Dokter yang terlihat berumuran sama dnegan ayah Ayda pun menganggukkan kepala. “Operasi pasien berjalan dengan lancar, tapi sepertinya akan membutuhkan waktu lama untuk pasien bisa sadar. Jadi, Mbak sekarang tidak perlu khawatir. Keputusan Mbak untuk segera melakukan operasi ini sudah benar. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat ayah Mbak segera pulih.”Ayda mengulum senyumnya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih banyak dokter,” ucapnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.Perasaan yang semua diliputi rasa khawatir pun akhirnya bisa merasa tenang. Ayda terus mengucap syukur dalam hati. Dokter yang sudah menyelesaikan tugasnya pun berlalu pergi.“Sepertinya harus ada satu orang lagi yang harus kamu beri ucapan terima kasih.”Ayda mengalihkan pandangan dan menatap seseorang yang berdiri tidak jauh dari posisinya. Senyuman yang terl
“Ini kamar kamu dan Arya. Nenek sudah menyiapkan segalanya. Kamu bisa mandi dan bersiap untuk malam pertama kalian,” ucap Darma, nenek Arya yang terlihat sangat menyukai Ayda.“Ma-malam pertama?” Ayda tersenyum gugup saat mendengar dua kata yang membuat jantungnya langsung berdegup kencang.Darma pun ikut tersenyum dan memahami kegugupan yang Ayda rasakan. “Jangan khawatir, Arya adalah lelaki yang lembut. Nenek yakin dia pasti akan memperlakukan kamu dengan baik. Selama ini nenek tidak mengira kalau dia bisa mendapatkan istri yang baik seperti kamu. Selama ini dia selalu menghabiskan waktu untuk bekerja dan bekerja,” urainya yang berusaha untuk membuat Ayda merasa nyaman.Memiliki keluarga yang penuh kehangatan memang menjadi impian dari setiap orang. Ayda bersyukur karena nenek Darma bisa memahami dirinya meskipun belum mengenal lama. “Terima kasih Nek. Ayda senang bisa diterima dengan baik di keluarga ini,” sahutnya dengan senyum bahagia.Tanpa berlama-lama, Ayda pun langsung masuk
“Duhh … sakit banget sih ini badan gue,” keluh Ayda saat merasa sakit di seluruh tubuhnya. Alarm yang berbunyi membangunkan Ayda dari tidurnya. Dengan perlahan ia mengerjapkan mata dan merasa kesulitan untuk bergerak. Sampai akhirnya, setelah sepenuhnya sadar Ayda langsung membelalakkan mata ketika melihat Arya yang tidur tepat di hadapannya. “Aaaa!” teriak Ayda sambil mendorong tubuh Arya dengan sangat kencang.Brukkk!Tubuh yang masih belum mendapatkan kesadaran sepenuhnya pun langsung terjatuh ke lantai setelah mendapatkan serangan dadakan. “Aydaaa!” pekik Arya yang merasa sangat terkejut sekaligus sakit pada tubuhnya.Ayda yang merasa bersalah pun langsung bangkit dari posisi tidurnya dan membantu Arya untuk bangun. Akan tetapi, dengan kasar Arya menolaknya.“Kamu itu bisa ngga sih ngga bikin saya kesal sekali aja! Baru juga nikah sehari sama kamu, tapi badan saya udah remuk semua,” keluh Arya sambil memegang pinggangnya.Sedangkan Ayda yang merasa tidak enak pada Arya pun langsun
“Bapak jahat banget sih nyuruh saya minum jamu yang pahit kayak gini. Saya ‘kan harus kerja, Pak. Kalau pas di kantor saya muntah-muntah gimana?” gerutu Ayda yang masih bisa merasakan pahit di lidahnya.Sedangkan Arya yang sudah mendukung keinginan nenek Darma hanya diam dan tertawa saat melihat ekspresi lucu Ayda setelah meminum jamu yang terasa membingungkan. “Memangnya kamu berani nolak nenek? Semalam juga saya minum. Jadi, sekarang gantian dong. Biar adil,” sahutnya tanpa rasa bersalah.Dengan tatapan intens, Ayda menatap Arya. “Dasar suami durhaka!” gumamnya dalam hati yang tak bisa mengatai suami sekaligus bosnya secara langsung.“Kenapa ngeliatin saya kayak gitu? Kamu pasti mengumpat saya dalam hati ‘kan?” cecar Arya yang seakan mengetahui isi hati Ayda.“Ihh nggak, Pak. Curigaan banget sih. Lagi pula kalau mau mengumpat Bapak saya bisa ngelakuinnya secara langsung kali,” elak Ayda sambil mengalihkan wajahnya ke arah jendela mobil.Perjalanan menuju kantor terasa sangat menegan
