Home / Romansa / Cinta Gadis tak Bernasab / 2. Coba Kamu Nerima Aku

Share

2. Coba Kamu Nerima Aku

Author: Bai_Nara
last update Last Updated: 2023-07-17 15:50:24

Galuh keluar dari rumah ibu angkatnya dan hendak kembali ke pondok, namun langkahnya terhenti gara-gara di depannya ada sosok Gus Alwi, keponakan dari Kyai Baihaki. Ibunya Gus Alwi adalah adik kandung Kyai Baihaki. Usia Gus Alwi adalah dua enam. Ayahnya bukan gus, melainkan mantan anggota TNI yang gugur di medan Papua saat sedang menjalankan tugas. Pada saat sang ayah meninggal, Gus Alwi masih berusia lima tahun. Semenjak sang suami meninggal, Bu Nyai Latifah memilih kembali ke Kebumen membawa anak semata wayangnya. Dia tinggal di sebuah rumah yang berada di dekat kompleks pondok putra, dan tidak mau menikah lagi hingga sekarang. Padahal selepas masa iddah, banyak yang melamar tapi Bu Nyai Latifah menolak dan memilih tetap menjanda.

 

“Gus Alwi,” sapa Galuh sopan. Dia pun menunduk.

“Habis ditolak lagi?” tanya Alwi dengan nada ketus.

Galuh hanya tersenyum dan sama sekali tak memberi penjelasan membuat Alwi kesal. Mulutnya gatal untuk tidak mengoceh pada sepupu angkatnya itu.

“Sudah kubilang kan? Mending kamu nerima aku, hanya aku, Luh. Yang bisa nerima kamu apa adanya. Umi juga. Heran kenapa kamu mesti nolak sih?”

 

“Saya sudah menganggap njenengan sebagai kakak saya, Gus. Maaf. Rasanya aneh kalau harus mengubah panggilan.”

“Ck, mengubah panggilan, kalau dianggap kakak harusnya kamu manggil aku ‘mas, kakang, kakanda,’ buktinya kamu tetap manggil aku ‘gus’ nyebelin sumpah."

 

Galuh hanya tersenyum. Alwi kembali mengeluarkan unek-uneknya.

 

"Kalau kamu nikah sama aku, Budhe kan jadi tenang, kamu juga gak jadi gunjingan. Lagian ya Luh, banyak yang menikah antar sepupu, antar sahabat, antar teman dan macem-macem kok. Gak harus dengan orang asing!” Suara Alwi masih terdengar ketus.

 

“Malah ada baiknya kita nikah, udah saling kenal juga. Saling mengetahui bobrok masing-masing. Saling menerima.”

 

‘Tapi Uminya njenengan gak nerima aku, Gus. Itu masalahnya. Mungkin di depan semua orang dia terlihat sayang sama aku, di belakang? Hah?! Njenengan akan ngelus dada jika tahu. Njenengan gak tahu sih, gimana tingkah laku uminya Gus Alwi sama aku. Mainnya gak fisik, mainnya nyindir, dan ngancurin mentalku dan itu nyebelin,' batin Galuh.

Namun dia memilih tak mau mengatakan kebenaran. Biarlah dia simpan, toh, dia juga gak ada rasa sama Gus Alwi. Meski kata orang dia mirip Omar Daniel atau Omar Bakrie atau Omar-Omar yang lain, bagi Galuh, Gus Alwi itu ‘B’ aja. Ganteng tapi tidak menarik hatinya.

 

“Andai kamu nerima lamaranku, aku bakalan langsung nembung sama Pakdhe dan Budhe, besok kita langsung ijab.” Alwi masih mencoba mengutarakan unek-uneknya dan mencoba membuat sang gadis impian berubah pikiran.

“Maaf Gus. Maaf banget. Kita gak cocok, terlalu banyak perbedaan. Dan terlebih saya sudah menganggap njenengan sebagai kakak saya.” Galuh memasang mimik meminta maaf.

