Deyana memasukkan baju-bajunya ke dalam 'travel bag' dengan wajah ditekuk. Sesekali wanita cantik berkulit putih bersih itu menggerutu, sambil melirik ke arah jam yang tergantung di dinding kamarnya. Hampir dua jam Bayu mengantar Adelia ke rumah sakit, tapi tak sekali pun pria itu menjawab pesan darinya. Apa keadaan gadis perebut kekasihnya itu parah? Deyana sangat berharap janin di rahim Adelia luruh, hingga pernikahan gadis tersebut dengan pria yang dia cintai bisa berakhir lebih cepat.
Namun, saat mengingat reaksi Bayu kala melihat Adelia kesakitan, membuat sesuatu tak tembus pandang meremas jantung Deyana. Wanita itu bisa merasakan aura kecemasan menghampiri sang pria. Seketika gerakan sang wanita terhenti. Dia duduk di pinggir pembaringan, seraya menatap ke arah meja rias yang ada di hadapan. Di sana terpajang foto dirinya dan Bayu saat keduanya berlibur ke Bali. Senyum yang diabadikan dalam potret tersebut sangat nyata. Deyana bisa merasakan cinta Bayu padanya tulus, meski terkadang pria itu lebih sering bersikap dingin."Semua sudah beres?" Suara Bayu membuat lamunan Deyana buyar. Mata wanita itu menangkap sosok sang pria sedang berjalan mendekatinya."Kamu pikir aku enggak bisa 'packing' baju sendiri?" jawab Deyana ketus. Meski dia senang melihat kehadiran Bayu, tetap saja kekesalan melihat sikap pria tadi membuatnya dongkol.Bayu mengamati Deyana yang kembali memasukkan barang-barangnya ke dalam 'travel bag'. Gerakan kekasihnya itu sangat kasar, jelas terlihat kemarahan yang dipendam sang wanita. Bayu mencoba meraih bahu Deyana, lalu memutarkan ke arahnya."Hei, kamu marah sama aku?"Deyana mendengkus keras, dia menepis tangan Bayu, lalu kembali pura-pura sibuk dengan barang-barangnya.Bayu kembali membujuk Deyana. Pria itu memeluk tubuh kekasih dari belakang, meletakkan dagunya di bahu sang wanita. "Aku minta maaf kalau bikin kamu kesal. Jangan marah, nanti cantiknya hilang," goda Bayu. Biasanya cara itu berhasil meredakan amarah Deyana.Deyana menghentikan gerakannya. Embusan napas keras keluar dari bibirnya. "Aku cemburu perlakuan kamu sama Adelia. Terlihat sekali kamu cemas sama dia," jawab Deyana lirih."Sayang ..." Bayu memutar tubuh Deyana menghadapnya, membingkai wajah oval sang wanita dengan kedua belah telapak tangannya, membuat sorot keduanya bertemu. "Aku melakukan itu demi kamu.""Demi aku?!" Deyana menyorot sinis. "Kamu pikir gimana perasaan aku liat kamu nikah sama Adel? Mikir enggak aku setiap malam nelangsa mikirin kamu ngapain sama dia. Kamu itu kekasih aku, tapi malah nikah sama dia," lirih Deyana, mata wanita itu mulai berkaca-kaca."Sayang, aku tau ini berat buat kamu. Aku juga tersiksa, tapi kita bisa apa kalau kehendak Papa lebih berkuasa." Bayu mencoba menenangkan Deyana yang mulai dilingkupi emosi. Pria itu tau betapa sulit bagi kekasihnya itu menahan hati. Kehendak Fairuz adalah titah yang tak bisa dibantah, meski itu menyakiti putrinya."Kamu bohong ...." Deyana melepaskan tangan Bayu yang mencoba memeluknya. Dia berjalan menjauh, mendekati jendela. Tatapan wanita itu jauh menerawang dengan sorot kosong. "Kalian semua beranggapan Adelia adalah korban, hingga dia patut diselamatkan. Padahal kehamilannya harusnya menjadi tanggung jawabnya sendiri. Mengapa harus mengorbankan