"Saya terima nikah dan kawinnya Adelia binti Fairuz dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!"
Suara para saksi menyerukan kata, 'sah', bergema. Adelia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia tidak ingin pernikahan ini, tetapi perintah papanya adalah mutlak. Terlihat kelegaan di raut para tamu. Begitu pun di wajah orang tua sang gadis. Sebuah beban terangkat dari dadanya, setidaknya pernikahan sederhana yang baru saja berlangsung bisa menyelamatkan wajah keluarga besar Fairuz dari arang hitam yang telanjur dicoreng sang putri. Bagaimana tidak, saat ini Adelia tengah mengandung tiga bulan. Ketika ditanya siapakah pria yang menanam benih di rahimnya, gadis itu diam seribu bahasa. Meski cacian dan pukulan mendarat di tubuhnya dia setia bungkam.Sang Papa tentu tidak bisa menerima aib tersebut, di mana keluarga mereka dikenal di kalangan masyarakat kelas atas. Bagaimana mungkin anak bungsunya hamil di luar nikah? Sementara dirinya sedang gencar mengkampanyekan diri sebagai calon legislatif di kota mereka. Pria paruh baya tersebut tak ingin kehamilan sang putri dijadikan kampanye hitam bagi kubu lawan yang tentunya akan sangat merugikan dirinya. Dia tidak mau uang yang telah digelontorkan terbuang sia-sia hanya karena keadaan sang putri yang berbadan dua.Di tengah kebingungan mencari jalan ke luar dari permasalahan yang dibuat Adelia, Fairuz menawarkan sebuah perjanjian kepada seseorang yang telah lama bekerja padanya. Bayu nama pria itu. Dia seorang yatim yang bekerja sebagai asisten sang calon legislatif. Fairuz mengungkit tentang jasanya kepada pria tersebut. Tentang dia yang membiayai semua pendidikan Bayu sejak duduk di sekolah menengah atas, hingga ke jenjang universitas. Bahkan, pria yang rambutnya telah dihiasi uban tersebut juga mengungkit tentang biaya yang telah dikeluarkan untuk mengoperasi ibunda sang asisten.Bayu yang awalnya menolak, terpaksa menerima perjanjian tersebut. Toh, hanya untuk tiga tahun, setelah itu dia bisa menceraikan Adelia dan kembali meneruskan niat menikahi wanita yang telah dia janjikan pernikahan satu bulan sebelum perjanjian itu diajukan. Pernikahan yang dipersiapkan secara kilat, plus sebuah tiket bulan madu telah disiapkan Fairuz. Pria itu tidak mau kehamilan sang putri terendus media dan menjadi bola panas.Namun, tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Adelia. Gadis itu menolak dengan keras rencana Fairuz. Dia lebih memilih menyingkir, jauh dari hiruk-pikuk kota dan melahirkan anaknya dengan tenang. Akan tetapi, pria tersebut menolak keras keinginan sang putri. Baginya kehormatan keluarga adalah segalanya dibanding perasaan Adelia yang dipaksa menikah tanpa cinta.Adelia mengusap air matanya perlahan. Di saat semua orang merasa bahagia dengan pernikahannya, dia justru tengah mempersiapkan diri menghadapi neraka karena saat ini dia bisa merasakan kebencian pria yang baru saja mengucap akad padanya. Bayu sama sekali tidak mau menatap padanya. Pria itu selalu mengalihkan tatapan jauh ke belakangnya di mana gadis yang harusnya berada di posisinya berada. Keduanya saling pandang dalam diam. Adelia bisa merasakan cinta keduanya teramat dalam dan di sini dialah penjahat yang telah menghancurkan impian sepasang insan yang bermimpi membangun cinta dalam pernikahan.Namun, harus bagaimana lagi. Fairuz hanya memberikan dua pilihan padanya, menikah dengan Bayu atau menggugurkan janin yang sedang berkembang di rahimnya. Adelia memilih mempertahankan darah dagingnya. Cukup sudah dia berbuat dosa dan dia tak ingin lagi menambah lagi. Meski nanti pernikahan ini akan sangat hambar, setidaknya dia bisa menyelamatkan satu nyawa. Darah dagingnya.Adelia tak akan pernah melupakan malam di mana semua ini berawal. Wanita itu ingin meneriakkan pada semua, bahwa dia tidak seburuk pikiran Fairuz. Bahkan, sang penanam benih di rahimnya orang yang sama sekali tidak dia izinkan masuk ke hidupnya. Namun, apalah daya seorang Adelia. Bila dia bicara tidak ada yang percaya. Oleh karena itu, Adelia meletakkan