Alwi mendengkus keras, “Susah bener naklukin kamu, tapi kamu mau-mau aja dijodohin sama Budhe.”

 

“Karena Umi Khomsah yang sudah mengasuh saya, mengambil saya yang kata orang gadis tak jelas nasab, bibit, bebet dan bobotnya. Berkat beliau saya bisa sampai sekarang. Dan sebagai bakti saya pada beliau, saya sudah berjanji melakukan apapun keinginan beliau termasuk untuk urusan jodoh. Meski, saya sadar. Kata cinta dan menikah bagai kata ‘kutukan nan keramat’ bagi saya. Sampai hari ini buktinya, gak ada yang mau nerima saya ada apanya.”

 

“Apa adanya!”

"Saya punya diri saya Gus, jadi meski gak punya harta ya saya punya diri saya,” gurau Galuh untuk mencairkan ketegangan.

Alwi tertawa. Dia memang tak akan pernah bisa marah pada Galuh. Benar kata kakak sepupunya, kalau melihat Galuh itu seperti melihat perwujudan Althafunisa versi berbeda. Sama-sama tersayang namun tak bisa mengekang.

 

“Nyerah deh, ngomong sama kamu, aku kalah terus.”

Galuh terkekeh, dia menatap ke arah kerumunan para santri yang mulai berbondong-bondong menuju ke masjid, rupanya jam menunjuk ke arah setengah enam.

“Saya duluan Gus, mau siap-siap ke masjid.”

“Iya.”

Galuh segera pergi, sampai di depan gerbang, dia berpapasan dengan sahabat sekaligus salah satu ustazah yang mengajar di MA Al-Kautsar. Namanya Ratna, teman mondok, teman paling akrab, teman kuliah dan teman yang ter-ternya Galuh. Ratna mengambil konsentrasi pendidikan bahasa Indonesia.

 

“Ciee, yang habis ketemuan sama Gus Alwi,” bisik Ratna.

“Gak usah bikin huru-hara deh, aku malas berurusan sama mak-nya itu orang. Suwer, kamu paham kan gimana dia? Nyerangnya ke mental, untung aku masih bisa waras sampai hari ini.”

 

“Iya, iya paham kok.”

 

 

Galuh dan Ratna segera menuju ke pondok sementara Alwi masih berada di depan rumah pakdhenya. Dia menghembuskan napas lemah lalu memilih beranjak untuk ke rumahnya sendiri.

 

Alwi mengendarai motor matic-nya. Dengan pelan dia menuju ke rumah. Tak sampai lima menit dia sudah sampai rumah, sang ibu yang sedang berada di teras bersama seorang wanita cantik bernama Jauza, berdiri. Bu Nyai Latifah menyambut sang putra pun Jauza. Jauza adalah salah satu anak kerabat dari keluarga Kyai Baihaki. Tepatnya, ayah Jauza adalah adik sepupu Kyai Baihaki. Keluarga Jauza tinggal di daerah Kutowinangun. Usianya baru dua puluh dua tahun. 

Jauza tersenyum pada Alwi dan menangkupkan kedua tangan. Alwi hanya membalas dengan senyum. 

 

Alwi menyalami sang ibu yang langsung memberondongnya dengan pertanyaan ‘kamu dari mana?’

 

“Dari rumah Pakdhe, Umi.”

“Ngapain?”

 

“Main aja, bosan di rumah.”

 

“Lah, daripada bosan kan makanya umi nyuruh kamu buat kuliah lagi, ngambil S2. Gak mau ke luar negeri ya di Purwokerto, Semarang, Solo atau dimana kek yang masih di Indonesia.”

 

“Males, Umi. Kan Alwi gak kayak Mas Alfa yang demen belajar, gak tahu itu gelar, penghargaan mau dibuat apa, toh gak bakalan dibawa mati juga.” Alwi menjawab dengan cuek. 