hubungan kita. Kamu tau, aku yang dulu bebas memanggilmu, sayang. Berjalan dan menyentuhmu tanpa takut menjadi fitnahan orang, kini harus menjauh, menjaga diri agar enggak dituduh menjadi orang ketiga. Sakit, tau, enggak."Bayu menganjur napas dalam. Dia paham luka hati Deyana. Selama dia mengenal wanita tersebut, Deyana adalah sosok keras kepala, susah diatur, tetapi dia selalu mampu menjaga diri. Meski terlihat cuek, tapi sebenarnya dia memiliki hati yang lembut. Namun, sikap lembut itu tertutupi oleh sikap tegas dan arogan. Hanya Bayu yang benar-benar paham siapa Deyana. Hanya pria itu yang tahu luka di hati kekasihnya."Sayang, dengar ..." Bayu kembali mendekati Deyana, dia membelai pipi sang wanita yang basah oleh air mata. "Aku melakukan semua ini murni demi membalas budi baik Papa. Cuma tiga tahun, setelah perjanjian itu selesai, kita segera menikah.""Tiga tahun itu lama. Siapa yang bisa menduga kalau hatimu enggak berubah, Mas?" Deyana mulai terisak. Dia mengeluarkan beban yang seperti batu menghimpit rongga dadanya."Perasaanku padamu enggak pernah akan berubah. Di hatiku cuma ada kamu," ujar Bayu bersungguh-sungguh. Dia berharap Deyana mempercayai ucapannya."Lalu tadi itu apa? Kamu bahkan enggak mengindahkan panggilanku, malah cepat-cepat membawa Adelia pergi. Dari sana aja udah terlihat kamu cemas sama dia!" tuding Deyana dengan nada suara meninggi."Aku melakukan demi kamu.""Demi aku?!" Deyana tertawa mengejek, seraya mengusap air mata yang terus berlinang di pipinya."Iya, kamu lupa di setiap sudut rumah ada CCTV? Kamu pikir kenapa aku tiba-tiba ada di halaman belakang? Karna aku lihat kamu dan Adelia sedang berdebat di layar CCTV yang terhubung di ponselku. Aku liat gelagat enggak baik, makanya segera menghampiri kalian. Aku enggak mau kamu disalahkan kalau terjadi sesuatu sama Adelia. Itu semua kulakukan karna aku sangat cinta kamu, De," jelas Bayu panjang lebar.Tentu saja penjelasan Bayu tersebut membuat Deyana terperangah. Pria itu ternyata tahu apa yang sudah dia lakukan pada Adelia. Wanita itu membuang wajahnya ke kembali menatap ke luar jendela. Lidahnya kelu untuk berdebat lagi dengan Bayu."Sudahlah, percayalah padaku. Sekarang ayo siap-siap. Aku antar ke bandara," bujuk Bayu. Dia ingin Deyana pergi dengan hati tenang.Deyana patuh pada ajakan sang pria. Dia kembali mengemasi beberapa barang-barangnya dibantu oleh Bayu. Suasana yang tadi sempat kaku dan memanas, kembali mencair berkat candaan-candaan sang pria. Senyum juga tawa Deyana kembali terulas di bibir tipisnya, membuat si pria merasa lega. Setidaknya hari ini dia bisa menenangkan kekasihnya itu.*Adelia menatap Bayu dan Deyana yang berjalan menuju mobil yang akan mengantar sang wanita ke bandara. Melihat kemanjaan Deyana yang bergelayut di lengan sang pria, membuat si gadis tersenyum getir. Apalagi tadi saat dia hendak ke kamar dan melewati kamar sang kakak, Adelia tak sengaja mendengar percakapan Bayu dan Deyana. Lagi lagi serasa besi panas menusuk dadanya.Adelia memaki dirinya sendiri yang sempat menanam harap kepada Bayu, hanya karena sang pria terlihat mencemaskan dirinya. Ternyata yang dicemaskan sang pria bukan kondisi janinnya, melainkan Deyana. Si gadis mengingatkan kembali dirinya, bahwa pernikahan ini bukan karena