“Memangnya hubungan kamu sama Pak Dani mau terus bersembunyi saja, Nis? Gak mau kayak yang lainnya yang nanti bisa berakhir dengan pernikahan,” tanya Riri lagi pada Nisa yang kini memojokkan dirinya.
Yaa, sebagai sahabat tentu saja Riri ingin terbaik untuk Nisa, meskipun memang poligami dalam islam diperbolehkan, akan tetapi tentu saja banyak risiko yang nanti akan datang melanda. “Eling, Nis! Sadar, kamu itu cantik dan berpendidikan, gak akan sulit bagi kamu mendapatkan lelaki, bahkan pastinya akan lebih baik dari pada Pak Dani.” Riri masih saja bersungut-sungut menasihati Nisa. “Jangan pernah mau deh jadi yang kedua! Memangnya jadi kedua itu gampang, hah? Apalagi kamu yang mudah banget nangis, sensitive, nanti yang ada banyak nangis ketika semuanya sudah kejadian!” Riri pun menyampaikan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi jika Nisa menjadi istri kedua. “Iya, aku juga tahu, Ri. Tapi menghilangkan perasaan ini tidak mudah, kami sudah dua tahun bersama, dan satu tahun itu dijadikan usahanya Pak Dani untuk mendekati aku dengan usaha yang begitu keras.” Kini Nisa membuka suara pula, masih membela dirinya bahwa apa yang ia lakukan saat ini adalah benar, padahal sudah jelas salah karena menjalin asmara terlarang. Entahlah dia sendiri memang bingung, di sisi lain dia tidak ingin menyakiti hati wanita lain, akan tetapi dia pun tidak ingin melepaskan lelaki yang sudah meruntuhkan pertahanan hatinya begitu saja. tidak mudah bagi Nisa untuk jatuh cinta. “Pelan-pelan, Nis. Pasti bisa, dan aku yakin kamu pasti bisa, dan kamu tentunya gak akan tega untuk menyakiti hatinya wanita lain, menjalin hubungan dengan lelaki yang sudah beristri, semuanya belum terlambat, kamu masih bisa untuk menghindarinya, Nis.” Riri masih saja memberikan semangat dan kekuatan pada Nisa untuk meninggalkan Dani sepenuhnya, ya lagi pula memang Dani sudah meninggalkan Nisa lebih dulu ketika istrinya tahu akan hubungan terlarang tersebut. “Apa lagi Pak Dani sekarang udah ngeblok kontak kamu? Apalagi yang bisa diharapkan dari lelaki itu, Nis? Kamu memangnya gak malu mengemis cinta pada lelaki yang sudah beristri? Kamu memangnya gak malu dituding sebagai orang ketiga, sebagai pelakor?...” Riri terus memojokkan Nisa lagi, lagi, dan lagi, ya dia sengaja agar Nisa kembali pada jalannya yang lurus, tidak lagi menyimpang seperti saat ini. “CUKUP, RI!” Nisa memperingatkan Riri agar berhenti untuk terus berkata. Apakah Nisa marah dan tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Riri? DEG Riri kini terpaku juga yang tiba-tiba saja Nisa memotong ucapannya itu dengan berteriak cukup keras, mulutnya masih menganga karena terhenti seketika saat ia akan melanjutkan ucapannya. “Okey, okey, aku akan meninggalkan Pak Dani saat ini juga, Ri.” Nisa menyerah dan akhirnya ia akan menuruti permintaan sahabatnya itu, Riri. Entahlah benar atau tidak, sebab sebelumnya pun Nisa mengatakan akan meninggalkan lelaki beristri itu kepada Riri, akan tetapi buktinya malah nyambung lagi dan lagi. Begitulah memang yang sedang dimabuk asmara, akal sehatnya hilang, padahal lelaki yang ia cinta sudah dimiliki oleh orang lain. “Sorry, Nis. Aku seperti ini karena aku sayang sama kamu sebagai sahabat, aku