Share

Cinta Gadis tak Bernasab
Cinta Gadis tak Bernasab
Author: Bai_Nara

1. Ditolak Lagi

Author: Bai_Nara
last update Huling Na-update: 2023-07-17 15:49:34

Seorang wanita sedang sibuk menderas Al-Quran di kamarnya yang berada di bagian pojok. Gadis itu berusia dua puluh lima tahun. Dia adalah anak angkat Bu Nyai Khomsah dan Kyai Baihaki. Mereka adalah pengasuh di sebuah pondok di daerah Kebumen dengan nama Pondok Al Kautsar.

 

Meski menjadi anak angkat seorang kyai dan bu nyai yang cukup ternama di daerah Kebumen, Galuh tak pernah membanggakan diri. Dia tetap rendah hati namun tidak pernah merasa rendah diri. Bagi Galuh, semua manusia sama yang membedakan adalah ketakwaan. Catat ketakwaan.

Galuh masih sibuk menderas Al Quran hingga deresannya terhenti ketika mendengar pintu kamarnya diketuk.

“Wa'alaikumsalam, masuk,” titah Galuh.

Pintu terbuka dan tampaklah seorang santri berusia delapan belas tahun bernama, Husna.

“Ada apa Mbak Husna?”

“Ditimbali Umi, Mbak.”

“Oooo. Bentar ya, rampungin beberapa ayat lagi.”

“Nggih.”

Husna pun pergi dan menutup pintu, Galuh sendiri kembali melanjutkan ngajinya hingga berganti ke akhir surat Al-Maidah. Galuh pun segera menaruh mushafnya di nakas, mencopot mukena, dan menutupi kepalanya dengan kerudung instan dari bahan cerruty. Galuh bergegas menemui ibu angkatnya.

Sampai di samping pintu rumah, Galuh mengucap salam dan menggunakan kedua lututnya untuk mencapai ke arah sang ibu angkat yang duduk di sofa ruang tengah,. Galuh langsung mencium tangan sang ibu angkat dengan takdim. Bu Nyai Khomsah tersenyum melihat kedatangan sang anak angkat. Di samping beliau ada orang lain. Seorang wanita seusia Bu Nyai Khomsah.

“Nduk, kenalin ini Bu Nyai Khofifah dari Tegal.”

Galuh tersenyum lalu menyalami Bu Nyai Khofifah. Bu Nyai Khofifah tampak memperhatikan Galuh dari atas hingga bawah. Ada binar kekaguman di mata wanita usia setengah abad itu. Bu Nyai Khomsah tersenyum, dia berharap kali ini akan berhasil.

“Namamu siapa?”

“Galuh Anjani, Bu Nyai.”

“Wah nama yang bagus. Sudah lulus kuliah?”

“Sampun Bu Nyai.”

“Lulusan apa?”

 

“Pendidikan matematika.”

“Oooo, tapi sudah khatam tiga puluh jus, kan?”

“Nyuwun pandonganipun, Bu Nyai.”

“Dia sudah khatam sejak lulus Aliyah, tinggal istikhomahnya aja,” celetuk Bu Nyai Khomsah.

 

Bu Nyai Khofifah manggut-manggut. Lalu dia kembali bertanya banyak hal pada Galuh membuat sang gadis hanya bisa menjawab dengan menunduk sambil menata hatinya. Sejauh ini, semua pertanyaan dari Bu Nyai Khofifah berhasil dia jawab dengan cukup baik. Entah nanti jika pertanyaan paling sakral terucap dari mulut sang bu nyai asal Tegal itu apakah Galuh masih bisa menjawab atau tidak.

“Kamu Asli mana?”

Deg. Galuh diam, tak bisa menjawab. Bu Nyai Khomsah yang paham akhirnya bersuara.

“Galuh saya temukan di depan gerbang pondok, dua puluh lima tahun yang lalu. Kami sudah mencari info siapa kedua orang tuanya tapi … hingga saat ini kami belum menemukan hasil. Namun Bu Nyai jangan khawatir, saya jamin Galuh itu sangat baik, kok.”

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Bu Nyai Khomsah mencoba mengamati raut wajah salah satu kenalannya. Dan raut wajah Bu Nyai Khofifah ternyata sama saja dengan raut wajah yang lain. Para kandidat calon ibu mertua Galuh yang rata-rata akan menolak Galuh gara-gara asal usul Galuh.

“Jadi Galuh anak terbuang? Bibit, bobot dan bebetnya gak ketahuan?” celetuk Bu Nyai Khofifah.