 

Jauza tersenyum. Dia memang selalu menyukai aksi Alwi yang ceplas-ceplos, tengil dan apa adanya. Menurut Jauza, Alwi itu unik dan menarik. Alwi mampu menunjukkan eksistensi dirinya apa adanya. Dia sosok bebas yang tak mau dibelenggu oleh aturan-aturan pesantren namun tak pernah bersikap keluar dari jalur. Jika harus memilih, Jauza memang lebih menyukai sosok Alwi dibandingkan Alfa yang kaku, tegas, dingin dan bermulut tajam.

 

Sayangnya, kebanyakan orang lebih menganggap sosok Alfa lebih unggul dibandingkan sosok Alwi, termasuk kedua orang tua Jauza. Sang Abi, bahkan sudah mewanti-wanti Jauza untuk mendekati Alfa, agar bisa dijadikan istri dan pengasuh pondok Al Kautsar. Itulah kenapa Jauza sering main ke Al Kautsar. Harusnya, rumah Kyai Baihaki menjadi tujuannya, dan Bu Nyai Khomsah yang menjadi tempatnya beramah tamah. Sayang, kesibukan Bu Nyai Khomsah menjadikan Jauza bosan menunggu sendirian di rumah dan memilih menghabiskan waktu di tempat Bu Nyai Latifah yang jelas orangnya selalu di rumah dan pengangguran. Bu Nyai Khomsah hanya sesekali ikut mengajar di pondok. Seminggu tiga kali saja, selebihnya kegiatannya adalah di rumah.

 

“Kamu itu ya, dibilangin susah banget. Tiru masmu itu loh. Masih muda nyari ilmu, nyari prestasi. Emang gak dibawa mati, tapi kan buat bekal diri.”

“Ya ya ya, terus terus deh bandingin aku sama Mas. Aku sih apa dibandingkan Mas Alfa yang serba sempurna.” Alwi meski menyayangi sang kakak sepupu, kadang-kadang terbit cemburu juga di hatinya. Meski sepupunya sangat baik padanya, tapi perlakuan orang-orang terutama sang ibu yang selalu menbanding-bandingkan dirinya dan sang kakak sepupu menimbulkan rasa sakit sendiri di hati Alwi.

 

Entahlah, aneh. Kadang Alwi ingin sekali bertukar tempat dimana Bu Nyai Khomsah saja yang jadi ibunya sementara, Bu Nyai Latifah yang jadi ibunya Alfa.

“Kamu tuh, dikasih tahu malah gitu,” sang ibu menggerutu.

Jauza yang tak ingin anak dan ibu di depannya berdebat, memilih mengajak keduanya masuk dan bersiap-siap ke masjid.

“Sudah Budhe, kita siap-siap saja ke masjid.”

“Tapi ini loh, Jau, si Alwi nak dikandani ngeyel.”

Jauza tersenyum lalu kembali mencoba menenangkan Bu Nyai Latifah membuat ibunya Alwi menyeletuk, “Coba anakku cewek, kayaknya manut kayak kamu, Jau.”

 

“Terus-terus-terus, mulai mulai mulai, ya Allah kirimkan saja aku ke Mars siapa tahu ada alien baik hati mau ngangkat aku jadi anaknya.”

Jauza tertawa mendengar kelakar sepupunya sementara sang ibu, Bu Nyai Latifah langsung memelototkan mata.