gak mau kalau kamu melakukan kesalahan seperti ini, terlebih kita sama-sama wanita, tentunya tidak ingin juga jika pasangan kita direbut oleh wanita lain,” ucap Riri yang kini sudah melunakan nada bicaranya, bahkan raut wajahnya pun kini sudah kembali hangat, tidak keras lagi. Nisa masih diam saja, entahlah apa yang ada di dalam pikiran wanita muda itu, seolah nampak dalam raut wajahnya ia masih saja tidak rela untuk mengalah dan merelakan Dani lepas begitu saja. “Tapi, kali ini kamu sungguhan akan meninggalkan Pak Dani, kan Nis? Gak kayak kemarin-kemarin lagi yang akhirnya malah balik lagi?” Riri kembali mengajukan tanya sehingga Nisa kini dahinya berkerut dan menatap ke arah sahabatnya itu, lalu mengembuskan nafas. Ia tak menjawab, dan Riri tahu dengan respon yang diberikan oleh Nisa tersebut, yang artinya bisa jadi iya, dan bisa jadi tidak. “Memangnya apa sih yang sudah kalian berdua lakukan sehingga kamu sulit banget melepas Pak Dani, Nis? Meski udah putus, tapi malah balik lagi aja, udah tiga kali lho kamu balik lagi pada Pak Dani.” Riri kembali penasaran lagi, sehingga rasa bersalahnya yang tadi ada kepada Nisa, kini muncul kembali. Hening. Lengang. Nisa tak lagi menjawab pertanyaan dari Riri, sebab ia pun tidak pernah melakukan apa pun dengan lelaki beristri tersebut, kecuali hanya video call dan Dani meminta Nisa untuk melucutinya bajunya. “Apa jangan-jangan kalian berdua udah ….?” Riri kini menebak lagi, tapi tebakannya tidak ia lanjutkan, sengaja. Sebab ia pun tidak ingin menuduh Nisa dengan kejam seperti itu. Akan tetapi banyak orang bilang, apabila ada seorang wanita yang enggan untuk meninggalkan pacarnya, itu artinya ada sesuatu hal yang sudah diberikan kepada lelaki tersebut, kehormatannya. Apalagi jika menjalin hubungan dengan lelaki yang sudah menikah, tentunya berbeda sekali dengan menjalin hubungan dengan lelaki yang sama sekali belum menikah dan belum mengenal seks. “Udah apa?” Nisa langsung saja menyerobot ucapan Riri yang menggantung itu dengan mata memicing, menyelidik, seolah Nisa pun sudah tahu dengan apa yang ada di dalam pikirannya Riri saat ini. “Eh, itu, Nis. Maaf, aku kan cuma nanya aja, kenapa kamu sampai segitunya gak mau kehilangan Pak Dani,” jawab Riri yang kini merasa kikuk juga kepada Nisa. “Kamu pikir aku dan Pak Dani udah melakukan seks gitu, Ri?” Nisa kini langsung menembak saja apa yang ada di dalam pikirannya Riri. “Kan aku cuma nanya aja, Nis, bukan menuduh! Kalau gak, ya udah syukur! Tapi kata kebanyakan orang bahwa menjalin hubungan dengan lelaki yang sudah menikah itu berbeda, Nis, hasrat sexualnya lebih tinggi, karena dia sudah biasa melakukannya bersama dengan istrinya.”Riri berkelakar mencoba membuat Nisa agar tidak tersinggung kepadanya atas tuduhannya yang keji itu.“Itu yang aku dapatkan dari suamiku, katanya begitu, begitu juga dengan apa yang dikatakan oleh Pak Deden juga. Tapi, aku yakin kok bahwa kamu tidak akan pernah melakukan hal itu, karena aku yakin bahwa masih ada pelajaran dari pesantren yang melekat di hati kamu,” sambung Riri lagi menunggu respon dari Nisa.