“Insya Allah anaknya baik, kok Bu Nyai. Saya jamin, saestu. Bu Nyai kan minta yang pinter ngaji, tawadu, baik, sopan, ya makanya saya sarankan Galuh.” Bu Nyai Khomsah berkata dengan suara yang lembut dan sopan.

“Lah ya mana bisa gitu, Bu Nyai. Anakku si Farid kan anak kyai, kita dari keluarga pesantren turun temurun, masa nyari istri yang gak jelas bibit, bobot dan bebetnya? Ya gak mau aku, emoh. Mending aku nikahkan anakku sama mantan ta'arufan anakku yang katanya calon bidan. Meski bukan santri tapi jelas siapa orang taunya.” Bu Nyai Khofifah tampak kesal dengan Bu Nyai Khomsah, dalam hati dia merutuki bagaimana bisa Bu Nyai Khomsah menawarkan gadis tanpa nasab yang jelas pada putranya. Meski sang putra mengatakan kalau dia kesengsem dengan foto Galuh tetap saja dia tak akan asal mengiyakan calon mantu yang gak jelas asal-usulnya.

“Ya sudahlah, gak usah dicariin lagi, Bu Nyai. Saya tak nyari yang lain saja. Itu calon bidan kenalannya Farid tak jadikan cadangan sebelum saya menemukan calon lain yang lebih baik.”

 

 

Bu Nyai Khomsah hanya bisa tersenyum. Meski begitu, terlihat sekali matanya menyiratkan kesedihan. Galuh sendiri hanya menunduk dan diam. Dia tak bersuara. Dia hanya bersuara dan bergerak ketika Bu Nyai Khofifah pamitan.

 

Farid yang melihat Galuh menemani sang ibu angkat melakukan aksi lirik-lirik dan tebar senyum yang langsung mendapat pelototan dari sang ibu. Farid ingin sekali mengatakan pada ibunya jika dia mau minta nomer ponsel Galuh. Namun lagi-lagi pelototan sang ibu membuat Farid urung. Dia pun mau tak mau ikutan masuk mobil bersama kedua orang tuanya.

 

Begitu mobil keluarga kyai dari Tegal itu sudah tak ada, Bu Nyai Khomsah terlihat menghembuskan napas dengan keras. Dia memijat dahinya. Sang suami tersenyum menenangkan.

“Masuk aja yuk, kita ngobrol sambil duduk aja di dalam biar gak capek dan spaneng.”

Ketiganya lalu masuk. Galuh segera mengambil minyak rempah-rempah dengan botol warna hijau dan mengoleskan pada leher sang ibu angkat. Dengan telaten Galuh memijatnya. Sepuluh menit kemudian, Galuh menanyakan keadaan sang ibu angkat.

“Sudah enakan, Umi?” tanya Galuh dengan terus memijat. 

 

“Lumayan, tapi umi sedih, Nduk.” 

 

“Sedih kenapa Umi? Sedih karena Galuh ditolak lagi?”

 

“Iya, dan ini sudah yang kelima kali, Nduk. Umi stress kepikiran kamu. Teman-teman seangkatanmu sudah nikah semua, bahkan di bawahmu juga, lah kamu kapan?”

“Kapan-kapan kalau Allah menakdirkan, Umi. Lagian gak ketemu di dunia ya akhirat, Umi. Gitu aja repot.”

Bu Nyai Khomsah menimpuk bahu putri angkatnya dengan cukup keras membuat sang gadis mengaduh lalu terkikik.

 

“Ngomongmu, Nduk. Bisa jadi doa.”

 

“Lah setidaknya di surga, jodohnya Galuh gak mandeng bibit, bebet, sama bobotnya Galuh, Umi," ucap sang gadis. Meski dengan cengengesan tapi kedua orang tua di dekatnya tahu, jika Galuh sama-sama stress seperti Bu Nyai Khomsah.

 

“Mungkin belum jodoh, sabar. Galuh masih muda, baru dua lima. Siapa tahu ya Nduk ya, ketemu jodoh di perempatan.” Kyai Baihaki mencoba sedikit mencairkan ketegangan.

“Nggih, Bah. Amin, jodoh till jannah ya Bah.”

“Amin.”

Lalu ayah dan anak angkat sama-sama tertawa sementara Bu Nyai Khomsah memilih memijat pelipisnya. Kepalanya terasa pening, lehernya kaku dan perutnya bergejolak karena rasa mual.

 

“Gak usah bercanda deh, Abah. Ini sudah berkali-kali loh. Mau dari orang biasa, orang kaya hingga gak punya, pada nolak Galuh terus. Umi jadi sedih.”

“Ya berarti emang bukan jodohnya Galuh ya Luh.”

