แชร์

Menemukan

ผู้เขียน: AgilRizkiani
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-07-15 14:40:13

Mayor Altar Wijaya Rafendra kini tak lagi hanya berdiri di sisi panggung kekuasaan. Ia bertugas di Kementerian Sekretariat Negara, menjabat sebagai Sekretaris Kabinet dalam Kabinet Merdeka. Jabatan baru itu membuatnya tak lagi menjadi ajudan presiden—melainkan sosok penting yang mengatur dan memastikan kelancaran setiap detik acara kenegaraan.

Hari ini, tugasnya begitu krusial. Presiden akan menyampaikan pidato penting di hadapan para pejabat tinggi, media nasional, dan tamu undangan kehormatan. Tak boleh ada kesalahan. Segalanya harus berjalan sempurna.

Di balik wajahnya yang tenang dan bahu yang tegak, hati Altar bergemuruh. Pikirannya masih terbelah oleh bayangan Gianina—dan terutama oleh tatapan polos anak lelaki yang begitu mirip dengannya. Luka lama yang baru saja terkoyak kembali terasa perih, menekan dadanya.

'Fokus, Altar … Fokus! Ini bukan soal kau, ini soal negara.',

Tangannya mengepal erat, menahan getaran halus yang muncul setiap kali kenangan itu menyusup. Ia menoleh sekilas ke arah podium—Presiden sudah bersiap, sementara pembawa acara mengumumkan nama sang kepala negara dengan suara lantang.

Ruang aula yang luas mendadak hening, hanya tersisa detak jarum jam dan bisikan kecil di sudut-sudut ruangan. Kamera-kamera televisi menyorot podium, lampu sorot menyilaukan.

Altar memeriksa lagi barisan depan: para menteri duduk rapi, staf protokol siaga di samping. Semua sesuai rencana. Tapi di dalam dirinya, badai masa lalu masih bergemuruh hebat.

'Jangan goyah. Kau harus berdiri sebagai tameng. Jangan biarkan mereka lihat hatimu yang koyak.'

Suara langkah Presiden bergema di aula, diiringi tepuk tangan hadirin. Altar menarik napas panjang, menegakkan bahu, menenangkan jantung yang berdegup terlalu cepat.

Tiba-tiba, di sela suara tepuk tangan, matanya menangkap sesuatu: seorang pria asing berdiri terlalu dekat dengan barisan VVIP. Gerak-geriknya kaku, tatapannya tajam menyorot podium.

Napas Altar tercekat. Insting militernya berteriak keras.

'Ada yang tidak beres!'

Tangannya terangkat, memberi isyarat cepat pada petugas pengamanan. Seketika, beberapa pasukan berseragam mendekat, menyisir area dengan langkah cepat.

Di atas podium, Presiden memulai kalimat pertama pidato. Suaranya tegas, bergema di seluruh aula. Tapi bagi Altar, setiap kata terdengar jauh. Fokusnya kini hanya tertuju pada sosok mencurigakan itu.

Altar langsung mengangkat tangan, memberi isyarat cepat dan nyaris tak terlihat ke pasukan pengamanan. Sinyal itu cukup—dalam hitungan detik, beberapa petugas berpakaian sipil dan pasukan berseragam mendekat, mengepung pria tersebut.

Tapi pria itu sadar. Dalam satu gerakan cepat, ia mengeluarkan senjata tajam yang disembunyikan di balik jaketnya. Aula sontak ricuh, kursi bergeser, beberapa tamu terpekik.

Altar bergerak sigap, menerjang ke arah pria itu. Tubuhnya menghantam keras, tangan kirinya meraih pergelangan tangan si penyerang, memelintirnya hingga senjata itu terjatuh ke lantai. Petugas lain segera mengamankan pria tersebut, memborgolnya sebelum ia sempat melawan.

“Amankan!” seru Altar, suaranya keras dan bergema.

Suasana menjadi semakin tegang, teriakan panik terdengar dari sudut ruangan. Altar menoleh cepat ke arah podium. Presiden masih berdiri, tetapi wajahnya tampak tegang.

