Galuh keluar dari rumah ibu angkatnya dan hendak kembali ke pondok, namun langkahnya terhenti gara-gara di depannya ada sosok Gus Alwi, keponakan dari Kyai Baihaki. Ibunya Gus Alwi adalah adik kandung Kyai Baihaki. Usia Gus Alwi adalah dua enam. Ayahnya bukan gus, melainkan mantan anggota TNI yang gugur di medan Papua saat sedang menjalankan tugas. Pada saat sang ayah meninggal, Gus Alwi masih berusia lima tahun. Semenjak sang suami meninggal, Bu Nyai Latifah memilih kembali ke Kebumen membawa anak semata wayangnya. Dia tinggal di sebuah rumah yang berada di dekat kompleks pondok putra, dan tidak mau menikah lagi hingga sekarang. Padahal selepas masa iddah, banyak yang melamar tapi Bu Nyai Latifah menolak dan memilih tetap menjanda.
“Gus Alwi,” sapa Galuh sopan. Dia pun menunduk.“Habis ditolak lagi?” tanya Alwi dengan nada ketus.Galuh hanya tersenyum dan sama sekali tak memberi penjelasan membuat Alwi kesal. Mulutnya gatal untuk tidak mengoceh pada sepupu angkatnya itu.“Sudah kubilang kan? Mending kamu nerima aku, hanya aku, Luh. Yang bisa nerima kamu apa adanya. Umi juga. Heran kenapa kamu mesti nolak sih?” “Saya sudah menganggap njenengan sebagai kakak saya, Gus. Maaf. Rasanya aneh kalau harus mengubah panggilan.”“Ck, mengubah panggilan, kalau dianggap kakak harusnya kamu manggil aku ‘mas, kakang, kakanda,’ buktinya kamu tetap manggil aku ‘gus’ nyebelin sumpah." Galuh hanya tersenyum. Alwi kembali mengeluarkan unek-uneknya. "Kalau kamu nikah sama aku, Budhe kan jadi tenang, kamu juga gak jadi gunjingan. Lagian ya Luh, banyak yang menikah antar sepupu, antar sahabat, antar teman dan macem-macem kok. Gak harus dengan orang asing!” Suara Alwi masih terdengar ketus. “Malah ada baiknya kita nikah, udah saling kenal juga. Saling mengetahui bobrok masing-masing. Saling menerima.” ‘Tapi Uminya njenengan gak nerima aku, Gus. Itu masalahnya. Mungkin di depan semua orang dia terlihat sayang sama aku, di belakang? Hah?! Njenengan akan ngelus dada jika tahu. Njenengan gak tahu sih, gimana tingkah laku uminya Gus Alwi sama aku. Mainnya gak fisik, mainnya nyindir, dan ngancurin mentalku dan itu nyebelin,' batin Galuh.Namun dia memilih tak mau mengatakan kebenaran. Biarlah dia simpan, toh, dia juga gak ada rasa sama Gus Alwi. Meski kata orang dia mirip Omar Daniel atau Omar Bakrie atau Omar-Omar yang lain, bagi Galuh, Gus Alwi itu ‘B’ aja. Ganteng tapi tidak menarik hatinya. “Andai kamu nerima lamaranku, aku bakalan langsung nembung sama Pakdhe dan Budhe, besok kita langsung ijab.” Alwi masih mencoba mengutarakan unek-uneknya dan mencoba membuat sang gadis impian berubah pikiran.“Maaf Gus. Maaf banget. Kita gak cocok, terlalu banyak perbedaan. Dan terlebih saya sudah menganggap njenengan sebagai kakak saya.” Galuh memasang mimik meminta maaf.Alwi mendengkus keras, “Susah bener naklukin kamu, tapi kamu mau-mau aja dijodohin sama Budhe.” “Karena Umi Khomsah yang sudah mengasuh saya, mengambil saya yang kata orang gadis tak jelas nasab, bibit, bebet dan bobotnya. Berkat beliau saya bisa sampai sekarang. Dan sebagai bakti saya pada beliau, saya sudah berjanji melakukan apapun keinginan beliau termasuk untuk urusan jodoh. Meski, saya sadar. Kata cinta dan menikah bagai kata ‘kutukan nan