Malam ini aku menyaksikan sebuah pesta pernikahan. Dimana pasangan yang sedang berjalan di atas altar adalah dua orang yang sangat aku sayangi. Risa, sahabat baikku. Gadis itu terlihat begitu mempesona dengan gaun pengantin berwarna putih serta berlian kecil yang memenuhinya.
Selain Eva, gadis dengan gaun panjang Semerah darah yang kini sibuk menghibur dengan sesekali menengusap bahu telanjangku, Risa adalah sahabat baikku sejak duduk di bangku kuliah.
Lalu lelaki yang kini berstatus sebagai suami Risa, Farhan. Cinta pertamaku. Lucu memang, cintaku kandas begitu saja. Sahabat yang selalu kujadikan tempat berbagi cerita telah melangkahi jalan. Bodohnya aku yang selalu menunggu, tapi lelaki itu malah jatuh cinta kepada orang yang menjadi tempatku berbagi cerita.
"Hanna, kamu baik-baik saja kan?" Aku tersadar oleh suara Eva, yang sedari tadi menghiburku dengan berbagai cara. "Aku baik-baik aja kok," tidak, aku tidak baik-baik saja. Tapi aku tak bisa memberitahunya "Va, aku ke kamar mandi bentar ya?" Jika aku masih bertahan di sini, mungkin aku akan berakhir dengan mempermalukan diri sendiri. "Mau aku temenin?" Aku menggeleng, lalu tersenyum sekilas. Aku tau Eva khawatir,*** Di kamar mandi aku meratapi nasib sekarang. Mengapa semua ini bisa terjadi? Bagaimana semuanya dimulai? Apa kesalahan yang saya buat sehingga hal ini bisa terjadi? Mengapa mereka tega melukaiku secara bersamaan? Aku memikirkan semua kemungkinan, tapi tak pernah menemukan jawaban. Aku telah menunggu begitu lama, namun lelaki itu pergi begitu saja. Aku menatap diri di kaca. Menyedihkan! Aku benar-benar pecah. Mataku sembab dan memerah. Makeup ku hancur karena kubilas dengan air beberapa kali. Sedangkan sanggul yang telah di tata rapi oleh Eva tadi, kini telah terlepas. Aku tidak tahu siapa gadis di dalam kaca itu. "Mengapa kamu begitu menakutkan?" Aku hanya bisa melihat wajah mengerikan itu.Jika berakhir seperti ini, saya mungkin tidak punya keberanian untuk kembali. Aku tidak mau mereka tertawa di atas kesedihanku. Aku hanya akan mempermalukan diri. Kuputuskan untuk mengambil ponselku di dalam tas selempang kecil, yang senada dengan gaunku "Hanna?" "Va, aku pulang duluan ya?" Aku segara berucap begitu mendengar suaranya. "Kamu tak apa kan?" Ia kembali bertanya, mungkin dia sadar suaraku yang kini berubah. “Tentu saja,” aku memaksakan suara tawa, yang perlahan terasa canggung karena gadis itu tak lagi menjawab. Dia sadar, Eva begitu peka. Aku yakin dia tahu apa yang terjadi padaku. "Baiklah," aku bisa mendengar helaan nafas darinya. "Hati-hati, begitu sampai segera hubungi aku."Aku menggigit bibir, takut-takut tangisku kembali pecah. "Baik." Dengan susah payah, kata itu terucap. Setelah mendapat izin, saya memutuskan panggilan kami. Setelah itu, saya mencoba merapikan rambut ikal hitam panjang yang tidak karuan. Aku kembali menatap diri di cermin, aku sadar, aku tak lagi terlihat cantik seperti di awal acara. Padahal, gaun selutut ini sengaja aku beli untuk acara Risa. Eva bilang aku harus terlihat lebih memukau dari gadis itu. Tapi sepertinya dengan gaun yang cantik, polesan make up serta rambut yang tersanggul rapi tidak bisa mengalahkan Risa. Aku tidak bisa lebih bahagia darinya. Gadis itu terlihat begitu mempesona, berjalan angkuh di atas altar. Dia bahkan tidak merasa bersalah padaku.Apa yang bisa aku harapkan? Farhan juga tidak pernah menjadi milikku. Risa tidak mencuri apapun. Hanya aku yang sedih, dengan harapan yang ku simpan sendiri, kini aku hancur.
"Sadarlah," aku menampar wajahku beberapa kali, lalu menarik napas berat. "Kamu juga bisa bahagia Na!" Tekan saya pada diri sendiri.
