Share

Cinta Gadis tak Bernasab
Cinta Gadis tak Bernasab
Penulis: Bai_Nara

1. Ditolak Lagi

Seorang wanita sedang sibuk menderas Al-Quran di kamarnya yang berada di bagian pojok. Gadis itu berusia dua puluh lima tahun. Dia adalah anak angkat Bu Nyai Khomsah dan Kyai Baihaki. Mereka adalah pengasuh di sebuah pondok di daerah Kebumen dengan nama Pondok Al Kautsar.

 

Meski menjadi anak angkat seorang kyai dan bu nyai yang cukup ternama di daerah Kebumen, Galuh tak pernah membanggakan diri. Dia tetap rendah hati namun tidak pernah merasa rendah diri. Bagi Galuh, semua manusia sama yang membedakan adalah ketakwaan. Catat ketakwaan.

Galuh masih sibuk menderas Al Quran hingga deresannya terhenti ketika mendengar pintu kamarnya diketuk.

“Wa'alaikumsalam, masuk,” titah Galuh.

Pintu terbuka dan tampaklah seorang santri berusia delapan belas tahun bernama, Husna.

“Ada apa Mbak Husna?”

“Ditimbali Umi, Mbak.”

“Oooo. Bentar ya, rampungin beberapa ayat lagi.”

“Nggih.”

Husna pun pergi dan menutup pintu, Galuh sendiri kembali melanjutkan ngajinya hingga berganti ke akhir surat Al-Maidah. Galuh pun segera menaruh mushafnya di nakas, mencopot mukena, dan menutupi kepalanya dengan kerudung instan dari bahan cerruty. Galuh bergegas menemui ibu angkatnya.

Sampai di samping pintu rumah, Galuh mengucap salam dan menggunakan kedua lututnya untuk mencapai ke arah sang ibu angkat yang duduk di sofa ruang tengah,. Galuh langsung mencium tangan sang ibu angkat dengan takdim. Bu Nyai Khomsah tersenyum melihat kedatangan sang anak angkat. Di samping beliau ada orang lain. Seorang wanita seusia Bu Nyai Khomsah.

“Nduk, kenalin ini Bu Nyai Khofifah dari Tegal.”

Galuh tersenyum lalu menyalami Bu Nyai Khofifah. Bu Nyai Khofifah tampak memperhatikan Galuh dari atas hingga bawah. Ada binar kekaguman di mata wanita usia setengah abad itu. Bu Nyai Khomsah tersenyum, dia berharap kali ini akan berhasil.

“Namamu siapa?”

“Galuh Anjani, Bu Nyai.”

“Wah nama yang bagus. Sudah lulus kuliah?”

“Sampun Bu Nyai.”

“Lulusan apa?”

 

“Pendidikan matematika.”

“Oooo, tapi sudah khatam tiga puluh jus, kan?”

“Nyuwun pandonganipun, Bu Nyai.”

“Dia sudah khatam sejak lulus Aliyah, tinggal istikhomahnya aja,” celetuk Bu Nyai Khomsah.

 

Bu Nyai Khofifah manggut-manggut. Lalu dia kembali bertanya banyak hal pada Galuh membuat sang gadis hanya bisa menjawab dengan menunduk sambil menata hatinya. Sejauh ini, semua pertanyaan dari Bu Nyai Khofifah berhasil dia jawab dengan cukup baik. Entah nanti jika pertanyaan paling sakral terucap dari mulut sang bu nyai asal Tegal itu apakah Galuh masih bisa menjawab atau tidak.

“Kamu Asli mana?”

Deg. Galuh diam, tak bisa menjawab. Bu Nyai Khomsah yang paham akhirnya bersuara.

“Galuh saya temukan di depan gerbang pondok, dua puluh lima tahun yang lalu. Kami sudah mencari info siapa kedua orang tuanya tapi … hingga saat ini kami belum menemukan hasil. Namun Bu Nyai jangan khawatir, saya jamin Galuh itu sangat baik, kok.”

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Bu Nyai Khomsah mencoba mengamati raut wajah salah satu kenalannya. Dan raut wajah Bu Nyai Khofifah ternyata sama saja dengan raut wajah yang lain. Para kandidat calon ibu mertua Galuh yang rata-rata akan menolak Galuh gara-gara asal usul Galuh.

“Jadi Galuh anak terbuang? Bibit, bobot dan bebetnya gak ketahuan?” celetuk Bu Nyai Khofifah.

“Insya Allah anaknya baik, kok Bu Nyai. Saya jamin, saestu. Bu Nyai kan minta yang pinter ngaji, tawadu, baik, sopan, ya makanya saya sarankan Galuh.” Bu Nyai Khomsah berkata dengan suara yang lembut dan sopan.

“Lah ya mana bisa gitu, Bu Nyai. Anakku si Farid kan anak kyai, kita dari keluarga pesantren turun temurun, masa nyari istri yang gak jelas bibit, bobot dan bebetnya? Ya gak mau aku, emoh. Mending aku nikahkan anakku sama mantan ta'arufan anakku yang katanya calon bidan. Meski bukan santri tapi jelas siapa orang taunya.” Bu Nyai Khofifah tampak kesal dengan Bu Nyai Khomsah, dalam hati dia merutuki bagaimana bisa Bu Nyai Khomsah menawarkan gadis tanpa nasab yang jelas pada putranya. Meski sang putra mengatakan kalau dia kesengsem dengan foto Galuh tetap saja dia tak akan asal mengiyakan calon mantu yang gak jelas asal-usulnya.

