Share

Cinta Pertama Pak Mayor
Cinta Pertama Pak Mayor
Author: AgilRizkiani

Luka Lama

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-07-09 23:15:39

Langkah-langkah tegap Mayor Altar mendadak terhenti. Napasnya tercekat, seolah paru-parunya menolak bekerja. Di tengah kerumunan aula yang ramai—penuh suara sepatu berderit, obrolan terbata, dan dentingan gelas—pandangan Altar terpaku pada sosok yang tak pernah sanggup ia kubur dari ingatannya.

Gianina.

Wanita itu berdiri memunggunginya, satu tangan melingkari bahu seorang anak lelaki. Dan saat bocah itu menoleh, napas Altar serasa terhenti. Wajahnya terlalu mirip. Terlalu seperti dirinya saat kecil.

"Apakah benar itu dia?"

Waktu seolah berhenti. Dada Altar bergemuruh, rasa bersalah menyesakkan lebih keras daripada dentuman meriam. Semua yang bertahun-tahun coba ia kubur: kenangan, dosa, dan penyesalan—meledak dalam sekejap, memenuhi dadanya hingga nyaris membuatnya limbung.

Tatapan mereka bertemu. Mata Gianina keras, menyala oleh luka lama yang tak pernah sembuh. Sejenak, semua suara di aula lenyap. Hanya ada mereka dua orang yang dulu saling mencintai, kini berdiri di hadapan satu sama lain, terpisah oleh kesalahan yang tak termaafkan.

Altar menarik napas panjang. Ia melangkah perlahan, langkah sepatu boot militernya menggema.

“Gianina?” Suaranya nyaris hanya desahan. Bahunya yang kokoh sedikit bergetar.

Hatinya berperang—antara tugas yang harus diselesaikan sebagai perwira dan rasa penyesalan yang membakar dadanya. Ia menoleh sebentar pada bawahannya.

“Lanjutkan tugas ini dulu. Saya ada urusan pribadi.”

Bawahannya mengangguk ragu, lalu mundur.

"Baik Mayor!"

Altar menegakkan bahu, kembali melangkah mendekati Gianina. Langkah yang benar-benar penuh dengan perhitungan, walaupun hatinya masih terus saja bergejolak.

Tiba-tiba, suara tajam menampar telinganya.

“Berhenti! Jangan dekati kami.”

Altar terhenti. Napasnya berat, dada berguncang oleh perasaan yang tak sanggup ia redam. Sepertinya sama dengan dia wanita itu tidak bisa melupakannya dan langsung mengenalinya.

“Gianina, dengarkan aku ... hanya sebentar. Aku mohon.”

Sebagai seorang mayor ia tidak pernah tunduk dengan siapapun kecuali dengan pimpinannya, tetapi ia mengikuti perintah Gianina.

Gianina tertawa pendek, tetapi tawanya getir.

“Tolong? Kau minta aku mendengarkanmu setelah sepuluh tahun? Setelah kau sendiri yang memohon padaku untuk menggugurkan anakmu?”

Altar menggertakkan gigi, matanya memerah. Penuh penyesalan, banyak yang ingin dikatakan tapi semuanya terbungkam begitu saja.

“Aku salah. Aku pengecut. Aku takut waktu itu aku—”

“Dan kamu kira aku tidak takut?!” potong Gianina, suaranya pecah, bergetar menahan tangis. “Kamu kira lebih mudah bagiku membesarkan dia sendirian? Menjawab setiap pertanyaannya tentang ‘Ayah itu siapa, Bu?’”

Tatapan Altar jatuh ke anak lelaki itu—matanya penuh tanya, bingung, dan cemas.

Mengapa dirinya seperti bercermin? Anak lelaki itu seperti dirinya semasa kecil?

“Dia … dia mirip sekali denganku,” bisik Altar, suaranya nyaris patah.

Mata Gianina memerah. Rahangnya mengeras.

“Jangan!” serunya, suaranya rendah tapi tajam seperti pisau. “Jangan kau sebut dia seolah-olah kau punya hak!”

Altar maju setengah langkah. Mengikis jarak, bahkan mungkin benteng pertahanan yang sudah lama terbentang diantara mereka berdua.