keramat’ bagi saya. Sampai hari ini buktinya, gak ada yang mau nerima saya ada apanya.” “Apa adanya!”"Saya punya diri saya Gus, jadi meski gak punya harta ya saya punya diri saya,” gurau Galuh untuk mencairkan ketegangan.Alwi tertawa. Dia memang tak akan pernah bisa marah pada Galuh. Benar kata kakak sepupunya, kalau melihat Galuh itu seperti melihat perwujudan Althafunisa versi berbeda. Sama-sama tersayang namun tak bisa mengekang. “Nyerah deh, ngomong sama kamu, aku kalah terus.”Galuh terkekeh, dia menatap ke arah kerumunan para santri yang mulai berbondong-bondong menuju ke masjid, rupanya jam menunjuk ke arah setengah enam.“Saya duluan Gus, mau siap-siap ke masjid.”“Iya.”Galuh segera pergi, sampai di depan gerbang, dia berpapasan dengan sahabat sekaligus salah satu ustazah yang mengajar di MA Al-Kautsar. Namanya Ratna, teman mondok, teman paling akrab, teman kuliah dan teman yang ter-ternya Galuh. Ratna mengambil konsentrasi pendidikan bahasa Indonesia. “Ciee, yang habis ketemuan sama Gus Alwi,” bisik Ratna.“Gak usah bikin huru-hara deh, aku malas berurusan sama mak-nya itu orang. Suwer, kamu paham kan gimana dia? Nyerangnya ke mental, untung aku masih bisa waras sampai hari ini.” “Iya, iya paham kok.” Galuh dan Ratna segera menuju ke pondok sementara Alwi masih berada di depan rumah pakdhenya. Dia menghembuskan napas lemah lalu memilih beranjak untuk ke rumahnya sendiri. Alwi mengendarai motor matic-nya. Dengan pelan dia menuju ke rumah. Tak sampai lima menit dia sudah sampai rumah, sang ibu yang sedang berada di teras bersama seorang wanita cantik bernama Jauza, berdiri. Bu Nyai Latifah menyambut sang putra pun Jauza. Jauza adalah salah satu anak kerabat dari keluarga Kyai Baihaki. Tepatnya, ayah Jauza adalah adik sepupu Kyai Baihaki. Keluarga Jauza tinggal di daerah Kutowinangun. Usianya baru dua puluh dua tahun. Jauza tersenyum pada Alwi dan menangkupkan kedua tangan. Alwi hanya membalas dengan senyum. Alwi menyalami sang ibu yang langsung memberondongnya dengan pertanyaan ‘kamu dari mana?’ “Dari rumah Pakdhe, Umi.”“Ngapain?” “Main aja, bosan di rumah.” “Lah, daripada bosan kan makanya umi nyuruh kamu buat kuliah lagi, ngambil S2. Gak mau ke luar negeri ya di Purwokerto, Semarang, Solo atau dimana kek yang masih di Indonesia.” “Males, Umi. Kan Alwi gak kayak Mas Alfa yang demen belajar, gak tahu itu gelar, penghargaan mau dibuat apa, toh gak bakalan dibawa mati juga.” Alwi menjawab dengan cuek. Jauza tersenyum. Dia memang selalu menyukai aksi Alwi yang ceplas-ceplos, tengil dan apa adanya. Menurut Jauza, Alwi itu unik dan menarik. Alwi mampu menunjukkan eksistensi dirinya apa adanya. Dia sosok bebas yang tak mau dibelenggu oleh aturan-aturan pesantren namun tak pernah bersikap keluar dari jalur. Jika harus memilih, Jauza memang lebih menyukai sosok Alwi dibandingkan Alfa yang kaku, tegas, dingin dan bermulut tajam. Sayangnya, kebanyakan orang lebih menganggap sosok Alfa lebih unggul dibandingkan sosok Alwi, termasuk kedua orang tua Jauza. Sang Abi, bahkan sudah mewanti-wanti Jauza untuk mendekati Alfa, agar bisa dijadikan istri dan pengasuh pondok Al Kautsar. Itulah kenapa Jauza sering main ke Al Kautsar. Harusnya, rumah Kyai Baihaki menjadi tujuannya, dan Bu