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tanty Hassan
Gak Boleh 5uudzon
goodnovel comment avatar
for you
jangan jangan galuh sodara tiri alwi bisa jadi anak bini ke dua ayahnya alwi...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Cinta Gadis tak Bernasab   133. Saling Sindir

    Kabar kebakaran di rumah Bawazier telah sampai ke telinga Alfa dan keluarganya mendekati bada dhuhur. Alfa segera mengkonfirmasi pada Aidan yang juga sudah mendapat berita lebih dulu."Diduga sebagai upaya pembunuhan. Korban berjumlah depalan orang. Tiga pembantu wanita, satu tukang kebun, dua satpam, dan dua orang yang diduga Bawazier dan Hasina. Hanya saja, ini yang masih perlu dikonfirmasi apakah benar Hasina apa bukan. Sebab, setelah kejadian Fairuz terluka, dia sudah diceraikan oleh Bawazier. Hasina juga sudah diusir dari rumah," ucap Aidan dari seberang telepon."Apa menurutmu wanita yang ditemukan di kamar Bawazier bukan Hasina?""Bisa iya bisa bukan. Tergantung hasil Tes DNA.""Hasil Tes DNA kapan keluarnya?""Tergantung. Tapi bisa kemungkinan cepat. Mengingat keluarga Bawazier termasuk keluarga kaya raya pun Hasina.""Semoga saja ada titik terang.""Iya semoga saja."Aidan dan Alfa terus mengobrol cukup lama. Sebelum mengakhiri percakapan, Aidan meminta Alfa untuk tetap waspa

  • Cinta Gadis tak Bernasab   132. Kebakaran

    Galuh memeluk sayang sang putri, beberapa kali dia menciumi pipi Fairuz dengan sorot mata yang sendu."Mereka jahat sekali," bisiknya lirih.Sebuah pelukan melingkar di perutnya. Galuh sedikit menoleh tapi tidak mengubah posisi rebahannya. Kecupan hangat mendarat di keningnya, diikuti usapan lembut di perut."Kalian baik-baik saja, kan?""Kami baik. Njenengan?""Sudah lebih baik. Bisa meluk kamu, dedek di perut baik-baik saja dan melihat Fay bisa tertidur lelap, membuatku tenang."Alfa kini ikut merebahkan diri di samping sang istri. Dia tak banyak bicara, hanya diam. Galuh pun paham jika suaminya pasti terlalu lelah. Dengan perlahan dia berbalik dan menghadap ke sang suami. Galuh menyerukkan wajahnya di dada bidang sang suami. Mencari kenyamanan yang selalu dia dapatkan. "Tidurlah. Kamu pasti capek.""Mas pasti juga sama capeknya. Jadi, ayok kita tidur."Alfa mengulas senyum tipis, mengecup kening sang istri lagi dan mengeratkan pelukan. Setelah melafalkan doa, Alfa mencoba tidur. S

  • Cinta Gadis tak Bernasab   131. Mufakat

    Alfa menatap putri kesayangannya dengan air mata berlinang. Putrinya yang datang secara tiba-tiba di saat dia kehilangan Galuh. Penyejuk hatinya, pelipur laranya, kini terbaring dengan mata yang masih tertutup. Meski tidak membahayakan nyawa, tetap saja pukulan-pululan yang Fairuz terima dari Hasina, membuat gadis cilik itu tak berdaya. Mana ada beberapa luka sayat yang harus diterima Fairuz juga. Sungguh ingin sekali Alfa juga membalas Hasina seperti yang dia lakukan pada Fairuz."Kejam sekali. Padahal Fay cuma gadis tiga tahun yang gak ngerti apa-apa," lirih Alfa sambil membelai rambut sang putri."Padahal di rumahku dia layaknya Tuan Putri yang selalu kujaga dengan sepenuh hati. Abah sama Umi bahkan sayang banget sama Fay. Udah nganggap cucu kandung. Tapi ... sama kakek nenek kandung, Fay malah disiksa."Alfa mengusap kepala sang putri, lalu membelai ke arah pipi, dahi, di mana luka-luka lebam dan sayatan tampak di wajah cantik Fairuz. "Aku pengen hajar wanita tua itu, Mas. Sumpah