keyakinan pada sang waktu, bahwa semua akan terbuka pada akhirnya.Bayu berkali-kali mengusap wajahnya kasar. Dia sangat gusar karena pernikahan yang dipaksakan padanya. Bagaimana mungkin dia bertanggung jawab atas kehamilan Adelia, sementara dia tidak pernah menyentuh wanita tersebut. Adelia, remaja yang baru saja menginjak usia delapan belas tahun. Siapa yang mengira, wanita yang dikenal sebagai pribadi yang santun dan pendiam itu tengah mengandung entah benih siapa, yang membuat pria itu bingung, Adelia bungkam seribu bahasa tentang jati diri sang penanam benih. Meski Fairuz telah mengancam dan memukuli, dia tetap tak mau bicara. Hal itulah yang membuat Bayu kesal. Seberapa berharga pria itu hingga Adelia rela menahan sakit.Andai saja Adelia bicara, tentu dia tidak akan berada di posisi serba sulit seperti sekarang ini. Bayu telah merencanakan pernikahan dengan seorang wanita dua bulan lagi, tetapi semua hancur karena penawaran dari Fairuz. Mau tidak mau dia harus menerima mengingat besarnya jasa beliau.Angin malam yang berembus tak sedikit pu
"Ngapain, kamu?"Adelia menoleh ketika suara Deyana menyentuh gendang telinganya. "Buat kopi, Kak." Dia tersenyum seraya meneruskan kegiatannya. Meletakkan satu sendok kecil gula dan kopi ke dalam cangkir kecil, lalu menyeduhnya dengan air mendidih yang ada di atas kompor. Aroma kopi hitam menguar di dapur yang selalu bersih. Deyana adalah saudara tiri Adelia. Wanita itu tidak tahu sebabnya bagaimana dia memiliki dua orang ibu. Yang dia tahu, Fairuz membawanya tinggal di rumah ini saat berumur sepuluh tahun. Saat itu sang ibu menghilang entah ke mana. Pria itu menjelaskan jika dirinya memiliki seorang kakak perempuan dan seorang wanita yang harus dia panggil mama. Adelia kecil tidak mengerti, dia hanya menurut ketika sang papa memerintahkan demikian. Selain mereka berempat, di rumah itu juga tinggal Mbak Nani yang bertugas sebagai asisten rumah tangga dan juga Mang Hadi yang setia mengantar ke mana saja salah satu anggota keluarga ingin pergi."Kamu pikir bisa ngambil hati Bayu denga
Adelia baru saja menyabuni piring kotor di bak cuci piring ketika suara Fairuz terdengar gusar."Dasar ceroboh! Lihat, Deyana meninggalkan dokumen penting. Bagaimana dia akan mempresentasikan penawaran untuk tender nanti," keluh Fairuz melihat sebuah map yang tertinggal di meja makan."Biar Adel yang antar, paling juga masih di depan." Adelia menawarkan diri. Dia mematikan kran air, lalu mengelap tangannya dengan kain lap yang tergantung di dekat kran.Fairuz menganggguk, lalu menyerahkan dokumen yang berada di dalam map berwarna cokelat. Adelia gegas melangkah keluar mengejar Deyana dan Bayu yang baru saja pamit hendak ke kantor. Memang, keduanya bekerja di perusahaan milik Fairuz yang bergerak di bidang periklanan. Mungkin kedekatan itulah yang membuat keduanya jatuh cinta. Bayu memberi pengaruh positif pada Deyana. Sang kakak yang gemar akan dunia malam dan suka berpetualang dari satu hati ke hati lain, perlahan-lahan mengurangi kebiasaannya. Dia berubah menjadi gadis penurut dan
Adelia menatap hujan dari balik jendela kamar. Pikiran wanita itu membentangkan kejadian beberapa bulan yang lalu. Hari di mana semua berawal. Saat itu juga hujan deras. Petir dan kilat silih bergantian di langit. Dia memeluk tas di halte bis tepat di depan sekolah. Seragam putih-abunya sedikit basah karena tempias air hujan yang ditiupkan angin. Harusnya sopir keluarga telah menjemputnya satu jam yang lalu, tetapi Mang Hadi mengatakan jika mobil mengalami pecah di jalan. Mencoba menghubungi sang papa, tetapi ponsel pria itu tidak aktif.Adelia mencoba bertahan di halte tersebut, tetapi hingga senja merangkak naik, Mang Hadi belum juga menampakkan batang hidungnya. Satu nama yang diingatnya, Bayu. Dia ingat jika pria tersebut mengatakan sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dekat dari sekolahnya. Mencoba menghubungi, tetapi ponselnya sudah kehabisan daya. Adelia menimbang apa yang harus dia lakukan. Jika menunggu tanpa kepastian, dia takut terjadi sesuatu sementara hari sudah