Kuputuskan untuk berhenti menyalahkan takdir atau siapapun, aku ingin segera pergi dari tempat ini. Aku mengambil langkah, keluar dari kamar mandi sambil menutupi wajah dengan rambutku yang kini tergerai. Aku tidak ingin ada yang melihat keadaan sedihku.
Saat sedang sibuk menutupi wajahku, aku malah menabrak seseorang karena tidak memperhatikan jalan. Kini aku dibasahi oleh cairan.
"Maaf, kamu tidak apa-apa?" Suara berat seorang lelaki terdengar.
Aku mendesis, rasanya aku ingin menangis lagi. Bajuku berakhir dengan mengenaskan, terkena wine dari gelas lelaki yang dibawanya. Bukan hanya di bagian atas, namun sampai bagian bawah kini gaun putih itu berubah menjadi merah.
Lelaki itu terlihat panik, dan berusaha membantuku membersihkan noda itu, tapi sayang. Saya rasa tidak mungkin. Baju mahal ini seolah mengejekku, dengan segala masalah malam ini, dia juga menambah kekesalanku.
"Tak apa," aku berujar sambil menaikkan pandangan sekilas, sementara tanganku masih berusaha membersihkan cairan itu yang kembali merusak malamku.
Namun, berapapun mata lelaki itu berhasil menangkap wajahku. Dia terlihat keriput kening heran. Tentu saja, saya terlihat begitu kacau. Seharusnya dia kebingungan, di acara bahagia ini, ada seorang manusia dengan mata sembab. Siapapun pasti akan sadar, kalau aku baru saja menangis."Aku rasa kamu tidak dalam keadaan baik." Suara dalam lelaki itu membuat aku tercekat, aku semakin menunduk, berusaha menyembunyikan keadaanku, meski dalam waktu bersamaan aku cukup tau, ini tidak akan berhasil.
"Aku benar-benar baik," aku berujar cepat, hendak melangkah untuk meninggalkan lelaki itu. namun ditahan olehnya.Mata kami dipertemukan, beradu dalam diam. Wajah lelaki itu begitu rupawan. tegas, dengan alis tebal, hidung mancung serta bibir yang hampir membentuk huruf M. Pupil matanya hitam pekat. Tatapan lelaki itu terasa menarikku ke dalam sana. Ia begitu mempesona.
Kami bertahan dalam postur itu cukup lama, hingga saya tersadar, ini tidak benar. Tidak seharusnya, dalam keadaan sedih seperti ini, aku malah beradu pandangan dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku segera menarik diri, dan lelaki itu langsung melepaskan lenganku, dia terlihat tak enak, mungkin?
"Namaku Alex," ucap lelaki itu tiba-tiba, dia melepas tuxedo hitam miliknya, meninggalkan kemeja putih yang membuat tubuh kekar lelaki itu mengintip dari balik kemeja putih miliknya. "Jangan menangis sendirian." Lelaki itu kehancuran tuxedo tersebut pada bahuku yang terbuka."Kamu tidak perlu...," Aku berusaha menahan lelaki itu, rasanya tidak pantas menerima perlakuan seperti ini dari orang asing. Namun sepertinya saya tidak bisa apa-apa, saya memaksa.