“Tapi dia darah dagingku! Setiap malam aku dihantui, Gianina. Aku ingin menebus semuanya. Biarkan aku jadi ayahnya, meski—”

Gianina menatap Altar dalam-dalam. Air matanya mengalir, tetapi suaranya terdengar keras—lebih keras dari yang pernah ia ucapkan.

“Bukan! Dia bukan darah dagingmu, Altar!”

Gianina menolak seolah-olah ia tidak akan pernah membiarkan Altar menyebut dirinya sebagai ayah dari sang anak.

Altar tertegun. Napasnya tercekat. Bagaimana mungkin dirinya percaya dengan apa yang dikatakan oleh Gianina.

“Apa maksudmu?”

Gianina menghela napas panjang, bahunya bergetar.

Wanita itu membuang wajah seolah-olah sangat enggan sekali menatap Altar yang ada di depannya.

“Darah dagingmu sudah kamu minta untuk digugurkan sepuluh tahun lalu. Anak yang bersamaku ini bukan anakmu. Ini anakku—bukan anakmu.”

Altar menatapnya, shock, matanya membesar.

“Gianina, kamu sungguh? Tapi wajahnya—”

“Karena kamu sudah memintaku untuk membunuhnya!” Suara Gianina pecah. “Jadi apa hakmu sekarang datang dan mengaku sebagai ayah?! Kamu tak pernah jadi ayah untuk siapa pun!”

Air mata jatuh membasahi pipi Gianina. Anak lelaki itu meremas tangannya erat, menatap ibunya dengan bingung.

Altar mundur selangkah, dadanya terasa ditusuk ribuan belati.

“Aku … aku hanya ingin kesempatan meski sekali.”

“Kesempatanmu sudah mati, Altar. Sama seperti anakmu—yang kamu sendiri yang memintaku untuk ‘hilangkan’.”

Suasana membeku. Napas Altar berat, matanya basah. Sementara Gianina berdiri gemetar, memeluk anaknya seolah takut Altar akan merebutnya.

“Pergilah, Altar,” bisik Gianina parau. “Jangan pernah kembali.”

Altar menahan napas. Matanya terpaku pada anak lelaki di samping Gianina.

Garis rahang, hidung, bahkan cara bocah itu menatap—semuanya terlalu mirip. Seperti melihat dirinya sendiri saat kecil, hanya lebih muda dan polos.

“Tidak mungkin dia pasti anakku,” pikirnya, jantungnya berdetak begitu kencang hingga nyaris memekakkan telinga.

Tangannya sedikit terangkat, hampir menyentuh bahu anak itu, tapi Gianina segera menarik bocah itu ke belakang tubuhnya.

“Dia anakku kamu tidak menggugurkannya?” suara Altar serak, hampir seperti bisikan yang pecah.

Gianina terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, matanya memerah menahan tangis.

“Sudah kubilang ini bukan anakmu, Altar. Ini anakku.”

Altar menggeleng pelan, nafasnya berat, tatapannya tak pernah lepas dari wajah anak itu.

“Gianina kau tahu dia sangat mirip denganku. Seperti langit dan bumi, tapi wajahnya sama. Dia anak kita, kan?”

Gianina menahan air mata yang mulai jatuh. Dadanya terasa sesak, seolah ada batu besar menghimpitnya.

“Kau tahu demi karirmu yang cemerlang itu, sepuluh tahun aku diasingkan oleh keluargaku sendiri, Altar! Sepuluh tahun aku hidup sebatang kara, menanggung malu dan lebih gilanya lagi, aku kira setelah semua kesuksesanmu, kau akan mencariku!”

Suaranya pecah di akhir kalimat. Matanya menatap Altar penuh luka dan kekecewaan yang tak pernah sembuh.

“Tapi apa? Kau bahkan tak pernah mencariku! Kau malah memilih menikahi wanita lain!”

Altar terdiam. Dadanya seperti diremas dari dalam. Tatapannya goyah, bibirnya bergerak tapi tak ada kata yang sanggup keluar.

Dia tahu dia tahu aku sudah menikah.

“Gianina dengarkan dulu, aku—”

Belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, Gianina memalingkan wajahnya, air matanya jatuh tak terbendung.