Melihat keadaan yang sudah tak kondusif, Altar memberi isyarat kepada staf protokol.

“Evakuasi Bapak Presiden! Segera kembali ke Istana Negara!”

Beberapa pasukan pengawal langsung mengelilingi Presiden, membawa beliau keluar aula dengan cepat namun tetap tenang. Kamera wartawan bergetar, menangkap kepanikan yang sesungguhnya tak boleh muncul dalam acara resmi seperti ini.

Altar menghela napas berat. Kemejanya basah oleh keringat, dadanya naik turun cepat. Namun ia tak boleh goyah—ia adalah ajudan kepercayaan Presiden, dan tugasnya belum selesai.

Hingga suasana berhasil dikendalikan, Altar masih berdiri di tengah aula, matanya menyisir sekeliling memastikan tak ada ancaman lain. Baru setelah semuanya beres, ia melangkah keluar, bahunya tetap tegak meski jiwanya lelah.

Malam pun tiba.

Altar duduk di kursi belakang mobil dinas. Jakarta sudah gelap, lampu jalan berpendar seperti kelip bintang yang redup. Tangannya terangkat, mengusap wajahnya yang terasa panas—keringat, debu, dan sisa ketegangan bercampur jadi satu.

"Selama sepuluh tahun

Bukan aku tak pernah mencarimu, Gianina."

Pikirannya melayang jauh. Ia ingat betapa dulu ia menyuruh bawahannya mencari informasi ke sekolah lama Gianina, ke alamat keluarganya, bahkan sampai menghubungi sahabat-sahabat lamanya. Namun Gianina menghilang seperti ditelan bumi, tanpa jejak sedikit pun.

Hatinya terasa sakit. Dadanya sesak seolah dihimpit batu besar.

"Tuhan di mana dia bersembunyi selama ini? Kenapa aku baru bertemu sekarang—dan dalam keadaan seperti ini?"

Lampu kota terus berganti di kaca jendela. Tapi yang ada di mata Altar hanyalah satu wajah: wajah wanita yang pernah ia cintai sampai ke tulang, dan anak lelaki yang tak sempat ia dekap sebagai seorang ayah.

"Aku harus menemukannya lagi. Aku tak boleh menyerah."

Akhirnya, setelah berjam-jam bertanya, menelusuri data lama, dan sedikit menekan beberapa kenalan lamanya, Mayor Altar mendapatkan secarik informasi berharga: alamat tempat tinggal Gianina.

Tanpa menunggu sedetik pun, ia langsung memacu mobil dinasnya menembus jalanan Jakarta yang masih ramai meski sudah larut malam.

Hatinya berdegup begitu kencang—antara cemas, takut ditolak, dan rindu yang memekik hingga menusuk dada. Keringat dingin membasahi pelipisnya, padahal AC mobil menyala penuh.

"Tunggu aku, Gia. Kali ini aku tak akan lari."

Mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah gedung apartemen mewah namun tampak sunyi. Altar turun tergesa-gesa, langkah kakinya berat tapi pasti. Sesekali ia menarik napas panjang, menahan getar di dadanya.

Ia bertanya pada petugas resepsionis, menunjukkan identitasnya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mendapatkan nomor unit Gianina.

"313 … Lantai tiga."

Altar berdiri di depan pintu apartemen bernomor itu. Tangannya mengusap wajah, menarik napas panjang sekali lagi, sebelum akhirnya menekan bel.

Suara denting bel bergema singkat di koridor. Tak lama, pintu terbuka sedikit. Di baliknya, muncul wajah yang selalu hadir dalam mimpi buruk sekaligus mimpinya, Gianina.

Wajah Gianina tampak lelah, matanya masih sembab. Begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu, dia nyaris menutup pintu itu lagi dengan cepat.

Namun Altar menahan pintu dengan tangannya, suaranya serak, nyaris pecah.

“Gia, tunggu! Kita perlu bicara—hanya sebentar!”

Wajah Gianina menegang. Tangannya bergetar memegang gagang pintu.