“Ya sudahlah, gak usah dicariin lagi, Bu Nyai. Saya tak nyari yang lain saja. Itu calon bidan kenalannya Farid tak jadikan cadangan sebelum saya menemukan calon lain yang lebih baik.”

 

 

Bu Nyai Khomsah hanya bisa tersenyum. Meski begitu, terlihat sekali matanya menyiratkan kesedihan. Galuh sendiri hanya menunduk dan diam. Dia tak bersuara. Dia hanya bersuara dan bergerak ketika Bu Nyai Khofifah pamitan.

 

Farid yang melihat Galuh menemani sang ibu angkat melakukan aksi lirik-lirik dan tebar senyum yang langsung mendapat pelototan dari sang ibu. Farid ingin sekali mengatakan pada ibunya jika dia mau minta nomer ponsel Galuh. Namun lagi-lagi pelototan sang ibu membuat Farid urung. Dia pun mau tak mau ikutan masuk mobil bersama kedua orang tuanya.

 

Begitu mobil keluarga kyai dari Tegal itu sudah tak ada, Bu Nyai Khomsah terlihat menghembuskan napas dengan keras. Dia memijat dahinya. Sang suami tersenyum menenangkan.

“Masuk aja yuk, kita ngobrol sambil duduk aja di dalam biar gak capek dan spaneng.”

Ketiganya lalu masuk. Galuh segera mengambil minyak rempah-rempah dengan botol warna hijau dan mengoleskan pada leher sang ibu angkat. Dengan telaten Galuh memijatnya. Sepuluh menit kemudian, Galuh menanyakan keadaan sang ibu angkat.

“Sudah enakan, Umi?” tanya Galuh dengan terus memijat. 

 

“Lumayan, tapi umi sedih, Nduk.” 

 

“Sedih kenapa Umi? Sedih karena Galuh ditolak lagi?”

 

“Iya, dan ini sudah yang kelima kali, Nduk. Umi stress kepikiran kamu. Teman-teman seangkatanmu sudah nikah semua, bahkan di bawahmu juga, lah kamu kapan?”

“Kapan-kapan kalau Allah menakdirkan, Umi. Lagian gak ketemu di dunia ya akhirat, Umi. Gitu aja repot.”

Bu Nyai Khomsah menimpuk bahu putri angkatnya dengan cukup keras membuat sang gadis mengaduh lalu terkikik.

 

“Ngomongmu, Nduk. Bisa jadi doa.”

 

“Lah setidaknya di surga, jodohnya Galuh gak mandeng bibit, bebet, sama bobotnya Galuh, Umi," ucap sang gadis. Meski dengan cengengesan tapi kedua orang tua di dekatnya tahu, jika Galuh sama-sama stress seperti Bu Nyai Khomsah.

 

“Mungkin belum jodoh, sabar. Galuh masih muda, baru dua lima. Siapa tahu ya Nduk ya, ketemu jodoh di perempatan.” Kyai Baihaki mencoba sedikit mencairkan ketegangan.

“Nggih, Bah. Amin, jodoh till jannah ya Bah.”

“Amin.”

Lalu ayah dan anak angkat sama-sama tertawa sementara Bu Nyai Khomsah memilih memijat pelipisnya. Kepalanya terasa pening, lehernya kaku dan perutnya bergejolak karena rasa mual.

 

“Gak usah bercanda deh, Abah. Ini sudah berkali-kali loh. Mau dari orang biasa, orang kaya hingga gak punya, pada nolak Galuh terus. Umi jadi sedih.”

“Ya berarti emang bukan jodohnya Galuh ya Luh.”

“Nggih, Bah. Umi santai saja dong, Galuh saja santai, sabar. Umi jangan kepikiran ya? Mending Umi mikirin nyariin jodohnya Gus Alfa saja. Sudah dua delapan, sudah pantes, nikah.”

 

Bu Nyai Khomsah kembali memijit pelipisnya sementara Kyai Baihaki dan Galuh tersenyum. Jelas jika berurusan dengan putra semata wayang mereka, maka akan jauh lebih njlimet. Putra mereka masih menempuh pendidikan di Kairo untuk program S3. Dan selama ini, putranya juga jarang ada kabar dekat dengan cewek. Sekalinya akan dijodohkan, sang putra langsung menolak mentah-mentah.

 

“Gak kamu, gak si Alfa. Pada bae angele nek urusan jodoh (sama saja susahnya kalau urusan jodoh).” Bu Nyai Khomsah kembali memijat pelipisnya sementara Kyai Baihaki dan Galuh berusaha menahan tawa. Galuh pun kembali memijat leher sang ibu angkat, membawanya pada banyak cerita agar sang ibu melupakan sejenak perihal upaya perjodohan yang kembali gagal.

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Onycha Shanum
cerita bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status