Nyai Khomsah yang menjadi tempatnya beramah tamah. Sayang, kesibukan Bu Nyai Khomsah menjadikan Jauza bosan menunggu sendirian di rumah dan memilih menghabiskan waktu di tempat Bu Nyai Latifah yang jelas orangnya selalu di rumah dan pengangguran. Bu Nyai Khomsah hanya sesekali ikut mengajar di pondok. Seminggu tiga kali saja, selebihnya kegiatannya adalah di rumah. “Kamu itu ya, dibilangin susah banget. Tiru masmu itu loh. Masih muda nyari ilmu, nyari prestasi. Emang gak dibawa mati, tapi kan buat bekal diri.”“Ya ya ya, terus terus deh bandingin aku sama Mas. Aku sih apa dibandingkan Mas Alfa yang serba sempurna.” Alwi meski menyayangi sang kakak sepupu, kadang-kadang terbit cemburu juga di hatinya. Meski sepupunya sangat baik padanya, tapi perlakuan orang-orang terutama sang ibu yang selalu menbanding-bandingkan dirinya dan sang kakak sepupu menimbulkan rasa sakit sendiri di hati Alwi. Entahlah, aneh. Kadang Alwi ingin sekali bertukar tempat dimana Bu Nyai Khomsah saja yang jadi ibunya sementara, Bu Nyai Latifah yang jadi ibunya Alfa.“Kamu tuh, dikasih tahu malah gitu,” sang ibu menggerutu.Jauza yang tak ingin anak dan ibu di depannya berdebat, memilih mengajak keduanya masuk dan bersiap-siap ke masjid.“Sudah Budhe, kita siap-siap saja ke masjid.”“Tapi ini loh, Jau, si Alwi nak dikandani ngeyel.”Jauza tersenyum lalu kembali mencoba menenangkan Bu Nyai Latifah membuat ibunya Alwi menyeletuk, “Coba anakku cewek, kayaknya manut kayak kamu, Jau.” “Terus-terus-terus, mulai mulai mulai, ya Allah kirimkan saja aku ke Mars siapa tahu ada alien baik hati mau ngangkat aku jadi anaknya.”Jauza tertawa mendengar kelakar sepupunya sementara sang ibu, Bu Nyai Latifah langsung memelototkan mata.Galuh memberikan senyum manisnya pada Jauza. Jauza pun membalas hal yang serupa. Meski keduanya saling mengenal tapi tidak terlalu akrab. Tentu saja karena ada batas bernama kedudukan. Jauza meski bukan Ning tapi masih kerabat dekat keluarga Kyai Baihaki. Sementara Galuh? Sudah jelas dia siapa."Mbak Galuh apa kabar?" tanya Jauza mencoba beramah-tamah."Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak Jauza bagaimana kabarnya?""Saya juga baik."Hening. Keduanya sama-sama diam lagi."Budhe dimana ya, Mbak?""Umi sedang menyimak hapalan, Mbak.""Oh, iya juga ya."Lagi-lagi keduanya terdiam. Galuh segan untuk memulai obrolan sementara Jauza bingung mau membawa Galuh pada tema obrolan apa."Loh Jau, masih di sini? Belum ketemu sama Mbak Khomsah?"Sebuah suara memecah keheningan. Tampaklah Bu Nyai Latifah yang datang, baik Galuh dan Jauza langsung menyalami Bu Nyai Latifah.“Belum Budhe.”“Lah kasihan tahu gini nunggu di tempat Budhe aja, ngobrol sama budhe. Alwi juga di rumah.”“Jauza ditemeni Mbak Galuh
Alfa beristighfar, dia menunduk. Ikhlas yang melihat tingkah sahabatnya terkikik. Menurutnya sikap Alfa itu lucu, terlihat sekali sahabatnya itu sedang terpesona.“Mas Alfa kan? Yang kemarin nolong saya?” cecar Shadiqah.Alfa hanya mengangguk. Shadiqah kembali tersenyum, “Boleh Shadi duduk di sini?”“Boleh-boleh, silakan.” Ikhlas yang langsung mempersilahkan. Dia bahkan sengaja mengarahkan Shadiqah ke kursi yang paling dekat dengan Alfa. Shadiqah pun duduk agak berdekatan dengan Alfa membuat sang bujang sedikit menjauhkan kursinya agar tak terlalu dekat dengan non muhrim.