“Pergi, Altar! Kau gila?! Kalau ada yang lihat, aku bisa habis! Orang akan bilang aku pelakor, perusak rumah tanggamu!”

Altar menahan napas, matanya menatap langsung ke mata Gianina. Kata-katanya meledak tanpa ia sangka sendiri.

“Aku … aku sudah cerai dengan dia!” serunya. Suaranya keras, lebih seperti teriakan yang pecah dari dada yang penuh luka.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Suasana Canggung Di Meja Makan

    Gianina menutup pintu itu dengan perasaan campur aduk. Matanya panas, dadanya sesak. Ada kerinduan yang berteriak di dalam dirinya, tapi luka yang ditorehkan keluarganya masih terlalu dalam. Rasanya seperti berperang dengan hatinya sendiri—antara rindu dan sakit yang tak kunjung sembuh.Di ruang belajar, Althafariz tetap fokus menyalin catatan, sama sekali tak menyadari pergolakan hati ibunya. Suara pensil yang beradu dengan kertas menjadi satu-satunya bunyi yang menenangkan di tengah kekacauan batin Gianina.Malam semakin larut ketika Altar baru saja pulang bekerja. Wajahnya terlihat letih, seragamnya masih melekat di tubuh. Namun langkahnya terhenti begitu melihat Bu Rusmala masih duduk di ruang tamu, mata bengkak karena menangis.Tanpa sungkan, Bu Rusmala langsung berjongkok di hadapan Altar, menatapnya dengan penuh harap. Suaranya bergetar, pecah oleh tangis yang tertahan.“Altar izinkan Ibu menginap di sini malam ini. Aku … aku benar-benar merindukan anakku.” Matanya menoleh seki

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Penyesalan Seorang Ibu

    Bu Rusmala masih terguncang. Ia tidak menyangka, suami yang selama ini ia hormati dan percayai ternyata menyimpan rahasia kelam. Kaisar pun terpukul-selama ini ia membela Kamelia dengan sepenuh hati, bahkan memusuhi Gianina, namun kenyataannya justru ia dibutakan oleh kebohongan.Pak Wibowo terdiam pucat. Wajahnya penuh penyesalan dan rasa malu yang dalam. Sementara itu, Gianina hanya menunduk. Air matanya jatuh, bukan karena bahagia, melainkan karena luka lamanya kembali terbuka."Maaf, Tuan Wibowo," ucap Altar tenang namun tegas. "Saya tidak bermaksud lancang membuka aib keluarga Anda. Tapi Anda sendiri yang selama ini keras kepala, menutup telinga dari kebenaran, hingga Gianina harus menanggung semua penderitaan. Maka, biarlah malam ini semuanya terbongkar."Altar menggenggam tangan Gianina dengan penuh kelembutan, seolah berkata bahwa kini ia tidak lagi sendirian. Dengan langkah pasti, Altar mengajak Gianina dan Althafariz meninggalkan gedung mewah itu. Bu Widya serta Alenta menyu

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Terbongkarnya Kejahatan

    Hari itu adalah hari yang seharusnya penuh kebahagiaan—hari pernikahan Kamelia dengan perwira Gunawan. Istana megah sudah dipenuhi tamu undangan dari kalangan pejabat tinggi, perwira, hingga kerabat dekat. Namun di sisi lain, di rumah Altar, suasana justru berat dan penuh gejolak.Sejak pagi, Gianina duduk termenung di kursinya. Tatapannya kosong, seolah menolak semua ajakan. Altar sudah berulang kali mencoba membujuknya.“Gia kumohon. Hanya kali ini saja. Aku tahu hatimu sakit, tapi kau tidak sendirian. Aku ada di sampingmu.”Namun Gianina menggeleng pelan. Suaranya serak menahan emosi.“Mereka menghapusku, Al bahkan dari kartu keluarga. Mereka bilang aku tidak pantas lagi menampakkan wajahku di hadapan mereka. Bagaimana mungkin aku bisa melangkah ke sana seolah-olah semua baik-baik saja?”Altar meraih tangannya, menggenggam erat.“Justru karena itu kita harus datang. Biarkan mereka melihat siapa dirimu sebenarnya, dan siapa yang selama ini mereka buang. Mereka harus tahu.”Alenta ya