"Gaunmu rusak parah, aku akan bertanggung jawab." Putus lelaki itu."Ini hanya gaun, lagipula setelah ini aku tidak akan pernah memakainya lagi." Mungkin, saya hanya akan menerima tatapan miris jika saya tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Mau ketempatku?" Lelaki itu tiba-tiba melontarkan kalimat yang tidak bisa kupahami. "Apa?" Aku mengerutkan kening, cukup kaget dengan tawaran itu. Kami baru bertemu, tapi lelaki itu dengan gamblang malah mengajak ketempatnya. "Aku tinggal di sekitar sini, tidak jauh. Hanya butuh waktu 20 menit naik motor. Aku rasa kamu butuh sesuatu yang bisa membuat mood kamu baik." "Motor?" Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum. "Saya belum pernah naik motor." Aku tergiur, mungkin mengendarai motor malam-malam begini akan terasa menyegarkan. "Kalau begitu,Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Alex itu memamerkan senyum manisnya. Menarik lenganku, membawaku berdua. Saya tidak mengerti, kenapa saya tidak bisa menolak. Tanpa sadar, mungkin aku berharap dihibur oleh seseorang. Aku tidak mau membuat Eva semakin khawatir. Alex muncul entah darimana, seolah menjadi penyelamat saat aku kehilangan banyak hal. *** Sekitar pukul sebelas malam, motor sport Alex berbunyi keras membelah jalanan. Ini pertama kalinya untukku, dengan gaun pesta serta sepatu hak tinggi, aku duduk di belakang lelaki yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Saya memeluk pinggang lelaki itu erat karena takut, tapi pada saat yang sama saya merasa senang. "Berteriak lah!" Alex tiba-tiba menyuruhku. "Apa?" Saya tidak yakin dengan yang baru kudengar."Teriak!" Ia mengembalikan tekanan. Aku berpikir untuk sewaktu-waktu, aku rasa berteriak di luar bukan sesuatu yang merugikan. "Aahhkk!" Dan aku melepaskan suara yang terasa tercekat di kerongkongan sedari tadi. Saya cukup lega. "Hanya itu?" Terdengar tidak puas. "Aku harus apa?" "Katakan sesuatu, keluarkan isi hati!" Aku semakin mengeratkan pelukan pada pinggang Alex, aku tidak yakin. Apa yang terjadi? Tapi saat ini aku sedang memeluk lelaki asing. Tak ada yang lebih aneh dari itu. Menjadi gila untuk satu malam tidak akan membunuhku, kan?"Aku membencimu! Seharusnya kamu bilang dari awal, kalau kamu juga menyukainya! Apakah menyenangkan melihat aku seperti orang bodoh yang menceritakan semua perasaanku padanya? Seharusnya aku tidak pernah percaya pada kata-kata kamu!"Saya yakin laki-laki itu tau kemana arah kata-kataku, tapi saya tidak peduli lagi pada berbagai persepsi. Aku benar-benar melepaskan isi hatiku malam ini, sepertinya sewaktu-waktu, aku bisa mengatai mereka berdua tanpa rasa takut. Aku tidak perlu berkata baik-baik saja, tersenyum seperti orang bodoh. Lalu tersakiti berkali-kali.
“Bagus,” aku bisa mendengar kekehan ringan yang keluar bersama kata itu. Setelahnya, Alex mempercepat laju motornya, membuatku semakin merapatkan diri mengeratkan pelukan, menutup mata menikmati angin dingin yang menusuk sampai tulang.
TBC
Hariku berjalan begitu saja, bekerja dan menggerutu karena banyaknya tugas yang harus kuselesaikan. Ditambah, kini Alex mulai bertingkah, hingga membuatku ketakutan jika sampai ketahuan. Apa yang akan karyawan lain pikirkan tentang kami? Lelaki itu kerap kali menghampiri meja kerjaku hanya untuk alasan sepele. Contohnya seperti saat ini, pinjamkan aku pulpen!Aku hampir melemparnya dengan mouse komputer, jika saja dia bukan atasanku. Ini menyebalkan, lihat saja tatapan orang-orang di sekitar. Jauh-jauh keluar dari ruangannya, lelaki itu datang sambil menadah sepotong pena dariku. Maaf pak, di dalam ruang bapak saya rasa ada pena. Geramku menggertakkan gigi.Tak ada yang berfungsi dengan baik, ujarnya enteng. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar, nanti akan kukembalikan.Akupun menurutinya permintaanya, mengambil pulpen dalam laci, lalu kuserahkan pada lelaki itu. Ini pak.Terimakasih, dia langsung melenggang berjalan meninggalkanku begitu saja. Sedangkan karyawan lain, mereka masih