Dalam satu tarikan napas berat, ia meraih tangan anak lelakinya, lalu berbalik dan berlari menjauh, seolah kabur dari hantu masa lalu yang tak pernah mau pergi.

Altar hanya mampu berdiri mematung, tangan yang terulur jatuh lemas di sisi tubuhnya.

“Tunggu aku ingin menjelaskan.”

Namun sebelum ia bisa mengejar, suara bawahannya memecah lamunannya.

“Mayor! Staf Kepresidenan sudah hadir. Anda diminta sekarang juga!”

Altar tertegun, matanya masih menatap ke arah Gianina yang semakin menjauh di antara kerumunan. Ada rasa kehilangan yang menyesakkan, begitu pekat hingga membuat dadanya nyeri.

Dengan langkah berat, ia memalingkan wajah. Tubuhnya menegakkan bahu seperti layaknya seorang perwira, tapi jiwanya koyak—terbelah antara tugas negara dan luka lama yang kembali berdarah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Suasana Canggung Di Meja Makan

    Gianina menutup pintu itu dengan perasaan campur aduk. Matanya panas, dadanya sesak. Ada kerinduan yang berteriak di dalam dirinya, tapi luka yang ditorehkan keluarganya masih terlalu dalam. Rasanya seperti berperang dengan hatinya sendiri—antara rindu dan sakit yang tak kunjung sembuh.Di ruang belajar, Althafariz tetap fokus menyalin catatan, sama sekali tak menyadari pergolakan hati ibunya. Suara pensil yang beradu dengan kertas menjadi satu-satunya bunyi yang menenangkan di tengah kekacauan batin Gianina.Malam semakin larut ketika Altar baru saja pulang bekerja. Wajahnya terlihat letih, seragamnya masih melekat di tubuh. Namun langkahnya terhenti begitu melihat Bu Rusmala masih duduk di ruang tamu, mata bengkak karena menangis.Tanpa sungkan, Bu Rusmala langsung berjongkok di hadapan Altar, menatapnya dengan penuh harap. Suaranya bergetar, pecah oleh tangis yang tertahan.“Altar izinkan Ibu menginap di sini malam ini. Aku … aku benar-benar merindukan anakku.” Matanya menoleh seki

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Penyesalan Seorang Ibu

    Bu Rusmala masih terguncang. Ia tidak menyangka, suami yang selama ini ia hormati dan percayai ternyata menyimpan rahasia kelam. Kaisar pun terpukul-selama ini ia membela Kamelia dengan sepenuh hati, bahkan memusuhi Gianina, namun kenyataannya justru ia dibutakan oleh kebohongan.Pak Wibowo terdiam pucat. Wajahnya penuh penyesalan dan rasa malu yang dalam. Sementara itu, Gianina hanya menunduk. Air matanya jatuh, bukan karena bahagia, melainkan karena luka lamanya kembali terbuka."Maaf, Tuan Wibowo," ucap Altar tenang namun tegas. "Saya tidak bermaksud lancang membuka aib keluarga Anda. Tapi Anda sendiri yang selama ini keras kepala, menutup telinga dari kebenaran, hingga Gianina harus menanggung semua penderitaan. Maka, biarlah malam ini semuanya terbongkar."Altar menggenggam tangan Gianina dengan penuh kelembutan, seolah berkata bahwa kini ia tidak lagi sendirian. Dengan langkah pasti, Altar mengajak Gianina dan Althafariz meninggalkan gedung mewah itu. Bu Widya serta Alenta menyu

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Terbongkarnya Kejahatan

    Hari itu adalah hari yang seharusnya penuh kebahagiaan—hari pernikahan Kamelia dengan perwira Gunawan. Istana megah sudah dipenuhi tamu undangan dari kalangan pejabat tinggi, perwira, hingga kerabat dekat. Namun di sisi lain, di rumah Altar, suasana justru berat dan penuh gejolak.Sejak pagi, Gianina duduk termenung di kursinya. Tatapannya kosong, seolah menolak semua ajakan. Altar sudah berulang kali mencoba membujuknya.“Gia kumohon. Hanya kali ini saja. Aku tahu hatimu sakit, tapi kau tidak sendirian. Aku ada di sampingmu.”Namun Gianina menggeleng pelan. Suaranya serak menahan emosi.“Mereka menghapusku, Al bahkan dari kartu keluarga. Mereka bilang aku tidak pantas lagi menampakkan wajahku di hadapan mereka. Bagaimana mungkin aku bisa melangkah ke sana seolah-olah semua baik-baik saja?”Altar meraih tangannya, menggenggam erat.“Justru karena itu kita harus datang. Biarkan mereka melihat siapa dirimu sebenarnya, dan siapa yang selama ini mereka buang. Mereka harus tahu.”Alenta ya