“Iya, kan Nis?” Riri masih meyakinkan Nisa, dan masih menunggunya pula untuk menjawab pertanyaannya itu yang kini sudah menari-nari dalam benaknya tidak sabar untuk dijawab.Nisa sendiri kini hanya diam, bungkam, wajahnya bahkan nampak pias karena ditanya seperti oleh Riri, karena memang pada faktanya hubungannya dengan Dani sudah sangat jauh.“Nis, kok kamu diam aja?”DEG“Nisa menolak, Neng. Dan kedua orang tuanya pun sudah tidak bisa lagi membujuknya, karena Nisa sudah memberikan peringatan kepada kedua orang tuanya untuk tidak lagi ikut campur dengan urusannya, apa lagi yang menyangkut masa depannya, bahkan Nisa akan meninggalkan rumah jika bapak dan ibunya tetap memaksakan kehendak.”Bu Wawat panjang lebar memberikan penjelasan kepada Eneng dan suaminya yang ada di sana, termasuk Reza, seketika wajah ketiganya pun kini berubah menjadi muram, hanya kekecewaan saja yang terpancar.“Kamu yang sabar, ya Reza! mungkin memang sudah sebaiknya kita harus introspeksi diri atas apa yang pernah kita lakukan pada Nisa, Bunda juga menyesal, Za, sungguh menyesal, gak kebayang jika anak perempuan bunda pun akan diperlakukan seperti Nisa oleh ibu mertuanya…“Yang jelas Bunda sebagai orang tua, akan membawa kembali si Anggi ke rumah jika ia diperlakukan tidak baik oleh suami dan mertuanya.” Eneng panjang lebar, ia kini sudah sadar, ya sepenuhnya, sudah menga
“Eh, Bu Wawat,” seru Bu Aisyah ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya itu adalah Bu Wawat, entah mau apa? Apa mungkin ada kaitannya dengan pesan yang dikirimkan oleh Erma kepada Nisa tadi malam? Begitu pikir Bu Aisyah di dalam hatinya. “Ayok silakan masuk, Bu!” Bu Aisyah mempersilakan Bu Wawat untuk masuk ke dalam rumahnya. Duduk di ruang tamu dengan sofa yang sudah pudar warnanya, kusam, akan tetapi di atas meja itu sudah ada air mineral gelas dan toples berisi kue kering, sehingga Bu Aisyah tidak pelru repot-repot lagi membuatkan minum untuk tamu yang datang. “Mohn maaf nih, Bu, kalau pagi-pagi udah ke sini, he he.” Bu Wawat basa-basi kepada bu Aisyah, sebelum akhirnya mengatakan tujuan dan maksudnya datang ke rumahnya. “Gak apa-apa, Bu. Saya sudah beres semuanya kok, Nisa juga udah berangkat sekolah,” sahut Bu Aisyah seraya masih tersenyum juga. “Sebenarnya saya datang ke sini untuk minta maaf, dengan kabar dua hari lalu yang saya berikan, mengenai pernikahan Reza, terny
“Nis, saya mau tanya sama kamu, boleh?” Erma mengirimkan pesan kepada Nisa atas permintaan ibunya sendiri, Bu Wawat, bahkan wanita paruh baya itu pun masih di sana menunggu balasan Nisa.“Gimana, Er? Udah ada balasan dari Nisa belum?” tanya Bu Wawat tidak sadar kepada anaknya itu,yang masih setia menunggu.“Belum, Mah. Sabar dulu, kan baru dikirim tadi pesannya juga,” jawab Erma kepada Mamahnya yang memang sudah tidak sabaran lagi, lalu kini Bu Wawat hanya diam saja, seraya matanya kini focus kembali pada TV, karena ia sedang menonton acara sinetron kesukaannya.“Tapi kalau Nisa nolak, kenapa Mamah gak bujuk orang tuanya aja kayak kemarin, aku rasa Nisa akan nurut aja kalau orang tuanya yang minta,” celetuk Erma memberikan saran jika memang nanti Nisa menolak untuk diajak rujuk oleh Reza.Bu Wawat terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh anaknya itu, mengenai saran untuk membujuk orang tuanya Nisa saja, yang menurut Erma lebih efektive.“Eh, iya juga, ya.