Lift terbuka, aku siap-siap keluar mengabaikan kekhawatiran Alex. Aku tidak ingin bertengkar meributkan tentang hati. Meski besar keinginanku untuk memastikan, aku rasa bukan saat ini. Bukan waktu yang tepat. Berjalan terburu, menunduk dalam memperhatikan langkah kakiku yang terlalu cepat, aku ingin segera pulang. "Hanna," lagi-lagi Alex mencekal lenganku. Ia menahanku untuk lebih jauh pergi darinya. "Apa yang kamu pikirkan?" Ia sadar, kegusaran memenuhi wajahku. "Tidak ada," aku berpaling, menenggelamkan perasaanku sendiri. Dia begitu peka dengan perubahan sikapku. Seharusnya, dia juga harus mengerti, kalau kini, aku telah jatuh padanya. Aku tak ingin hatiku kembali hancur karena sebuah harapan tanpa tuan. Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang. Kenapa begitu mudahnya? Kenapa selalu hanya aku? Setidaknya, jika memang dia orangnya, buat lelaki itu jatuh begitu dalam padaku juga. Sayang, aku bisa berharap apa? Seorang Hanna, gadis dengan banyaknya kisah menyedihkan. Parasku j
Alex memesankan kami sarapan. Secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak tau, sejak kapan semua hidangan tersebut tertata rapi di atas meja. Ia menyuruhku untuk duduk dekatnya, memaksa agar menghabiskan semua sayuran, daging serta buah-buahan yang telah ia potong kecil-kecil. Aku tidak tau mengapa, semua orang jadi lebih overprotektif padaku sejak bayi ini ada. Meski nyatanya, aku cukup menyukai hal tersebut. Perhatian yang sebenarnya terasa berlebihan itu, aku cukup menikmatinya.Suara dering ponsel Alex membuat aktivitas menyuap kami terhenti sesaat, lelaki itu segera mengambil benda persegi itu dari atas meja, mengangkat panggilan dari seseorang. "Halo?" Ia menyapa. Aku melihat keningnya berkerut, sambil terus mengunyah apel aku memperhatikan gerak gerik lelaki itu. Hingga dia menyodorkan ponsel berwarna hitam itu kearahku. "Apa?" Tanyaku tak mengerti. "Eva," pungkas lelaki itu ringan. Hak itu berhasil membuatku membelalakkan mata spontan. Aku segera meletakkan garpu yang digunakan
"Hanna," ia menyebut namaku dengan hati-hati. Aku hanya bisa menunggu, apa yang akan ia lontarkan selanjutnya. "Bolehkah aku menciummu?"Awalnya, aku sedikit terkejut, membola seketika. Bingung, berpikir keras. Seharusnya, aku tak perlu menimang bukan? Seharusnya aku hanya perlu mendorongnya menjauh, bangun dari sana, lalu mengatainya seperti biasa. Benar, seharusnya begitu. Tapi kenapa sekarang aku malah mengangguk dengan ragu? Tak mampu berpaling dari matanya yang mengikatku kuat. Aku, juga menginginkannya. Sebuah ciuman, sebuah pelukan dan perlakuan manis dari seseorang yang menyayangiku. Aku juga ingin merasakan kebahagiaan dan cinta yang selama ini ku impikan. Aku sangat menginginkannya. Perlahan namun pasti, ia mendekat. Pelukannya pada pinggangku semakin erat. Kelopak matanya, naik turun menyoroti bibir dan netraku bergantian. Aku merasakan, nafas Alex yang semakin berat. Bukan hanya dia, aku juga menunggu bibir kami bertemu. Namun, "kenapa kamu ingin menciumku." Aku mena
"Kamu punya wine?" "Apa?" Alex menaikkan alis heran, ia menarik diri duduk tegak. Meski tidak berpindah sedikitpun dari tempat semula. "Untuk apa?" "Entahlah, mungkin aku akan melupakan semua. Meski hanya untuk sesaat." Meski banyak masalah yang datang setelah 2 gelas wine malam itu. Aku rasa, cairan itu ampuh membekukan otakku. "Hanna," ia mengulurkan tangan, menyentuh pipiku dengan punggung jemarinya. Mengusap pelan nan lembut. "Apa terjadi sesuatu?" Mataku bergetar, terpesona oleh pupil hitam pekat miliknya. Perlakuannya, cara dia bicara. Ia tau cara membuat orang merasa spesial. Tapi, bolehkah aku seperti ini? Bukankah, aku sudah menolaknya dengan kasar, bahkan memberi Risa harapan, bahwa aku tidak akan mengambil lelaki itu darinya? "Alex," aku memegang tangannya, hendak menurunkan dari wajahku. Namun, ia menahan. Kini, lelaki itu membingkainya dengan kedua telapak tangan, menelusup kebelakang kepalaku. Kedua ibu jarinya, menyapu pipiku perlahan. "Jika terjadi sesuatu, kat