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Alenta dan Tingkah Lakunya

    Kaisar akhirnya membuka mulut, suaranya datar namun penuh tuduhan.“Gianina, dia itu sangat boros. Kau tahu? Karena sifatnya itu, keluarga hampir jatuh miskin. Dia tak pernah puas, selalu ingin lebih, seolah-olah uang tidak ada artinya. Kau kira aku bisa diam saja melihat itu?”Altar terdiam. Hatinya bergejolak, tapi ia menahan diri. Sejak dulu, ia tahu betul siapa Gianina. Gadis itu bahkan terlalu sederhana—belanja hanya seperlunya, hidup apa adanya, dan selalu mendahulukan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Tuduhan Kaisar jelas tidak masuk akal. Ada sesuatu yang janggal. Apakah ini kesalahpahaman besar atau ulah seseorang yang sengaja merusak citra Gianina? Nama Kamelia sempat melintas di pikirannya, namun ia tidak ingin berspekulasi tanpa bukti.Dengan nada tegas, ia akhirnya bertanya,“Apakah kau melihat sendiri Gianina boros? Apakah kau melihat sendiri ia berfoya-foya sampai-sampai menghancurkan perusahaan keluarga? Atau hanya mendengar dari orang lain?”Pertanyaan itu membuat

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Tentang Kaisar

    Di dalam mobil, setelah keheningan hangat itu, tiba-tiba Gianina menoleh dengan tatapan setengah menyipit. Ada nada manja sekaligus getir di suaranya.“Altar .…”“Hm?” Altar menoleh sekilas, keningnya berkerut.“Banyak sekali perempuan yang mengidolakan kamu, ya? Pasti kamu senang banget dikelilingi banyak yang suka. Rasanya aku yang di sampingmu ini kalah saing.”Altar menahan senyum. Ia sudah hafal benar—Gianina memang gampang sekali cemburu. Sekilas ia teringat dulu, bagaimana Gianina bisa merajuk berjam-jam hanya karena seorang rekan perempuannya menyapa terlalu akrab.“Jadi kamu lagi cemburu?” Altar menggoda dengan nada tenang.“Cemburu apanya? Aku cuma bilang apa adanya.” Gianina pura-pura mengalihkan pandangan ke luar jendela, tapi pipinya bersemu merah.Altar menghela napas kecil, lalu mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Gianina. “Tapi kan, wanita yang aku cintai cuma kamu.”Gianina langsung menoleh, tatapannya tajam tapi suaranya bergetar. “Alah kalau cuma ngomong doang m

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Bangkitnya Gianina

    Gianina tak mampu lagi menahan sesak di dadanya. Senyum tipis yang ia paksakan di hadapan Kamelia akhirnya runtuh. Tanpa berkata apa-apa, ia bangkit dari kursinya, melangkah cepat ke arah toilet.Di balik pintu yang terkunci, tubuhnya gemetar. Air matanya pecah begitu saja. “Kenapa aku selalu harus kalah? Kenapa harus dia yang selalu lebih baik di mata semua orang?” bisiknya lirih, suara tertahan di kerongkongan.Tangannya meraba perutnya sendiri, seolah masih mengingat masa-masa ketika ia sendirian membawa janin Althafariz di dalam kandungan, ditolak keluarga, diusir tanpa belas kasihan. Kenangan itu seperti belati yang menusuk kembali. Kini, saat Kamelia berdiri anggun dengan undangan pernikahan, luka itu makin terasa dalam.Sementara itu, di meja utama, Altar menahan diri. Tatapannya tetap tenang menatap Kamelia, meski di dalam dadanya amarah dan rasa bersalah bergejolak. Ia tahu Gianina sedang terluka, tapi ia juga sadar: ini bukan waktunya untuk gegabah. Kamelia jelas sedang mema

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status