“Nggih, Bah. Umi santai saja dong, Galuh saja santai, sabar. Umi jangan kepikiran ya? Mending Umi mikirin nyariin jodohnya Gus Alfa saja. Sudah dua delapan, sudah pantes, nikah.”

 

Bu Nyai Khomsah kembali memijit pelipisnya sementara Kyai Baihaki dan Galuh tersenyum. Jelas jika berurusan dengan putra semata wayang mereka, maka akan jauh lebih njlimet. Putra mereka masih menempuh pendidikan di Kairo untuk program S3. Dan selama ini, putranya juga jarang ada kabar dekat dengan cewek. Sekalinya akan dijodohkan, sang putra langsung menolak mentah-mentah.

 

“Gak kamu, gak si Alfa. Pada bae angele nek urusan jodoh (sama saja susahnya kalau urusan jodoh).” Bu Nyai Khomsah kembali memijat pelipisnya sementara Kyai Baihaki dan Galuh berusaha menahan tawa. Galuh pun kembali memijat leher sang ibu angkat, membawanya pada banyak cerita agar sang ibu melupakan sejenak perihal upaya perjodohan yang kembali gagal.

 

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Onycha Shanum
cerita bagus
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Cinta Gadis tak Bernasab   129. Penculikan

    "Tuan, apa Anda ingin saya melakukannya segera?""Iya semakin cepat semakin baik. Setelah ini, aku akan langsung membawa cucuku pergi. Hingga tak ada seorang pun yang bisa mengambilnya," ucap lelaki tua bernama Bawazier. "Baik, Tuan. Saya akan segera mempersiapkan diri bersama yang lain.""Aku benar-benar berharap padamu, Danu. Jangan sampai membuat kesalahan, apalagi ada jejak yang akan menuju padaku, mengerti!""Tuan jangan khawatir. Tuan bisa percaya pada saya."Bawazier tersenyum puas. Danu, lelaki berusia tiga puluhan pun pergi dari ruang kerja milik Bawazier. Belum ada satu menit, pintu ruang kerja kembali terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik. Sosok itu langsung duduk di depan suaminya."Kak Bawazier, benarkah Kakak akan mengambil anak itu?""Tentu saja. Memangnya kamu punya cucu lain lagi? Atau kamu ingin aku menikah lagi agar aku bisa memiliki keturunan lain dan tidak perlu berurusan dengan keturunan dari wanita panti itu!" ucap Bawazier, se

  • Cinta Gadis tak Bernasab   128. Dugaan Hamil

    Alwi sedang tiduran di kasurnya. Setelah memastikan asetnya tidak apa-apa, dia memutuskan untuk istirahat. "Sial! Kenapa sih, aku seringnya sial kalau ketemu itu cewek. Awas saja, akan kubalas dia. Pasti akan kubalas."Tiba-tiba ponsel Alwi berdering, Alwi ingin tak mengangkatnya tapi akhirnya dia angkat juga. Setelah menjawab salam, dia langsung saja to the point pada si penelepon."Ada apa, Mbak?""Cuma mau ngasih tahu, beberapa kontrakmu dibatalkan termasuk yang kamu mau jadi pemeran utama film yang syuting di Beijing.""Bukannya emang produksinya juga bermasalah kan?""Emang. Makanya kamu harus bersyukur gak perlu bayar pinalti termasuk pelanggaran beberapa kontrak iklan.""Oh.""Hanya 'oh' saja tanggapanmu? Padahal kamu hampir aja mematikan mata pencaharianku."Alwi hanya diam saja tak berkomentar. Mita yang sudah menyerah pada Alwi akhirnya memberikan ultimatumnya"Terserah kamu. Masa kerja kita hanya tinggal enam bulan lagi sesuai kontrak. Aku udah gak akan nyariin kontrak apa

  • Cinta Gadis tak Bernasab   127. Sakit Ya?

    [Kapan kamu balik? Cepatlah balik. Banyak kerjaan yang sudah menunggu. Profesional dong, Wi! Kamu jangan gegayaan sok terkenal. Kamu tuh belum jadi apa-apa. Jangan belagu!][Awalnya aku seneng kerjasama sama kamu. Tapi kalau endingnya gini, mending aku gak nerbitin kamu loh, Wi][Bukan cuma kamu yang butuh duit. Aku juga. Aku harus kasih makan anakku. Please lah. Udah banyak yang aku lakuin buat ngurusin ego kamu. Oke sekali dua kali, itu gak masalah. Berulang kali ... sama aja bunuh diri][Kalau kamu masih anggep aku manajermu, jawab aku. Kalau gak bisa, anggap aku sahabat kamu. Kalau gak juga, anggap ini permintaan seorang janda yang lagi nyari duit buat makan!]Pesan dari sang manajer sedikit membuat Alwi merasa tak enak. Jujur saja, Alwi harus berterima kasih pada sang manajer. Karena wanita itu, Alwi menemukan passion dia. Alwi juga bisa membantu perekonomian sang manajer. Alwi pun bisa mendapat banyak uang. Uang yang ingin Alwi gunakan untuk masa depan bersama Galuh.Tapi ... se