Aku memutuskan untuk masuk melewati gerbang. Melawan diriku sendiri yang sedari tadi menyuruh berbalik. Hati dan otakku seakan bertarung tanpa henti. Dan aku, tetap melangkah mengikuti suara lain yang terus berbisik. Kurasa, aku sudah gila. Aku seakan tau, tempat mana yang ingin kutuju. Aku berjalan lurus tanpa merasa terganggu dengan apapun. Seolah, semuanya sudah pasti. Segalanya sudah terencana sedari awal. Aku tidak tau kenapa bisa begini? Aku menginginkannya? Atau mungkin, anak ini? Yang pasti, kini aku berdiri di depan sebuah pintu. Milik seseorang yang terus-menerus membayangiku selama beberapa hari. Aku ingin melihat wajahnya."Apa yang kamu lakukan, Hanna?" Tanyaku pada diri sendiri, memandangi tempat kayu dengan kenop perak di depanku.Hanya saja, segalanya terasa tidak masuk akal. Aku benar-benar ke tempat ini. Tanpa alasan yang jelas. Aku hendak menekan bel, namun ku urungkan ketika sadar akan satu hal. Mungkin, dia belum kembali dari perjalanan bisnis. Aku tidak meli
Aku tidak terlalu memikirkan gaun apa yang harus kupakai untuk pergi bersama Farhan. Bagiku, itu hanya makan malam biasa, apalagi Eva bersama kami. Gadis itu akan menjemputku, ia tidak membiarkan Farhan mendekat. Dia tau, apa yang harus dilakukan. Dan sekarang, kami berada di dalam mobil merah Eva, menuju sebuah restoran yang lelaki itu pesankan. Aku akan menjagamu, dengan tangan yang masih memegang kemudi, gadis itu terdengar siap berperang.Aku menggeleng pelan, tersenyum mendengar tuturan tidak masuk akal itu. Kita hanya makan malam, Va. Bukan mau melawan Monster."Tapi mirip," tekan gadis itu menaikkan alis, melirikku sekilas, seolah memberi pembenaran. "Terserah kamu saja," balasku hanya bisa pasrah. Mobil Eva melaju membelah jalan malam yang nampak masih cukup ramai. Sekitar 20 menit, ia mengendarai. Hingga kami sampai di sebuah restoran bintang lima yang terlihat sangat mewah. Bukan hanya aku, yang sebenarnya benar-benar tidak terbiasa menginjakkan kaki di tempat seperti i
Aku menatap diri di kaca, melihat pantulan tubuhku yang kini sedikit berisi. Jika ini aku beberapa bulan yang lalu, aku akan langsung memilih untuk mencari menu diet di internet. Tapi sekarang, aku rasa bukan makanan yang membuat berat badanku bertambah. Aku mengusap perutku pelan, menghela nafas ringan. "Sepertinya kamu tumbuh sehat."Entah mengapa ada rasa lega yang datang menyentuh hatiku. Aku senang, anak ini tidak mengalami masalah. Meski, masih ada keinginan untuk tidak mengakuinya. Tapi, sampai kapan aku bisa menyembunyikannya pada dunia? Pada akhirnya, aku harus mengakui keberadaannya. Selesai berdandan, memakai jas berwarna biru muda dan rok beberapa centi di bawah lutut yang senada. Aku keluar dari kos menuju kantor. Meski sedikit risau karena akan bertemu dengan Alex. Aku berusaha untuk bersikap biasa. Bukankah Hanna adalah seorang karyawan kantoran yang profesional? Sampai di kantor, aku segera menuju meja kerjaku. Melakukan apapun yang sudah semestinya kukerjakan. Dari
"kamu egois Hanna." Aku menaikkan alis mendengar tuduhan tidak mendasar itu. "Aku egois?" Benar-benar tidak masuk akal. "Iya," dia mendekat kearahku mengikis jarak. "Kamu mengambil semuanya dariku!" Gadis itu membentak dengan kemarahan tak terbendung. Rahangnya mengeras menusukku dengan tatapan. "Apa yang kuambil?" Aku bertanya tidak habis pikir. Ia bertingkah bak korban sekarang. "Semuanya! Semua yang aku inginkan, segala yang awalnya milikku!" Dadanya naik turun menahan kekesalan, melempar kata demi kata dengan teriakan. "Kamu telah merebut segalanya!"Aku mengerutkan kening, miris mendengar kalimatnya. "Aku merebut darimu?" Bahkan kata-kata itu terdengar konyol. "Risa," dia bahkan tidak tau apa yang kulewati karena malam itu. "Berhentilah bertingkah di depanku. Aku tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi padaku. Aku merasa semuanya adalah masalahku dan akan menyelesaikannya sendiri." "Apa?" Ia masih berlagak tak tau. "Aku rasa kamu mengerti, karena kamu bukan