Bu Nyai Khomsah dan Kyai Baihaki hanya bisa saling melirik satu sama lain. Kedua pasangan yang sudah menginjak usia paruh baya terlihat bingung. Pasalnya dua orang yang biasanya tak pernah bertegur sapa kini jadi mesra dan berdebat terus. "Kok bisa?" bisik Kyai Baihaki. "Umi juga bingung, Bah. Sejak dua hari yang lalu begitu." Bu Nyai Khomsah juga ikut-ikutan berbisik. Beliau lalu melirik kembali pada putra kandung dan putri angkatnya yang sejak satu jam yang lalu saling berdebat membahas konsep kegiatan ziarah wali songo yang akan dilaksanakan satu bulan kemudian. "Gak gini, Luh! Kayak biasa aja.""Kayak biasa gimana, Gus? Pengalaman kemarin dan kemarin kita kerepotan. Jangan pakai jasa ini lagi, gak bagus pelayanannya!""Masa? Kata Bulik—""Njenengan percaya?""Ya kan dia—""Njenengan itu belum ada dua bulan di rumah, makanya jadi orang jangan macam tembok rata atau kulkas dua belas pintu. Katanya jauh belajar ke Kairo. Masa gak bisa lihat banyak yang gak setuju dengan biro pili
Sejak perjalanan ziarah ke makam Wali, Alwi tidak bisa jauh dari Galuh. Setiap transit, entah bagaimana caranya, Alwi selalu saja sudah berada di dekat Galuh. Galuh risih, apalagi godaan selalu datang dari Ratna. "Cieee, disambangin itu sama calon suami, hihihihi.""Apaan sih, Na. Jangan bikin fitnah!""Bukan fitnah, Luh. Eh, lihat tuh! Kayaknya bawain kamu minuman deh hihihi."Ratna menunjuk sosok Alwi yang datang ke arah mereka dengan menenteng plastik putih yang sepertinya berisi makanan atau minuman. Dan benar saja, begitu Alwi sudah berada di depan Galuh dan Ratna, Alwi mengulurkan plastik kresek itu pada Galuh. "Nih, minuman boba. Rasa cokelat kesukaan kamu sama matcha buat Mbak Ratna.""Wah, makasih, Gus. Gus Alwi tahu aja, kan saya jadi ikut seneng."Ratna malah yang langsung menerima uluran kresek putih dari Alwi. Galuh sendiri hanya mengucapkan terima kasih saja. Alwi ingin sekali duduk bersama dengan Galuh sambil menikmati es boba rasa coffe kesukaan tapi kedatangan Alfa
Alfa sedang duduk di sofa ruang tengah sambil menunggui sang ibu yang masih berdandan. Sementara gadis cantik yang sejak lima belas menit yang lalu datang ke ndalem, tengah duduk di lantai beralaskan tikar. Sang gadis sejak tadi menunduk saja. Sesekali Alfa melirik pada Galuh yang bagai patung cantik yang sayang kalau tidak dilirik. Sesekali pula setelah memandang Galuh, Alfa terlihat menghembuskan napasnya. Keras. Membuat Galuh sering ikutan melirik ke Alfa. Kening Galuh mengernyit, bingung dia dengan tingkah laku gusnya yang aneh. "Njenengan kena asma?" Galuh akhirnya memilih bertanya saja daripada penasaran. Alfa menoleh ke arahnya lalu menggeleng. "Oh! Kirain. Habis Guse sejak tadi kayak narik napas terus, kayak orang asma."Alfa tak menjawab. Galuh pun kembali diam. Sibuk nunduk sambil memainkan kedua tangan. Bosan dia menunggu ibu angkatnya yang tumben dandannya lama. Keheningan terus melanda membuat Galuh semakin bosan sementara asma bohongannya Alfa kian menjadi. Galuh se
Shadiqah masih memandangi kepergian Alfa dengan dada sesak. Dia tak menyadari jika Arkan tengah menatapnya dengan kekesalan yang tak terhingga. Lama keduanya dalam posisi diam sambil berdiri. Shadiqah masih menatap ke arah perginya Alfa sementara Arkan masih menatap Shadiqah dengan tatapan tajam. Shadiqah mendesah pasrah. Dia lelah dengan hubungan yang tanpa kejelasan. Suara desahannya terdengar oleh Arkan yang dibalas dengan suara sinis. "Jadi! Dia lelaki yang kamu pilih?" sinisnya.Shadiqah menatap ke arah sang mantan dengan tatapan sedikit bingung. Setelah beberapa detik dalam kebingungan, akhirnya dia sadar akan maksud dari Arkan. "Iya, dia Mas Alfa. Calon suamiku," sahut Shadiqah tegas."Jadi, kapan kalian nikah?" tanya Arkan.Arkan menatap Shadiqah, menuntut jawaban. Shadiqah masih diam. Bingung mau menjawab apa. Pikirannya kacau. Tidak mungkin dia mengatakan kalau mereka belum sampai tahap kapan menikah. Boro-boro nikah, lamaran saja belum. Dan ini semua tak lain karena kein