“Iya, Teh, rujuk, Reza ingin rujuk dengan Nisa, dan Neng pun kini sadar dengan kesalahan Neng, bahwa gak ada lagi memang yang bisa menerima Reza selain Nisa, makanya Neng ingin agar Reza kembali rujuk dengan Nisa.” Eneng menjelaskan lagi.Bu Wawat hanya menghela nafasnya saja pelan ketika mendengar penjelasan dari adiknya itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak menyangka bahwa adiknya saat ini bisa mengakui kesalahan dirinya sendiri, tidak seperti biasanya, yang selalu keras kepala.“Tapi kalau Nisa menolak gimana? Kok kalian bisa sih semudah itu berpikir kalau Nisa mau menerima begitu aja setelah apa yang kalian lakukan?” Bu Wawat tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya itu, ya meskipun Eneng itu adalah adiknya sendiri, akan tetapi setelah tahu dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, seperti apa yang Nisa katakan pada Bu Rini dan Bu Ineu pada beberapa bulan lalu, maka ia faham dan mengerti bahwa adik dan keponakannya itu salah.“Ya, siapa tahu, karena setahu Neng
“Tuh, kan Bun! benar apa kataku juga, gak ada wanita yang mau menerimaku selain Nisa,” keluh Reza atas nasib yang menimpanya, ya selama satu tahun perceraian ini, sudah 3 kali ia dikenalkan dengan anak dari teman Ayah dan Bundanya.Akan tetapi, pada pertemuan kedua atau ketiga setelah perkenalan, sang wanita akan mundur dengan teratur, karena menganggap bahwa Reza bukanlah lelaki yang baik untuk dijadikan suami.Ya meskipun pengakuan Eneng dan Toni adalah bahwa Reza bercerai karena ditinggalkan oleh istrinya yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi ternyata perlahan, semuanya terbuka, siapa yang sebenarnya bersalah dalam perceraian tersebut.“Sabar, Reza! teman Ayah dan Bunda masih banyak yang punya anak single, kamu tenang aja dulu, ya. Baru juga nyoba tiga kali, kamu jangan bosan!” Eneng meyakinkan anaknya itu bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang mau menerimanya sebagai suami.“Tapi, Bun, aku yakin gak akan mudah, coba aja dulu kalau aku gak bercerai dengan Nisa, k
Hari berganti menjadi minggu, begiut pula dengan minggu kini sudah berganti menjadi bulan, kondisi Nisa saat ini sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi penyerangan yang terjadi dari keluarga mantan suaminya. Mungkin sudah bosan juga.“Nisa belum menikah lagi, Bu Aisyah? Kalau Reza Alhamdulillah udah menikah lagi, dapat istri PNS (pegawai negeri sispil)” ungkap Bu Wawat ketika bertemu dengan ibunya Nisa, ya lebih tepatnya sengaja mendatangi rumahnya Nisa ketika Nisa sedang di sekolah, entah untuk apa, hanya sekadar untuk memberikan informasi tidak jelas saja.“Oh begitu, ya syukur kalau Reza sudah menikah lagi, kalau Nisa belum, kayaknya dia masih belum siap juga,” jawab Bu Asiyah kikuk, meski di dalam hatinya menggerutu, ‘untuk apa juga bilang itu ke saya? Apa Cuma mau pamer aja kalau setelah lepas dari Nisa bisa langsung nikah lagi?’Bu Wawat mangguk-mangguk saja ketika mendengar jawaban dari Bu Aisyah itu mengenai responnya kepada Reza.“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dul