  • Cinta Gadis tak Bernasab   130. Misi Penyelamatan

    Semua orang tengah berkumpul di ruang keluarga kediaman Kyai Baihaki. Aba Faris, Ibu Anjani, kedua orang tua Zahra sampai Alwi dan sang Umi juga turut serta. Galuh sejak mendengar kabar kalau Fairuz shock dan hampir pingsan. Bu Nyai Khomsah yang khawatir memanggil Dokter Asih dan menyarankan Galuh untuk istirahatistirahat agar tak membahayakan janin yang dikandungnya. Aba Faris dan Ibu Anjani yang diberitahu kalau Galuh sedang hamil, sangat bahagia pun Pakdhe Aiman dan Budhe Zainab. Hanya Bu Nyai Latifah dan Alwi yang terlihat tidak senang. Tapi mana peduli semua orang.Karena itu lah, Galuh lebih banyak di kamar, biar tidak terlalu lelah. Sang Ibu, Budhe Zainab, Umi Khomsah dan Zahra ikut menemani. Zahra berkali-kali meminta maaf sambil menangis. Namun, Galuh tentu saja tidak bisa menyalahkan Zahra sepenuhnya. "Udah, gak usah nangis, Mbak. Bukan salah kamu kok.""Tapi kalau aku gak ke kamar mandi kalau aku gak sho--""Masa kamu gak sholat? Dosa dong. Udah gak papa. Kita berdoa saj

  • Cinta Gadis tak Bernasab   129. Penculikan

    "Tuan, apa Anda ingin saya melakukannya segera?""Iya semakin cepat semakin baik. Setelah ini, aku akan langsung membawa cucuku pergi. Hingga tak ada seorang pun yang bisa mengambilnya," ucap lelaki tua bernama Bawazier. "Baik, Tuan. Saya akan segera mempersiapkan diri bersama yang lain.""Aku benar-benar berharap padamu, Danu. Jangan sampai membuat kesalahan, apalagi ada jejak yang akan menuju padaku, mengerti!""Tuan jangan khawatir. Tuan bisa percaya pada saya."Bawazier tersenyum puas. Danu, lelaki berusia tiga puluhan pun pergi dari ruang kerja milik Bawazier. Belum ada satu menit, pintu ruang kerja kembali terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik. Sosok itu langsung duduk di depan suaminya."Kak Bawazier, benarkah Kakak akan mengambil anak itu?""Tentu saja. Memangnya kamu punya cucu lain lagi? Atau kamu ingin aku menikah lagi agar aku bisa memiliki keturunan lain dan tidak perlu berurusan dengan keturunan dari wanita panti itu!" ucap Bawazier, se

  • Cinta Gadis tak Bernasab   128. Dugaan Hamil

    Alwi sedang tiduran di kasurnya. Setelah memastikan asetnya tidak apa-apa, dia memutuskan untuk istirahat. "Sial! Kenapa sih, aku seringnya sial kalau ketemu itu cewek. Awas saja, akan kubalas dia. Pasti akan kubalas."Tiba-tiba ponsel Alwi berdering, Alwi ingin tak mengangkatnya tapi akhirnya dia angkat juga. Setelah menjawab salam, dia langsung saja to the point pada si penelepon."Ada apa, Mbak?""Cuma mau ngasih tahu, beberapa kontrakmu dibatalkan termasuk yang kamu mau jadi pemeran utama film yang syuting di Beijing.""Bukannya emang produksinya juga bermasalah kan?""Emang. Makanya kamu harus bersyukur gak perlu bayar pinalti termasuk pelanggaran beberapa kontrak iklan.""Oh.""Hanya 'oh' saja tanggapanmu? Padahal kamu hampir aja mematikan mata pencaharianku."Alwi hanya diam saja tak berkomentar. Mita yang sudah menyerah pada Alwi akhirnya memberikan ultimatumnya"Terserah kamu. Masa kerja kita hanya tinggal enam bulan lagi sesuai kontrak. Aku udah gak akan nyariin kontrak apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status