Seorang wanita sedang sibuk menderas Al-Quran di kamarnya yang berada di bagian pojok. Gadis itu berusia dua puluh lima tahun. Dia adalah anak angkat Bu Nyai Khomsah dan Kyai Baihaki. Mereka adalah pengasuh di sebuah pondok di daerah Kebumen dengan nama Pondok Al Kautsar.Meski menjadi anak angkat seorang kyai dan bu nyai yang cukup ternama di daerah Kebumen, Galuh tak pernah membanggakan diri. Dia tetap rendah hati namun tidak pernah merasa rendah diri. Bagi Galuh, semua manusia sama yang membedakan adalah ketakwaan. Catat ketakwaan.Galuh masih sibuk menderas Al Quran hingga deresannya terhenti ketika mendengar pintu kamarnya diketuk.“Wa'alaikumsalam, masuk,” titah Galuh.Pintu terbuka dan tampaklah seorang santri berusia delapan belas tahun bernama, Husna.“Ada apa Mbak Husna?”“Ditimbali Umi, Mbak.”“Oooo. Bentar ya, rampungin beberapa ayat lagi.”“Nggih.”Husna pun pergi dan menutup pintu, Galuh sendiri kembali melanjutkan ngajinya hingga berganti ke akhir surat Al-Maidah. Galuh
Galuh keluar dari rumah ibu angkatnya dan hendak kembali ke pondok, namun langkahnya terhenti gara-gara di depannya ada sosok Gus Alwi, keponakan dari Kyai Baihaki. Ibunya Gus Alwi adalah adik kandung Kyai Baihaki. Usia Gus Alwi adalah dua enam. Ayahnya bukan gus, melainkan mantan anggota TNI yang gugur di medan Papua saat sedang menjalankan tugas. Pada saat sang ayah meninggal, Gus Alwi masih berusia lima tahun. Semenjak sang suami meninggal, Bu Nyai Latifah memilih kembali ke Kebumen membawa anak semata wayangnya. Dia tinggal di sebuah rumah yang berada di dekat kompleks pondok putra, dan tidak mau menikah lagi hingga sekarang. Padahal selepas masa iddah, banyak yang melamar tapi Bu Nyai Latifah menolak dan memilih tetap menjanda.“Gus Alwi,” sapa Galuh sopan. Dia pun menunduk.“Habis ditolak lagi?” tanya Alwi dengan nada ketus.Galuh hanya tersenyum dan sama sekali tak memberi penjelasan membuat Alwi kesal. Mulutnya gatal untuk tidak mengoceh pada sepupu angkatnya itu.“Sudah kubil
Galuh memberikan senyum manisnya pada Jauza. Jauza pun membalas hal yang serupa. Meski keduanya saling mengenal tapi tidak terlalu akrab. Tentu saja karena ada batas bernama kedudukan. Jauza meski bukan Ning tapi masih kerabat dekat keluarga Kyai Baihaki. Sementara Galuh? Sudah jelas dia siapa."Mbak Galuh apa kabar?" tanya Jauza mencoba beramah-tamah."Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak Jauza bagaimana kabarnya?""Saya juga baik."Hening. Keduanya sama-sama diam lagi."Budhe dimana ya, Mbak?""Umi sedang menyimak hapalan, Mbak.""Oh, iya juga ya."Lagi-lagi keduanya terdiam. Galuh segan untuk memulai obrolan sementara Jauza bingung mau membawa Galuh pada tema obrolan apa."Loh Jau, masih di sini? Belum ketemu sama Mbak Khomsah?"Sebuah suara memecah keheningan. Tampaklah Bu Nyai Latifah yang datang, baik Galuh dan Jauza langsung menyalami Bu Nyai Latifah.“Belum Budhe.”“Lah kasihan tahu gini nunggu di tempat Budhe aja, ngobrol sama budhe. Alwi juga di rumah.”“Jauza ditemeni Mbak Galuh
Alfa beristighfar, dia menunduk. Ikhlas yang melihat tingkah sahabatnya terkikik. Menurutnya sikap Alfa itu lucu, terlihat sekali sahabatnya itu sedang terpesona.“Mas Alfa kan? Yang kemarin nolong saya?” cecar Shadiqah.Alfa hanya mengangguk. Shadiqah kembali tersenyum, “Boleh Shadi duduk di sini?”“Boleh-boleh, silakan.” Ikhlas yang langsung mempersilahkan. Dia bahkan sengaja mengarahkan Shadiqah ke kursi yang paling dekat dengan Alfa. Shadiqah pun duduk agak berdekatan dengan Alfa membuat sang bujang sedikit menjauhkan kursinya agar tak terlalu dekat dengan non muhrim.“Udah pesen makan Mbak?” Ikhlas kembali bertanya.“Udah kok.”“Mau minum?”“Boleh.”Ikhlas memanggil pelayan, dan menanyakan kepada Shadiqah mau minum apa. Shadiqah menjawab mau minum jus jeruk saja. Shadiqah akhirnya menghabiskan waktu bersama Ikhlas dan Alfa. Terlihat percakapan didominasi oleh Shadiqah dan Ikhlas, Alfa lebih banyak menjadi pendengar. Dalam obrolan Shadiqah dan Ikhlas, Alfa jadi tahu jika Shadiqah