cinta, tapi keterpaksaan saja. Apalagi mendengar tangisan Deyana. Wanita itu benar, yang paling terluka di pernikahan ini adalah Deyana. Jika dia berada di posisi wanita tersebut, tentu Adelia juga akan bersikap seperti itu.Sejak hari ini Adelia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati menjaga hatinya. Lagipula tak mungkin rasanya berharap Bayu akan mencintainya, karena cinta pria itu hanya untuk Deyana dan Adelia tak pernah mau menjadi orang ketiga di antara keduanya.Adelia melangkah pelan-pelan, seraya melihat dekorasi ruangan tempat pernikahan mereka dilangsungkan. Perubahan tempat yang awalnya akan dilangsungkan di gedung, diganti ke sebuah villa milik keluarga Fairuz di daerah puncak. Semua itu atas permintaan Fairuz yang meminta pernikahan keduanya dipercepat satu bulan, karena pria itu hendak membawa Sarmila ke Singapura untuk berobat. Kabar baik didapat dari kenalannya dokter di sana, bahwa ada pendonor yang cocok dengan sang istri. Fairuz mengatakan, yang penting akad dulu, untuk resepsi nanti setelah Sarmila selesai melakukan transplantasi ginjal. Adelia tak bereaksi apa-apa dengan permintaan sang papa. Toh, cepat atau lambat, pernikahan akan terjadi juga. Dia hanya perlu mempersiapkan hati untuk mulai belajar mencintai Anta.Adelia juga mengurangi pertemuan dengan Bayu. Setiap kali pria itu datang menjemput Nika, Adelia memilih tidak menemui. Dia tak ingin rasa cinta yang susah payah dia matikan, kembali bertunas setelah melihat pria t
Aku tidak tahu sudah berapa lama duduk di atas susunan batu pemecah ombak. Membiarkan kakiku terjuntai ke bawah dijilat air laut yang mulai pasang. Yang pasti matahari sudah tidak segarang tadi. Perlahan-lahan sang surya mulai merangkak turun meninggalkan cahaya kemerahan di ujung cakrawala. Aku mengamati fenomena alam tersebut. Benda besar bersinar itu seolah-olah turun dan tenggelam ke dalam lautan. Aku tersenyum dan berpikir bagaimana bintang terbesar, yang menerangi seluruh dunia, saat waktunya telah selesai tetap harus tunduk kembali ke peraduan untuk memberi jalan pada bulan menjalankan tugasnya.Tanpa bisa dicegah masa lalu kembali berpandang ke tempurung kepalaku. menggali saat-saat bahagia yang tidak pernah bisa aku lupakan. Saat itu aku masih berseragam putih abu-abu. Sebagai senior dan anggota osis, kami diberi tanggung jawab membuat acara menyambut siswa baru. Aku masih ingat, hari itu malam terakhir. Kami mengadakan acara malam hiburan dan kesenian. Hampir semua siswa da
Rumah Fairuz dipenuhi kerabat dan beberapa relasi bisnis. Hari ini keluarganya mengadakan syukuran kepulangan sekaligus sehatnya Sarmila kembali. Keadaan wanita itu sudah lebih baik setelah dirawat sekitar dua minggu. Dokter mengingatkan kondisi Sarmlia belum terlalu baik. Sewaktu-waktu bisa saja kembali kolaps. Dokter menyarankan secepatnya mencari pendonor dan menjaga kondisi pasien agar tak terlalu lelah, apalagi stress. Taman belakang yang luas disulap menjadi tempat berlangsungnya acara. Kursi-kursi disusun sejajar untuk anak-anak yatim yang sengaja diundang. Makanan juga dihidangkan di atas meja dengan aneka macam menu khas indonesia. Ada juga banyak nasi kotak untuk para tamu yang tak sempat hadir lama. Fairuz dan Sarmila tersenyum melihat tingkah Nika yang bergelayut di punggung Bayu. Sejak bertemu dengan ayahnya, bocah kecil itu seolah-olah tak bisa dipisahkan. Dia bahkan berulang kali meminta, agar sang ayah tidur bersamanya. Adelia terpaksa meloloskan keinginan putrinya i