Udara masih terasa dingin meski mentari sudah memancarkan sinarnya. Jejak basah di rumput yang terhampar di halaman belakang rumah keluarga Fairuz, membuat kaki Adelia terasa segar karena embun yang menyentuh kulitnya. Gadis itu tak bisa tidur nyenyak semalam. Kata-kata Deyana terus memantul-mantul di gendang telinganya. Perih merayap ke dada Adelia, menikamkan rasa sakit yang tak terperi. Gadis itu tak pernah meminta hadir ke dunia dari benih Fairuz, tak juga meminta dilahirkan dari seorang wanita berstatus istri kedua. Meski banyak yang mengatakan ibunya perebut suami orang, sangat jarang sang papa berada di rumah. Pria itu hanya mengunjungi Adelia dan ibunya sekali dalam tiga bulan.Banyak juga yang mengatakan ibunya wanita matre, tapi pada kenyataannya hidup mereka biasa-biasa saja. Benda berharga yang dimiliki sang ibu hanya sepeda motor dan televisi ukuran 22" inci. Keduanya juga tak pernah makan dengan menu mewah. Hanya satu yang selalu diingat Adelia dan hal itu masih dia ge
Deyana memasukkan baju-bajunya ke dalam 'travel bag' dengan wajah ditekuk. Sesekali wanita cantik berkulit putih bersih itu menggerutu, sambil melirik ke arah jam yang tergantung di dinding kamarnya. Hampir dua jam Bayu mengantar Adelia ke rumah sakit, tapi tak sekali pun pria itu menjawab pesan darinya. Apa keadaan gadis perebut kekasihnya itu parah? Deyana sangat berharap janin di rahim Adelia luruh, hingga pernikahan gadis tersebut dengan pria yang dia cintai bisa berakhir lebih cepat.Namun, saat mengingat reaksi Bayu kala melihat Adelia kesakitan, membuat sesuatu tak tembus pandang meremas jantung Deyana. Wanita itu bisa merasakan aura kecemasan menghampiri sang pria. Seketika gerakan sang wanita terhenti. Dia duduk di pinggir pembaringan, seraya menatap ke arah meja rias yang ada di hadapan. Di sana terpajang foto dirinya dan Bayu saat keduanya berlibur ke Bali. Senyum yang diabadikan dalam potret tersebut sangat nyata. Deyana bisa merasakan cinta Bayu padanya tulus, meski ter
Malam ini hujan turun lagi. Adelia tak pernah membenci hujan. Dia sangat suka melihat air yang tercurah dari langit tersebut. Baginya, hujan adalah berkah dari Yang Mahakuasa. Begitu banyak tempat yang dilanda kekeringan, menanduskan mahkluk yang ada di sana. "Hujan itu waktu yang sangat baik untuk berdoa."Adelia masih ingat nasehat ibunya. Kala itu, mereka berdua sedang duduk di teras rumah, sambil menikmati sepiring pisang goreng hasil kreasi Adelia yang lumayan ... gosong. Akan tetapi, tetap di puji sang ibu, setidaknya Adelia sudah berusaha belajar memasak. Satu gelas besar teh hangat ikut menemani aktivitas santai keduanya sore itu. Minum satu gelas dengan ibunya memberi kesenangan tersendiri bagi gadis tersebut, lebih enak katanya. Meski sebenarnya, tak ada yang berubah dari rasa teh itu."Banyak orang berpikir hujan itu menyedihkan, bikin orang galau. Padahal kalau mau dipikir baik-baik, hujan itu waktunya kita santai. Bisa tiduran tanpa perlu nyalain kipas angin, bisa rebaha
Adelia menutup kelopak matanya rapat-rapat, saat mendengar pintu terbuka dari luar. Langkah Bayu yang mendekat, lalu pembaringan di sebelahnya terasa bergerak. Si gadis bisa menerka jika pria itu baru saja duduk di sana. Mati-matian Adelia menahan gemuruh di dadanya. Harusnya dia tak terbangun di tengah malam, hingga tak perlu mendengar percakapan Fairuz dengan Bayu. Saat hendak menuruni tangga menuju dapur yang berada di lantai dasar rumahnya, Adelia mendengar permintaan Fairuz kepada Bayu. Gadis itu membujuk hatinya agar kuat. Dia tak ingin lagi memanen kesedihan karena Bayu. Namun, sesak telanjur mengaliri seluruh rongga dadanya. Benar apa yang disangkakan Adelia, pria itu sengaja menghindar bertemu dengannya. Lalu bagaimana mereka akan hidup satu atap nanti? Jika boleh memilih, dia ingin tinggal sendirian saja tanpa siapa pun. Akan tetapi, sang papa tidak meluluskan permintaannya.Adelia mengurungkan niatnya mengambil sepotong roti untuk mengganjal perutnya. Rasa lapar gadis itu