“Udah pesen makan Mbak?” Ikhlas kembali bertanya.“Udah kok.”“Mau minum?”“Boleh.”Ikhlas memanggil pelayan, dan menanyakan kepada Shadiqah mau minum apa. Shadiqah menjawab mau minum jus jeruk saja. Shadiqah akhirnya menghabiskan waktu bersama Ikhlas dan Alfa. Terlihat percakapan didominasi oleh Shadiqah dan Ikhlas, Alfa lebih banyak menjadi pendengar. Dalam obrolan Shadiqah dan Ikhlas, Alfa jadi tahu jika Shadiqah
Galuh masih shock. Dia diam saja dalam posisi bak ala-ala aktris dan aktor Korea yang sedang melakoni drama romansa. Sayangnya antara Galuh dan Alfa bukannya terlibat dalam sebuah romansa, yang ada keduanya terikat pada realita ya realita. Terutama setelah kata-kata pedas dari sang pria, langsung menyadarkan Galuh untuk kembali menapak ke bumi jangan ke dunia mimpi apalagi halu."Kamu mau melakoni adegan macam ginian sampai kapan?" Suara Alfa terdengar sinis membuat Galuh meringis dan segera bangkit, melepaskan diri dari cekalan tangan Alfa."Hehehe, Gus." Galuh mencoba memberikan senyum seindah melati sewangi Kasturi. Sayang segala bentuk tindak tanduk Galuh tidak diapresiasi."Hehehe, ha he ha he, ceroboh! Kamu mau nambah usia berapa pun tetep ceroboh," sinis Alfa."Maaf, Gus."Galuh menunduk, sementara Alfa masuk ke dalam rumah. Baru tiga langkah, Alfa berbalik."Bawain koperku, tuh udah diturunin sama sopir grab," titah Alfa dengan suara ketus."Nggih, Gus.""Taruh depan kamar, ja
Galuh menerima hadiah dari Alfa dengan kikuk, sementara sang kakak angkat hanya memamerkan senyum tipisnya. Beruntung Alfa memiliki karakter cool, irit ngomong dan segala sifat yang dimiliki oleh kulkas dua pintu, sehingga menyamarkan ketidaksukaan Alfa pada Galuh. “Makasih, Gus,” ucap Galuh lirih. Dia menatap kerudung motif segi empat berwarna hijau toska pemberian sang kakak angkat. Ada keharuan yang menyelimuti hati Galuh. Meski sikap Alfa padanya memang bisa dikatakan kurang bersahabat, tapi kakak angkatnya memang selalu memberinya hadiah kemana pun dia berada. Dan bagi Galuh itu sudah cukup, dia tak akan meminta lebih. “Buatku mana Mas?” rajuk Alwi. Alfa menatap adik sepupunya, “Bukannya sudah tak kasih banyak?” “Kurang.” “Kamu gak minta aku beliin jilbab kayak Galuh kan?” “Astaghfirullah, ya gak gitu juga ngasih hadiahnya, Mas!” pekik Alwi sementara yang lain hanya tertawa mendengar celetukan Alfa yang lucu. Ya lucu karena saat mengatakannya, ekspresi muka Alfa adalah tanp
Galuh tak dapat menahan senyum lebarnya begitu acara yang dia ketua berakhir dengan begitu sangat meriah. Dia bahkan mendapat banyak ucapan selamat dari para Ustazah dan yang spesial dari Abah Baihaki dan Umi Khomsah.Alfa sendiri hanya diam saja, tak mengucap selamat atau apa pun. Alfa lebih memilih menyibukkan diri dengan ponselnya saat sang ibu mengajak Galuh bercengkrama di rumah. Bahkan dia pura-pura harus menelepon sahabatnya agar bisa meninggalkan ruang keluarga. Bukannya sedih, Galuh malah senang jika Alfa tak berada satu ruangan dengannya. Dia bisa lebih banyak berekspresi dan bisa ngobrol santai dengan ibu angkatnya. Obrolan yang lama kelamaan jadi makin serius karena Umi Khomsah memang mengajak Galuh bicara serius."Luh.""Nggih Umi.""Ada lamaran dari Kyai Basroni, kamu ...." Bu Nyai Khomsah diam. Ada mendung di wajahnya."Saya tahu Umi, istri beliau sudah matur ke saya. Tapi mohon maaf Umi, Galuh menolak permintaan beliau. Pantang bagi Galuh jadi yang kedua. Meski Galuh