  • Cinta Gadis tak Bernasab   126. Gendong-Gendongan

    Salah satu hal yang Alfa sukai jika Zahra sedang menginap adalah Fairuz akan lebih banyak waktu main sama Zahra jadi dia bisa lebih banyak main sama Galuh. Terutama bermain saat malam hari. Tanpa takut ketahuan dan bisa nambah berulang.Namun kali ini ada yang berbeda dengan sang istri. Biasanya jika selesai bercinta, Galuh hanya akan membersihkan diri lalu tidur. Tapi kali ini ada yang aneh, setelah membersihkan diri, yang dilakukan Galuh adalah ngemil. Ya, ngemil jajanan yang tadi sore dibeli di minimarket."Kamu laper banget apa?""Iya Mas. Rasanya pengen makan terus," jawab Galuh sambil sesekali mengunyah kuaci."Mau tak bikinin makanan? Mie instan, mie goreng atau nasi goreng? Sesuatu yang bikin kamu kenyang. Dari pada ngemil gitu, nanti gak kenyang.""Moh. Maunya ini aja.""Oh begitu. Ya udah, mas tak bikin mie goreng dulu deh.""Oke."Alfa pun keluar kamar dan segera menuju ke dapur. Galuh sendiri tetap bertahan di kamar. Dia ingin rambutnya kering dulu sebelum keluar kamar. Be

  • Cinta Gadis tak Bernasab   125. Ratunya Tantrum

    "Loh, Tifah. Sejak kapan di sini?" tanya Bu Nyai Khomsah. "Mas Baihaki mana, Mbak?" bukannya menjawab pertanyaan, Bu Nyai Latifah malah bertanya tentang keberadaan sang kakak. "Masih ngobrol sama Pak Subandi tadi.""Alfa mana?""Mampir ke minimarket, si Fay minta jajan. Masih pada di sana mungkin.""Haish."Bu Nyai Latifah kesal. Dia memilih kembali duduk di sofa ruang tamu dan menunggu sang kakak. Setengah jam kemudian, sang kakak akhirnya pulang. "Mas! Njenengan kemana saja sih? Lama bener ngobrolnya. Gak tahu apa aku sudah nunggu dari tadi.""Ya maaf. Habis tadi ngobrol urusan ngaspal jalan desa, makanya lama bahasnya," jawab Kyai Baihaki lembut. Kyai Baihaki kemudian duduk di sebelah sang adik. "Ada apa?""Alwi.""Alwi?"Bu Nyai Latifah lalu mengeluarkan semua unek-uneknya. Kyai Baihaki menyimak saja tanpa menyela. Begitu sang adik sudah mengutarakan semua yang dia ingin ucapkan, respon Kyai Baihaki hanya berupa helaan napas saja. "Lah kok gak ngomong sih Mas? Komen apa git

  • Cinta Gadis tak Bernasab   124. Dari Mana Kamu?

    "Kamu dari mana?" cecar Bu Nyai Latifah ketika sang putra baru saja masuk. Tapi Alwi tak langsung menjawab. Dia malah memilih menuju ke ruang tengah, duduk di sofa dan langsung berjibaku dengan ponsel. Bu Nyai Latifah tentu saja marah. Sang putra bukannya menjawab malah mengabaikannya. "Dari rumah Alfa, kan? Kamu mencoba menemui anak haram jadah itu lagi?" Suara Bu Nyai Latifah meninggi."Umi! Jangan sebut dia anak haram. Dia punya ayah dan ibu. Dan kalau Umi lupa, ayahnya Galuh termasuk keturunan Arab yang punya status tinggi. Mungkin lebih tinggi dari status Umi atau Abah.""Tapi ibunya wanita kotor. Jelek. Sama kayak Galuh.""Umiiii! Ibunya wanita baik-baik. Malah lebih baik dari Umi. Buktinya dia wanita baik, abanya Galuh tetep setia nungguin. Bahkan nerima lagi meski muka istrinya udah kayak gitu. Gak kayak Abah.""Maksud kamu apa? Abahku itu laki-laki baik?""Umi yakin?" "Tentulah."Alwi tertawa. "Terus wanita bernama Indira, itu siapa ya?"Mimik wajah Bu Nyai Latifah langsun

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status