"Aneh, Nika langsung lengket sama kamu?" Bayu tersenyum tipis menjawab celutukkan Fairuz. "Nika bilang, pernah dikasih liat foto aku sana Adelia." Mata kedua pria itu, sedari tadi tak lepas mengawasi Nika yang bermain di taman rumah sakit, ditemani Deyana. Rasa terima kasih tak cukup rasanya dia ucapkan kepada Adelia, gadis itu tak menghilangkan jejaknya di pikiran putri mereka. Terbuat dari apa hati gadis itu? kebaikannya membuat Bayu merasa semakin tak pantas meski hanya memikirkannya saja. "Aku minta maaf kalau menyusahkan Papa." Lanjut Bayu, lagi. Fairuz menggeleng. "Justru Papalah yang harusnya berterima kasih. Kamu sudah merawat Sarmila empat tahun ini. Entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita dalam lingkaran yang selalu terhubung." "Aku juga enggak mengira, Ibu adalah Ibu Adelia. Selama ini beliau sudah mengijinkan tinggal bersama. Ibu sudah aku anggap sebagai orang tua sendiri." Fairuz menepuk bahu Bayu pelan sebagai ungakapan rasa terima kasihnya. Melihat penampilan Ba
"Udah pulang. Nak?" Mama Anta menyapa ketika melihat putranya pulang dengan wajah lesu. Anta hanya tersenyum sebagai balasan dari pertanyaan mamanya. Dia melonggarkan ikatan dasi di leher, lalu duduk menghempaskan tubuh ke atas sofa. Ratna--Ibu Anta--mengernyitkan dahi melihat wajah Anta yang kusut. Dia meletakkan majalah fashion yang sedang dibaca ke atas meja. "Kok wajahnya seperti kain belum disetrika, gitu?" "Enggak pa-pa, Ma. Aku cuma capek," jawab Anta singkat. "Capek, apa capek?" Ratna menggoda, bibirnya tertarik ke atas melihat Anta yang irit bicara. Bukan kebiasaannya seperti itu. Apalagi belakangan ini. Setiap hari wajah Anta selalu berseri, berdendang setiap melakukan apa saja. Entah sedang mencuci mobil, bersih-bersih, bahkan saat berjalan pun dia juga berdendang. Bukannya menjawab, pria itu malah menerawang, menatap langit-langit rumahnya. Apa yang dia lihat tadi siang, sangat mengganggu fikirannya. Ingin rasanya menutup mata dan berpura-pura tidak mengetahui apa-ap
Adelia duduk mematung di depan ruangan ICU. Tatapan gadis itu kosong, matanya sembab, dan wajah terlihat sangat kusut. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Semua campur aduk di dada. Ada bahagia bisa bertemu kembali dengan sang ibu, sekaligus takut jika harus kembali kehilangan. Dia ingin menangis, ingin seseorang mengusap bahunya dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun, Adelia menahan semua kecamuk di dada. Dia tak ingin terlihat menyedihkan di depan Bayu yang sering mencuri-curi pandang padanya. Anta juga tak bisa berbuat apa-apa. Pria itu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Otaknya mencerna dengan hati-hati, dimulai dari pergerakan Adelia yang tiba-tiba, lalu memeluk seorang wanita dan memanggil, ibu. Dia memang mengetahui jika Adelia bukan saudara kandung Deyana, tetapi tak mengira Ibu kandung si gadis masih hidup. Salah pria itu, dia tak pernah bertanya. Padahal Adelia pernah memberikan selembar foto dan meminta tolong untuk mencari keberadaan wanita itu