"Dimana ya gue nyimpen berkas laporannya. Kalau pak Arya nanyain, gimana? Malah gue belum bikin salinannya lagi,” ucap Ayda sambil melihat setumpuk berkas di atas meja kerjanya.Waktu kerja telah selesai, tetapi Ayda masih harus berada di kantor karena tiba-tiba Arya memberikan pekerjaan tambahan untuknya. Setelah mencari berkas penting yang ingin ia berikan ke Arya, Ayda un merasa frustasi karena tak kunjung menemukannya. Ia terlihat sangat lelah dan panik karena takut kena tatapan menakutkan seperti sebelumnya.“Ayda!” panggil Arya yang sudah berdiri tepat di depan meja Ayda.“Iya, Pak,” sahut Ayda yang langsung bangkit dari duduknya dan menatap Arya.“Dimana berkas yang harus saya tanda tangani? Apa kamu sudah mengeceknya?” tanya Arya yang terlihat sangat menyeramkan saat di jam kerja.Dalam kondisi panik, Ayda pun menganggukkan kepala. “Saya sudah mengeceknya, Pak. Sebentar lagi akan saya berikan ke meja Bapak,” jawabnya yang berusaha bersikap tenang.“Tidak perlu. Saya ingin mena
“Kamu dari mana aja sih Ayda?” tanya Arya yang terlihat kesal karena harus menunggu lama di parkiran.Dengan cepat Ayda pun menutup pintu mobil dan mengenakan sabuk pengaman. “Iya maaf, Pak. Tadi saya habis telpon bibi saya dulu,” sahutnya yang menjawab apa adanya.Tanpa mengatakan apa pun lagi, Arya pun langsung melajukan mobilnya. Terlihat jelas ada sesuatu yang sedang ia pikirkan. Hal itu membuat Ayda merasa ragu untuk mengajak Arya datang ke rumah bibinya. Meskipun masih ada harapan Arya akan bersedia, tetapi membayangkan penolakan membuat Ayda mengurungkan niatnya.Dalam perjalanan pulang, Ayda pun hanya diam dan menatap ke arah jendela. Pikirannya bergelut dengan alasan apa yang bisa ia berikan pada sang bibi yang pasti sudah menunggunya datang. Akan tetapi, Ayda sama sekali tidak memiliki keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Arya.Hingga akhirnya, setibanya di rumah. Ayda pun bergegas turun dari mobil. Niatnya untuk menemui bi Sri pun ia urungkan saat melihat raut w
“Fahri,” ucap Ayda sambil perlahan berjalan mendekati adiknya. Dengan lembut ia mengelus pucuk kepala Fahri dan mengecupnya. “Sudah ya takutnya. Om ini bukan orang jahat ko, kakak juga mengenalnya. Jadi, kamu tidak perlu ketakutan seperti ini ya,” urainya dengan penuh kasih sayang.Arya yang sejak tadi memperhatikan Fahri pun mengernyitkan dahinya. “Apa yang terjadi padanya?” tanyanya sambil menatap Ayda.“Hmm, saya akan jelaskan masalah itu nanti,” balas Ayda sambil memeluk Fahri dan berusaha menenangkannya. Menjadi seorang kakak sekaligus ibu bagi seorang adk bukanlah hal yang mudah. Saat Fahri baru berusia lima tahun, Ayda harus menerima kenyataan pahit kalau kaki kanan Fahri harus diamputasi karena kecelakaan yang dialami.Meskipun berat untuk menerima kenyataan, tetapi Ayda harus terlihat kuat di hadapan malaikat kecil dalam hidupnya. Dengan sepenuh hati Ayda menyayangi Fahri yang membutuhkan perhatian khusus darinya. Terlebih hingga saat ini, Fahri terkadang selalu merasa takut