Alfa menatap ponselnya dalam diam. Keningnya terlihat berkerut. Tampak sekali sedang berpikir keras. Alfa lalu menghembuskan napasnya dengan kasar. Ditaruhnya ponsel itu di atas nakas dekat ranjang lalu Alfa memilih rebahan. Sambil rebahan, tatapan mata Alfa tertuju pada langit-langit kamarnya. Suara kipas angin di dinding pun terdengar keras. Alfa berbalik, menutup matanya sebentar, membuka mata lagi dan berbalik lagi menatap langit kamar. Posisinya kembali terentang. Beberapa kali embusan napasnya terdengar berat bahkan terkesan lelah."Kenapa perasaanku kok kayak ada yang salah ya? Tapi apa?" gumamnya."Tau ah, gelap. Mending tidur!" Alfa memilih tidur siang. Siapa tahu habis tidur perasaannya jadi lebih baik. Sayangnya Alfa kembali membuka mata. Dia tak bisa tidur. "Ish! Kenapa susah sekali buat merem sih?"Alfa memilih berdiri. Kebiasaan di Kairo yang jarang tidur siang, kebablasan hingga di rumah. Alfa yang masih dalam tahap adaptasi kesulitan mencari aktivitas yang bisa membu
Alwi menatap Galuh dengan tatapan penuh pemujaan dari lantai dua MA Al Kautsar untuk siswa putra. Sementara yang dipandangi tidak sadar dan fokus dengan kegiatannya bersama anak-anak PMR. MA Al Kautsar memang dibagi menjadi dua kompleks berhadapan yang satu untuk santri putra sementara yang satu untuk santri putri. Pengelolaan ini ditujukan agar siswa dan siswi yang hampir sembilan puluh persen adalah santri, mampu menjaga pandangan dengan lawan jenis. Meski sudah diatur sedemikian rupa, tetap saja ada yang mbeler dan melakukan pertemuan dengan lawan jenis. Semua tergantung pribadi masing-masing. Alwi masih asik menatap wajah ayu gadis pujaan hatinya. Sejak dulu, sejak dia masih kecil, Alwi memang sudah menyukai Galuh. Gimana gak suka, Galuh itu paling berbeda. Wajah khas gadis Arab dengan hidung mancung, mata hitam bulat, alis lebat yang melengkung indah di atas kedua mata, serta kulit putihnya begitu kentara. Sangat membedakan dirinya dengan orang lain yang rata-rata berkulit sawo
Galuh kaget, mau ngerem juga percuma. Cara jalannya yang jauh dari kata putri Solo kini menjadi bumerang. Galuh sedang berjalan tergesa melewati lorong kelas dan saat berbelok dia kurang waspada. Bukannya memelankan kecepatan berjalan, malah Galuh main belok saja. Dan ternyata ada Alfa yang sedang berjalan dari arah lorong yang lain. Alfa juga terlihat tergesa. Jadilah keduanya sama-sama kaget, tidak bisa ngerem dan bruk! Tubuh keduanya jadi bertubrukan. Galuh hampir jatuh namun refleks dia mencengkeram koko kakak angkatnya. Alfa sendiri refleks menarik pinggang Galuh. Akibatnya tubuh keduanya saling membentur lagi namun kini jadi saling merapat. Karena Galuh berpegangan pada koko sang kakak angkat, sementara Alfa dengan sigap merangkap sang adik angkat dengan kedua lengan kokohnya.Galuh deg-degan. Pipinya merona. Alfa? Jangan tanya, wajah kakak angkatnya terlihat kesal. Wajah Alfa terlihat memerah menahan malu atau marah. Entah, Galuh tak tahu. Yang jelas, Galuh segera melepaskan t