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Alenta dan Tingkah Lakunya

    Kaisar akhirnya membuka mulut, suaranya datar namun penuh tuduhan.“Gianina, dia itu sangat boros. Kau tahu? Karena sifatnya itu, keluarga hampir jatuh miskin. Dia tak pernah puas, selalu ingin lebih, seolah-olah uang tidak ada artinya. Kau kira aku bisa diam saja melihat itu?”Altar terdiam. Hatinya bergejolak, tapi ia menahan diri. Sejak dulu, ia tahu betul siapa Gianina. Gadis itu bahkan terlalu sederhana—belanja hanya seperlunya, hidup apa adanya, dan selalu mendahulukan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Tuduhan Kaisar jelas tidak masuk akal. Ada sesuatu yang janggal. Apakah ini kesalahpahaman besar atau ulah seseorang yang sengaja merusak citra Gianina? Nama Kamelia sempat melintas di pikirannya, namun ia tidak ingin berspekulasi tanpa bukti.Dengan nada tegas, ia akhirnya bertanya,“Apakah kau melihat sendiri Gianina boros? Apakah kau melihat sendiri ia berfoya-foya sampai-sampai menghancurkan perusahaan keluarga? Atau hanya mendengar dari orang lain?”Pertanyaan itu membuat

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Tentang Kaisar

    Di dalam mobil, setelah keheningan hangat itu, tiba-tiba Gianina menoleh dengan tatapan setengah menyipit. Ada nada manja sekaligus getir di suaranya.“Altar .…”“Hm?” Altar menoleh sekilas, keningnya berkerut.“Banyak sekali perempuan yang mengidolakan kamu, ya? Pasti kamu senang banget dikelilingi banyak yang suka. Rasanya aku yang di sampingmu ini kalah saing.”Altar menahan senyum. Ia sudah hafal benar—Gianina memang gampang sekali cemburu. Sekilas ia teringat dulu, bagaimana Gianina bisa merajuk berjam-jam hanya karena seorang rekan perempuannya menyapa terlalu akrab.“Jadi kamu lagi cemburu?” Altar menggoda dengan nada tenang.“Cemburu apanya? Aku cuma bilang apa adanya.” Gianina pura-pura mengalihkan pandangan ke luar jendela, tapi pipinya bersemu merah.Altar menghela napas kecil, lalu mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Gianina. “Tapi kan, wanita yang aku cintai cuma kamu.”Gianina langsung menoleh, tatapannya tajam tapi suaranya bergetar. “Alah kalau cuma ngomong doang m

  • Cinta Pertama Pak Mayor    Bangkitnya Gianina

    Gianina tak mampu lagi menahan sesak di dadanya. Senyum tipis yang ia paksakan di hadapan Kamelia akhirnya runtuh. Tanpa berkata apa-apa, ia bangkit dari kursinya, melangkah cepat ke arah toilet.Di balik pintu yang terkunci, tubuhnya gemetar. Air matanya pecah begitu saja. “Kenapa aku selalu harus kalah? Kenapa harus dia yang selalu lebih baik di mata semua orang?” bisiknya lirih, suara tertahan di kerongkongan.Tangannya meraba perutnya sendiri, seolah masih mengingat masa-masa ketika ia sendirian membawa janin Althafariz di dalam kandungan, ditolak keluarga, diusir tanpa belas kasihan. Kenangan itu seperti belati yang menusuk kembali. Kini, saat Kamelia berdiri anggun dengan undangan pernikahan, luka itu makin terasa dalam.Sementara itu, di meja utama, Altar menahan diri. Tatapannya tetap tenang menatap Kamelia, meski di dalam dadanya amarah dan rasa bersalah bergejolak. Ia tahu Gianina sedang terluka, tapi ia juga sadar: ini bukan waktunya untuk gegabah. Kamelia jelas sedang mema

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status